Ini adalah artikel yang memenuhi kriteria penghapusan cepat karena tidak diperbaiki atau duplikasi.Untuk kriteria penghapusan, lihat KPC. Jika tidak dirapikan, artikel ini akan dihapus. Lihat KPC A10.%5B%5BWP%3ACSD%23A10%7CA10%5D%5D%3A+Artikel+yang+sudah+jatuh+tempo+perbaikan+atau+terjadi+duplikasi+-.A10
Jika artikel ini tidak memenuhi syarat KPC, atau Anda ingin memperbaikinya, silakan hapus pemberitahuan ini, tetapi tidak dibenarkan menghapus pemberitahuan ini dari halaman yang Anda buat sendiri. Jika Anda membuat halaman ini tetapi Anda tidak setuju, Anda boleh mengeklik tombol di bawah ini dan menjelaskan mengapa Anda tidak setuju halaman itu dihapus. Silakan kunjungi halaman pembicaraan untuk memeriksa jika sudah menerima tanggapan pesan Anda.
Ingat bahwa artikel ini dapat dihapus kapan saja jika sudah tidak diragukan lagi memenuhi kriteria penghapusan cepat, atau penjelasan dikirim ke halaman pembicaraan Anda tidak cukup meyakinkan kami.
Tenun Ulap Doyo sudah terkenal sejak masa Kerajaan Kutai, yang pada saat itu masih berlaku pembedaan sosial berdasarkan kelas dan strata.[3] Berdasarkan usia Kerajaan Kutai dan kondisi masyarakat kala itu yang beragama Hindu, Tenun Ulap Doyo diperkirakan telah ada dan berkembang sebelum abad ke-17.[3] Dahulu, motif Tenun Ulap Doyo bisa dijadikan pertanda/ciri atau identitas sosial sesorang.[3] Contohnya motif jaunt nguku digunakan oleh kaum mantiq (bangsawan/raja) dan motif waniq ngelukng digunakan oleh golongan marantikaq (orang biasa).[3]
Nilai dan Makna
Tenun Doyo merupakan salah satu wujud ekspresi dari keyakinan masyarakat suku Dayak Benuaq, di Kalimantan Timur.[3] Tenun Doyo dapat digunakan oleh laki-laki maupun perempuan dalam acara adat, tari-tarian, dan dalam kehidupan sehari-hari suku Dayak Benuaq.[4] Tenun Doyo yang dikenakan sehari-hari berwarna hitam, sedangkan Tenun Doyo yang berwarna-warni dan bermotif digunakan dalam upacara-upacara adat.[4] Penggunaan motif dan ragam hias memiliki nilai estetika dan nilai fungsional yang bersifat rohaniah.[4] Misalnya, motif naga melambangkan kecantikan seorang wanita, motif limar atau perahu melambangkan kerjasama, motif timang atau harimau melambangkan keperkasaan seorang pria, motif tangga tukar toray atau tangga rebah bermakna melindungi usaha dan kerjasama masyarakat, dan berbagai motif yang lain.[1] Penggunaan warna juga mengandung makna simbolik tertentu.[4] Misalnya, warna hitam pada daster dan sarung atau kain panjang artinya adalah pemakainya memiliki kemampuan dalam menolak sihir hitam (sihir jahat).[4] Jika pada warna hitam tersebut terdapat garis-garis putih, maka menandakan bahwa pemakainya dapat mengobati segala bentuk sihir dan juga dapat mengobati segala bentuk penyakit.[4]
Ragam
Dalam berbagai upacara adat, misalnya upacara kematian, pengobatan, upacara panen hasil bumi, dan sebagainya, kaum perempuan menggunakan Ulap Doyo yang kainnya panjang (tapeh).[5] Agar bebas bergerak, Ulap Doyo diberi belahan, apabila dikenakan, belahan tersebut berada di bagian belakang.[5] Biasanya Tenun Ulap Doyo dibuat dalam tiga warna, yakni: merah, hitam, dan cokelat muda.[6]Merah berasal dari buah buah Glinggam, kayu Oter, dan buah Londo, dan warna coklat muda berasal dari kayu Uwar.[6] Motif yang digunakan biasanya motif flora, fauna, dan alam mitologi.[6] Batu Lado, biji buah Glinggam, daun Putri Malu, umbi Kunyit, getah Akar, dan kayu Oter digunakan sebagai bahan baku pewarna motif Tenun Ulap Doyo.[6]
^ abcde"Tenun Ulap Doyo". Warisanbudayaindonesia.info. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-08. Diakses tanggal 8 Mei 2014.01.00.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)