Abdurrasyid

ulama Banjar
Revisi sejak 24 Oktober 2022 01.09 oleh Ezagren (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Ulama Banjar menggunakan HotCat)

Tuan Guru Haji Abdurrasyid adalah seorang ulama muslim yang lahir pada tahun 1844 di Desa Pakapuran, Amuntai Utara, Hulu Sungai Utara. Beliau wafat karena sakit setelah dirawat di rumah pribadi pada Ahad, 4 Februari 1934 bertepatan 19 Safar 1353 H dan dimakamkan keesokan harinya di samping halaman rumah.[1][2]

Pengarang kitab Perukunan Melayu
Kebangsaan Indonesia

Biografi

Pada tahun 1884, Tuan Guru Haji Abdurrasyid lahir dari keluarga petani sederhana yang taat beragama, Haji Ramli dan Khadijah. Beliau mempelajari Al-Qur'an dari seorang guru di kampung saat teman-teman beliau bersekolah di Inlandsche School dan khatam pada usia tujuh tahun.[3]

Tuan Guru Haji Abdurrasyid menuntut pelajaran agama Islam di pesantren-pesantren dan rumah-rumah guru agama dari kampung ke kampung dengan izin orang tua. Beliau mengikuti kuliah pada 1912 di Universitas Al-Azhar, Kairo selama sepuluh tahun.[4]

Tuan Guru Haji Abdurrasyid bertindak sebagai pengajar dengan sistem halaqah di rumah sendiri.[Catatan kaki 1] Seiring waktu, daya tampung rumah beliau menjadi tidak mungkin lagi karena santri yang berdatangan sangat banyak. Sebuah surau yang berseberangan dengan rumah beliau di tepi Sungai Tabalong menjadi tempat baru dibarengi pergantian sistem penyelenggaraan yang dilengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis yang klasikal.[5]

Setelah itu, Tuan Guru Haji Abdurrasyid hanya memberikan nasihat kepada seluruh santri secara umum pada saat tertentu. Sistem estafet atau yang beliau sebut "beranting" digunakan.[Catatan kaki 2] Masyarakat menyambut dengan baik sistem pengajaran yang digunakan beliau. Kampung Pakapuran menjadi ramai dan para penuntut ilmu yang datang dari berbagai tempat bahkan sebagian yang jauh sampai memondok di rumah penduduk sekitar surau.[6]

Bibliografi

Catatan kaki

  1. ^ Halaqah adalah wetonan dimana kyai atau tuan guru membacakan kitab dan santri menyimak dengan duduk di samping. Santri yang sudah mampu dan pandai, disebut sorogan/bandungan menyorong kitab untuk dibacakan kepada kyai.
  2. ^ Kelas tertinggi yang beliau ajari ditugaskan untuk mengajar kelas di bawahnya.

Referensi

  1. ^ Abdul Muthalib Mohjidin (ed), Lima Puluh Tahun Perguruan Islam Rasyidiyyah Khalidiyyah (RAKHA), (Amuntai: Rakha, 1972)
  2. ^ Abdullah Karim dan Ahdi Makmur, Ulama pendiri Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan,(Banjarmasin: PPIK Antasari, 2006)
  3. ^ 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyah Khalidiyah (RAKHA) Amuntai Kalimantan Selatan 1922-1972, hlm. 23.
  4. ^ 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyah Khalidiyah (RAKHA) Amuntai Kalimantan Selatan 1922-1972, hlm. 23-24.
  5. ^ 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyah Khalidiyah (RAKHA) Amuntai Kalimantan Selatan 1922-1972, hlm. 24.
  6. ^ 50 Tahun Perguruan Islam Rasyidiyah Khalidiyah (RAKHA) Amuntai Kalimantan Selatan 1922-1972, hlm. 25.