Pesantren Keresek
Pesantren Keresek merupakan salah satu pesantren tertua dan banyak dikenal masyarakat adalah Pasantren Keresek di Cibatu, Garut.[1] Paesantren ini bukan hanya dikenal masyarat Garut, tetapi juga banyak dikenal oleh masyarat nusantara.[1] Buktinya, ada beberapa santri dari luar Jawa, seperti dari Sumatra dan Lombok, yang sengaja datang ke Garut untuk mondok di Keresek.[1] Pesantren Keresek terkenal karena cerita tentang jinnya.[1] Pada tahun 60-an, cerita tentang jin ini menjadi cerita bersambung di majalah Sunda Mangle, dan banyak mendapat perhatian pembaca. Konon, cerita tentang jin keresek bukan cuma isapan jempol.[1] Sampai sekarang pun, keberadaan jin keresek masih diakui pengelola pesantren.[1] Kini Pesantren Keresek masih menjadi tujuan banyak santri yang ingin mondok.[1] Terutama santri-santri yang ingin memperdalam nahwu sorof dan bilagoh (sastra Arab), karena kedua ilmu itu telah menjadi ciri khas pesantren yang berusia sudah lebih seabad ini.[1]
Sejarah
Pesantren Keresek didirikan pada tahun 1887 Masehi oleh K.H. Muhammad Tobri (Eyang Tobri) yang wafat pada tahun 1900 Masehi bin K.H. Nurhikam (Eyang Nurhikam) yang wafat pada tahun 1850 Masehi. Dia adalah keturunan Mbah Ma’lum dari pesantren Sumur Kondang. Sedangkan nama keresek diambil dari nama Kampung tempat pesantren ini berdiri.[1] Setelah Eyang Tobri wafat pada tahun 1900 Masehi, pengelolaan pesantren diserahkan kepada putranya yang bernama K.H. Ahmad Nahrowi.[1] K.H. Ahmad Nahrowi yang lahir pada tahun 1859 Masehi atau lebih dikenal dengan sebutan Mama Bintang, karena pernah diberi bintang tanda jasa oleh pemerintah kolonial Belanda.[1] Pemerintah kolonial menganggap pesantren Keresek telah berjasa memajukan pendidikan masyarakat pribumi dan tidak melakukan pembangkangan kepada pemerintah.[1] Setelah Mama Bintang wafat pada tahun 1935 Masehi, pengelolaan pesantren diserahkan kepada putranya yang bernama K.H. Busyrol Karim.[1] Pada saat pesantren dipimpin oleh dia inilah, terjadi beberapa peristiwa yang bukan saja menggemparkan warga pesantren, tetapi juga warga keresek pada umumnya.[1] Seperti dikisahkan dalam buku kecil Jin Kersek, keluarga Mama Busyrol Karim atau lebih dikenal dengan sebutan Mama Oco sempat diganggu oleh jin perempuan yang konon jatuh cinta pada sang ajengan. Karena kejahilan jin itu, banyak peristiwa di luar akal yang bersifat gaib muncul dan terkadang mengganggu penghuni pesantren.[1] Namun, pada akhirnya jin itu bisa “dijinakkan” oleh Ajengan Busyrol Karim.[1] Sepeninggal Mama Oco pada tahun 1977 Masehi, pengelolaan pesantren dilanjutkan oleh putranya Mama Oco yang bernama K.H. Hasan Bashri bin K.H. Busyrol Karim (Mama Oco) hingga sekarang. Selain mendalami ilmu agama, Hasan Bashri yang sering dipanggil Buya, juga seorang penulis.[1] Buku kecil Jin Kersek, adalah hasil tulisannya yang sbeleumnya dimuat secara bersambung di majalah Mangle.[1] Yang menarik, kisah itu ditulis Buya ketika ia aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) semasa kuliah di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung.[1] Menurutnya, ia menuliskan kisah itu untuk melawan paham PKI (Partai Komunis Indonesia) dan CGMI (Comite Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi pada PKI, karena keduanya sama-sama tidak mempercayai hal-hal gaib.[1] Buya meyakinkan jika hal-hal gaib bukanlah isapan jempol.[1] Terbukti, tulisannya banyak diminati dan disukai masyarakat.[1]