Sasirangan
Sasirangan merupakan kain tradisional suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu dari 33 kain tradisional warisan budaya tak benda di Indonesia. Sasirangan berasal dari kata sirang atau menyirang yang dalam bahasa banjar berarti menjelujur atau teknik menjahit menggunakan tangan (Kholis, 2016; Annisa, 2014). Motifnya dibuat dengan jahitan dengan teknik jelujur. Awalnya, kain sasirangan diyakini dapat mengobati penyakit dan mengusir roh jahat sehingga pembuatannya dibatasi. Namun sekarang, produksi kain sasirangan sudah diperluas dalam berbagai kebutuhan, salah satunya adalah kebutuhan penampilan. Secara umum, pembuatannya masih menggunakan cara tradisional.[1]
Jenis | busana, kain penyembuhan |
---|---|
Tempat asal | Kalimantan Selatan,(Indonesia) |
Pemanufaktur | Banjar |
Situs web | Sasirangan – Warisan Budaya Takbenda Indonesia |
Sejak tahun 2010, tradisi Sasirangan secara resmi diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda khas Indonesia dalam bidang Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[2]
Sejarah
Sasirangan mulai dibuat sejak abad ke-12 hingga ke-14 Masehi di Kalimantan Selatan. Pembuatannya dikenal dalam cerita rakyat yang membahas tentang masa Kerajaan Negara Dipa. Cerita ini membahas tentang Patih Lambung Mangkurat yang merupakan raja Kerajaan Negara Dipa. Ia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Putri Junjung Buih. Keduanya mengadakan perjanjian untuk menikah dengan dua syarat. Syarat pertama adalah membuat sebuah istana yang hanya boleh dikerjakan oleh 40 bujangan dalam waktu sehari. Syarat kedua adalah membuat sehelai kain sasirangan berwarna kuning dalam waktu sehari yang hanya boleh dikerjakan oleh 40 perawan. Patih Lambung berhasil memenuhi kedua permintaan ini dan Putri Junjung Buih kemudian mengenakan kain sasirangan tersebut untuk melangsungkan pernikahan di istana yang telah didirikan. Ia meninggalkan Sungai Tabalong yang menjadi tempat persemayamannya dan menikah dengan Patih Lambung serta menjadi permaisuri dari Kerajaan Negara Dipa.[3]
Cara Pembuatan
Sesuai dengan istilah namanya, motif kain sasirangan dibuat dengan menjahit terlebih dahulu kain dengan teknik jelujur. Benang jahitan kemudian ditarik hingga kain mengerut dan setelah itu diberi warna pada jahitan jelujurnya sehingga menghasilkan motif yang cantik (Abdi, 2011). Pada mulanya kain sasirangan hanya dibuat untuk mengobati orang sakit dan mengusir roh jahat, sehingga hanya orang tertentu yang dapat membuat kain ini, tetapi sekarang kain sasirangan dapat dibuat oleh siapa sajaasalkan mempunyai keterampilan untuk membuatnya (Ganie, 2014; Seman, 2008). Saat ini di Kalimantan Selatan banyak sekali pengrajin yang mampu membuat kain sasirangan dengan berbagai motif yang menarik.Pembuatan kain sasirangan umumnya masih dilakukan secara tradisional, mulai dari tahap mendesain motif, merajut, mencelup, membuka rajutan, mencuci dan menyetrika.
Motif
Motif kain sasirangan menggunakan bentuk jelujur atau garis-garis vertikal dari atas ke bawah yang memanjang. Benda-benda alam di Kalimantan Selatan menjadi landasan gambar motif. Kain sasirangan terbagi menjadi tiga jenis motif utama, yaitu motif lajur, motif ceplok, dan motif variasi. Motif lajur menggunakan garis tegak lurus dan garis lengkung yang memanjang. Motif ceplok adalah motif tunggal yang berbentuk garis tegak lurus. Sedangkan motif variasi adalah motif tambahan untuk menghiasi motif ceplok atau motif lajur.[4] Tiap motif dapat dipakai oleh seluruh masyarakat tanpa ada pembedaan dan pelanggaran terhadap adat istiadat Suku Banjar.[5]
Pemanfaatan
Masyarakat Kalimantan Selatan awalnya mempercayai bahwa kain sasirangan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kain sasirangan yang berwarna kuning dengan pingiran hijau dan bermotif ketupat merah menjadi penyembuh yang utama. Warna kuning merupakan persimbolan untuk dewa Wisnu, Kresna dan Ganesa dalam agama Hindu. Selain itu, warna kuning juga menjadi simbol kekeramatan dan penangkal dari roh jahat.[3] Sebelum digunakan, kain sasirangan diasapi dengan dupa dan dibacakan salawat tiap malam Senin dan Jumat. Kain sasirangan kemudian dipakaikan ke orang yang sakit sebagai sarung, ikat pinggang atau ikat kepala. Sebagai sarung, kain sasirangan dipercaya mengobati penyakit demam atau gatal-gatal. Sebagai ikat pinggang, kain sasirangan dapat menyembuhkan berbagai penyakit perut. Sedangkan penggunaan sasirangan sebagai ikat kepala diyakini dapat menyembuhkan sakit kepala.[6]
Pada awalnya, penggunaan kain sasirangan sebagai alat terapi sangat terbatas, karena pembuatnya juga terbatas. Keterampilan membuat sasirangan hanya diajarkan secara turun temurun dan memerlukan ritual khusus yang rumit. Para pengrajin harus menyiapkan sesajen berupa kue khas Banjar, segelas kopi manis dan kopi pahit. Sesajian ini harus diletakkan dekat dengan perapian bertabur dupa yang harum. Setelahnya diadakan pembacaan doa dan sesajen dimakan bersama oleh para pengrajin. Pembuatan sasirangan dilakukan setelah ritual selesai.[7]
Warna dari kain sasirangan yang dibuat menentukan jenis khasiat pengobatannya. Warna yang umum ditemukan yaitu warna kuning, merah, hijau, hitam, ungu, dan cokelat. Kain sasirangan yang berwarna kuning digunakan untuk mengobati penyakit kuning. Kain sasirangan yang berwarna merah untuk mengobati penyakit sakit kepala dan sulit tidur. Kain sasirangan yang berwarna hijau untuk mengobati kelumpuhan. Kain sasirangan yang berwarna hitam untuk mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal. Kain sasirangan yang berwarna ungu untuk mengobati sakit perut. Sedangkan kain sasirangan yang berwarna cokelat untuk mengobati penyakit stres.[8]
Saat ini, kain sasirangan memiliki tiga fungsi yaitu sebagai kain ritual, kain tradisional, dan kain modern. Pemanfaatannya disesuaikan dengan motif berikut:[4]
Nomor | Nama motif | Penggunaan |
---|---|---|
1 | Sari Gading | Ritual |
2 | Kangkung Kaokamban | Tradisional |
3 | Gigi Haruan | Tradisional |
4 | Daun Jeruju | Tradisional |
5 | Kembang Kacang | Tradisional |
6 | Tampuk Manggis | Tradisional |
7 | Hiris Pudak | Tradisional |
8 | Kembang Sakaki | Tradisional |
9 | Bayam Raja | Tradisional |
10 | Ombak Sinapur Karang | Tradisional |
11 | Naga Balimbur | Tradisional |
12 | Bintang | Modern |
13 | Jajumputan | Modern |
14 | Daun Katu | Modern |
15 | Gradasi | Modern |
16 | Langsat | Modern |
17 | Naga | Modern |
18 | Laba-laba | Modern |
19 | Dara Menginang | Modern |
20 | Bakantan | Modern |
21 | Pasar Terapung | Modern |
22 | Ketupat | Modern |
Pemaknaan
Tiap motif sasirangan memiliki makna berikut:[9]
Nomor | Nama motif | Pemaknaan |
---|---|---|
1 | Sari Gading | Kekuasaan, Martabat |
2 | Kangkung Kaokamban | Pantang menyerah dan putus asa |
3 | Gigi Haruan | Berpemikiran tajam |
4 | Daun Jeruju | Menghindari bencana dan malapetaka |
5 | Kembang Kacang | Kekerabatan dan keakraban |
6 | Tampuk Manggis | Kejujuran |
7 | Hiris Pudak | Tanaman khas masyarakat Banjar |
8 | Kembang Sakaki | Keindahan |
9 | Bayam Raja | Bermartabat dan dihormati |
10 | Ombak Sinapur Karang | Ujian dalam kehidupan manusia |
11 | Naga Balimbur | Kegembiraan dan kesenangan |
12 | Bintang | Keagamaan |
13 | Jajumputan | Persilangan budaya dengan budaya jawa |
14 | Daun Katu | Keindahan |
15 | Gradasi | Keindahan |
16 | Langsat | Buah khas Tanjung |
17 | Naga | Keindahan |
18 | Laba-laba | Keindahan |
19 | Dara Menginang | Keindahan |
20 | Bakantan | Hewan khas Kalimantan Selatan |
21 | Pasar Terapung | Budaya masyarakat Kalimantan Selatan |
22 | Ketupat | Makanan khas Kandangan |
Referensi
- ^ Pratomo; et al. (2018). "Optimasi E-Commerce dengan Penerapan Teknik SEO (Search Enginee Optimization) untuk Meningkatkan Penjualan pada UKM Nida Sasirangan". Impact: Jurnal Implementation and action. 1 (1): 36.
- ^ "Sasirangan", Intangible Cultural Heritage of Indonesia – Directorate of Cultural Heritage and Diplomacy, Ministry of Education and Culture of the Republic Indonesia, 2010
- ^ a b Andriana 2018, hlm. 79.
- ^ a b Almas 2018, hlm. 214.
- ^ Andriana 2018, hlm. 81–82.
- ^ Andriana 2018, hlm. 79–80.
- ^ Andriana 2018, hlm. 80.
- ^ Andriana 2018, hlm. 80–81.
- ^ Almas 2018, hlm. 217–218.
Bibliografi
- Almas, Zaidan (Oktober 2018). "Nilai-nilai dalam Motif Kain Sasiringan". Socius: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. 7 (2): 210–220. doi:10.20527/jurnalsocius.v7i2.5422.
- Andriana, Yunita Fitra (Desember 2018). "Pergeseran Fungsi dan Makna Simbolis Kain Sasirangan". Jurnal Rupa. 3 (1): 77–92. doi:10.25124/rupa.v3i2.1473.
Pranala luar
- (Indonesia) "Sasirangan", Intangible Cultural Heritage of Indonesia – Directorate of Cultural Heritage and Diplomacy, Ministry of Education and Culture of the Republic Indonesia, 2010