Fransiskus Choe Kyong-hwan

Revisi sejak 21 Desember 2022 22.51 oleh Arya-Bot (bicara | kontrib) (Referensi: clean up)

Fransiskus Choe Kyong-hwan (1805-1839) adalah seorang martir Katolik Korea yang berasal dari keluarga Kyongju Choe. Ia lahir pada tahun 1805 di keluarga kaya raya di Taraekkol, Honjugun, Provinsi Ch’ungch’ong. Kakeknya yaitu Choe Han-il adalah anggota keluarga yang pertama dibaptis pada tahun 1787, setelah menerima bimbingan dari seseorang ternama yaitu, Yi Chon-ch’ang.

Setelah masa yang begitu lama tanpa seorang imam, banyak orang-orang Katolik yang hanya nama saja. Mereka dengan teratur terlibat dengan perbuatan takhayul dan penyembahan berhala, sehingga banyak sekali halangan untuk menaati Sepuluh Perintah Allah dan menjalankan iman mereka. Fransiskus tidak dapat mentolerir keadaan ini, sehingga pada suatu hari, dia meninggalkan rumah dan menetap di sebuah desa di Gunung Suri di dekat Kwach’on di Provinsi Kyonggi.

Di tempat yang baru dia temukan ini, Fransiskus dapat menghidupi kehidupan beriman. Menebang pepohonan di lereng bukit, dia menanam tembakau dan juga membantu orang-orang Katolik yang baru saja tiba untuk membangun rumah-rumah bagi mereka. Dengan sepenuh hati dan jiwa mereka mematuhi Sepuluh Perintah Allah dan pada malam hari mereka mempelajari doktrin, merenung dan berdoa.

Pada awalnya, hanya tiga atau empat keluarga yang tinggal di desa itu, namun perlahan-lahan desa itu bertumbuh dengan jumlah lebih dari dua puluh keluarga. Pada malam hari, Fransiskus akan mengumpulkan mereka semua di rumahnya dan mengajarkan doktrin kepada mereka. Penjelasannya tentang ajaran Gereja begitu bersungguh-sungguh, ringkas, dan meyakinkan. Kemampuannya berkhotbah dikenal luas dan umat Katolik berdatangan dari tempat yang jauh untuk mendengarkan dia.

Dia bukan orang yang terdidik dengan baik namun keseringannya untuk merenung dan mempelajari buku-buku rohani, membangkitkan cinta akan Allah yang bernyala-nyala di dalam hatinya dan juga memiliki pengetahuan yang luar biasa akan kebenaran Gereja yang mendalam. Di mana pun dia bekerja, baik di rumahnya, di ladang ataupun sedang berjalan di perjalanan, hatinya selalu bersatu dengan Allah. Dia tidak pernah hal-hal lain selain hal yang berkaitan dengan cinta akan Allah dan devosi.

Pada tahun 1839, dia dipilih sebagai seorang katekis. Penganiayaan pada tahun 1839 dimulai dan di sekitar wilayah Hanyang, banyak umat Katolik ditangkap dan mengalami kelaparan dan penderitaan. Fransiskus mengumpulkan uang dan melakukan perjalanan di sekitarnya untuk membantu umat Katolik yang dipenjarakan dan juga orang miskin yang bukan umat beriman. Dia juga membantu untuk memakamkan jenazah para martir.

Setelelah kembali ke rumahnya, dia menyuruh keluarganya untuk mempersiapkan diri demi kemartiran. Dia mengumpulkan semua benda-benda rohani dan menguburkannya di dalam tanah, kecuali buku-buku katekese. Dia berkata, “Kita menyembunyikan benda-benda rohani supaya tidak akan dinajiskan, namun buku-buku ini tidak diberkati. Seorang prajurit yang akan pergi berperang membutuhkan panduan perang. Pada saat ini, kita harus mempelajari semua buku ini dengan lebih sungguh-sungguh.”

Pada tahun 1836, ketika Fransiskus Choe Kyong-hwan berusia tiga puluh satu tahun, Pastor Maubant, seorang misionaris dari Serikat Misi Paris (Paris Foreign Missions Society / Société des Missions étrangères de Paris disingkat menjadi M.E.P.) tiba di Korea. Karena mengetahui kesulitan bagi seorang imam asing untuk masuk dan tinggal di Korea, Pastor Maubant memutuskan untuk mengirim orang muda Korea ke luar negeri untuk belajar imamat.

Putra tertua Fransiskus Choe Kyong-hwan yaitu Choe Yang-up diberitahukan kepada Pastor Maubant bahwa dia sangat cerdas, sehingga Pastor Maubant memutuskan untuk memanggil kedua orang tuanya. Pastor Maubant duduk menghadap suami istri itu dan membicarakan hal itu dengan hati-hati.

“Fransiskus dan Maria, hari ini saya datang untuk membicarakan hal yang sangat penting. Saya mendengar bahwa putra Anda yaitu Thomas, adalah seorang yang sangat cerdas. Saya ingin mengirimkan dia ke Makau untuk belajar imamat. Apakah kalian memberikan restu Anda?”

“Terima kasih, Pastor. Hal ini bukan kehendak kita, tetapi panggilan Allah, ya sebuah panggilan. Kita tidak mengira bahwa sebuah berkat dan kebahagiaan akan datang ke rumah kami. Sekali lagi, terima kasih.” Begitulah pasangan ini memberikan restunya.

Pada saat itu, karena pengaruh Konfusianisme terhadap hal itu bahwa orang Korea tidak mudah untuk mengirimkan putra-putra mereka untuk tinggal di tempat yang jauh walaupun jika dia tinggal bersama dengan kakak atau adik laki-lakinya. Namun demikian, pasangan itu menyadari bahwa mengirimkan putra mereka ke tempat yang jauh merupakan kehendak Allah.

Pada malam hari tanggal 31 Juli 1839, polisi dari Hanyang mendatangi desa di Gunung Suri dimana polisi itu mengepung rumah Fransiskus sambil berteriak, menghina dan mendobrak pintu gerbang. Namun demikian, Fransiskus menerima mereka seperti menyambut tamu.

“Selamat datang di rumah kami. Mengapa begitu lama? Kami sudah menantikan Anda sejak lama. Kita semua sudah siap bagi Anda. Masuklah dan beristirahatlah sampai fajar. Dan pagi-pagi benar, mari kita pergi bersama-sama.”

Dan dia menyuguhi mereka dengan arak beras. Polisi kagum melihat sikap demikian, dan polisi itu berkata satu sama lain, “Orang-orang ini adalah orang beriman sejati. Tidak ada bahaya bahwa mereka akan melarikan diri, jadi mari kita beristirahat sebelum kita berangkat.”

Ketika para polisi beristirahat, Fransiskus berkeliling di desa dan bekata kepada warga desa itu, “Penganiaayan ini terjadi di seluruh negeri dan sepertinya pemerintah berniat untuk membasmi total Gereja. Pada fajar nanti, mari kita pergi bersama polisi, jadilah saksi bagi iman kita dan mencapai kemartiran.”

Umat Katolik setuju akan permohonan itu. Kepada anak-anaknya sendiri dia berkata, “Bahkan jika kamu diam di sini, kamu tidak dapat lari dari kematian. Daripada kelaparan sampai mati di rumah, akan lebih baik jika mati di penjara di Hanyang. Mati ketika memberi kesaksian di penjara adalah kemartiran sejati.”

Ketika fajar, dia bangun dan menyediakan sarapan bagi polisi. Kepada seorang polisi yang lusuh, dia memberikan pakaian yang bersih. Warga desa dikumpulkan dan ditanyai apakah mereka adalah umat Katolik. Siapapun yang murtad diperbolehkan untuk pergi.

Pagi-pagi benar, Fransiskus dan sekitar 40 orang lainnya, termasuk anak-anak, dikumpulkan dan dibawa ke Seoul. Salah satu perkiraan jumlah mereka semua 100 orang. Fransiskus berjalan di depan, kemudian diikuti oleh para pria, kemudian wanita dan anak-anak. Polisi mengikuti mereka dari belakang. Fransiskus berkata kepada umat Katolik yang kelelahan bahwa seorang malaikat sedang mengukur langkah mereka dengan penggaris emas dan menguatkan mereka dengan memikirkan Yesus di Salib. Pada saat itu adalah puncak musim panas dan suhu panas membuat mereka kesulitan berjalan, terutama bagi wanita dan anak-anak. Di antara orang-orang yang menonton prosesi yang aneh ini terdapat orang-orang yang menghujat dan ada juga yang mengasihani mereka.

Saat mereka tiba si Pintu Gerbang Besar Selatan, orang-orang berteriak kepada mereka, “Kalian orang-orang jahat. Matilah jika kalian mau, namun mengapa kalian membuat anak-anak yang tidak bersalah ini mati bersama kalian?” Pada saat itu hari sudah petang sebelum mereka tiba di penjara.

Pada hari berikutnya, interogasi dilakukan. Komisaris polisi berkata,“Jika kamu ingin mempercayai imanmu, lakukanlah sendiri, jangan menipu orang-orang itu.”

Dengan peringatan ini, Fransiskus menjawab, “Siapapun yang tidak percaya kepada Gereja Katolik akan pergi ke neraka.” Mendorong mereka untuk percaya kepada Gereja Katolik adalah karena kasih, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari neraka. Hakim yang marah memerintahkan agar dia disiksa sampai dia menarik kembali perkataannya dan murtad. Namun dengan berani menahan siksaan walaupun seluruh tubuhnya berdarah dan penuh dengan luka.

Fransiskus mengalami pendarahan berat dan tulangnya telihat, namun dia tetap teguh. Selanjutnya, umat Katolik lainnya dipanggil dan ditanyai. Namun mereka tidak dapat menahan siksaan yang kejam dan akhirnya mereka semua menyangkal agama mereka kecuali tiga orang yaitu Fransiskus, istrinya dan kerabatnya yaitu Emerentia Yi. Katekis Fransiskus Choe merasa sedih karena melihat teman-teman Katoliknya pergi, dan komunitas Gunung Suri berkurang hanya menjadi tiga orang.

Ketika para hakim mengetahui bahwa salah seorang putranya yaitu Thomas Choe Yang-up telah pergi ke Makau untuk belajar teologi, mereka meningkatkan tekanan kepadanya supaya dia menyangkal Allah. Mereka memukuli dia dengan sangat kejam sehingga tulang kaki dan tangannya terlepas. Fransiskus berkata kepada mereka: “Kalian dapat membuat saya untuk tidak makan, namun kalian tidak akan pernah membuat saya untuk menyangkal Allah.” Kemudian dia melanjutkan, “Berani sekali Anda meminta saya untuk mengkhianati Gereja. Perselingkuhan di antara orang-orang biasa dianggap sebagai sesuatu yang salah. Apalagi melakukan pengkhianatan kepada Allah!”

Berdasarkan keterangan para saksi, selama dua bulan, Fransiskus berada di penjara dan tidak ada hari tanpa tanpa disiksa dengan berat sampai seluruh tubuhnya menjadi satu luka yang besar.

Dikatakan bahwa dia dicambuk 340 kali dan dipukuli dengan gada pada tulang keringnya sebanyak 110 kali. Walapun semuanya itu, dia tidak pernah berhenti berdoa dan mewartakan Injil kepada orang di sekitarnya. Suatu hari, untuk memperparah penderitaannya, kepala polisi mengikat seorang perampok yang bengis bersama dia. Perampok itu mencemooh dia dan menendang luka-lukanya. Namun, Fransiskus menahan semuanya tanpa sepatah kata pun, bahkan sampai perampok itu merasa terbujuk dan menyatakan, “Jika ada seseorang yang akan mempercayai Gereja Katolik, mereka harus percaya seperti dia.”

Jika kesabaran dan keberaniannya bukan berasal dari kedalaman imannya kepada Allah, maka dia tidak akan dapat bertahan dari siksaan berat dan kesulitan. Di tengah rasa sakit, kapanpun dia diminta untuk menjelaskan doktrin tentang Allah, Fransiskus dipenuhi oleh sukacita dan dengan senang hati mengajarkan doktrin kepada mereka yang berada di penjara bersama dengannya. Suatu hari, seorang sipir penjara membawa mitra dan jubah Uskup Imbert kepada Fransiskus, kemudian Fransiskus membungkuk dengan hormat, dan dia berkata bahwa dia sedang membungkuk kepada Salib.

Pada tanggal 11 September, Fransiskus dibawa keluar untuk menghadap ke pengadilan lagi dan dia dipukuli dengan gada sebanyak 50 kali, namun itulah siksaan terakhir baginya.

Kembali ke penjara, dia mengetahui bahwa dirinya sedang sekarat, dia berkata kepada teman-teman Katoliknya, “Saya berharap untuk memberikan kesaksian iman dengan mati karena pedang. Namun, kehendak Allah bahwa saya mati di penjara.”

Beberapa jam kemudian pada tanggal 12 September 1839, dia menghembuskan napas terakhirnya. Pada waktu itu, dia berusia 35 tahun. Walaupun kematiannya tidak sedramatis dengan dipenggal, semangatnya masih bersinar sebagai tanda heroik iman yang sejati bagi semua umat beriman.

Istrinya, tidak mampu untuk mengatasi cinta keibuannya kepada anak-anaknya yang masih kecil, dan dia telah setuju untuk murtad, namun kemudian dia segera menyesal akan keputusannya dan menarik kembali pernyataannya. Setelah penderitaannya yang begitu berat, dia dipenggal di Tangkogae pada tanggal 29 Desember 1839 pada usia 39 tahun. Fransiskus dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.

Putra tertua Fransiskus Choe Kyong-hwan yaitu Thomas Choe Yang-up (1821-1861) ditahbiskan menjadi seorang imam di Shanghai pada tahun 1849 dan dia kembali ke Korea. Dia bekerja di Korea selama dua belas tahun dengan bepergian ke desa-desa terpencil di mana tidak ada imam asing yang dapat menjelajahi tempat itu. Dia juga mengumpulkan banyak informasi tentang para martir, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin dan mengirimkannya ke Roma. Buku “Sejarah Gereja di Korea” karangan Claude-Charles Dallet, berutang banyak kepada pekerjaan yang telah dilakukan oleh Pastor Thomas Choe Yang-up pada waktu itu. Terlepas dari sejarah Gereja di Korea, Pastor Choe juga menulis banyak hal tentang kebudayaan, kebiasaan, geografi, sastra dan kesenian Korea, untuk memperkenalkannya kepada khalayak Barat yang lebih luas lagi.

Dia juga membuat buku-buku tentang ajaran Katolik untuk digunakan oleh umat beriman Korea. Kata-kata dari salah satu puisinya menggambarkan apa yang berada dalam pikirannya: “Oh ya, teman-temanku, mari kita mencari rumah sejati kita.”[1]

Referensi