Terowongan Neyama

terowongan di Indonesia
Revisi sejak 10 Januari 2023 09.50 oleh Ardfeb (bicara | kontrib) (Terowongan Neyama 1: penambahan info)

Terowongan Tulungagung Selatan atau biasa disebut sebagai Terowongan Neyama, adalah sebuah terowongan drainase yang terletak di Besuki, Tulungagung, Jawa Timur. Terowongan ini berfungsi untuk mengalirkan sebagian air Sungai Ngasinan, Sungai Tawing, dan Sungai Dawir ke Samudra Hindia, agar tidak membentuk rawa dan menyebabkan banjir di Tulungagung bagian selatan.

Salah satu mulut terowongan

Dalam bahasa Jepang, 'Neyama' (根山) berarti 'gunung akar'. Neyama kemungkinan berasal dari terjemahan yang dibuat oleh tentara Jepang untuk menyebut bukit yang ditembus oleh terowongan ini, yakni Tumpak Oyot yang dalam bahasa Jawa berarti 'bukit akar'.[1]

Sejarah

Awal mula

Hingga masa pendudukan Belanda di Indonesia, terdapat dua rawa di Tulungagung bagian selatan, yakni Rawa Bening dan Rawa Gesikan yang total luasnya mencapai 3.000 hektar. Di musim hujan, luas dari dua rawa tersebut dapat mencapai 25.000 hektar,[2] akibat meluapnya Sungai Ngasinan, Sungai Tawing, dan Sungai Dawir, sehingga oleh masyarakat setempat disebut sebagai wilayah campur darat. Meluapnya tiga sungai tersebut antara lain disebabkan karena Sungai Brantas juga mengalami sedimentasi akibat letusan Gunung Kelud, sehingga air dari tiga sungai tersebut tidak dapat ditampung oleh Sungai Brantas. Angkatan Laut Belanda pun memanfaatkan dua rawa tersebut sebagai markas bagi pesawat terbang laut miliknya.

Pada tahun 1916, telah muncul gagasan untuk mengalirkan air dari tiga sungai tersebut ke Samudra Hindia guna mengatasi banjir di Tulungagung bagian selatan, tetapi belum dapat terlaksana. Pada tahun 1939, perencanaan untuk mengatasi banjir mulai disusun oleh seorang insinyur berkebangsaan Belanda, yakni H. Vlughter. Ia lalu menghasilkan perencanaan berupa mengalirkan sebagian air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Rawa Bening dan Rawa Gesikan, agar tidak semuanya mengalir ke Sungai Brantas. Dengan mengubah aliran dari dua sungai tersebut, banjir yang disebabkan oleh dua sungai tersebut diharapkan dapat berkurang, sehingga memungkinkan pembukaan lahan pertanian baru dan mengurug Rawa Gesikan secara alami dengan memanfaatkan sedimen yang terbawa oleh dua sungai tersebut.[2]

Infrastruktur yang kemudian dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mewujudkan rencana dari tersebut antara lain Bendung Widoro, Sudetan Munjungan untuk menghubungkan Sungai Tawing dan Sungai Ngasinan, Bendung Sumbergayam, Sudetan Ngasinan-Ngrowo, Pintu Air Cluwok, dsb. Setelah selesai dibangun, semua infrastruktur tersebut ternyata belum dapat mengurangi banjir, antara lain karena sedimentasi yang terjadi jauh lebih cepat dari yang direncanakan. Akibatnya, bagian hulu Pintu Air Cluwok pun dipenuhi oleh sedimen. Selain itu, sedimen yang mengendap di Sudetan Ngasinan-Ngrowo juga mencapai ketinggian 4 hingga 5 meter, sehingga memperkecil kapasitas pengaliran dari sudetan tersebut. Sedimentasi yang terjadi di Rawa Gesikan juga terjadi lebih cepat dari yang direncanakan, sehingga kapasitas tampung dari rawa tersebut malah berkurang. Di musim hujan, Rawa Gesikan dan Rawa Bening pun dapat meluas hingga 28.000 hektar, padahal sebelumnya hanya mencapai 25.000 hektar.[2]

Terowongan Neyama Lama

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Residen Kediri saat itu, Enji Kihara, menggagas pembangunan terowongan untuk mengurangi luas rawa dengan cara mengalirkan sebagian air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Samudra Hindia. Terowongan diharapkan memungkinkan penanaman padi di lahan yang sebelummya rawan menjadi rawa, sehingga mendukung pemenuhan makanan bagi tentara Jepang.[3][4]

Terowongan lalu mulai dibangun pada tanggal 1 Februari 1943 dengan anggaran biaya sebesar 750 ribu gulden, yang mana 300 ribu gulden di antaranya disediakan oleh pemerintah Karesidenan Kediri, sementara sisanya disediakan oleh pemerintah pendudukan Jepang.[1] Tiap kepala desa setempat diberi tugas untuk menyediakan pekerja dalam jumlah tertentu, sehingga terkadang kepala desa juga harus membujuk warga agar jumlah pekerja dapat terpenuhi. Tiap pekerja mendapat upah bersih sebesar 0,14 gulden per hari, sementara mandor mendapat upah bersih sebesar 0,38 gulden per hari. Selama sembilan bulan pertama, pekerja yang dikerahkan untuk pembangunan terowongan rata-rata sebanyak 6.666 orang per hari. [4]

Sebelum terowongan mulai dibangun, dilakukan pembangunan saluran air di kaki bukit dengan menggunakan peralatan sederhana. Pada akhir bulan September 1943, telah berhasil dibangun saluran air sepanjang 4 kilometer.[4] Untuk meledakkan batu-batu kapur di kaki bukit, kemudian digunakan sejumlah bahan peledak yang disisihkan dari proyek pengembangan tambang batu bara di Bayah. Pemerintah Karesidenan Kediri lalu juga meminjam mesin bor dan kompresor udara dari Ishihara Sangyo. Pada bulan Oktober 1943, terowongan pun mulai dibangun. Pada tanggal 27 April 1944, Jawashinbun memberitakan bahwa Pemerintah Karesidenan Kediri bertekad menyelesaikan pembangunan terowongan pada bulan Juni 1944 dengan jumlah pekerja rata-rata 740 orang per hari.[4]

Selama proses pembangunan terowongan, puluhan pekerja meninggal, antara lain karena beratnya beban kerja, beratnya medan kerja, dan terjangkit malaria.[1] Meninggalnya puluhan pekerja tersebut lalu menjadi salah satu pemicu terjadinya Pemberontakan PETA Blitar pada tanggal 14 Februari 1945.[4] Setelah selesai dibangun pada bulan Juli 1944, terowongan sepanjang 800 meter tersebut tidak dirawat dengan baik, sehingga akhirnya runtuh dan hanya menyisakan sebagian terowongan di bagian belakang.[3]

Terowongan Neyama 1

Pada tahun 1956, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Timur mengusulkan pembangunan Parit Raya untuk mengalirkan air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Samudra Hindia. Pemerintah Indonesia lalu menunjuk Nippon Koei untuk melakukan survei. Nippon Koei kemudian menyimpulkan bahwa untuk menembus bukit yang ada di Tulungagung bagian selatan, terowongan lebih cocok untuk dibangun daripada saluran air, karena tidak perlu menggali tanah dalam jumlah yang banyak. Nippon Koei pun mengusulkan pembangunan terowongan berdiameter 7,2 meter sepanjang 1.000 meter untuk mengalirkan sebagian air Sungai Ngasinan dan Sungai Tawing ke Samudera Hindia, agar tidak semuanya mengalir ke Sungai Brantas.[3]

Terowongan lalu mulai dibangun pada tahun 1959 oleh Kajima dengan menggunakan dana pampasan perang dari Jepang sebanyak US$ 2 juta. Pada tanggal 31 Agustus 1960, Asahi Shimbun memuat berita berjudul "Successful Reparations Work in Indonesia" yang menyatakan bahwa terowongan telah selesai digali pada tanggal 3 Agustus 1960 dan mulai dilapisi dengan beton. Terowongan direncanakan selesai pada bulan Maret 1961. Asahi Shimbun juga menyatakan bahwa harga tanah di sana telah naik tiga kali lipat.[3]

Setelah terowongan, Parit Raya, Bendung Bendo, dan Pintu Air Kendal selesai dibangun pada tahun 1961, luas dua rawa tersebut di musim hujan berkurang menjadi hanya 13.600 hektar, padahal sebelumnya dapat mencapai 28.000 hektar.[2] Di musim kemarau, luas dua rawa tersebut juga berkurang dari 3.000 hektar menjadi 1.500 hektar. Hanya setahun setelah terowongan selesai dibangun, hasil pertanian di sana pun meningkat sebesar US$2 juta. Malaria juga hampir tidak pernah terjadi lagi, sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Pejabat pemerintah Indonesia pun terkesan dengan teknologi yang digunakan pada pembangunan terowongan, sehingga kemudian mengarah pada pengembangan sejumlah infrastruktur lain di sepanjang Sungai Brantas.[3]

Setelah terowongan selesai dibangun, masyarakat juga menjadi berminat untuk makin memperkecil luas Rawa Bening dan Rawa Gesikan. Secara swadaya, masyarakat pun membuat saluran-saluran air untuk menghubungkan dua rawa tersebut ke terowongan, sehingga pada tahun 1976, telah tergali saluran drainase sepanjang 20 kilometer. Dengan selesainya pembangunan saluran drainase tersebut, luas dua rawa tersebut di musim hujan menjadi hanya 8.000 hektar, yang mana 4.120 hektar di antaranya hanya tergenang air selama 14 hari per tahun, sehingga oleh masyarakat juga dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.[2]

Terowongan Neyama 2

Untuk mengeringkan rawa seluas 1.500 hektar yang masih tersisa dari pembangunan terowongan pertama, pemerintah Indonesia kemudian merencanakan pembangunan Parit Agung dan terowongan kedua[5] untuk mengalirkan sebagian air Sungai Dawir ke Samudra Hindia. Terowongan lalu mulai dibangun oleh Brantas Abipraya pada bulan Mei 1981 dengan menggunakan dana pinjaman dari ADB sebesar US$ 45,263 juta dan anggaran pemerintah Indonesia sendiri sebesar Rp 3,485 milyar. Pada bulan Oktober 1986, parit sepanjang 24,2 kilometer dan terowongan sepanjang 1.200 meter pun selesai dibangun, beserta 10 unit jembatan untuk memudahkan masyarakat dalam menyeberangi parit.[6]

Untuk memanfaatkan air yang mengalir melalui terowongan kedua, pemerintah Indonesia lalu merencanakan pembangunan sebuah PLTA berkapasitas 36 MW, yang akhirnya mulai dibangun pada bulan April 1989 dengan menggunakan dana pinjaman dari pemerintah Austria sebesar US$ 28,2 juta dan anggaran pemerintah Indonesia sendiri sebesar Rp 6,612 milyar. PLTA yang dapat membangkitkan listrik hingga 184.000 MWh per tahun tersebut pun selesai dibangun pada bulan Desember 1991, dengan sebagian besar permesinannya dipasok oleh Voestalpine asal Austria.[6]

Referensi

  1. ^ a b c Isnaeni, Hendri (14 April 2012). "Terowongan Neyama Romusha". Historia. Diakses tanggal 23 Oktober 2022. 
  2. ^ a b c d e "Proyek Drainasi Tulungagung" (PDF). Clapeyron. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil UGM. 1983. Diakses tanggal 8 Januari 2023. 
  3. ^ a b c d e Development of the Brantas River Basin (part 4) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 44 – 48. 
  4. ^ a b c d e Sato, Shigeru (1994). War, Nationalism and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945 (dalam bahasa Inggris). New York: M.E. Sharpe. ISBN 1-56324-544-2. 
  5. ^ Development of the Brantas River Basin (part 7) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 113. 
  6. ^ a b Development of the Brantas River Basin (part 10) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998.