Lembaga Penyiaran Publik

Istilah penyiaran umum di Indonesia

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) adalah bentuk penyiaran umum yang terdapat di Indonesia. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, LPP adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum, didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.[1] Lembaga penyiaran ini resmi terbentuk pada tahun 2005 dan menaungi Radio Republik Indonesia (RRI), Televisi Republik Indonesia (TVRI), serta Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL). Saat ini LPP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik dan PP Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.

Sumber pendanaan LPP dapat berasal dari APBN (atau APBD untuk LPPL), iuran penyiaran, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha-usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Hingga akhir 2020, sumber pendanaan selain APBN (dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak) untuk RRI dan TVRI diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 68 Tahun 2020 untuk RRI dan PP Nomor 66 Tahun 2020 untuk TVRI.

LPP nasional

Kantor pusat RRI (atas) dan TVRI (bawah) di Jakarta.

LPP berskala nasional di Indonesia adalah RRI dan TVRI. RRI dan TVRI pada mulanya adalah lembaga yang didirikan terpisah dari pemerintah pusat, kemudian dimasukkan dalam lingkungan Departemen Penerangan (Deppen) masing-masing pada tahun 1946[2] dan 1975. Dorongan untuk menempatkan kembali RRI dan TVRI sebagai lembaga yang berorientasi pada masyarakat dan independen dari pemerintah mencuat pasca-Reformasi hingga Deppen dibubarkan pada tahun 2000 pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan kendali pemerintah secara perlahan dihapuskan (departemen tersebut kemudian dibentuk kembali menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini). RRI dan TVRI mengalami perubahan status menjadi perusahaan jawatan di bawah Departemen Keuangan di tahun yang sama (TVRI kemudian berganti status lagi menjadi BUMN berbentuk Persero pada tahun 2002) dan secara resmi menjadi LPP pada 2005.

  • RRI didirikan pada tanggal 11 September 1945. RRI saat ini menjalankan empat radio (Pro 1, Pro 2, Pro 3 dan Pro 4) yang dibawa sebagiannya atau seluruhnya oleh 90 stasiun lokal; Pro 3 sendiri merupakan jaringan yang disiarkan secara sentral. RRI juga menjalankan layanan radio internasional Suara Indonesia (Voice of Indonesia).

Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang saat ini sedang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menggabungkan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI).[3] Rencananya penggabungan ini akan diatur dalam undang-undang sendiri bernama RUU RTRI yang sedang disusun bersamaan dengan revisi UU Penyiaran. Tercatat RUU RTRI sudah dimasukkan dalam Prolegnas sejak 2013, namun saat ini masih mandek pembahasannya meskipun telah keluar-masuk di DPR dan dikaji beberapa kali.[4] Diharapkan RTRI yang terbentuk nanti mampu mewujudkan demokratisasi penyiaran dengan menjadi lembaga yang berprinsip independen, netral, serta memberi layanan untuk kepentingan publik.[5] Selain itu, masalah-masalah seperti anggaran, struktur keorganisasian, sumber daya manusia, dan lainnya diharapkan bisa diselesaikan dengan pengesahan RUU tersebut.[6]

LPP lokal

 
LPPL Radio Suara Salatiga di Salatiga, Jawa Tengah.

Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) merujuk pada lembaga penyiaran publik di tingkat lokal yang tidak dimiliki dan dijalankan baik oleh RRI maupun TVRI. LPPL biasanya, namun tidak selalu, berada di kota-kota, kabupaten-kabupaten, bahkan provinsi yang belum memiliki stasiun RRI dan/atau TVRI. Masing-masing LPPL diatur dalam peraturan daerah berdasarkan ketentuan dalam PP Nomor 11 Tahun 2005. Misalnya, menurut PP tersebut LPPL diharuskan berjaringan dengan RRI (untuk stasiun radio) dan TVRI (untuk stasiun televisi).

Sebelum era Reformasi, terdapat beberapa stasiun radio yang dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah kota atau kabupaten. Stasiun-stasiun tersebut dikenal sebagai Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD). Salah satunya ialah RSPD Top FM di Sukoharjo, Jawa Tengah dan RSPD Berau di Berau, Kalimantan Timur yang masing-masing mulai bersiaran pada tahun 1968 dan 1975.[7][8] Saat itu stasiun televisi milik pemerintah daerah tidak ada karena televisi milik pemerintah, bahkan di tingkat lokal, dipegang oleh TVRI (dengan mendirikan stasiun daerah di ibukota provinsi). UU Nomor 32 Tahun 2002 membolehkan "lembaga penyiaran publik lokal" didirikan di daerah provinsi, kabupaten, atau kota, memperkenalkan istilah LPPL sekaligus mengubah status media pemerintah menjadi media publik; PP Nomor 11 Tahun 2005 mengatur terkait LPPL lebih lanjut.

Saat ini terdapat sejumlah wadah gabungan LPPL di seluruh Indonesia; seperti Asosiasi LPPL Radio dan Televisi Se-Indonesia yang dibentuk pada tahun 2018[9] serta Persatuan Radio TV Publik Daerah se-Indonesia (Persada.id atau Indonesiapersada.id) yang dibentuk pada tahun 2019.[10]

Daftar LPPL

Kritik dan kontroversi

Nomenklatur

Mantan Direktur Program dan Berita sekaligus pemimpin redaksi TVRI Apni Jaya Putra mengatakan bahwa nomenklatur lembaga penyiaran publik tidak dikenal dalam struktur lembaga yang didirikan oleh negara. Walau demikian, menurutnya LPP yang dipimpinnya (yaitu TVRI) dapat disebut lembaga negara karena dewan pengawasnya dipilih DPR dan diangkat presiden.[11] Struktur yang mirip dengan LPP adalah Badan Layanan Umum (BLU), namun belum ada regulasi lebih lanjut yang menjelaskan status ini.

Independensi

Meskipun dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 LPP diamanatkan untuk bersikap independen, belakangan terdapat dorongan dari beberapa kalangan agar LPP berafiliasi dengan pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika RI 2014-2019 Rudiantara berencana membahas bersama pemerintah dan DPR tentang kemungkinan RRI dan TVRI berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bila bergabung menjadi RTRI.[12]

Dalam rapat dengar pendapat antara DPR dengan TVRI tanggal 20 November 2019, Komisi I DPR mendorong agar RRI dan TVRI bertindak sebagai "humas pemerintah", dengan menyampaikan program, keputusan, keberhasilan, dan kesepakatan yang telah dijalin pemerintah. Anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno atau Dave Laksono (Golkar) menyatakan bahwa LPP "harus jadi corong (pemerintah), dan harus menyiarkan hal-hal kepentingan pemerintah". Salah satu yang memotivasi dorongan ini adalah perlunya "menanggulangi keterbatasan informasi resmi pemerintah yang ada di daerah pinggiran, perbatasan, dan terluar".[13]

Walau saat ini tidak ada hubungan formal antara RRI-TVRI dan Kemkominfo, keduanya terkadang masih dipersepsikan berada di bawah kementerian tersebut. Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi di tahun 2020 menyebut RRI dan TVRI "secara fungsional (berada) di bawah kendali" Kemkominfo.[14] Demikian pula dengan anggota Komisi I DPR RI Rizki Aulia Rahman Natakusumah (Demokrat) di tahun 2021 yang menyebut TVRI "dari segi administrasi... tentu mempunyai pimpinan yaitu Kementerian Kominfo dan lain sebagainya".[15] Selain itu sebagian karyawan RRI dan TVRI merupakan pegawai negeri sipil (PNS) di bawah Kemkominfo, walaupun per tahun 2021 status kepegawaian PNS di kedua lembaga tersebut diubah dari yang semula hanya "dipekerjakan" dan "diperbantukan" menjadi "penugasan".[16]

Retno Intani, mantan anggota Dewan Pengawas TVRI 2006-2011 dalam artikel jurnalnya di tahun 2013 terkait transformasi TVRI sebagai LPP menilai bahwa pemerintah masih mempersepsikan APBN sebagai dana pemerintah. Dalam kasus TVRI, persepsi APBN sebagai dana pemerintah ini menjangkiti kalangan masyarakat sipil dan internal TVRI, serta melanggengkan cara berpikir yang hierarkis tentang TVRI dan menempatkannya sebagai organ pemerintah, posisi yang bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2002.[17]

Independensi LPPL

 
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah 2013–2023 yang juga merangkap sebagai Ketua Umum IndonesiaPersada.id 2021–2023

Sebagian LPPL masih dianggap dimiliki oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) pemerintah daerah, seperti Teman 95,3 FM, radio yang per tahun 2019 dianggap "milik Diskominfo Kabupaten Bogor".[18]

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Lintang Ratri Rahmiaji, berpendapat, tantangan yang dihadapi LPP menyangkut independensi dan integritas. Berdasarkan evaluasi terhadap LPPL radio, seperti Swai FM dari Indragiri Hulu, Riau, Lintang menemukan konten program yang berpihak pada kepentingan publik atau masyarakat di sekitar LPP masih terbatas. Akun Facebook Swai FM, menurutnya, lebih banyak menampilkan kegiatan seremonial pemerintah daerah setempat. Lebih lanjut, mengutip riset tahun 2016 oleh dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Muzayin Nazaruddin, definisi "publik" dalam LPP di salah satu manajemen RRI Yogyakarta dimaknai sebagai pemerintah, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.[19]

Pada tahun 2021, ketua harian salah satu asosiasi LPPL IndonesiaPersada.id, Syaifudin Ahmad berpendapat bahwa selama regulasi masih menyebut pendirian dilakukan pemerintah, LPP lokal susah beroperasi secara independen, dengan mengibaratkan pada hubungan orangtua dan anak. Pendapat dari Direktur Eksekutif IndonesiaPersada.id Aries Widyoko membenarkan hingga kini masih ada LPP lokal radio yang merasa puas siarannya didengar publik yang interaksi erat antara lembaga dan masyarakat belum optimal.[19] IndonesiaPersada.id sendiri kerap dimasuki sejumlah politisi, seperti Saifullah Yusuf (politisi PKB) yang menjabat sebagai ketua umum pertama untuk masa bakti 2019–2021 dan Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah dan politisi PDI Perjuangan) yang menjabat untuk periode 2021–2023.[10][20]

Nasib LPP pada PP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

Saat masih dalam proses perancangan, RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran yang tak lain amanat dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (kemudian disahkan sebagai PP Nomor 46 Tahun 2021) dinilai sejumlah pihak "belum optimal" mengakomodasi kepentingan LPP. Menurut Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid (Golkar), ketentuan yang ada belum mengakomodasi satuan kerja stasiun-stasiun RRI di daerah, yang akan menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum mereka. Dalam pasal yang sama, pengaturan cakupan siaran internasional RRI juga belum tertuang.

Pegiat Rumah Perubahan LPP, Darmanto, berpandangan bahwa salah satu implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 adalah RRI berpotensi kehilangan mandat untuk menyelenggarakan siaran internasional dan kehilangan hak penyelenggaraan penyiaran untuk cakupan wilayah siaran regional dan lokal. Substansi Pasal 72 Ayat (2) juga memperlihatkan adanya potensi stasiun RRI dan TVRI di daerah hanya berfungsi sebagai stasiun relai. Darmanto juga memandang bahwa proses pembahasannya "cenderung tertutup" dan kabarnya tidak melibatkan dewan pengawas.

Sementara itu, Ketua Pansus RUU Penyiaran 2002 Paulus Widiyanto berpendapat, minimalisnya penguatan diplomasi lewat LPP tidak hanya dialami RRI, tetapi juga TVRI. UU Cipta Kerja beserta RPP turunannya menempatkan kedua LPP seolah-olah badan usaha. Ia menilai bahwa secara keseluruhan aturan-aturan tersebut melupakan hal paling esensial dari penyiaran, yakni konten, serta substansinya cenderung ke urusan infrastruktur.[21]

Referensi

  1. ^ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia
  2. ^ Muhammad, Erik (2020). "Sejarah Radio Republik Indonesia, Alat Propaganda Kemerdekaan". Harapan Rakyat. Diakses tanggal 12 November 2020. 
  3. ^ Saragih, Bagus BT (2015). "RRI, TVRI: The forgotten agents of change". The Jakarta Post. Diakses tanggal 5 Oktober 2020. 
  4. ^ RUU RTRI Jalan Perlahan
  5. ^ Sikapi RUU RTRI, Putra Nababan ingatkan wartawannya harus multiskill
  6. ^ RUU RTRI Angin Segar Bagi RRI dan TVRI
  7. ^ "Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo". Diakses tanggal 27 Juni 2020. 
  8. ^ Toredoisma. "SEJARAH RSPD BERAU". Diakses tanggal 27 Juni 2020. 
  9. ^ Samanta, Syintia Dewi (2019). "Dirjen OTDA Kemendagri Kukuhkan Pengurus Asosiasi LPPL Radio-Televisi Nasional". Merdeka.com. Diakses tanggal 27 Juni 2020. 
  10. ^ a b Soekarno, Rahardi J (2019). "Persatuan Radio TV Publik Daerah se-Indonesia Tunjuk Gus Ipul Ketua Umum". Beritajatim. Diakses tanggal 28 September 2021. 
  11. ^ Firmansyah, Manda (2020). "Kisruh TVRI dan usaha lepas dari paradigma usang". Alinea.id. Diakses tanggal 6 November 2020. 
  12. ^ "Menkominfo : Penggabungan TVRI dan RRI tengah di Bahas". Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Diakses tanggal 8 November 2020. 
  13. ^ Prasongko, Dias (2019). "Komisi I DPR Minta RRI dan TVRI jadi Humas Pemerintah". Tempo.co. Diakses tanggal 8 November 2020. 
  14. ^ Al Machmudi, M. Iqbal (2020). "Menkominfo: Sektor Komunikasi dan Informasi Tumbuh Cukup Baik". Media Indonesia. Diakses tanggal 8 November 2020. 
  15. ^ "TVRI Diharapkan Junjung Tinggi Objektivitas Pemberitaan". Dewan Perwakilan Rakyat RI. 2021. Diakses tanggal 27 September 2021. 
  16. ^ Andarningtyas, Natisha (2020). "Kominfo transformasi status kepegawaian di RRI dan TVRI". Antaranews.com. Diakses tanggal 27 September 2021. 
  17. ^ Intani, Retno (April 2013). "Transformasi LPP TVRI di Tengah Pergolakan Politik dan Struktural". Jurnal Komunikasi UII. 7 (2): 141–162. Diakses tanggal 8 November 2020. 
  18. ^ Fatubun, Andres (2019). "Teman 95,3 FM, Radio Milik Diskominfo Bogor Juara LPPL Award 2019". AyoBogor.com. Diakses tanggal 12 November 2020. 
  19. ^ a b 'author', Mediana (2021-03-16). "Peran Lembaga Penyiaran Publik Masih Dibutuhkan". Kompas.id. Diakses tanggal 2022-08-25. 
  20. ^ Reza (2021). "Menggantikan Gus Ipul, Ganjar Pranowo Jadi Ketua Umum Persatuan Radio TV Publik Daerah se-Indonesia". Liputan 6. Diakses tanggal 6 Januari 2022. 
  21. ^ 'author', Mediana (2021-02-06). "RPP Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran Belum Optimalkan Peran Penyiaran Publik". Kompas.id. Diakses tanggal 2022-08-25. 

Pranala luar