Ibnu Hadjar
Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli (19 April 1920 – 22 Maret 1965) adalah seorang bekas Letnan Dua Tentara Nasional Indonesia yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagian DI/TII Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950.
Ibnu Hadjar | |
---|---|
Berkas:Ihadjar.jpg | |
Lahir | Ambutun, Telaga Langsat, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Hindia Belanda | 19 April 1920
Meninggal | 22 Maret 1965 Jakarta,Indonesia | (umur 44)
Kebangsaan | Indonesia |
Kelahiran dan Sebelum merdeka
Ibnu Hajar, lahir di Ambutun dengan nama asli Angli atau Haderi bin Umar. Ayahnya berasal dari Ambutun dan Ibunya bernama Siti Hadijah, putri dari seorang kepala suku Dayak di Tamiang Layang, Barito Timur, Kalimantan Tengah. Sebelum kemerdekaan, Ibnu Hajar bekerja sebagai petani dan pencari madu. Dia menikah dua kali. Dari istri yang pertama, Ibnu Hajar memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Rafi'i dan Istri yang keduanya berasal dari Buntok.[1]
Pergerakan
Pada penghujung 1949, pemerintah mengadakan program reorganisasi terhadap divisi-divisi TNI dan ALRI IV termasuk dalam program tersebut. Anggota-anggota yang dianggap kurang memenuhi syarat untuk bergabung dengan TNI dihentikan. Selain itu, para geriliyawan kecewa dengan kebijakan pemerintah yang menempatkan orang luar kalimantan dalam posisi yang strategis di ALRI IV. Ibnu Hajar menjadi salah satu anggota yang terkena dampakn rasionalisasi dan reorganisasi karena buta huruf.[2]
Imbas dari dampak reorganisasi, Ibnu Hajar beserta 60 pengikutnya melancarkan serangan ke Pos TNI pada Maret 1950 dan dari serangan pertamanya, pengikut Ibnu Hajar bertambah menjadi 250 orang. Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintah Republik Indonesia masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya.[1]
Ibnu Hadjar mendirikan organisasi geriliya baru yang dinamakan Kesatuan Rakyat jang Tertindas (KRljT) sebagai rasa kekecewaan bekas geriliyawan mengklaim dirinya sebagai pembela pancasila dan 17 Agustus 1945. Serangan pasukan Ibnu Hadjar pertama menyerang Kandangan pada November 1950. Awalnya, posisi KRLjT sempat terpojok dengan diberlakukanya status darurat perang pada tahun 1951. Seiring dengan meningkatnya tingkat keamanan, Pemerintah mencabut status darurat perang pada Juli 1952. Pencabutan tersebut memberikan keuntungan bagi Ibnu Hadjar untuk meningkatkan serangan geriliya yang memberikan kerugian material yang besar.[1]
Kartosuwiryo menjadikan KRljT dan Ibnu Hadjar sebagai sekutu potensial dan mengirimkan utusanya, Sanusi Partawidjaja ke Kalimantan untuk membentuk Komando Teritorial VI Tentara Islam Indonesia dan menjadikan Kalimantan sebagai wilayah de facto Negara Islam. Setelah Kartosuwiryomenawarkan posisi pemerintahan, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara Islam pada tahun 1954 dan diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan. Ibnu Hadjar mulai memberikan nama-nama islam dalam kelompoknya. Nama pasukannya menjadi Kepala Pasukan Islam (KAPAI). Ibnu Hajar juga menamakan dirinya sebagai ulul-amri dan menamakan markas besarnya dengan julukan Istana Islam Merdeka atau Istana Agama Islam Agung. Lagu Indonesia Raya diubah dan disesuaikan dengan cita-cita negara islam. Pasukan Ibnu Hadjar melancarkan serangan yang hebat kepada pemerintah di Barabai pada April 1955 dan Kotabaru pada November 1955. Serangan gerombolan Ibnu Hadjar yang efektif berujung pada ancaman Persatuan Pengusaha Bus Kalimantan untuk menangguhkan pelayanan jika pemerintah tidak mengambil langkah dan keamanan yang kurang baik.[1]
Akhir Perlawanan
Merespon keberdaaan Darul Islam di Kalimantan Selatan, Soekarno dalam kunjunganya ke Banjarmasin pada tahun 1955 mendesak Ibnu Hadjar untuk meletakan senjata. Tidak ada tanggapan positif, Pemerintah memanggil Hasan Basry untuk memimpin operasi penumpasan dikarenakan pengaruhnya di kalangan geriliyawan pasukan Ibnu Hadjar. Hasan Basry melancarkan usaha untuk meyakinkan para geriliyawan untuk menyerah dengan menyampaikan pesan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik apabila menyerah. Selain Hasan Basry, dua putra daerah yaitu, Firsmansjah dan Idham Chalid berusaha mendapatkan dukungan di kalangan ulama untuk mengakhiri pemberontak. Sambutan dua tokoh tersebut direspon dengan meriah yang berakibat pada banyaknya geriliyawan yang meletakan senjata. Posisi Ibnu Hadjar semakin terpojok dengan dua orang kepercayaanya yaitu, Dardiansjah, adik Ibnu Hadjar, dan Tjianby, Kepala Staf dan Jaksa Agung TII Kalimantan Selatan mendukung upaya pemerintah pusat untuk mengakhiri pemberontakan.[1]
Di samping langkah diplomatis, pemerintah mengadakan Operasi Delima pada tahun 1959. Tahun berkutnya, Pemerintah melancarkan Operasi Seri Tiga dan sadar bahwa pasukan Ibnu Hadjar dapat bertahan lama dikarenakan perdagangan barter dengan penduduk. Merespon hal tersebut, pemerintah menerapkan larangan kepada penduduk untuk pergi ke ladang dan hutan yang dikuasai oleh pasukan Ibnu Hadjar. Taktik tersebut berhasil dengan berkurangnya pasokan makanan kepada gerombolan dan tokoh terpandang di DI/TII Kalimantan, Kastam Djaja menyerahkan diri dan pasukan Ibnu Hadjar melemah. Akibatnya pasukan Ibnu Hadjar berusaha mempertahankan pasukanya dengan melarikan diri ke perbatasan Kalimantan Selatan dan Timur. Kodam Kalimantan juga mengadakan Operasi Riko di Kampung Baru Ujung dengan tujuan yang sama.[1]
Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli 1963 setelah Kepala Polisi Komisirat Kalimantan Selatan, Tengku Abdul Aziz mengadakan pertemuan dengan Ibnu Hadjar untuk menyerah diiringi dengan janji-janji amnesti . Ibnu Hajar dan anak buahnya menyerahkan diri secara resmi dalam acara sederhana di Desa Ambutun. Satu hari setelah penyerahan, Ibnu Hadjar menghadiri rapat umum di Banjarmasin dalam rangka Konfrontasi Malaysia dan bersedia untuk mengabdi kepada Indonesia. Ibnu Hadjar ditangkap oleh pemerintah pada September 1963 dan diterbangkan ke Jakarta dan pada 11 Maret 1965, Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hajar.[1]