Budaya Minangkabau

kebudayaan etnis Minangkabau

Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di kawasan Provinsi Sumatera Barat dan sekitarnya. berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya. Di Minangkabau sendiri, budaya Minangkabau lazim disebut sebagai adat Minangkabau atau disingkat adat Minang. semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada 3 sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :

    1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
    2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
    3. Sistem Kelarasan Panjang

Sistem Kelarasan Koto Piliang

sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan, yang tak lain adalah gelar pertama bagi raja Pagaruyung yaitu Adityawarman. ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai 'menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun' sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. ciri-ciri rumah Gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.

Sistem Kelarasan Bodi Caniago

sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, yang tak lain adalah saudara laki-laki Adityawarman dari ayah yang lain. sistem adatnya merupakan antithesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut faham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai 'yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi'. sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. cirinya tampak pada lantai rumah Gadang yang rata.

Sistem Kelarasan Panjang

sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo Nan Bamego-mego. dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam nagari yang sama. sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.

Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis lagi.

Referensi

    1. AA Navis, Alam terkembang jadi Guru, Bandung, 1982