Keramik putih Joseon

Revisi sejak 28 Desember 2022 01.23 oleh Arya-Bot (bicara | kontrib) (Pranala luar: clean up)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Joseon baekja atau keramik putih Joseon adalah jenis keramik berwarna putih yang awalnya diproduksi pada masa Dinasti Joseon (1392-1910) di Korea.[1][2] Kemunculan keramik putih Joseon dikaitkan dengan penyebaran paham Konfusianisme secara luas sebagai ideologi negara yang menolak Buddhisme setelah kejatuhan Dinasti Goryeo. Pihak kerajaan Joseon mengagungkan warna putih sebagai perlambang Konfusianisme dan menggunakan keramik putih sebagai perabot penting dalam lingkungan mereka.[1] Keramik putih kemudian menjadi barang pecah belah yang paling banyak diproduksi dan diminati di periode Joseon.[1]

Keramik putih Joseon
Keramik putih Joseon di Museum Nasional Korea
Nama Korea
Hangul
조선백자
Hanja
Alih AksaraJoseon baekja
McCune–ReischauerChosŏn paekcha

Sejarah

sunting

Di awal periode Dinasti Goryeo (935-1392), saat keramik hijau masih umum dipergunakan, keramik putih hanya diproduksi dalam jumlah kecil.[3] Semenjak kejatuhan kaum penguasa Goryeo pada tahun 1392, Konfusianisme mengganti Buddhisme sebagai ideologi dan keramik hijau yang sebelumnya disukai mulai ditinggalkan.[3]

Pemerintahan Joseon melakukan usaha khusus untuk melindungi produksi dan pengelolaannya. Lama kelamaan masyarakat Joseon mulai menggunakan jenis keramik baru ini secara luas dalam kehidupan mereka.[3] Karena besarnya dukungan pemerintah, produksi keramik putih mengalami pertumbuhan pesat.[3]

Sejarah keramik putih dapat dibagi menjadi tiga periode.[3] Periode pertama, yang dimulai dari pendirian Dinasti Joseon pada tahun 1392 sampai abad ke-17 dimana keramik corak tatahan diproduksi sementara dan kemudian menghilang.[3] Lalu keramik corak biru (cheonghwa) diciptakan dengan memodifikasi gaya awal keramik Cina untuk disesuaikan dengan gaya Korea.[3] Di periode kedua, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18, muncul keramik yang dilukis dengan glasir coklat dan menjadi terkenal di awal abad ke-18.[3] Keramik corak merah juga muncul pada periode ini.[3] Pada periode ketiga, dari abad ke-18 sampai abad ke-19, keramik putih mulai diproduksi secara besar-besaran, tetapi kualitasnya semakin menurun.[3] Keramik corak biru, sebagian diglasir biru-kobal juga terkenal di periode ini.[3]

Keramik putih bersih tanpa corak sebagian besar diproduksi di awal periode.[3] Keramik corak tatahan terkenal dengan pola bunga lotus, bunga-bungaan, tanaman dan awan.[3] Teknik tatahan serupa dengan teknik sanggam pada keramik hijau.[3]

Dari periode kedua dan seterusnya, desainnya kadang kala diukir dalam bentuk relief dan kemudian, cara ini beserta pola ukiran semakin banyak digunakan.[3] Motif terkenal pada periode ini adalah tanaman bambu dengan bunga plum, bambu dengan pohon cemara, seruni, simbol-simbol agama Buddha dan umur panjang, awan, binatang bertuah, anggur, anggrek, ikan, kepa, kepiting dan burung.[3]

Warna-warna keramik putih ditentukan oleh tanah liat, glasir dan metode pengeringan. Warna putih keramik putih bervariasi berdasarkan periode produksinya.[3] Pada abad ke-15 warnanya putih susu, putih salju pada abad ke-16, putih keabu-abuan pada abad ke-17 dan putih kebiruan pada abad ke-18 dan 19.[3] Biasanya permukaan keramik putih didekorasi menggunakan teknologi yang beragam untuk meningkatkan raut kecantikannya.[3] Keramik putih diklasifikasikan berdasarkan teknik pendekorasian menjadi keramik putih-bersih, keramik putih corak tatahan, keramik putih corak biru, keramik putih glasir coklat-besi dan keramik putih glasir merah-tembaga.[3]

Pada tahun 1590-an, Jepang menginvasi Korea dan mengakibatkan pada hancurnya ekonomi dan tatanan masyarakat Joseon, termasuk perkembangan keramik putih.[4] Penyerbu membunuh dan menculik ribuan seniman keramik Korea guna mengajarkan orang Jepang cara membuat keramik.[4] Industri keramik Korea rusak dan mengakibatkan terjadinya penyederhanaan desain corak dan penurunan keindahan dari segi pengglasiran.[4]

Seniman keramik Korea antipati terhadap pengaruh Dinasti Qing, dan mereka tidak mau mengikuti tren keramik bercorak warna yang populer di Cina namun kembali pada inti dari keramik putih dan memfokuskan pada pengembangannya yang lebih serius.[4] Nilai-nilai Konfusianisme yang menghargai kejujuran dan kesederhanaan dijunjung tinggi oleh kaum bangsawan dan ilmuwan Joseon sehingga membentuk latar belakang kesenian Joseon, terutama tertuang dalam bentuk kerajinan keramik putih yang merefleksikan nilai-nilai tersebut melalui kehampaan dan dekorasi yang minimal.[4]

Proses pembuatan

sunting

Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan dari keramik hijau menjadi keramik putih saling berkaitan.[3] Kaolin yang digunakan untuk membuat keramik putih memiliki tingkat kemurnian yang lebih baik.[3] Selain itu, temperatur pembakarannya lebih tinggi, yakni 1300˚C, dibandingkan temperatur pembakaran keramik hijau (1.270-80℃).[3] Glasir yang digunakan pun lebih stabil sehingga teknik membuat keramik putih lebih baik dibanding keramik hijau.[3]

Warna putih dan pengaruh Konfusianisme

sunting

Pemilihan putih untuk warna keramik pada masa Joseon didasarkan pada beberapa alasan.[3] Pertama adalah berkembangnya budidaya tanaman kapas untuk membuat pakaian yang dibawa dari Cina pada masa Goryeo oleh pejabat Mun Ik-jeom.[3] Pada abad ke-15, tanaman ini mulai ditanam secara besar-besaran untuk memenuhi permintaan sandang rakyat.[3] Sejak zaman kuno bangsa Korea dikenal sebagai "bangsa berbaju putih" karena suka mengenakan pakaian warna putih.[3] Kecenderungan ini semakin bertambah setelah produksi kain secara besar-besaran memungkinkan.[3] Kedua, Paham Neo-Konfusianisme yang dianut golongan bangsawan Joseon mengagungkan putih sebagai warna yang mencerminkan kesederhanaan dan kemurnian.[3] Popularitas keramik putih pada masa ini berhubungan erat dengan ideologi wangsa kerajaan yang mengagungkan warna putih.[3]

Pusat produksi

sunting

Awalnya tungku yang memproduksi keramik putih sebagian besar terkonsentrasi di sekitar wilayah ibu kota, di Gwangju (Gyeonggi), Gunung Gwanak dan Gunung Bukhan, tetapi akhirnya menyebar ke berbagai provinsi.[3] Namun, Gwangju yang merupakan tungku istana kerajaan, masih terus beroperasi sebagai pusat produksi keramik putih.[3]

Pada tahun 1469, istana Joseon mengelola beberapa tungku penghasil keramik yang dinamakan Bunwon di Gwangju untuk memproduksi perabot keramik putih untuk istana.[1][5] Pada abad ke-16, perabot keramik putih yang diproduksi di sini tidak hanya untuk keperluan istana, tetapi juga mulai dipasok untuk kantor-kantor pemerintahan dan kaum-kaum bangsawan.[1] Berbagai pabrik keramik putih dibangun di seluruh negeri untuk memenuhi permintaan yang meningkat pesat, tetapi kualitasnya tidak sebanding dengan produksi Bunwon.[1] Perkembangan pesat keramik putih di Korea menyebabkan menurunnya minat akan keramik buncheong yang sebelumnya populer pada abad ke-15 dan 16.[1] Bunwon tetap beroperasi sebagai pemasok keramik putih sampai tahun 1884[1]

Pada Survey Lapangan dari tahun 1998-2000, Museum Provinsi Gyeonggi mencatat terdapat 300 situs tungku di wilayah Gwangju.[5] Tungku-tungku ini beroperasi dari sejak sebelum pembentukan tungku istana pada tahun 1469 sampai privatisasinya pada tahun 1884.[5] Terdapat 7 buah situs tungku yang diekskavasi yakni situs Usan-ri No. 2, 9, dan 17; Doma-ri No. 1; Geoneop-ri No. 2; Beoncheon-ri No. 5 dan 9; Seondong-ri No. 2 dan 3; Songjeong-dong No. 5 dan 6; serta Bunwon-ri No. 2.[5]

Geumsa-ri

sunting

Setiap produk keramik yang dihasilkan tiap tungku berbeda-beda menurut warna, gaya dan dekorasi.[2] Terdapat beberapa tungku istana yang berada di Geumsa-ri (Desa Geumsa), Gwangju, yang beroperasi dari tahun 1726-1751.[2] Perabotan dari tungku ini dikenal sebagai Keramik Geumsa-ri, yang dianggap sebagai jenis keramik terbaik mutunya pada masa akhir Dinasti Joseon (1600-1910).[2]

Corak warna dan dekorasi

sunting

Corak warna keramik putih pada awal abad ke-15 adalah putih yang diberi cat biru kobal dan lebih dihargai daripada keramik putih polos karena langka dan kerumitan cara pembuatannya.[1] Dari abad ke-17 dan selanjutnya, keramik putih bercorak coklat menjadi terkenal, terutama pada masa harga kobal melonjak dan kualitasnya menjadi tidak seimbang.[1] Pada abad ke-18, keramik putih dengan corak merah menjadi barang mahal dikarenakan kerumitan metode membuatnya. Keramik putih corak merah berciri-khas merah menyala dan corak yang segar.[1]

Salah satu kategori keramik putih yang disukai oleh istana kerajaan dan kaum bangsawan adalah keramik putih tak berdekorasi, yang diproduksi dalam beberapa tahap di periode Joseon.[1] Pada abad ke-15 dan 16, perabotan piring, mangkuk, botol dan guci dalam bentuk yang sederhana namun elegan lebih banyak diproduksi.[1] Perabotan ini digunakan khusus untuk perabot meja, keperluan upacara dan ritual penguburan.[1] Contohnya adalah guci tali pusar, biasanya digunakan untuk mengubur tali pusar dari pangeran atau putri.[1] Pada abad ke-18, perabot keramik yang paling berkembang adalah Guci Bulan (Dal Hangari).[1] Kemudian pada abad ke-19, dekorasi tempat kuas dan keramik berwarna lain muncul sebagai perlengkapan kaum ilmuwan.[1] Kaum bangsawan menyukai keramik putih polos yang merefleksikan bentuk sederhana khas pemikiran Neo-Konfusianisme.[1] Filosofi dan estetika ini membuat kurangnya desain keramik yang multicorak ataupun glasir pada tahun-tahun berikut, tetapi gaya tersebut terkenal di Cina dan Jepang.[1]

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s (Inggris)In Pursuit of White: Porcelain in the Joseon Dynasty, 1392–1910, metmuseum. Diakses pada 29 April 2010.
  2. ^ a b c d Jeon Seung-Chang (2002). "Blue and White Faceted Porcelain Bottle with Bamboo Design" (PDF). Koreana (dalam bahasa Inggris). 16 (1). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 1 Mei 2010. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag (Inggris)White Porcelain with Inlaid Lotus Scroll Design, koreana. Diakses pada 28 April 2010.
  4. ^ a b c d e Jeon Seung-Chang (2005). "Korean Ceramics Seek to Capture the Essence of Nature" (PDF). Koreana (dalam bahasa Inggris). 19 (2). Diakses tanggal 1 Mei 2010.  [pranala nonaktif permanen]
  5. ^ a b c d Kang Kyung-sook (2005). "Gwangju; Home of Korea Brilliant Ceramic Culture" (PDF). Koreana (dalam bahasa Inggris). 9 (5). Diakses tanggal 29 April 2010.  [pranala nonaktif permanen]

Pranala luar

sunting