Sejarah Indramayu

Revisi sejak 12 Januari 2023 14.07 oleh Wirantaka (bicara | kontrib) (Perapihan paragraf dan sisipan arsip surat)

Catatan sejarah

Pelabuhan Cimanuk cikal bakal Kota Dermayu

Nama Indramayu selalu dikaitkan dengan kisah Wiralodra dan Nyi Indang Darma Ayu. Dalam historiografi tradisional nama Indramayu sendiri diambil dari nama Nyi Indang Darma Ayu atau Nyi Darma Ayu yang dibaca menjadi Darmayu.[1] Secara umum orang Indramayu mengucapkannya Dermayu. Sementara kata Darmayu yang berubah menjadi Indramayu disebabkan penulisan para juru tulis Belanda pada abad ke-17 yang menambahkan kata in- (Inland) didepan nama Dermayu yang berarti di Dermayu atau merujuk lokasi asli tanah Dermayu yang terletak di pedalaman tanjung Cimanuk. Dalam peta tahun 1610 tanjung ini ditulis dengan Cust Dermayo (Pesisir Dermayu)[2]. Dalam peta-peta asing letak atau posisi tanah yang bernama Dermayu berada di sebelah barat Sungai Cimanuk, diantara kawasan yang bernama Sindang dan Terusan. Sindang mengandung arti tempat persinggahan sementara sebelum menuju dermaga ataupun pelabuhan atau juga tempat berlabuh kapal-kapal.  Kawasan Sindang kuno memang menjangkau desa-desa toponimi pelabuhan yaitu Desa Pagirikan-Pasekan-Pabean berada dalam kawasan Kecamatan Sindang dimana pada tahun 2006 sebagian wilayah Kecamatan Sindang ini dimekarkan menjadi Kecamatan Pasekan (Zulkarnaen, dkk., 2022 : 126).

Namun penulisan Dermayu menjadi Indermayu atau Indramayu pada kenyataanya tidak selalu konsisten. Hal ini terlihat dalam Dagh-Register VOC dari tahun 1632-1666 yang menulis secara acak nama“Dermayo, Dermaijoe, Indra Maijo, Indermaijoe, Indermayoe, Durramayo”.  De Jonge, dalam De Opkomst 1886 menulisnya dengan Indramajoe. De Haan dalam De Preangers…1910-1912 menulisnya Indramajoe, Indermaijoe. Sementara itu Dalam Historische en Geographisch Worden Boek disebut Indramajoe, sedangkan dalam Worden Boek Nederland van Indie-Aardrijskund (1917) Indramayu disebut dengan Darmajoe of Dremajoe (Nurlelasari, 2016: 39-40).

Selanjutnya mengenai arti dan makna dari nama Darmayu/Dermayu, kita bisa mengambil pendapat W.J.S. Purwadarminta yang menyatakan bahwa kata Darma berasal dari bahasa Kawi yang memiliki tiga arti yakni kewajiban, keutamaan, atau penggawae becik. Atau wewarah atau angger-angger, atau papan suci, candi, atau kuburan. Sedangkan kata ayu dalam bahasa Kawi berarti becik, selamat, atau reja. Sementara menurut Bahasa Jawa Kuno ayu berarti becik rupane. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Darma Ayu memiliki arti kewajiban yang utama atau tugas suci atau mission sacree (Dasuki, 1977: 107).  

Selain berdasar pendapat di atas, Zulkarnaen dkk., (2022) mengutip isi laporan sensus petugas VOC tahun 1686 untuk distrik-distrik Priangan dimana Indramayu termasuk didalamnya. Pada periode tersebut nomenklatur lokasi pemerintahan Ngabehi Wiralodra (era Wirapati 1682-1702) ditulis dengan Indramajoe off Sindangh atau bisa diartikan dengan Sindang atau Dermayu. Berangkat dari nama Sindang Darmayu ini kemudian muncul hipotesa mengenai nama tokoh legenda dalam naskah-naskah babad yaitu Nyi Indang Darma Ayu. Nyi Indang Darma Ayu merupakan bentuk personifikasi wilayah kekuasaan dinasti Wiralodra. Kemudian nama tersebut disamarkan oleh para pujangga sebagai Si Indang Darma Ayu atau Nyi Indang Darma Ayu. Hal ini merupakan penyesuaian kaidah keindahan sastra yang dimunculkan seorang pujangga dalam menggambarkan keindahan alam dalam Bahasa pujasatra yang penuh sanepan dan legitimasi. Intepretasi tersebut juga diperkuat informasi dari prasasti (papan tanda) pemugaran Makam Wiralodra oleh Trahnya pada tahun 1965 yang bertuliskan “Pesarean Raden Bagus Aria Wiralodra I, Adipati Indangdarma Ayu ke-1”. Jadi Indangdarma Ayu adalah nama wilayah atau tempat kekuasaan Wiralodra, dimana para juru tulis VOC menulisnya dengan “Indermaijoe”.

Pemberian nama Dermayu sendiri hanya dapat diketahui dari tradisi lisan masyarakat yang kemudian ditulis dalam historiografi tradisional Babad Dermayu. Selain dari babad tersebut, belum ada informasi lain yang menjelaskan asal-usul nama Indramayu. Informasi babad tersebut yang menerangkan asal-usul nama Dermayu khsususnya sang inisiator yaitu Kiai Wiralodra, juga merupakan bentuk legitimasi yang dilakukan oleh pujangga. Merujuk dari penemuan terbesar di tahun 2019 yaitu arsip VOC mengenai surat tugas Kiai Ngabehi Wiralodra (Wiralodra I ayah dari Wirapati) ditahun 1678 untuk melanjutkan jabatan sebagai Bupati Indramayu jelas tidak sesuai dengan klaim Babad tersebut[3]. Hal ini dikarenakan dalam arsip VOC yang lebih tua yaitu Dagh-Register 1630-an telah disebut wilayah Dermayu.  Juga dalam Peta tahun 1598 telah ada nama Dermayu[4].


Pandangan Bangsa Asing

Bangsa asing pertama yang mencatat keberadaan wilayah Indramayu adalah para pelaut dari Cina. Sumber-sumber Tionghoa menyebutkan hal tersebut antara abad ke-15 hingga abad ke-17. Pada buku Shun-feng siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) sekitar tahun 1430 (Hsiang Ta (ed.), 1982:66-68; Hekuen, 1999:107) menyebut wilayah tersebut sebagai Tanjung Ciao-c’iang-wan untuk daerah yang saat ini dipahami sebagai Tanjung Indramayu. Ciao-c’iang-wan adalah pengucapan lidah Tionghoa, bisa jadi yang dimaksud adalah Cimanuk atau bahkan Bengawan (Cibengawan) mengingat pada periode tahun 1800-an pada saat dibentuk Keresidenan Cirebon terdapat Kabupaten Bengawan yang merujuk pada wilayah timur Cimanuk. Adapun keterangan dari buku Shun-feng siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) sebagai berkut :

“Dalam pelayaran ini dari Shun-t’a (=Sunda) ke timur sepanjang pantai utara Jawa, kapal-kapal menuju arah 97,5 derajat selama tiga penjagaan untuk sampai ke gunung Cia-liu-pa (=Kalapa); lalu mereka menyusuri pantai Ciao-c’iang-wan (lewat Tanjung Indramayu), dan menuju arah 187,5 derajat selama empat penjagaan sampai tiba di Che-li-wen (=Cirebon). Kapal-kapal dari Banten menuju arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melalui Cha-liu-pa (=Kelapa), Ciao-c’iang-wan (=Tanjung Indramayu) dan Che-li-wen (=Cirebon)... (Heuken, 1999:107)”

Bangsa asing berikutnya adalah orang-orang Portugis. Pada saat itu mereka sudah mengenal nama Cimanuk dengan sebutan Chiamo atau Chenano. Seperti diungkapkan Joao de Barros (1496-1570) dalam buku Da Asia, Decada IV, yang diedit Joao Baptista Lavanha pada tahun 1615 di Madrid setelah Barros meninggal (1570). Tulisannya juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Crawfurd yang diterbitkan pada tahun 1971 dan Th. St. Raffles yang diterbitkan pada tahun 1975 (Heuken, 1999: 93-99).

Barros menuliskan, sepertiga Pulau Jawa yang meliputi bagian baratnya disebut Sunda, yang akan kami uraikan itu. Dan penduduk menganggapnya sebagai pulau tersendiri, yang terpisahkan dari Jawa oleh sebuah sungai yang kurang dikenal oleh pelaut kami. Sungai itu mereka sebut Chiamo atau Chenano (Cimanuk).

Penyebutannya bahkan menggambarkan seolah-olah antara Jawa dan Sunda adalah pulau tersendiri yang terpisah, dan pemisahnya adalah sungai Cimanuk. Disebutkan pula, Cimanuk memotong seluruh pulau tersebut dari laut ke laut di bagian ketiga seperti disebut, sehingga apabila orang Jawa menggambarkan negeri mereka sendiri, mereka berkata, bahwa terjalin ke barat dengan Pulau Sunda. Sungai Cimanuk tersebut memisahkan kedua negeri itu.

Sebelumnya, disebutkan pula Chiamo (Cimanuk) sebagai pelabuhan yang terletak di ujung Pulau Sunda itu. Sedangkan Pulau Sunda sendiri digambarkan sebagai negeri yang berada di pedalaman dibandingkan Jawa. Sunda memiliki enam pelabuhan terkemuka, termasuk pelabuhan Cimanuk.

“Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, yakni Cimanuk (Chiamo) di ujung pulau ini, Jakarta (Xacatara) dengan nama lain Karawang (Garavam), Tangerang (Tangaram), Cigede (Cheguide), Pontang (Pondam) dan Banten (Bintam). Inilah tempat-tempat yang ramai lalu-lintas akibat perniagaan dengan Jawa seperti pula dengan Malaka dan Sumatera (Heuken 1999:77).”


Nama Cimanuk untuk kawasan yang sekarang bernama Indramayu juga sudah dikenal orang Portugis lainnya, seperti Tome Pires yang menuliskan Cimanuk dengan sebutan Chemano, yakni pada buku “Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina” (Cortesao, 2015). Pires menjelaskan, pelabuhan Cimanuk berada di bawah kekuasaan Raja Sunda. Dengan kata lain, pada saat itu Cimanuk merupakan bagian dari Negeri Sunda, sebab pada bagian lain Pires juga menyebutkan adanya Negeri Jawa yang dimulai dari Cirebon (Choroboam) hingga Blambangan (Bulambaum).

Pendapatnya hampir serupa dengan Barros, bahwa sungai Cimanuk merupakan batas antara Kerajaan Sunda dan Jawa. Menurutnya, Sunda dipimpin Raja Sunda. Ia berkuasa atas Kota Dayo yang besar, kota, tanah, dan pelabuhan Banten (Bantam), Pomdam (Pontang), Cigede (Cheguide), Tangerang (Tamgaram), Kelapa (Calapa), Cimanuk (Chemano). Bahasa yang dipakai di Sunda bukan bahasa Jawa, begitu juga orang-orang Jawa tidak memakai bahasa Sunda, padahal wilayah mereka hanya dipisahkan oleh Sungai Cimanuk.

Penggambaran Pires agak detail tentang sungai Cimanuk berdasar penuturan dan apa yang dipercayai masyarakat saat itu, sebagai berikut:

“Pada zaman dahulu, Tuhan telah menciptakan sungai untuk memisahkan Pulau Jawa dari Kerajaan Sunda dan begitu pula sebaliknya. Sungai itu ditumbuhi pohon di sepanjang aliran, dan kabarnya pohon-pohon di masing-masing sisi memiliki cabang yang menyentuh tanah dan condong ke arah masing-masing negeri. Pohon-pohon ini berukuran besar dan menjulang tinggi dengan cantik (Cortesao, 2015: 233).”


Adanya Negeri Sunda dengan Negeri Jawa, atau Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Jawa, merupakan catatan Tome Pires yang cukup membentang tentang keberadaan pulau tersebut. Selain penggambaran tentang Negeri Sunda, dalam tulisannya pada bagian lain (2015: 243) dia juga menyebutkan Negeri Jawa, yang merupakan negeri sangat besar, luasnya mencapai 400 league dimulai dari Cimanuk, membentang hingga Blambangan. Raja Jawa adalah seorang pagan[5] dengan nama Batara Vojyaya atau Batara Vigiaja. Memiliki keterkaitan dengan dengan Batara Wijaya (Brawijaya). Sebutan ini berkaitan dengan Kerajaan Majapahit atau Kerajaan Jawa. Selain hal tersebut Pires menginformasikan bahwa sebagian para penguasa di pesisir utara dari Negeri Jawa ini telah beragama Islam atau disebut Moor[6] oleh Pires dimulai dari Cirebon hingga Demak sebagai pemimpin para Pate (Dipati) pesisir yang Islam.


Kota Pelabuhan Cimanuk-Dermayu

Pada masa akhir abad ke-15 dan masa awal abad ke-16, atau masa akhir Hindu-Buddha dan masa awal Islam di Pulau Jawa, merupakan masa ditemukannya bukti-bukti tertulis maupun arkeologis yang berkaitan dengan wilayah yang kini bernama Kabupaten Indramayu. Abad-abad tersebut merupakan bukti peradaban masyarakat Indramayu sebelum kedatangan Wiralodra pada abad ke-17, yang kemudian menjadi bupati di Indramayu periode 1678-1682[7].

Wilayah yang saat ini bernama Indramayu dilintasi sebuah sungai besar yang bernama sungai Cimanuk. Cimanuk merupakan sebuah sungai yang bagian hulunya dimulai dari Pegunungan Mandalagiri Garut melewati wilayah Sumedang, Majalengka dan berakhir di Indramayu sebagai bagian hilirnya. Informasi menarik diperoleh dari sumber asing yang telah disebutkan di atas yaitu sumber Cina dalam buku berjudul Shun-feng siang-sung pada abad ke-15 (± 1430) menyebutkan -kemungkinan nama kawasan ini- dengan nama Tanjung Ciao-c’iang-wan[8] namun eksistensi sejarahnya secara jelas baru kita temukan melalui catatan Tome Pires pada abad ke-16 tepatnya tahun 1513. Pires mencoba mendeskripsikan kondisi pelabuhan keenam Kerajaan Sunda ini, dengan menyebutnya sebagai Pelabuhan Cimanuk (Chemano)[9]. Artinya nama aliran sungai yang melintasi Kota ini saat itu dijadikan sebagai nama pelabuhan. Selain itu Pelabuhan Cimanuk disebutkan memiliki Seorang Kapten (Syahbandar) beragama pagan yang bekerja atas nama Raja Sunda. Cimanuk juga dijelaskan telah memiliki kota dan perdagangan yang bagus (Cortesao, 2015: 241-242).

Penjelasan tersebut memberi kepada kita sebuah gambaran mengenai sifat kawasan ini yang merupakan kota pelabuhan atau kota pelabuhan sungai dikarenakan jejak lokasi Pelabuhannya berdasar toponim nama-nama desa terletak agak masuk kepedalaman dari muara sungai Cimanuk. Kota pelabuhan sungai juga pernah teridentifikasi pada periode Taruamanegara yaitu lokasi ditemukannya Prasasti Ciareuten dan Telapak Gajah di Pasir Muara (536 M).[10] Hal ini kemudian memberi ruang imajinasi juga interpretasi bahwa selain terdapat sebuah pelabuhan, Cimanuk dilengkapi sebuah struktur pemerintahan kota yang dalam catatan Pires dikendalikan oleh seorang penguasa atau Kapten merangkap sebagai Syahbandar. Para penguasa ini disebut dengan gelarnya prabu[11] dan merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan Raja Sunda yang bergelar sanghyang[12].

Berdasarkan sumber tradisional Sunda-Cirebonan yang dibukukan menjadi naskah Babad Tanah Sunda kemudian dialihaksarakan oleh Sulendraningrat dengan judul Babad Tanah Sunda Babad Cirebon[13], kita menemukan seorang tokoh penguasa Cimanuk lama yang bergelar Prabu. Sumber tradisional tersebut menjadi penghubung atau bahkan sebagai komplemen dari catatan Pires antara tahun 1513 yang menjelaskan kondisi kota-kota pelabuhan di Jawa. Sulendraningrat menuliskan bahwa ketika Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakwan Pajajaran berdiri kemudian ada empat provinsi yang melepaskan diri menjadi wilayah otonom hingga abad ke-14 dan 15, salah satu diantaranya adalah Dermayu atau Indramayu. Disebutkan bahwa penguasa Dermayu saat itu bergelar Prabu Indrawijaya (Sulendraningrat, 1972: 10)[14].

Berdasarkan informasi dari sumber tradisional tersebut maka penguasa Kota Pelabuhan Cimanuk yang dimaksud oleh Pires pada tahun 1513-an bisa jadi adalah Prabu Indrawijaya. Kesamaan gelar prabu dalam Babad Cirebon dengan payboy versi Pires mengindikasikan wilayah hilir Cimanuk pada abad ke-16 masih dalam otoritas Kerajaan Sunda, meskipun sifatnya sudah otonom. Pires menyatakan bahwa Cimanuk merupakan batas Kerajaan Sunda dan Jawa, di Cimanuk telah banyak kaum moor (pengikut Agama Islam). Bisa dipahami bahwa lokasi Kota Pelabuhan Cimanuk era tersebut masih berada di sebelah barat Cimanuk[15] (Kawasan Sindang). Kemudian para pedagang atau masyarakat yang telah beragama Islam kemungkinan besar menempati sisi timur Cimanuk yang pada periode tersebut telah terpengaruh oleh otoritas Cirebon yang telah Islam sejak tahun 1443-an[16].

Para penguasa wilayah atau Kapten bergelar Prabu di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda ini dideskripsikan sebagai tokoh yang sangat penting yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh rakyatnya. Mereka gemar dalam berburu dan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan memelihara kuda-kuda yang bagus (Cortesao, 2015 : 242). Informasi ini sejalan dengan Babad Cirebon yang mengisahkan anak penguasa Cimanuk bernama Satria Indrakusuma yang menggunakan jemparing (panah) dalam mengikuti sayembara Nyi Mas Gandasari (Zaedin, dkk., 2018).

Mengenai Kerajaan Sunda yang kembali menyatukan wilayahnya dengan Galuh dan pusat ibukota pemerintahannya di Pakwan Pajajaran (Bogor saat ini) dalam rentang Abad ke-14 hingga 15 ditengarai pada era Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana Penguasa Sunda Galuh tahun 1371-1475 hingga era cucunya yang bergelar Sri Baduga Maharaja atau Ratu Jayadewata bertahta antara tahun 1482 hingga 1521[17]. Sehingga Pelabuhan Cimanuk atau disebut Tanjung Cimanuk pada tahun 1430 ketika pelaut Cina berkunjung masih berada dalam naungan Prabu Niskala Wastu Kancana dan saat dikunjungi oleh Pires tahun 1513 berada dibawah naungan Sri Baduga Maharaja.

Selanjutnya dalam Babad Tanah Sunda atau Babad Cirebon dituliskan bahwa pada tahun 1528 pasca pasukan gabungan Cirebon-Demak-Kuningan menaklukan Rajagaluh penguasa Dermayu menyatakan tunduk kepada Susuhunan Cirebon dan menyerahkan wilayahnya kepada otoritas Cirebon. Hal ini menandakan penyebaran agama Islam yang saat itu telah besar di daerah pesisir utara jawa mulai dari Cirebon hingga hingga Demak sejak tahun 1443 telah masuk dalam struktur pemerintahan Kota Pelabuhan Cimanuk. Hal yang menarik dari sumber tradisional tersebut adalah penyebutan nama Dermayu atau Indramayu yang merupakan tempat kekuasaan sang Prabu Indrawijaya. Meskipun belum bisa dipercaya sepenuhnya apakah nama itu telah ada sejak era Kerajaan Sunda atau merupakan penyebutan oleh para pujangga pada abad ke-19, namun dalam peta kuno berangka tahun 1598 dan tahun 1601 di Pulau Jawa (Java Mayor) telah ada nama daerah Dermayu (Dermayo)[18]. Peta Mercator yang telah disempurnakan oleh J. Hondius di Amsterdam pada tahun 1606 telah menyebut nama Dermayu (Zulkarnaen dkk., 2022: 50). Pada tahun 1606 J. Hondius hanya menyempurnakan peta mercator yang hidup pada tahun 1512-1594 (Reolofsz, 2016: 31).

Jika kita bersikap kritis terhadap informasi-informasi ini maka sesuai catatan sezaman nama Dermayu baru ada diakhir abad ke-16, namun jika mengacu pada teori lahirnya sebuah peradaban nama Dermayu dimungkinkan telah ada sebelum tahun 1598-an. Periode pembuatan peta portugis yang merentang dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 tersebut mengindikasikan bahwa memang nama Dermayu baru eksis menjadi nama Kota Pelabuhan menggantikan nama Cimanuk kemungkinan pasca ditundukannya wilayah ini oleh Pasukan Kuningan dan Cirebon sekitar tahun 1528. Periode selanjutnya kita pahami sebagai periode masuknya hegemoni pengaruh Islam secara struktural dari Cirebon di kawasan Sindang yang sebelumnya pada sekitar tahun 1513 memang telah bermukim para pedagang Islam. Kemudian dalam sumber tradisional Cirebon kita ketahui adanya dua nama anak Sunan Gunung Jati yang lahir dari istri putri Pangeran Panjunan yaitu Arya Sundaka dan Ki Arya Sendi yang menjadi Dipati Dermayu (Zaedin dkk., 2020). Jejak bangsawan Islam terlihat jelas dalam salah satu nisan di situs Makam Selawe yang menggunakan simbol “mirip” surya Majapahit. Namun jika diamati simbol tersebut masih merupakan kode bangsawan yang juga digunakan dalam nisan Makam Sunan Gunung Jati dan para keturunannya hingga generasi ke-4 (Panembahan Ratu). Kemungkinan periode tersebut kawasan Sindang kemudian ditempati penguasa beragama Islam dengan nama wilayah Darma Ayu yang merupakan penanda mulainya dijalankan sebuah kewajiban yang utama atau tugas suci atau mission sacree (Dasuki, 1977: 107). Hal tersebut dapat dibandingkan dengan penaklukan pelabuhan Kalapa oleh pasukan Fatahilah tahun 1527 yang mengganti namanya menjadi Jayakarta.

Menjadi hal yang wajar dalam sejarah nama kota pelabuhan yang pada akhirnya menjadi sama penyebutannya antara nama pelabuhan atau bandar dengan nama kotanya, sebut saja pelabuhan Muara Jati yang kemudian setelah berkembangnya para pemukim Islam dan pemimpinnya eksis dengan mendirikan kota Cirebon selanjutnya catatan asing menulisnya dengan pelabuhan Cirebon bukan lagi pelabuhan Muara Jati. Kemudian dalam sejarah perjalanan kota Banten mulai dari era Banten Girang dipedalaman kemudian bergeser agak ke pesisir dengan lahirnya Kerajaan Islam Banten pada periode sebelumnya nama pelabuhannya disebut pelabuhan Sunda, selanjutnya berubah mengikuti nama kotanya yaitu pelabuhan Banten.

Wilayah Indramayu selanjutnya menjadi bagian pengaruh pemuka agama Islam dari Kerajaan Cirebon. Para ki gede yang mendiami sepanjang aliran Sungai Cimanuk mulai dari sisi utara hingga ke timur banyak yang menjadi murid dari Syekh Nurjati yang mendirikan pesantren di Bukit/ Giri Amparan Jati (Gunung Jati). Hal ini terbukti dari tinggalan makam-makam para ki gede wilayah Dermayu yang dipusarakan di Bukit Amparan Jati atau Gunung Jati, Cirebon (Kasim, 2011: 5).


Dermayu menjadi wilayah pertuanan Mataram

Wilayah Dermayu (Indramayu) mulai dari bagian barat daya sampai dengan Karawang, sejak era pemerintahan Sunan Gunung Jati (1482-1528), menjadi bagian kekuasaan kerajaan Cirebon yang sudah mandiri dari Kerjaan Sunda (Sobana, dkk., 2011: 67). Wilayah Indramayu masuk ke dalam wilayah kerajaan Cirebon sekitar tahun 1527-1528. Pada saat itu penguasa Indramayu/Dermayu bergelar Prabu Indrawijaya (Sulendraningrat, 1972: 10).

Pada periode ini Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Pangeran Pasarean, anak Sunan Gunung Jati. Kepemimpinan Pangeran Pasarean dimulai ketika Sunan Gunung Jati menyerahkan urusan pemerintahan kepadanya pada tahun 1528. Namun, masa pemerintahan Pangeran Pasarean hanya sampai tahun 1546 karena sang pangeran wafat di Demak. Sunan Gunung Jati kemudian melimpahkan kekuasaannya kepada sang menantu, yaitu Fatahillah. Penerus Fatahillah yakni, Pangeran Swarga, yang tak lain adalah anak Pangeran Pasarean. Namun Pangeran Swarga meninggal pada tahun 1565. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Fatahillah lagi hingga wafat (tahun 1570). Sepeninggal Fatahillah, cicit Sunan Gunung Jati atau putra dari Pangeran Swarga yang bernama Pangeran Emas. Pangeran Emas menjadi Raja Cirebon pada tahun 1570, bergelar Pangeran Ratu atau juga dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu Cirebon (Panembahan Ratu I). Panembahan Ratu I bertahta sejak tahun 1570 hingga tahun 1649 (Sobana, dkk., 2011: 68-70) di mana pada saat itu telah lahir kekuatan baru di pedalaman Jawa yaitu Kerajaan Mataram.

Sejak Raja Mataram pertama -Pangeran Ingalaga Mataram atau Panembahan Senapati (1586-1601)- meluaskan wilayah kekuasaannya, Cirebon telah mengakui kedaulatan Mataram. Pada saat itu wilayah Cirebon membentang dari daerah Losari sampai dengan Indramayu (Raffles, 2008: 500). Panembahan Ratu I Cirebon dianggap oleh Panembahan Senapati Mataram sebagai gurunya. Hal ini mendorong sang Raja Mataram mendirikan tembok pagar di sekeliling kota setinggi dua meter yang memiliki beberapa pintu gerbang pada tahun 1596 (Sunardjo, 1983: 96-100, de Haan, III, 1912: 38).

Jalinan persahabatan antara kerajaan Mataram dan kerajaan Cirebon berjalan dengan baik sampai masa cucu Panembahan Senapati Mataram yaitu Sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung memanfaatkan Bandar Kerajaan Cirebon sebagai pangkalan militernya ketika hendak menuju Batavia (Otlthof, 2017: 287). Pada masa pemerintahan Sultan Agung ini wilayah barat sungai Cimanuk (Dermayu) kemudian diserahkan oleh Cirebon kepada Mataram ditahun 1615[1]. Kemudian pasca Mataram melaksanakan ekspedisi militernya menuju VOC di Batavia (tahun 1628 dan 1629), Kali Cimanuk Indramayu sampai dengan Karawang, dijadikan sebagai basis pertahanan paling luar Kerajaan Mataram. Dalam Informasi sumber VOC tahun 1678 wilayah barat Kerajaan Cirebon yaitu Dermayu hingga Karawang telah menjadi wilayah otonom Mataram.

Nama Kerajaan Mataram, dalam kaitannya dengan Indramayu, muncul di berbagai sumber, baik sumber naskah ataupun dokumen-dokumen VOC. Di antara sumber pertama yang mengaitkan antara Mataram dengan Indramayu adalah naskah Babad Bagelen. Naskah Babad Bagelen yang digunakan ini merupakan salinan karena sudah dalam bentuk huruf latin. Namun, masih mengikuti kaidah lama, yaitu ditulis dalam Bahasa Jawa berbentuk tembang macapat. Judul lengkap naskah tersebut adalah “I. Babad Bagelen, Sajarahipun Lowano, Tanggung tuwin Banyu Urip, Regentschap Purworejo kaserat mawi sekar manca warni. II. Carios Lelampahanipun Kiageng Mangir Ing Mataram. III. Carios Lelampahanipun Jaka Tingkir Ing Demak”.

Pada bagian bab kisah Banyu Urip dalam Babad Bagelen tersebut disinggung mengenai tokoh bergelar Mantri Wiralodra dan Mantri Singapati. Dalam Babad Bagelen tersebut nama asli Wiralodra adalah Bagus Taka sedangkan Wiralodra adalah nama gelar. Bagus Taka dalam naskah tersebut diceritakan hanya memilki seorang saudara bernama Bagus Singa. Saat beranjak dewasa kakak-beradik ini meninggalkan Banyu Urip menuju Kotaraja Mataram untuk mengabdi. Di Mataram, oleh Kiai Tumenggung Singaranu – Patih Mataram - mereka dilatih ilmu Keprajuritan kemudian diangkat menjadi Mantri Bedama (yang bertanggung jawab mengurus gudang persenjataan). Tugas mereka berdua adalah merawat semua senjata prajurit Mataram dan melatih calon prajurit dalam ilmu peperangan (Zulkarnaen, dkk., 2022: 71-72).

Cerita tentang Bagus Taka dan Bagus Singa dalam naskah tersebut bermula ketika pada suatu hari, di alun-alun Keraton Mataram, terdengar ada banteng yang mengamuk pada acara pendadaran prajurit. Peristiwa tersebut membuat luka-luka pada orang-orang yang sedang berada di situ. Berdasarkan hal tersebut, Sang Susuhunan Mataram kemudian memerintahkan agar siapa saja yang dapat mengalahkan banteng tersebut akan diberikan ganjaran. Maka, Bagus Taka dan Bagus Singa maju mencoba menaklukan banteng tersebut dan berhasil. Susuhunan Mataram kemudian memanggil mereka berdua dan menaikan pangkat derajat kedua pemuda Banyu Urip tersebut masing-masing sebagai mantri. Bagus Taka mendapat gelar Mantri Prawiralodra/Wiralodra dan Bagus Singa mendapat gelar Mantri Singapati. Mereka berdua diberikan wilayah yang membawahi sejumlah 800 (Domas) cacah (keluarga).

Adapun secara garis besar isi cerita bagian akhir dari naskah Babad Bagelen berkisah tentang pemberontakan Pangeran Trunajaya Madura terhadap Mataram, geger Pecinan, dan kisah Adipati Cakranegara, bupati pertama Purworejo yang menjabat tahun 1831-1856. Naskah Babad Bagelen pada bagian awal diterangkan ditulis pada tanggal 7 Oktober 1940. Isi Naskah ini sama dengan isi Naskah Sujarah (Babad) Banyuurip yang disalin tahun 1932, kemudian juga dalam naskah Sujarah (Babad) Toya Gesang (Loano).

Selain naskah Babad Bagelen, nama Mataram yang terkait dengan Indramayu juga muncul dalam Layang Sarasilah Trah Bagelen dan buku Terjemahan Ringkas Serat Babad Banyu Urip-Bagelen milik Perkumpulan Putra-Wayah Banyu Urip (Pawab). Buku tersebut diberi judul “Sejarah (Babad) Pucangagung, Terjemahan ringkas mengenai: Sejarah Banyu Urip (Bagelen), yang dipersembahkan kepada putra-wayah (anak-cucu) Banyu Urip yang berminat mempelajari dan menghayati sejarah para leluhurnya serta asal-usul desanya”. Buku catatan tersebut sesuai keterangan di bagian akhir disusun oleh Perkumpulan Putra-wayah Banyu Urip (Pawab) yang pada awal berdirinya bernama Rukun Sederek Banyu Urip (RSB) pada tahun 1937. Dari buku tersebut diperoleh informasi bahwa turunan serat Babad Banyu Urip yang ditulis dengan tangan dalam aksara dan bahasa Jawa-Kawi-Tembang menurut catatan aslinya adalah hasil tulisan Tumenggung Wangsanegara VI, Demang Banyu Urip (Keturunan Tumenggung Singapati, adik Tumenggung Wiralodra).

Dalam buku yang dianggap sebagai ingatan kolektif keturunan Tumenggung Singapati (Adik Tumenggung Wiralodra) dituliskan bahwa pada saat pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Purbaya di mana Tumenggung Wiralodra dan Tumenggung Singapati ikut di dalamnya. Mereka tidak berhasil mengalahkan VOC dan pada akhirnya pasukan Mataram mengalami kekalahan. Banyak pasukan yang tidak kembali menghadap ke Susuhunan Mataram (Sultan Agung). Satu di antaranya adalah Wiralodra. Adik Wiralodra sendiri lebih memilih kembali pulang ke Mataram. Wiralodra memutuskan untuk mengganti nama diri menjadi Ki Singalodra kemudian berdagang ke Batavia (Zulkarnaen, dkk., 2022 : 27-28).

Secara menyeluruh buku terjemahan tersebut bercerita tentang; Legenda Pangeran Jayakusuma masa akhir Majapahit, Perang Kedua Sultan Agung Mataram melawan VOC (Kompeni) Belanda di mana dua nama leluhur Banyu Urip terlibat, Putra Wayah Ki Manguyu Banyu Urip, Sejarah Pucanganom, Sejarah Loano, Sejarah Bagelen, dan Sejarah Mataram. Khusus pada bagian “Perang Kedua Sultan Agung Mataram melawan VOC” menurut penulisnya selain bersumber dari Salinan Serat Asli Babad Banyu Urip juga ditambahkan dari sumber buku “Een uitgebreide Gaschiedenis van Nederlandsh Indie”, serta catatan-catatan dari cerita turun temurun para leluhur Banyu Urip, dan cuplikan redaksi dari beberapa majalah-majalah sebelum perang dunia ke-II.

Dalam dokumen-dokumen VOC, keterkaitan Mataram dengan Indramayu dapat dilihat dalam kaitan penyerangan Mataram ke Batavia. Kompeni atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) adalah kongsi dagang yang didirikan pada tahun 1602. Badan ini berhasil menyingkirkan Portugis yang satu abad sebelumnya telah membangun imperium perdagangan di Asia dan hampir menyisihkan saingan utamanya (perdagangan di Asia-Eropa) yaitu East India Company (EIC) yang didirikan di London tahun 1600 (Gaastra, tt).

Awalnya hubungan VOC dan Mataram berjalan baik, hal ini dibuktikan pada masa akhir kekuasaan Raja Mataram kedua yang bergelar Panembahan Anyakrawati (seda ing krapyak) sekitar tahun 1613, VOC diberikan ijin mendirikan loji dagangnya di Jepara. Raja Mataram yang baru (1613-1645) kemudian menginginkan agar VOC mengirimkan utusannya ke Mataram. Adalah Caspar van Surck yang pada tahun 1614 datang berkunjung ke Mataram, ia disambut secara besar-besaran. Sikap yang demikian dilakukan oleh Raja Mataram bukan tanpa sebab, melainkan merupakan strategi dalam merayu keberpihakan VOC terhadap Mataram agar mau membantunya menaklukan Banten dan Surabaya. Pada tahun 1615 ketika pihak Mataram datang ke Jepara untuk membantu pembangunan loji VOC, Mataram mengajukan syarat agar VOC memberikan hadiah empat buah meriam. Orang-orang VOC dengan penuh semangat kemudian memberikan dua buah meriam sebagai tahapan pertama, dimana menurut Coen meriam-meriam tersebut adalah meriam terbaik yang pernah ada dan belum pernah diberikan kepada penguasa lokal dimanapun (Graaf, 1986:54-56).

Hubungan antara VOC dan Mataram ini rupanya tidak berjalan dengan baik, ketika serentetan peristiwa kekerasan dan adanya perasaan saling tidak puas diantara keduanya atas kesepakatan kontrak demi kontrak yang pernah ditandatangani. Selanjutnya VOC berhasil merebut Pelabuhan Jakarta di Pantai Utara Pulau Jawa pada tanggal 30 Mei 1619. Sejak saat itu VOC mendapatkan galangan kapal, gudang-gudang pusat kegiatan perdagangan, serta pusat pemerintahan dan administrasi. Sejak saat itu, Jakarta berganti nama menjadi Batavia, sebagai pusat pemerintahan VOC di Asia (Niemeijer, tt). Pada tanggal 8 Desember 1619 seorang kepala perdagangan diutus oleh Coen untuk menghadap Raja Surabaya dengan inti pesan bahwa Coen akan sedia membantu pihak Surabaya jika suatu saat Raja Mataram akan menyerangnya, suatu kondisi yang tidak diharapkan oleh Raja Mataram. Bagi Mataram dengan direbutnya Jakarta oleh VOC merupakan sesuatu yang mulai harus diwaspadai, karena saat penguasa Sumedang yaitu Aria Suradiwangsa I menyerahkan wilayah Sumedanglarang kepada Mataram tahun 1620, Jayakarta atau Jakarta merupakan wilayah kekuasaan Sumedanglarang yang seharusnya secara otomatis menjadi bagian wilayah pertuanan Mataram (Lubis, dkk, 2000: 77).

Kemudian pada tanggal 15 Juni 1622 Mataram mengutus kurirnya untuk mengirimkan surat ke Batavia. Isi surat meminta agar Gubernur Jenderal VOC datang ke istana Mataram untuk membahas mengenai rencana penyerangan Mataram terhadap Banten, Mataram menyakinkan bahwa Banten juga merupakan ancaman bagi VOC di Jakarta. Namun VOC memandang Banten bukan merupakan sebuah ancaman yang nyata (Graaf, 1986:74). Melihat bagaimana pihak VOC membina hubungan dengan Mataram yang dirasa kurang konsisten dan tidak sesuai kehendak Raja Mataram ditambah serentetan peristiwa kekerasan yang terjadi di wilayah Mataram serta kedudukan VOC semakin hari semakin kuat melatarbelakangi keputusan raja untuk melakukan penyerangan ke Batavia.

Dalam catatan sejarah, raja yang bertahta pada saat Mataram berperang melawan VOC adalah Prabu Pandita Anyakrakusuma (Olthof, 2017: 249). Prabu Pandita Anyakrakusuma atau yang dalam surat-surat diplomatik VOC dikenal dengan sebutan “Pangeran atau Panembahan Ingalaga Mataram” (Graaf, 1986), setelah menaklukan Madura pada tahun 1624, mengganti gelarnya menjadi “Susuhunan Mataram” (de Haan III, 1912: 45; Djajadingrat, 1983: 197). Sekitar tahun 1640-an, ia memperoleh gelar lagi dari penguasa Turki Utsmani, gelar Raja Mataram ini menjadi “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami” (Daghregister, April 1641), yang kelak dikenal dengan nama anumerta “Sultan Agung” (Zulkarnaen, dkk., 2022: 72-74).

Adapun keikutsertaan Bagus Taka (Wiralodra) dan Bagus Singa dalam penyerbuan ke Batavia bermula ketika Sultan Agung memerintahkan Patih Mataram yaitu Tumenggung Singaranu untuk memanggil dua Mantri Domas (Bagus Taka dan Bagus Singa) untuk menghadap ke istana dan mewajibkan mereka berdua untuk bergabung dalam pasukan laut Mataram di bawah komando Panembahan Purbaya. Ada dua jalur yang ditempuh. Untuk jalur laut akan dipimpin oleh Panembahan Purbaya, sementara untuk jalur darat akan dipimpin oleh Mandureja (Zulkarnaen, dkk., 2022: 75).

Para panglima dan tokoh-tokoh utama yang memimpin dan mengawasi jalannya penyerangan Mataram ke Batavia pada tahun 1628 adalah Tumenggung Bahureksa, Tumenggung Sura Agulagul, Tumenggung Mandurareja, dan Tumenggung Upasanta. Adapun pada penyerangan kedua tahun 1629 adalah Pangeran Juminah, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Puger (Graaf, 1986: 165-167). Hal ini sesuai dengan keterangan Hoesein Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten (Djajadiningrat, 1983), yang menyatakan, “Pada akhir bulan Agustus 1629 munculah tentara Mataram kedua setelah penyerangan pertama tahun 1628. Tentara ini dipimpin oleh Dipati Juminah, Dipati Puger, dan Dipati Purbaya (Paman Susuhunan Mataram)” (Djajadiningrat, 1983: 187).

Dalam naskah Babad Bagelen dan buku Sejarah Ringkas Banyuurip menyebutkan bahwa Wiralodra dan adiknya Singapati menjadi pengikut Pangeran Purbaya. Maka berdasar catatan yang dikutip dari buku Graaf di atas, bisa dipastikan bahwa pada tahun 1629 atau pada penyerangan kedua, Wiralodra terlibat dan menjadi pimpinan pasukan Bagelen untuk membantu Tumenggung Singaranu, Tumenggung Madiun, dan Sumenep, di bawah pengawasan pangeran-pangeran Mataram seperti Pangeran Juminah, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Puger.

Nama Indramayu kemudian muncul dalam kaitan strategi yang dilakukan oleh Sang Sultan tersebut. Pasca penyerangan Batavia pertama yang gagal, Sultan Agung kemudian bersiasat dengan mentransmigrasikan penduduk dari Mataram dan sekitarnya untuk menetap di Karawang, Ukur, Sumedang, Ciasem, Cilamaya, Indramayu dan lain-lain. Kebijakan ini dilakukan untuk membuka tanah pertanian dan akan dijadikan bekal tentara menyerang Batavia selanjutnya (Kasim, 2011: 85-86). Hal tersebut didasari kelemahan pada penyerangan pertama, yaitu kekurangan logistik makanan. Banyaknya pasukan-pasukan Mataram dan penduduk Jawa yang ditempatkan di Tlatah Kulon dimaksudkan untuk menyiapkan bahan logistik berupa hasil panen padi sehingga diharapkan jika pasukan Mataram akan menyerang Batavia kembali tidak akan mengalami kekurangan logistik. Selain itu, bandar-bandar kerajaan Cirebon (termasuk Bandar Cimanuk) dijadikan pangkalan militer dalam penyusunan strategi dan konsolidasi pasukan Mataram sebelum menuju Batavia.

Usaha Sultan Agung dalam penyiapan penyerangan kembali ke Batavia ini tergambar dalam daghregister VOC tanggal 13 Desember 1632. Pada arsip tersebut dijelaskan adanya aktivitas penimbunan bahan perbekalan dari pasukan Mataram di Sungai Indramayu (Cimanuk). Perbekalan tersebut digunakan untuk persiapan penyerangan ke Batavia dengan penyiapan rencana kekuatan pasukan sebanyak 80-100 ribu orang. Kemudian pada tanggal 7 Juli 1640 diketahui bahwa pihak Kompeni mengetahui adanya sejumlah perahu perang Mataram yang disiapkan di sepanjang sungai Indramayu (Cimanuk) padahal pelabuhan lautnya ditutup. Terdengar kabar bahwa Mataram akan mengirimkan balatentaranya yang terkuat untuk menyerang Batavia atau Banten.

Dari arsip tersebut dapat dilihat ketegangan yang masih terus terjadi antara Mataram dengan VOC dan juga Banten pasca kekalahan pasukan Mataram di tahun 1629 dan Indramayu melalui bandarnya menjadi tempat pertahanan serta basecamp pasukan Mataram. Penguasaan pasukan Mataram di daerah Indramayu dapat ditelusuri sejak persiapan penyerangan kedua tahun 1629. Pada saat itu, Raja Mataram memerintahkan untuk membangun lumbung padi di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi dijelaskan bahwa pasukan Mataram sebelum mendarat di Jakarta terlebih dahulu mendarat di Bandar Kerajaan Cirebon (Indramayu) untuk mengatur siasat (Olthof, 2017: 287).

Sultan Agung juga mengambil kebijakan menanam dan membangun lumbung padi di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa (termasuk Indramayu). Kebijakan inilah yang kemudian menjadi bumerang ketika pada tanggal 20 Juni 1629 seorang tawanan VOC dari Mataram bernama Warga memberitahukan bahwa Tegal akan dijadikan gudang makanan. Akibat informasi tersebut, VOC kemudian mengirimkan tiga kapal melalui Pantai Utara Jawa. Dan pada tanggal 4 Juli 1629, pengiriman tiga kapal tersebut berhasil memusnahkan 200 kapal, 400 rumah, dan satu gunungan padi setinggi 12x4 m dan lebar 4x4 m. Beberapa minggu kemudian gunungan padi kedua di Cirebon pun dimusnahkan (Graaf, 1986: 155-156).

Tahun 1640-an merupakan tahun-tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Pada tahun-tahun terakhirnya, Sang Raja Mataram tersebut memperbanyak transmigran, salah satunya ke Indramayu dengan tujuan untuk memperbanyak persawahan pada tahun 1641 (Kasim, 2011: 86). Selain itu, pada tahun 1642, Sultan Agung juga mengeluarkan piagam kepada penguasa Sukapura. Piagam ini berupa pemberian gelar “Mantri Kepala” kepada penguasa-penguasa daerah pertama dari Bandung, Parakan Muncang, dan Sukapura. Hal ini dilakukan atas jasa para penguasa tersebut yang tetap setia dan membantu dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Satu tahun sebelumnya atau pada tanggal 20 April 1641 Sang Raja Mataram juga membebaskan keharusan bekerja untuk para pembesar Mataram mulai dari Panembahan Cirebon, Pangeran Kajoran, Pangeran Blitar, Pangeran Madiun, Panembahan Surabaya, dan keempat Patih Mataram yaitu Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasingsingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu (Zulkarnaen, dkk., 2022: 91).

Bandar Dermayu sendiri pada masa-masa perang segitiga antara Mataram-VOC-Banten tetap menjalankan fungsinya sebagai bandar perniagaan. Hal tersebut dapat terlihat dalam Daghregister tahun 1640-1641. Pada arsip tersebut dapat dilihat bahwa periode bulan September sampai dengan November, data arus masuk-keluar kapal muatan yang singgah di Bandar Dermayu cukup tinggi. Kapal keluar dari Bandar Dermayu tercatat membawa beras, daging rusa, kacang, unggas, bawang Bombay, dan bawang putih. Adapun kapal yang masuk ke Bandar Dermayu diketahui membawa komoditas dagang seperti pakaian eksekutif, porselen, barang-barang Cina, gula, beram, emas, mangkuk, piring, panci arak, dan cat ampion (Daghregister September-November 1640-1641).

Pasca Mataram melaksanakan ekspedisi militernya menuju VOC di Batavia (tahun 1628 dan 1629), Kali Cimanuk Indramayu sampai dengan Karawang, yang telah menjadi wilayah otonom Mataram sejak 1615 dijadikan sebagai basis pertahanan paling luar. Dalam Daghregister 20 Juni 1632 dinyatakan, tahun 1632 sungai Indramayu menjadi arena hilir mudik kapal perang Mataram yang berpatroli dari Bandar Cirebon (Daghregister, 20 Juni 1632). Pada bulan Desember tahun 1632 pihak Mataram mulai melakukan penimbunan kembali bahan makanan dengan tujuan ketika musim kemarau tiba, sekitar 80-100 orang akan kembali menuju Batavia (Daghregister, 11 Meii 1632). Usaha ini berakhir ketika Kerajaan Mataram membuat perjanjian damai dengan VOC pada tahun 1646, tepat setelah Sultan Agung meninggal dunia.

Pada tahun 1653 wilayah Indramayu masuk ke dalam wilayah pengawasan penguasa pesisir Mataram bernama Kiai Tumenggung Pati. Ia menguasai wilayah Indramayu sampai dengan Karawang (Daghregister, 1653). Namun pada tahun 1661 Kiai Tumenggung Pati dijatuhi hukuman mati oleh rajanya sendiri (Sunan Amangkurat I) (Daghreister, 4 April 1661). Pada tahun 1676, penguasa pesisir pantai utara Jawa adalah Ngabehi Singawangsa dan Rangga Sidayu. Dua penguasa pesisir wilayah Mataram untuk daerah pantai utara bagian barat dan timur ini merupakan penguasa pesisir terakhir yang membawahi para kepala daerah. Sumber VOC, pada Januari 1678, menyebut wilayah barat Cirebon, dari Indramayu sampai Karawang, tidak pernah masuk dalam klasifikasi kerajaan Cirebon. Indramayu dan Karawang sebagai wilayah bawahan kerajaan Mataram (otonom) dipimpin oleh seorang gubernur (Daghregister, 15 Januari 1678). Jadi, sungai Indramayu dan Kota Indramayu merupakan salah satu provinsi di bawah kerajaan Sunda. Kemudian Indramayu menjadi wilayah kerajaan Cirebon. Akhirnya Indramayu dikuasai oleh kerajaan Mataram, ditengarai sejak tahun 1615 saat Mataram dibawah Kepemimpinan Sultan Agung.

Wiralodra pasca penyerangan Batavia tidak kembali ke Mataram. Wiralodra lebih memilih menjadi saudagar. Aktivitas perdagangannya dijalankan di Batavia. Namun tempat tinggal utamanya di sekitar Kali Cimanuk (antara tahun 1629 sampai dengan tahun 1640). Kondisinya akan sulit dan berbahaya jika tinggal di Batavia. Sebab, antara Kerajaan Mataram dan VOC baru diadakan perjanjian damai pada tahun 1646 (Daradjadi, 2009: 122).

Pada tahun 1647 Wiralodra tercatat sebagai salah satu lurah dari Pangeran Alit, adik tiri Sunan Amangkurat I. Wiralodra melarikan diri setelah peristiwa percobaan kudeta oleh Pangeran Alit terhadap Amangkurat I gagal (Graaf, 1987: 52). Kecenderungan Wiralodra berada pada pihak yang tidak sejalan dengan kebijakan Raja Mataram, pasca ekspedisi ke Batavia. Wiralodra memilih menanggalkan kesetiaannya pada Sultan Agung. Wiralodra lebih memilih mengabdi kepada Pangeran Alit. Kemudian dalam catatan harian VOC tahun 1663 Wiralodra yang hanya ditulis dengan gelar kehormatan “Kiai Wiralodra” mengalami kondisi yang memprihatinkan dengan adanya tunggakan hutang kepada salah seorang janda (istri dari seorang Belanda). Ketika Pangeran Adipati Anom Mataram naik tahta, mendapatkan gelar Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga atau Sunan Amangkurat II. Kiai Wiralodra pun diberi amanah menjadi kepala para bupati di Indramayu.

Wiralodra kemudian telah tercatat sebagai Bupati Pesisiran Mataram berkedudukan di Dermayu pada awal tahun 1678 dengan gelarnya “Kiai Ngabehi Wiralodra”. Wiralodra mendapatkan posisi strategis sebagai Bupati-Utama atau Wedana (Gouverneur/Hootfregent) ketika Kerajaan Mataram pada akhinya benar-benar menjalin persekutuan dagang dan militer dengan VOC. Dalam hal ini keterangan naskah Wangsakerta yang memberitakan bahwa ada seorang Senapati Laskar Mataram berasal dari Bagelen tidak kembali ke Mataram namun menjaga perbatasan wilayah Mataram dari saingannya Kerajaan Banten sesuai dengan catatan-catatan VOC, meskipun periodenya bukan pasca peperangan Mataram dan VOC tahun 1629 namun pada tahun 1678 disaat Mataram dibawah kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang merupakan cucu Sultan Agung.

Dinamika Kebupatian Indramayu

Wilayah pesisir dalam Sejarah Kebudayaan Maritim (1600-1755), secara bertahap menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Penaklukannya dimulai pada masa Panembahan Senapati sampai Anyakrawati (1588-1613). Wilayah pesisir utara  Jawa adalah daerah otonom. Wilayahnya mencakup Pasisiran Wetan (memanjang dari Demak ke timur: Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, sampai Blambangan) dan Pasisiran Kulon (memanjang dari Demak ke barat: Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, sampai Karawang). Pembagian wilayah pesisiran ini merujuk pada pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi empat bagian; Kutagara, Negaraagung, Mancanegara, dan Pasisiran. Kota-kota pesisiran atau pelabuhan tersebut kemudian menjadi pusat-pusat perdagangan yang maju. Hal ini disebabkan pantai utara Jawa menjadi rute penting perdagangan rempah (Margana, dkk., 2021: 92).


Pemerintahan Mataram pasca mangkatnya Sultan Agung (pada tahun 1653-1654) bersifat sentralis. Pola pemerintahannya memiliki ciri, yaitu: 1) masing-masing pangeran memiliki wakil sesuai nama daerahnya. 2) Setiap daerah memiliki dua syahbandar untuk mengurusi perdagangan pribumi dan orang-orang Cina. Setiap syahbandar wajib melaporkan pendapatannya kepada penguasa pesisir. Setiap daerah terdapat komisaris (pemerintah daerah dan kota). Para bawahan (kepala daerah dan syahbandar) bertanggung jawab kepada komisaris tentang pendapatan daerah, kota, dan desa. Pola ini berubah pada tahun 1657-1659 menjadi desentralisasi karena adanya persaingan antara pejabat pedalaman dan pejabat pesisir. Perubahan sistem pemerintahan terpusat berakibat bagi penutupan pelabuhan-pelabuhan Mataram pada tahun 1655 sampai tahun 1656 (Graaf, 1987: 123).

Pelabuhan-pelabuhan dibuka kembali pada tahun 1657. Namun ada perubahan sistem kekuasaan. Untuk wilayah pesisir diserahkan kepada penguasa Jepara, Semarang, Pati, dan Demak (sistem empat penguasa pesisir). Mereka adalah Ngabehi Martanata dari Jepara bertanggung jawab atas Jambi; Ngabehi Wangsaraja dari Semarang bertanggung jawab atas Sukadana di Kalimantan; Tumenggung Pati bertanggung jawab atas Batavia; Tumenggung Suranata dari Demak bertanggung jawab atas Palembang (Daghregister, 7 Desember 1656).

Sistem empat penguasa pesisir kemudian berakhir pada tahun 1659. Walaupun secara de jure berakhir akan tetapi fakta di lapangan menunjukan bahwa kekuasaan para penguasa pesisir semakin berkembang. Misalnya, Kiai Ngabehi Wangsaraja dari Semarang, menguasai daerah Sidayu (Daghregister, 4 September 1657). Kemudian Tumenggung Pati yang berkuasa atas Indramayu dan daerah Citarum, pada pelaksanaannya daerah tersebut dipercayakan kepada kakaknya yaitu Citranala (Graff, 1987: 124). Citranala juga berkuasa atas Pasuruan ketika Tumenggung Pati diangkat sebagai penguasa Surabaya. Berikutnya Kiai Ngabehi Martanata selaku penguasa Jepara, juga menguasai Batang. Artinya seluruh Pantai Utara Jawa dikuasai oleh empat penguasa pesisir tersebut.

Para penguasa pesisir Mataram sejak sistem dua penguasa pesisir (1651-1657) adalah Kiai Wira untuk wilayah pesisir barat dan Kiai Wirajaya untuk wilayah pesisir timur, kemudian saat sistem empat penguasa pesisir (1657-1659) dijabat oleh Ngabehi Martanata Jepara untuk wilayah Jambi, Ngabehi Wangsaraja Semarang untuk wilayah Sukadana dan Kalimantan, Tumenggung Pati untuk wilayah Batavia dan sekitarnya dan Tumenggung Suranata Demak untuk wilayah Palembang. Sepeninggal Tumenggung Pati pada tahun 1661, kemudian pada tahun 1676 muncul dua penguasa pesisir lagi yaitu Rangga Sidayu dan Ngabehi Singawangsa dari Pekalongan. Mereka berdua memiliki kewenangan dalam menggerakan pasukan laut barat dan timur (Graaf, 1986). Penguasa pesisir tersebut merupakan penguasa pesisir Mataram dari masa Pemerintahan Sunan Amangkurat I yang terakhir, karena sejak tahun 1675 hingga 1677 Mataram menghadapi perlawanan hebat dari orang-orang Makassar dan Madura yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota Amangkurat I sendiri (Graaf, 1986: 92).

Dalam Daghregister tanggal 27 Januari 1682, saat VOC menetapkan kawasan dengan para penguasanya disebutkan bahwa wilayah Indramayu, Pamanukan dan Ciasem pernah dipimpin oleh Tumenggung Wangsaita dengan jabatan sebagai gubernur agung (groot gouverneur) atau bupati agung (opperregent) pada masa Sunan Amangkurat I (1645-1677). Tumenggung Wangsaita ini dideskripsikan sebagai prajurit yang  baik hati, jujur dan setia pada saat pasukan gabungan antara pihak Mataram bersama VOC melawan pasukan gabungan Makassar dan Madura di Desa Demung (Dommon), Situbondo, Jawa Timur. Hal ini termuat dalam keterangan de Haan (1912) yang mengutip isi Daghregister tanggal 27 Januari 1682, ia menuliskan  “..karena Yurisdiksi dari Indramayu, Pamanukan dan Ciasem membentang sepanjang tepi laut, sebelum masa ini pernah dipimpin oleh Tumenggung Wangsaita yang baik, yang tetap (setia) sebagai prajurit jujur telah gugur di Demung/Dommon (dalam pertempuran dengan orang-orang Makassar di bulan September 1676) dan sejak saat itu tidak ada seorangpun yang diangkat sebagai penggantinya karena tidak ada kesempatan untuk mencari penggantinya oleh Susuhunan” (de Haan. III, 1912: 112).

Pada bulan September 1676 Tumenggung Wangsaita ini dinyatakan gugur, dikarenakan Sunan Amangkurat I menghadapi perlawanan yang terus mengancam istananya dan pada akhirnya terpaksa harus meninggalkan istana pada tanggal 28 Juni 1677 menuju wilayah barat hingga meninggal di tegal, maka pengganti Tumenggung Wangsaita sebagai gubernur agung untuk wilayah Indramayu, Pamanukan dan Ciasem tidak pernah dilakukan lagi. Periode selanjutnya adalah periode Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi Sunan Amangkurat II, suatu periode penting dalam sejarah kerajaan Jawa yang meneruskan hubunganya dengan VOC melalui serangkaian perjanjian demi perjanjian.

Kedudukan Tumenggung Wangsaita sekitar tahun 1676-an kemungkinan berada di Indramayu. Hal ini sesuai dengan keterangan de Haan (1912) pada bagian selanjutnya yang menulis “Pada tanggal 4 September 1678 Bupati Wiralodra pernah dipanggil oleh Kiai Rangga Gempol ke Sumedang tetapi Wiralodra menolaknya. Kemudian Pemerintah Tinggi Batavia menetapkan bahwa untuk wilayah Indramayu tetap di bawah kendali Wiralodra karena daerah (distrik) tersebut telah lama dalam otoriritas yang lebih tinggi yaitu kepememimpinan Wangsaita (de Haan. III, 1912: 378). Maka Wiralodra memang mewarisi wilayah kekuasaan peninggalan dari gubernur agung tersebut. Hal ini akan terlihat dalam nomenklatur jabatan Kiai Ngabehi Wiralodra sebagai bupati utama (gouverneur) versi VOC sesuai surat tertanggal 2 Juni 1678.

Pada tahun 1676 penguasa Pesisir Mataram adalah Ngabehi Singawangsa dan Rangga Sidayu dari Pekalongan. Kemungkinan Tumenggung Wangsaita yang menjabat sebagai gubernur agung adalah bawahan dari penguasa pesisir tersebut.  Dua penguasa pesisir tersebut wilayah pengawasanya meliputi pesisir barat dan timur pulau Jawa. Sehingga Indramayu secara otomatis berada dalam naungan penguasa pesisir untuk wilayah pesisir barat Jawa.

Nama Wiralodra mulai disebut sebagai “Bupati-Utama (Wedana) Indramayu (Gouverneur van Indermayo)” sejak tahun 1678. Hal ini bisa dirujuk pada Daghregister tertanggal 10-11 Mei 1678, kemudian melalui surat tertanggal 2 Juni 1678  yang ditulis oleh Laksamana Speelman melalui Gubernur Jenderal VOC (Rijcklof van Goens), dan Dewan Tinggi Hindia Belanda (Raad van Indië) untuk para Bupati Jawa di Indramayu (Javaanse Regenten Tot Indermayoe). Isi surat tersebut menggambarkan kondisi pengaturan kesepakatan sikap antara VOC yang diwakili Speelman dan Mataram dalam hal ini melalui Wiralodra sebagai salah satu bupatinya. Beberapa poin dari surat tersebut mengenai pernyataan bahwa Bupati Indramayu (wilayah otonom Mataram) telah dijabat oleh Kiai Ngabehi Wiralodra yang melalui surat tersebut diberikan tugas untuk mengawasi tanah-tanah VOC di sebelah barat Kerajaan Cirebon. Kondisi ini terjadi setelah sebelumnya pada tanggal 20 Januari 1678 Pangeran Adipati Mataram menyerahkan pengelolaan wilayah sebelah Barat Dermayu kepada Gubernur Jenderal VOC. Selain hal tersebut juga didapati gambaran mengenai keberpihakan Dermayu (juga Cirebon) yang sempat berada dibawah penduduk Kesultanan Banten sejak peristiwa Geger Trunajaya tahun 1677. Saudara Wiralodra yaitu Kiai Martapraya pernah memutuskan secara sepihak jabatan Syahbandar Dermayu diberikan kepada orang-orang Banten daripada dijabat oleh seorang Tionghoa Muslim yaitu Wangsaperdana. Bahkan sang Lurah masih dijabat oleh Waduaji seorang punggawa atau orang kepercayaan Sultan Banten.

Berikut transkip dari lembaran asli surat tertanggal 2 Juni 1678 yang dikutip dalam Daghregister tanggal 2 Juni 1678:

 
Arsip (repro) Daghregister 3 Juni 1678. Berisi Surat tugas Kiai Ngabehi Wiralodra Bupati-Utama Indramayu


Volght het translaat van het briefken aan de Javaanse regenten tot Indermayoe voorgeciteert.

Desen brieff stiert den Admirael Cornelis Speelman van wegen den Hoogen Heere Generael ende de Heeren Raden van India aen de grooten die van wegen den grooten Sousouhounangh Aman Courat Sinnepatty Ingalaga het gebied in de negorye Indermayoe voeren, om daerdoor bekent te maacken dat den gouverneur Keay Angabey Wiera Loddera, die met den Admirael Speelman hier op Batavia verschenen is, nu weder met syn vaertuych nae huys vertrect om gelcyk tevooren die plaets als gouverneur van den Sousouhounangh  te dirigeren, daer ghy hem altesamen in gehoorsamen, en in alles ten diensten van uwen heer door de Comp. onder hare bescherminge genomen is, om hem tegens alle zyne vyanden getrouwelyck by te staen, soo heeft hy oocq aen den H ͬ. Generael de macth gegeven, om als zyn gemachtichde de opsicht en het gesach te voeren over alle zyne landen bewesten Cheribon gelegen, alsoo se verre van Jappara en hier naest aen Jaccatra leggen, soodat den Sousouhounangh die in tyde van noot niet en can te hulpe comen. Hierom is den gouverneur Wiera Loddera aenbevolen,gelyck d’andere mindere bevelhebbers op Indermayoe door desen brieff mede gelast warden, dat alles, ‘t gene daer comt voor te vallen, aen den capitain van ons schip, voor de rivier leggende, datelyck bekent sult hebben te maken, opdat hy ons daervan tydinge can toeistieren zoo der wat aen gelegen zy, waertoe ghy dan mede een vaertuygch zult hebben te bestellen, waerin ghy niet gebreecken moecht, opdat den Sousouhounangh uwen heer daerdoor geen schade comt te lyden.

***

Noch maeck icq UE. By desen bekent, dat het den H⸀. Generael geen genoegen heeft gegeven en oock my niet, dat ghy aldaer op Indermayoe de ordre die icq aldaer heb gelaten, om ons volcq voor haer gelt van ververssinge te voorsien, gansch tegen uw gedane beloften niet hebt naergecomen, dat na desen niet meer geschieden moet, gelyck oocq den gouverneur Wiera Loddera hier andermael heeft aengenomen in toecomende daerover beter sorge te dragen, waerin ghy altesamen hem oocq behulpsaem wesen moet. Daerenboven heeft oock Keay Marta Praya seer quaelyck gedaen, met den sabandaer Angra Pradana te disputeren over ‘t sabandaerschap sonder nae den capitain, die daerom expres Indermayoe was opgevaeren, te willen luysteren, noch oocq niet nae te comen; doch nu Wiera Loddera teruchgaet, is hem den last des Sousouhounangs bekentgemaaect, te weten dat Anga Pradana de Bandaer regeren en daerin door den Loera Wadahagie gelyck tevooren gedient warden sall, sonder dat hy off ymand anders hun daerment bemoeyen sullen, maer den sabandaer sal echter gehouden zyn aen den gouverneur Wiera Loddera van alles watter incomt ofte uytgaet kennisse te geven ende aen niemandt anders, moetende evenwel de incomsten blyven onder de bewaringe van den sabandaer, die daervan, als ‘t begeert ende geordonneert comt te werden, reeckeningh aen zynen heer sal (¹) moeten doen, welck bevel des Sousouhounangs  soodanich naegecomen ende voldaen zal werden, opdat hy zich over u niet en comt te misnoegen ; doch nadien wy nu even verstaen dat Wadahagie uyt Indermayo nae Bantam soude gevlucht wesen, soo sullen Wiera Loddera ende Angra Pradana, indien het waerheyt is, ymandt van de andere loeraes in zyn plaetse mogen verkiesen ; gaende nevens desen oocq onsen sourouan Soeta Dria om desen brief en onsen last van wegen uwen heer den Sousouhounangh uw alle bekent te maken, opdat hy daervan dan oocq rapport aeu de Sousouhounangh uwen heer soude connen doen.

(onder stont:)

Geschreven in ‘t Casteel Batavia op Jaccatra, den 2 dagh van de maant Juny in ‘t jaar 1678.

(was geteyckems:)

CORNELIS SPEELMAN.


Terjemahan bebas :


Berikut ini adalah terjemahan surat untuk para bupati (jawa) beserta pejabatnya di Indramayu, yang telah  dikutip.

**

Surat ini dikirimkan Laksamana Cornelis Speelman melalui Gubernur Jenderal dan Dewan Tinggi Hindia (Raad van Indië Dewan), para pembesar yang melalui Susuhunan Amangkurat Senopati Ingalaga (Sousouhounangh Aman Courat Sinnepatty Ingalaga) memimpin daerah di negari Indramayu (Indermayoe).  Untuk diketahui bahwa Bupati-Utama Kiai Ngabehi Wiralodra (Gouverneur Kyai Angabey Wiera Loddera) yang datang ke Batavia bersama Laksamana Speelman yang saat ini telah kembali pulang menggunakan kapalnya, telah memerintah daerah itu seperti yang sudah dilakukan sebelumnya sebagai Gubernur Susuhunan (Red. Mataram), yang harus tuan-tuan semua patuhi Dan dengan semua pelayanan yang dia diberikan maka tuan-tuan menjanjikan atas perlindungan VOC untuk membantunya dalam melawan semua musuhnya sehingga sebaliknya dia pun memberikan Gubernur Jenderal kekuatan dan kekuasaan dengan memerintahkan bawahannya untuk melakukan pengawasan dan wewenang atas semua tanahnya yang terletak di sebelah barat Cirebon. Namun karena letak yang jauh dari Jepara, sehingga Susuhunan tidak dapat datang membantu para tuan pembesar pada saat dibutuhkan yaitu yang berkedudukan di samping Jakarta (Jaccatra). Untuk alasan ini Bupati-Utama Wiralodra telah direkomendasikan, sebagaimana komandan yang lebih rendah lainnya di Indramayu juga diperintahkan melalui surat ini, bahwa segala sesuatu yang terjadi di sana akan langsung diinformasikan kepada kapten kapal kami yang selalu siaga di tepi sungai Sehingga apabila tuan pembesar memerlukan bantuan kami lagi, maka kami akan langsung membantu dengan pergi ke Jakarta dan hal ini tidak akan memberatkan Susuhunan.


***

Bersama dengan ini saya menyatakan kepada Anda bahwa hal itu tidak menyenangkan hati Tuan Gubernur Jenderal maupun saya. Saya memerintahkan Anda untuk menyediakan kebutuhan warga kami di Indramayu yang mana hal ini sepenuhnya bertentangan dengan perbuatan Anda. Setelah ini semoga tidak ada lagi kejadian yang sama karena Bupati-Utama Wiralodra selalu ada di sini untuk sekali lagi diharapkan dapat melakukan tugasnya dengan lebih baik di masa mendatang, yang mana berarti Anda juga harus membantunya dalam segala hal. Selain itu, Kiai Martapraya (Kyai Marta Praya) juga melakukan tugasnya dengan sangat buruk, yaitu berdebat dengan Syahbandar Wangsaperdana (Angra Pradana) tentang jabatannya tanpa memberitahu terlebih dahulu kepada Kapten, yang sesegera mungkin dengan sengaja berlayar ke Indramayu. Untuk mendengarkan keluhan tersebut, hingga surat ini dibuat, Kapten ini belum juga tiba. Kemudian sekarang setelah Wiralodra kembali, tuntutan Susuhunan telah disampaikan kepadanya, yaitu bahwa Syahbandar Wangsaperdana akan memerintah dan dilayani di dalam menjalankan tugasnya oleh Lurah Waduhaji (Loera Wadahagie) seperti sebelumnya, tanpa gangguan darinya atau orang lain. Akan tetapi bagaimana pun Syahbandar tetap berkewajiban untuk memberitahukan kepada Gubernur Wiralodra mengenai segala sesuatu yang masuk atau keluar dari Pelabuhan dan tiada yang lain, tetapi pemasukan harus tetap berada dalam pengawasan Syahbandar yang ketika dia menginginkannya dan diperintahkan akan membuat pertanggungjawaban kepada pimpinannya Dalam pembuatannya, perintah dari Susuhunan harus dipenuhi dan dituruti sehingga dia tidak dapat menempatkan dirinya di atas Anda yang mana hal ini dapat membuatnya Anda tidak senang. Selanjutnya, setelah kita semua sekarang ketahui bahwa Waduhaji akan melarikan diri dari Indramayu ke Banten, jika hal ini benar terjadi maka Wiralodra dan Wangsaperdana dapat memilih salah satu lurah lain sebagai penggantinya. Disamping kejadian ini, kami meminta Sourouan Soeta Dria untuk membuat surat ini dan juga mengumumkan kepada semuanya mengenai surat ini dan beban kami yang disebabkan oleh pimpinan Susuhunan agar dapat melaporkan soal itu kepada pimpinan kalian.

(tertanda di bawah (ini))

Ditulis dalam Kastil Batavia di Jakarta (Jaccatra), tanggal 2 Juni tahun 1678.

(telah ditandatangani)


CORNELIS SPEELMAN.

(Daghregister 3 Juni 1678: 283-284)


Sesuai dengan informasi yang termuat dalam arsip-arsip kolonial mengenai esksistensi tokoh Wiralodra, maka jabatan Bupati Indramayu diteruskan tetap dipegang oleh Kiai Ngabehi Wiralodra sejak tahun 1678. Jabatan bupati yang dalam istilah VOC ditulis  gubernur (gouverneur)  pada era tersebut secara administrasi Jawa dapat disejajarkan dengan “Bupati-Wedana”[2]. Makna jabatan Gubernur tersebut dperjelas kembai dalam surat pengangkatan Kiai Wirantaka (Putra Sulung Wiralodra) dalam tahun 1702, dimana yang dimaksud Gubernur Jawa adalah Bupati-Utama (Hootfregent) atau Kepala Bupati (Opperhooft). Namun, dinasti Wiralodra-Indramayu pada periode selanjutnya hanya menjabat setingkat bupati (regent) seperti ditulis dalam memori serah terima jabatan Residen Cirebon ditahun 1765 dan 1771[3].

Selanjutnya A. Sobana menjelaskan mengenai tinggi rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan dapat dikenali dari gelar kepangkatannya. Adapun hierarki kepangkatan bupati dari bawah ke atas adalah: tumenggung – aria – adipati – pangeran. Gelar tumenggung diperoleh secara langsung pada waktu diangkat menjadi bupati sedangkan gelar aria, adipati, dan pangeran diperoleh karena kondisi yang baik dan telah menunjukan jasa yang pantas dihargai (A. Sobana, 2004: 30).

Dalam kaitannya dengan Wiralodra, dalam naskah Babad Bagelen Wiralodra pernah mendapat gelar kepangkatan tumenggung dibarengi anugerah awal gelar “Wiralodra” oleh Susuhunan Mataram (Sultan Agung) pada saat menjabat mantri di desa Andong Bagelen. Kemudian menjadi bagian dari pasukan Mataram dalam menyerang VOC di Batavia dengan jabatan sebagai Kepala Perang (Senapati) angkatan laut Mataram. Adapun keterangan yang muncul dalam Dagh-Register antara tahun 1678-1682 gelar kepangkatan Wiralodra ditulis secara resmi dengan sebutan “Kiai ngabehi Wiralodra” (Keey Ingabeij Wiera Loddra), yang berarti gelar kepangkatan beliau adalah “Kiai Ngabehi” dengan jabatan sebagai Gubernur (bupati utama) dengan wilayah di Dermayu.

Gelar kepangkatan kiai ngabehi adalah gelar yang sesuai dengan hierarki pemerintahan Mataram untuk wilayah pesisir. Menurut Moedjianto hierarki birokrasi kerajaan Mataram terdiri dari: Kutagara/kutanegara; negara agung; mancanegara; dan daerah pasisiran. Untuk daerah pesisiran, pejabat-pejabatnya dikepalai oleh seorang bupati, atau syahbandar berpangkat tumenggung, kiai demang, dan kiai ngabehi (Moedjianto, 1994). Dalam catatan VOC, Wiralodra memiliki gelar kepangkatan “Ngabehi”. Ngabehi atau juga Angabehi (Ingabeijj) kadang disingkat dengan “Behi/Bei” berasal dari kata “Kabeh”. Ngabehi berarti yang menguasai (mengurusi) semuanya sedangkan kata “Kiai” adalah sebutan untuk kaum bangsawan/ningrat Jawa yang pada akhirnya mengalami penyempitan untuk menyebut mereka yang ahli di bidang agama saja (Soenardhi, 1941: 27).

 Maka, gelar kepangkatan Wiralodra yang disandang adalah gelar yang merupakan hasil pengangkatan resmi dari Pemerintah Mataram yang kemudian pada tanggal 2 Juni 1678 kembali ditetapkan oleh VOC sebagai gubernur di Dermayu dengan penjelasan bahwa Wiralodra sebelumnya sudah menjabat sebagai gubernur Susuhunan (Mataram) (Zulkarnaen, dkk., 2022: 133-139).

 Wiralodra menjadi bupati utama atau koordinator pengawasan tanah-tanah Mataram mulai dari Indramayu, Pamanukan hingga Ciasem kemudian menghadapi usaha perebutan wilayah dari pihak Kesultanan Banten periode 1679 dan berakhir pada 1681. Upaya pengambilalihan wilayah tidak hanya dilakukan pihak Banten tetapi juga Sumedang yang ingin mengembalikan kejayaan era Prabu Geusan Ulun, meskipun usaha tersebut pada akhirnya gagal karena harus menahan serbuan laskar Banten. Hal tersebut mengakibatkan penguasa Sumedang saat itu – Kiai Rangga Gempol (III) – mengungsi ke Indramayu. Baik Sumedang dengan Rangga Gempol dan Indramayu dengan Wiralodra pada awalnya saling curiga dan waspada, namun pada akhirnya mereka menyadari kedudukannya merupakan bagian dari kekuasaan Mataram (Zulkarnaen, dkk., 2022: 163).

Kepemimpinan Wiralodra di Indramayu adalah tentang kesetiaan kepada  kerajaan Mataram. Pada saat itu Kesultanan Banten sedang giat merekrut para bangsawan agar mau menjadi pengikutnya. Salah satu keluarga dari keraton Cirebon yang berhasil direkrut adalah Pangeran Suradimarta (Djajadiningrat, 1983: 67). Pangeran Suradimarta mendapat gelar kepangkatan Kiai Aria. Pangeran Suradimarta menjadi kepala suku pendudukan Banten di Indramayu (Daghregister, 23 Desember 1679). Selain Kiai Aria Suradimarta yang ditempatkan di Indramayu oleh Sultan Banten adalah Kiai Demang Lodra Antaka dan Tumenggung Lodra Manggala (Daghregister 4 Maret 1680: 97-98).

Terdapat dua nama penting dari pihak Sumedang yang cukup terkenal, yang membuat kerepotan pihak VOC, Mataram, dan Cirebon. Pertama, Rangga Nitinegara alias Wangsatanu. Rangga Nitinegara  berasal dari keluarga Pangeran Sumedang (Daghregister 14 Agustus 1679: 375). Kedua, Siliwidara/Ciliwidara yang disebut perampok (rover) oleh Pemerintah Tinggi Batavia karena memimpin serangkaian perebutan desa dan pembakaran di wilayah Pegaden, Pamanukan, Dermayu (Indramayu), dan Cirebon (Daghregister 1679). Ciliwidara adalah saudara bungsu (adik) Pangeran Rangga Gempol III Sumedang (Daghregister, 8 Juli 1680). Ciliwidara lebih memihak kesultanan Banten daripada harus tunduk di bawah Mataram yang telah bekerja sama dengan VOC. Gelar resminya adalah “Dipati Cakradilaga (Depattiy Sacradilaga)” (Daghregister, 27 Mei 1680). Di samping Rangga Nitinegara dan Ciliwidara, ada seorang punggawa Sultan Banten, bernama Waduaji (Djajadiningrat, 1983: 74). Waduaji juga diketahui pernah menjabat lurah Dermayu (Daghregister April-Juni 1678).

Keberanian Wiralodra menjaga kedaulatan Kerajaan Mataram kelak akan membuatnya menjadi penguasa Indramayu yang dikenal seluruh masyarakat. Wiralodra berkedudukan di Dermayu, jauh dari pusat Kutaraja Mataram (yang diserang pasukan Trunajaya), tetapi dekat dengan wilayah yang dikuasai Kesultanan Banten (Sungai Cimanuk). Wiralodra pernah mendapat gertakan dan bujukan, dari Kiai Aria Suradimarta, untuk bergabung dengan Banten dan meninggalkan kerjasamanya dengan orang-orang VOC. Namun Wiralodra bersikap tegas dan berani, menyatakan tidak ada tuan selain Susuhunan Amangkurat. Alasan Wiralodra bekerja sama dengan VOC karena VOC akan membantu Susuhunan Amangkurat.

Wiralodra menjelaskan kepada pihak Aria Suradimarta bahwa atasan sesungguhnya dari Wiralodra adalah Susuhunan Mataram (Sunan Amangkurat II); setiap perintahnya menjadi kewajiban Wiralodra untuk melaksanakannya. VOC menolong Susuhunan Amangkurat II dalam memulihkan Mataram setelah diserang dan diduduki pasukan pemberontakan dari Madura serta para pelarian Makassar yang secara diam-diam juga dibantu oleh pihak Banten. Maka dari itu Wiralodra berkerja sama dengan Pemerintah Tinggi Batavia, sebagai bentuk pelaksanaan dari kerja sama antara Mataram dan VOC (Daghregister, 17 Desember 1679).

Adapun lokasi yang dipilih oleh Wiralodra menurut naskah Babad Darmayu terletak di sebelah barat Kali Cimanuk (Darmayu sabrang kulon, sabrang kulon Kali Cimanuk). Informasi lokasi awal Dermayu ini juga dikuatkan oleh keterangan dalam laporan van Dijk (de Jonge VII, 371) sebagai berikut.

“De Regeer sendiri pada tahun 1685 mengatakan bahwa Sungai Cimanuk (Tjimanoek) masih masuk dalam wilayah Mataram, sesuai dengan batas-batas wilayah Cirebon (Cheribon) yg terbentuk.

Daftar desa tahun 1686 memperlihatkan sejumlah desa kecil, dan menjadikan Sindang atau Indramayu (Indramajoe off Sindang) sebagai desa utama.

Sejauh yang saya temukan di peta, desa-desa itu berada di sebelah barat Sungai Cimanuk (Tjimanoek).

Tetapi pada peta tahun 1692, Distrik Cirebon (Cheribon) berbatasan dengan Distrik Pamanukan, sedangkan untuk Indramayu (Indramajoe) terletak di tepi barat Sungai Cimanuk (Tjimanoek).

Bagian Legenda (dalam peta) menerangkan Distrik Cirebon (Cheribon). Di dalamnya terdapat sungai Dermayu (Dramajou) dan beberapa desa dimana Ngabehi Wiralodra (Ingabey Wiera Lodra) berwenang dan masih menggunakan nama Susuhunan, dan mereka ditunjuk dengan huruf A.

Dari surat-surat ini yang ditemukan hanya 4 di bagian timur Cimanuk (Tjimanoek). Desa kecil lainnya, bergabung dengan desa-desa orang Cirebon (Cheribon), terletak di sebelah barat sungai itu (pada peta)” (de Haan, III, 1912: 41).

Penjelasan van Dijk di atas adalah kondisi saat tahun 1686 ketika jabatan Ngabehi Indramayu sudah berpindah kepada Wirapati (1682). Sebelumnya pada tahun 1679 desa Sindang ditempati oleh Kiai Wirantaka anak sulung dari Wiralodra I. Maka pada periode tahun 1686-an lokasi Ngabehi Wiralodra sebagai bupati atau kepala distrik Indramayu berada di desa Sindang atau Indramayu. Nama Indramayu (Indermayu) ini yang digunakan dalam nomenklatur pemerintahan Kiai Ngabehi Wiralodra selaku Bupati Utama Indramayu. Wiralodra ketika menempati Desa Dermayu di sebelah barat Sungai Cimanuk didampingi oleh Syahbandar Anggapradana/Wangaperdana (1678-1682). Syahbandar Anggapradana kemungkinan berkantor di Desa Pabean. Kepala Desa Pabean, pada tahun 1686, bernama Angganala/Wangsanala (Fernando, 2013: 20).

Adapun lokasi pelabuhan Cimanuk era Wiralodra diperkirakan di sekitar Desa Pagirikan, Pasekan, dan hilir Pabean (Pabean Ilir). Pada peta yang dibuat oleh pelaut Potugis abad XVI, dijelaskan toponimi tiga desa tersebut. Nama Pagirikan berasal dari kata “girik” artinya surat izin untuk keluar-masuk daerah pelabuhan. Pasekan berasal dari kata “pasek” yang artinya tempat penimbunan barang-barang yang akan dimuat atau dibongkar dari kapal ke kapal. Adapun Pabean berasal dari kata “bea” atau “pajeg” yang berarti bea cukai (Purwadarminta, 1939: 34-145, 175 dalam Dasuki dkk, 1977: 125).

Wiralodra kemudian memimpin sejumlah 270 cacah (keluarga) dalam sebuah pemerintahan kecil (Kabupaten) di Indramayu. Wiralodra di damping Syahbandar Wangsaperdana dengan Waduaji sebagai lurahnya. Namun Waduaji adalah salah seorang utusan Banten yang ditempatkan di Indramayu untuk membantu tugas Syahbandar Wangsaperdana. Banten berpikir saat Pasukan Trunajaya berhasil menruntuhkan istana Mataram di Plered tahun 1677 maka wilayah-wilayah pertuanan Mataram di sebelah barat Cirebon akan terlepas dan dengan mudah diambil alih olehnya. Namun saat pihak Banten mengetahui bahwa kekuasaan Mataram atas Indramayu masih berlanjut ketika ditandatanganinya perjanjian dengan VOC, seketika Waduaji melarikan diri dari Indramayu menuju Banten. Maka kedudukan lurah selanjutnya diserahkan kepada pejabat dari Mataram yaitu Lurah Wangsa didampingi Sutadria (Zulkarnaen, dkk., 2022: 151).

Pada era Pemerintahan Kiai Ngabehi Wiralodra I (1678-1682) banyak menghadapi perlawanan dari pihak-pihak yang mencoba mengambil alih tanah-tanah Indramayu. Pihak-pihak tersebut adalah Kesultanan Banten dibawah kuasa Sultan Ageng Tirtayasa. Otoritas Banten yang merupakan rival lama Mataram berusaha kembali merebut tanah dari Sumedang, Indramayu, Pamanukan, Ciasem hingga Karawang. Selain karena faktor historis penaklukan Pajajaran ditahun 1580-an, juga meningkatnya kembali suasana rivalitas dengan Mataram yang sejak tahun 1646 melakukan perdamaian dengan VOC. Kemudian pada tahun 1677 Mataram banyak menandatangani perjanjian-perjanjian ekonomi dengan VOC dalam monopoli komoditas diwilayah Priangan dan pantai utara sebelah barat Jawa. Kubu Mataram yang secara kekuatan militer didukung serdadu-serdadu VOC diantaranya adalah Sumedang dibawah Kiai Rangga Gempol III, Indramayu dibawah Kiai Ngabehi Wiralodra, Kandanghaur dibawah Bupati Nalajaya, Ciasem dibawah Kiai Ngabehi Kartayuda, dan Karawang dibawah Tumenggung Natayuda. Sedangkan pihak Banten memiliki sekutu diantaranya Bupati Pegaden-Pamanukan yaitu Wangsatanu alias Rangga Nitinegara, Adik Pangeran Sumedang bergelar Dipati Cakradilaga yang menggunakan nama samara “Ciliwidara” juga terdapat salah satu keluarga Pangeran Cirebon yang bergelar Kiai Aria Suradimarta. Mereka memimpin para pasukan bayaran Kesultanan Banten berasal dari orang-orang Makassar dan Bali.

Pada awalnya daerah Indramayu pernah diduduki Pasukan Banten dengan pimpinan sukunya Kiai Aria Suradimarta yang didampingi Tumenggung Lodraantaka dan Demang Lodramanggala. Baru pada sekitar tahun 1680 pendudukan oleh para sekutu dan pasukan bayaran Banten dapat diusir disebabkan konflik internal yang terjadi di keluarga Sultan Banten (Sultan Haji dan ayahhnya -Sultan Ageng-).

Wiralodra pada awal tahun 1682 mengirimkan surat kepada Gubrnur Jenderal VOC. Surat tersebut berisi ucapan selamat kepada Tuan Speelman yang telah diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC. Selain itu, Kiai Ngabehi Wiralodra menyampaikan konfirmasi kembali atas perintah yang ditujukan pada dirinya untuk pergi menghadap Mataram. Kiai Ngabehi Wiralodra merasa gugup, oleh karenanya meminta kepada Batavia agar didampingi oleh seorang utusan dari Batavia. Transkip Isi surat asli Ngabehi Wiralodra yang disalin dalam Daghregister tanggal 27 Februari 1682 tersebut sebagai berikut:

 
Arsip (Repro) Daghregister 27 Februari 1682. Berisi surat Kiai Ngabehi Wiralodra kepada Cornelis Speelman yang telah menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia.


Translaet briefie van Ingabeij Wiera Loddra aen Zijn Edʰͭ geschreven.

Desen brieff van Ingabeij Wiera Loddra komt aan den Heer, Gouverneur Generaal Cornelis Speelman in de stadt Batavia. Voorts make bekent dat UEdʰͭˢ dienaar genegen is om mijn Heer te begroeten, alsoo hij Generael is geworden. Godt de Heere zegene hem met een langh leven om de stadt Batavia te regeeren en de Kiaij di Patiij groet mijn Heer oock eerbiedelijck. ‘t Zij goet of quaat, groot of kleijn, alles dat in onse regeeringe geschied staat in het believen van mijn Heer, op wien ons vertrouwen stellen. Wijders heeft mijn Heer gesonden om op Dramaijou rijs te koopen; UEdʰͭˢ dienaar heeft met Dirck naar Chirrebon gesonden om geld van Van de Meer te eijsschen, maar en heeft niet gekregen ende isser een afgesonden van Van der Meer gekoment genaant ………[4]) dewelcke gelaste dat men het vaartuijgh van Dirck soude laden, gelijck geschiet is ende heeft UEdʰͭˢ dienaar daarinne geladen en den Sabandhaar drie coijang, dit is hetgeene in ‘t vaartuijch van Dirck geladen is dat Van der Meer wil betalen. Ick been zeer bevreest om naar de Mataram te gaan, dierhalven versoecke met mijn Heers volck te mogen vertrecken en dat tot dien eijnde een teecken geschrift magh bekomen, daarom gelieft mijn Heers volck metten eersten met een passe herwaarts te zenden. UEd ͭˢ dienaar heeft niet anders te zeggen, als ‘tgeen in desen brieff geschreven staat. Eijnde.    


Terjemahan bebas :

Surat dari Ngabehi Wiralodra kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal sebagai berikut.


Surat dari Ngabehi Wiralodra ini ditujukan kepada Tuan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman di kota Batavia. Selanjutnya, ketahuilah bahwa hamba-mu yang mulia bersedia untuk menyampaikan salam kepada Tuanku, karena sekarang dia telah menjadi seorang (gubernur) jenderal. Tuhan memberkati Tuan umur yang panjang untuk memerintah kota Batavia dan Kiai Dipati (Kiai Dipati Sumedang) juga memberi hormat kepada Tuanku. Baik atau buruk, besar atau kecil, semua yang dilakukan dalam pemerintahan kita adalah atas keridhoan Tuanku yang kepadanya kami menaruh kepercayaan. Lebih lanjut telah dikirim oleh Tuanku untuk membeli beras di Indramayu; Hambamu Yang Mulia telah mengutus Dirck ke Cirebon untuk meminta uang dari van der Meer, tetapi dia tidak menerimanya dan ada kiriman dari van der Meer yang disebut ......... 1) yang memerintahkan agar kapal Dirck dimuat, seperti yang dilakukan dan hamba, Yang Mulia telah memuat di dalamnya tiga koyang oleh syahbandar, inilah yang dimuat di kapal Dirck yang bersedia dibayar van der Meer. Saya sangat ketakutan untuk pergi ke Mataram, oleh karena itu agar saya dapat berangkat bersama utusan Tuanku, dan agar dapat diperoleh izin tertulis untuk tujuan ini, oleh karena itu tolong kirimkan utusan Tuan ke sini terlebih dahulu dengan membawa surat izin. Hambamu Yang Mulia, yang tidak bisa berkata apa-apa selain apa yang tertulis dalam surat ini. Selesai” (Daghregister I, 27 Februari 1682 : 191).


Ngabehi Wiralodra dalam surat tersebut menghadapi sebuah dilema, terkait dengan pihak Batavia yang ingin membeli beras. Ngabehi Wiralodra memerintahkan syahbandar untuk mengangkut sebanyak tiga koyang beras ke Kapal Dirck. Wiralodra meminta kepada Dirck, agar mengambil uang pembayarannya ke Cirebon, karena telah dijanjikan bahwa pihak yang membayar adalah van der Meer. Namun, Dirck tidak mendapat uang dari Cirebon. Maka dari itu Kiai Ngabehi Wiralodra meminta ditemani utusan Batavia ketika pergi ke Mataram dengan disertai surat izin tertulis mengenai masalah penjualan beras.

Wiralodra kemudian diberitakan telah meninggal dunia, hal ini terekam dalam Daghregister bertanggal 9 April 1682 yang memberitakan mengenai kepergian Ngabehi Wirapati (anak Wiralodra) ke Keraton Mataram di Kartasura untuk mengantarkan lampit (tikar pembungkus jenazah) ayahnya. Ngabehi Wiralodra meninggal diperkirakan sekitar bulan Maret – April 1682, karena pada bulan Februari ia masih tercatat melakukan kunjungan ke Mataram yang beribukota di Kartasura Diningrat. Kemudian melalui Isi surat tanggal 7 Juni 1682 menerangkan bahwa Wirapati telah diangkat oleh Susuhunan Amangkurat II untuk menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Bupati Utama Indramayu dengan gelar Ngabehi Wiralodra (Zulkarnaen, dkk., 2022: 158, 193-194). Mengenai keterangan rekomendasi VOC terhadap Mataram agar Wirapati menjadi pengganti ayahnya terekam dalam Daghregister tertanggal 27 Januari 1682 yang menyatakan “…Indramayu dibiarkan berada dibawah kekuasaan Wiralodra, dimana distrik itu telah lama dipimpin oleh otoritas yang lebih tinggi yaitu Tumenggung Wangsaita, dan pada waktu yang bersamaan tahun berjalan anak dari Wiralodra diangkat” (Daghregister I, 27 Januari 1682 : 63). Adapun surat asli Ngabehi Wirapati yang disalin dalam Daghregister 7 Juni 1682, setelah mengantarkan lampit jenazah ayahnya ke Mataram dibulan April 1682 adalah sebagai berikut :

 
Arsip (repro) Daghregister 7 Juni 1682. Berisi surat dari Kiai Wirapati kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia.

Transalaat-briefie van Keeij Wiera Nebeij Pattij alias Ingabeij Wiera Loddra uijt Indramaijoe aan Sijn Ed ͭ de Heere Gouverneur Generaal geschreven.

Dit briefie van UEdˢ dienaar Keeij Nebeij Wiera Patij, waar brenger of is Naija Goena, om daarmede voor den Heer Gouverneur Generaal tot Batavia in alle nedricheijt en eerbiedigheijt te verschijnen, die Godt den Heere wilzegenen met een lang leven, macht gevende aan de volckeren van den Zousouhounang Mancourat Zina Pattij Ingalaga tot Carta Zoura. Verders heeft voor desen den Heer Generaal belast, dat de vader van UEdˢ dienaar naar den Sousouhounang soude vertrecken, alwaar UEdˢ dienaars vader is verscheenen en hem uijtte naam van de Heer Generaal door den Zousouhounang eere is bewesen. Naderhant is UEdˢ dienaars vader komen te overlijden en door last van den Zousouhounang UEdˢ dienaar in zijn vaders plaatse gesuccedeert en met de naam van Ingabeij Wiera Loddra vereert om de plaatse Indermaijoe van het geberchte recht deur tot aan de zee te regeren, ‘tgeene UEdˢ dienaar nu oock waarneemt e naan den Heer Generaal bekent maackt. Hetgeene verder te seggen hebbe is den brenger deses bewust, die den Heer Generaal van alles onderricht sal geven. Eijnde.


Terjemahan bebas :

Terjemahan surat yang ditulis oleh Kiai Ngabehi Wirapati alias Ngabehi Wiralodra Indramayu kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal, sebagai berikut.


Surat ini datang dari hamba ‘Kiai Ngabehi Wirapati’, dimana Nayaguna adalah pengantarnya, yang ditujukan kepada gubernur jenderal di Batavia dengan segala hormat semoga Tuhan memberkahi dengan umur panjang, memberikan kekuatan kepada orang-orang Susuhunan Mangkurat Senapati Ingalaga di Kartasura (Mataram). Selanjutnya, dengan ini sebelumnya Tuan Jenderal telah memerintahkan agar Ayah hamba (Kiai Ngabehi Wiralodra) untuk pergi  menghadap Susuhunan (Mataram), di mana Ayah hamba telah hadir di sana dan nama Tuan Jenderal telah dihormati oleh Susuhunan. Setelah kunjungan tersebut Ayah dari hamba telah meninggal dan atas perintah Susuhunan hamba menggantikan kedudukan ayah hamba dengan menyandang nama (gelar) kehormatan sebagai “Ngabehi Wiralodra” untuk memerintah Indramayu dari pintu kanal laut yang disebut bandar. Segala perhatian apapun hamba hanya mengakui pada Tuan Jenderal. Apa yang telah dikatakan telah sesuai kesadaran yang akan memberi petunjuk kepada Tuan. Selesai” (Daghregister I, 7 Juni 1682 : 730-731).

Dalam Daghregister September 1682, terdapat jabatan wakil pemerintahan atas nama Bupati Wiralodra (stedehouder wegens den Gouverneur Wiera Loddra) (Daghregister II, 13 September 1682: 1104). Posisi wakil pemerintahan tersebut dijabat oleh Paman Wirapati sendiri yaitu Kiai Martapraya (saudara Kiai Ngabehi Wiralodra I).

Mengenai luas wilayah pemerintahan Ngabehi Wiralodra, dapat dilihat pada periode Wirapati (Ngabehi Wiralodra II) ditahun 1686 ketika dilakukan sensus pertama oleh petugas VOC. Saat itu Indramayu dimasukan dalam administrasi tanah-tanah Priangan, Ngabehi Wiralodra II (Wirapati) membawahi 284 cacah (keluarga) dengan jumlah desa sebanyak 20, dan dusun sebanyak 22. Adapun desa-desanya sebagai berikut :

NO. DESA KEPALA DESA NO. DESA KEPALA DESA
1 Sindang atau Indramayu Ngabehi Wiralodra 11 Penyindangan Sindupati
2 Pecinan Martapraya 12 Arahan Numbaktua
3 Pabean Angganala 13 Bangkir Anggasara
4 Penganjang Imbasara 14 Teluk Agung Nitiwacana
5 Wanasari Patrawacana 15 Legok/ Lageassi Mundung? (Mondoongh)
6 Sekadedel/Cidedel Saranaya 16 Selaur?(S[aa]ner) Patragati
7 Kanangha/Kenanga Raksabaya 17 …… Nalogati
8 Duku Cili 18 Pandawa Wangsapraya
9 Nambo Tarub (Trob). 19 Losarang Wanakerti
10 Plumbon Sarapati 20 Puntang Sacakarti

(Sumber : Zulkarnaen, dkk., 2022)

Dalam sebuah Peta bagian Pulau Jawa Abad ke-17 koleksi National Archief Nederlands, terlihat aliran sungai cimanuk dipadati desa-desa. Namun tidak diterangkan apakah desa-desa tersebut seluruhnya telah masuk menjadi bagian dari Indramayu atau sebagian dari wilayah Cirebon. Adapun nama-nama desa tersebut:

Sisi barat Sungai Cimanuk (utara ke timur): Pasekan, Sindang, Indermayu, Trusan, Sukadedel, Kananga, Duku, Panyindangan, Rambatan, Sabangkir, Sindangkarta, Lobener, Logokasi, Salawur, Logokasi, Salawur, Lowiegede. Goridanglajer, Pegaden, Boukalla, Karanggetas, Bangodua.

Sisi barat Indermayu : Rajaajeng, Pria, Lelea, Talanga, Muntur, Losarang, Pontang, Radegang, Pandama, Paparean, Karangtengah, Kadawung.

Sisi timur Sungai Cimanuk : Pabean, Paoman, Lemahbang, Karangangsana, Tumenggungan, Warenerig, Bojong, Wanasari, Pakandangan, Karangsembung, Nambo, Palumbon, Telukagung, Lobener, Tugu. Jatisawit, Pawidean, Bantaragung, Jatibarang.

Sebagian wilayah Indramayu pada Peta Bagian Pulau Jawa Abad ke-17.

 
Peta Jawa Abad ke-17 bagian wilayah Dermayu. (Kaart van een gedeelte van het Eiland Java 17de eeuw.   National Archief Nederlands.  NL-HaNA_4.VEL_1161)


Pada tahun 1702 kedudukan Bupati-Utama Indramayu kemudian dijabat oleh Kiai Wirantaka. Kiai Wirantaka. Setalah Kiai Wirantaka diangkat menjadi bupati dan kepala sahnya untuk tanah-tanah Indramayu melalui akta tanggl 16 Juni 1702 kemudian menyandang gelar “Ngabehi Wialodra”. Namun pada tahun 1764-an menurut laporan mantan Residen Cirebon -F.S. Hasselaer- nama Kiai Wirantaka hanya menjabat sebagai Patih Indramayu bersama Tanujiwa bertindak sebagai wali anak bupati yang telah digantikannya. Mereka berdua disebut sebagai sudara sepupu laki-laki dari bupati sebelumnya. Pada tahun tersebut nomenklatur jabatannya sudah bukan sebagai gouverneur (bupati-utama/wedana) melainkan hanya regent (bupati).

Selanjutnya jika mengacu dalam Babad Darmayu, Ngabehi Wiralodra setelah Wirapati adalah anaknya yang bernama Sawerdi (Varian Babad Darmayu lainnya menulis Kohi). Setelah Sawerdi kemudian jabatan bupati diturunkan kepada anaknya yaitu kakak beradik Benggala dan Benggali, dari Benggali jabatan  bupati lalu diturunkan kepada anaknya yaitu Semangun hingga akhirnya dijabat oleh Krestal sebagai Ngabehi Wiralodra atau bupati terakhir dari dinasti Kiai Ngabehi Wiralodra.

Mulai tahun 1809 setelah VOC bangkrut pada tahun 1799 berganti menjadi Pemerintahan Hindia Belanda, lahirlah Keresidenan Cirebon. Periode Semangun (Ngabehi Wiralodra Indramayu) pulau Jawa dihadapkan pada pilihan akan menerima atau tidak kedatangan dari Persekutuan dagang Inggris yang akan menggantikan pendudukan Pemerintah Hindia Belanda. Surat Ngabehi Wiralodra kepada Raffles pada tahun 1811 menyiratkan kejenuhian Para penguasa Jawa saat itu akan kebijakan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda (Hazmirullah, 20019: 118). Selanjutnya peristiwa Bagus Rangin dan pasukannya yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan penyewaan tanah kepada pihak swasta dalam hal ini para pengusaha Tionghoa kian merebak dan merepotkan berbagai kalangan termasuk Ngabehi Wiralodra di Indramayu hingga akhirnya pemerintahan Inggris kembali direbut oleh Hindia Belanda.

Pada periode selanjutnya pada tahun 1819 terdapat wilayah yang bernama Bengawan Wetan (Sisi timur sungai Cimanuk). Pada periode ini kemudian Indramayu dimasukan dalam administrasi Karesidenan Cirebon dan Krestal (anak Semangun) yang pernah menjabat bupati dengan gelar Ngabehi Wiralodra akhirnya hanya menjabat sebagai Jaksa Indramayu (Jaksa Wiralodra) dibawah Bupati Cirebon yang merupakan pembantu Residen Cirebon. Namun sebelum menjabat sebagai jaksa, sepertinya Krestal menjadi juru tulis pribumi dikantor Asisten Residen Indramayu[5], dimana Tahun 1825-1838 Indramayu memang dipimpin oleh Asisten Residen. Kemudian ditahun 1838-1845 dibawah jabatan Asisten Residen terdapat jabatan Jaksa yang dikenal gelarnya sebagai Jaksa Wiralodra. Jabatan Jaksa diteruskan adik menantu Krestal yaitu Raden Wira Adibrata yang pada tahun 1845 menjadi Rangga Dermayu dengan gelar Raden Demang Wira Adibrata (Regeering Almanak 1819-1842). Anak dari Krestal atau Jaksa Wiralodra yaitu Raden Marngali kemudian hanya menjabat sebagai Demang Distrik Dermayu Kulon (Pasekan) dengan gelarnya Raden Demang Wirakusuma berkedudukan di Kademangan Ngabehi (Tempat tinggal Para Ngabehi Wiralodra) Sindang tahun 1850. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan “Demang Behi”.


Legitimasi VOC pada Indramayu

Legitimasi VOC atas Indramayu sebenarnya telah terlihat sejak tahun 1677-1678. Meskipun VOC yang merupakan persekutuan para pedagang Belanda tidak masuk dalam struktural pemerintahan pribumi (Mataram) namun ia memiliki hak istimewa dalam mempengaruhi beberapa kebijakan ekonomi dan politik Mataram melalui kontrak-kontraknya. VOC juga memiliki hak istimewa dalam membentuk satuan militer keamanan. VOC yang pernah khawatir dengan adanya jalinan rahasia antara Indramayu dengan Banten pernah meminta pihak Mataram agar mengirimkan pejabatnya sebagai lurah di Indramayu untuk mengawasi Kiai Ngabehi Wiralodra. Lurah pada saat awal Kiai Ngabehi Wiralodra diberikan rekomendasi tugas adalah Waduaji, namun sosok ini merupakan seorang Punggawa Sultan Banten dimana pada akhirnya Banten melakukan gangguan-gangguan terhadap tanah-tanah yang baru saja akan diserahkan hak monopoli komoditasnya dari Mataram kepada VOC. Utusan Mataram yaitu Sutadria bersama lurah Wangsa akhirnya datang ke Indramayu untuk membantu tugas-tugas Kiai Ngabehi Wiralodra serta mengawasinya. Sutadria dan Lurah Wangsa diwajibkan memberikan laporan kondisi Indramayu kepada VOC, jika tidak mereka berdua tidak diperkenankan kembali ke Mataram.

Selain hal tersebut VOC dengan alasan untuk menjamin dan menjaga stabilitas keamanan baik diwilayah Indramayu, Sumedang dan Cirebon pada bulan September 1678 meminta kepada pihak Mataram agar di Indramayu didirikan sebuah Pos atau pangkalan militer termasuk menyiapkan ketersediaan perbekalan dan keperluan lainnya. Hal tersebut karena para petualang Banten dengan beberapa tokoh terkemukanya yaitu Waduaji (yang disebut pengkhianat), Nitinegara dan Ciliwidara terus melakukan upaya perampokan terhadap rakyat di tanah-tanah pertuanan Mataram.

Setelah peristiwa pendudukan Banten di wilayah Cirebon, Priangan dan daerah-daerah pantai utara Jawa bagian barat berakhir. Pihak Batavia kemudian melakukan penetapan-penatapan kembali mengenai pengaturan kekuasaan atas wilayah yang telah dijanjikan Mataram kepada VOC. Di antara penetapan tersebut khusus yang menyangkut wilayah Indramayu adalah penetapan bahwa untuk wilayah Indramayu tetap berada dibawah kepemimpinan Ngabehi Wiralodra. Dalam sebuah Daghregister tahun 1682 dinyatakan :

“bahwa, dikarenakan yurisdiksi (wilayah hukum) Indramayu, Pamanukan, dan Ciasem membentang di sepanjang tepi laut, yang mana pada daerah-daerah tersebut pernah dipimpin oleh Tumenggung Wangsaita yang baik hati, yang tetap setia menjadi prajurit yang jujur telah gugur dalam peristiwa di Demung (dommon), dan sejak saat itu tidak ada lagi yang diangkat menjadi gubernur agung (groot gouverneur) oleh Susuhunan (Amangkurat) pada tempat yang sama, seperti dirinya yang menjadi gubernur agung, kecuali distrik Pamanukan yang telah diserahkan kepada Kompeni dengan akta bermaterai, Indramayu dibiarkan berada dibawah kekuasaan Wiralodra, dimana distrik itu telah lama dipimpin oleh otoritas yang lebih tinggi yaitu Tumenggung Wangsaita, dan pada waktu yang bersamaan tahun berjalan anak dari Wiralodra diangkat.

Selanjutnya, Ngabehi Wangsatanu di Pamanukan akan terus memimpin ditempat itu di bawah kekuasaan yang lebih tinggi yang dipegang oleh Rangga Gempol di distrik itu, namun untuk Ngabehi Kartayuda telah menjadi salah satu penduduk kami dan Tuan (Residen) Couper telah diangkat untuk dtempatkan di Ciasem oleh Yang Mulia (gubernur jenderal) (Daghregister I, 27 Januari 1682 : 63).

de Haan menulis “Pada tanggal 4 September 1678 Bupati Wiralodra pernah dipanggil oleh Kiai Rangga Gempol ke Sumedang tetapi Wiralodra menolaknya. Kemudian Pemerintah Tinggi Batavia menetapkan bahwa untuk wilayah Indramayu tetap di bawah kendali Wiralodra karena daerah (Distrik) tersebut telah lama berada dibawah otoritas yang lebih tinggi di bawah Wangsaita” (de Haan. III, 1912: 378).

Dari kutipan informasi Daghregister tanggal 27 Januari 1682 dan de Haan (1912: 112, 378) di atas, maka didapati beberapa poin penting yang erat kaitannya dengan kepemimpinan dan kedudukan Ngabehi Wiralodra sebagai bupati utama di Indramayu. Adapun poin-poin tersebut sebagai berikut :

1.    Tanah-tanah di wilayah Indramayu, Pamanukan, dan Ciasem pernah dibawah pengawasan seorang gubernur agung (groot gouverneur) atau bupati agung (opperegent), yaitu Tumenggung Wangsaita;

2.    Tumenggung Wangsaita diangkat menjadi gubernur agung oleh Susuhunan Amangkurat I. Pada sebuah peristiwa peperangan melawan orang-orang Makassar di daerah Demung, Jawa Timur, Wangsaita gugur pada bulan September 1676;

3.    Sejak peristiwa di Demung (Jawa Timur) tersebut pihak Mataram belum pernah lagi mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai gubernur agung pengganti Wangsaita, karena Sunan Amangkurat I meninggal pada saat pelariannya di daerah Tegal pada tahun 1677;

4.    Pada saat Pangeran Adipati Anom naik tahta dan bergelar Sunan Amangkurat Senapati Ingalaga (Sunan Amangkurat II), menggantikan kedudukan ayahandanya, diangkatlah seorang pejabat bupati untuk mengawasi wilayah Indramayu, Pamanukan, dan Ciasem yaitu Kiai Ngabehi Wiralodra. Kiai Ngabehi Wiralodra mendapat pengakuan atas tugasnya dari pihak VOC melalui surat rekomendasi tanggal 2 Juni 1678;

5.    Karena Mataram meminta bantuan militer dan pendanaan VOC untuk memulihkan kerajaannya maka sebagai imbal balik, wilayah Priangan termasuk daerah-daerah pesisir pantai utara bagian barat, kerajaan Cirebon, sampai dengan Karawang, yang telah menjadi daerah otonom dari Mataram, akan diserahkan kepada pihak VOC secara bertahap;

6.    Mulai tahun 1682 wilayah Pamanukan dan Ciasem diserahkan kepada VOC melalui akta bematerai. Pamanukan tetap di bawah kepemimpinan Ngabehi Wangsatanu sedangkan Ciasem dibawah Ngabehi Kartayuda, dimana Residen Couper ditempatkan di sana;

7.    Wilayah Indramayu tetap berada dibawah kepemimpinan Ngabehi Wiralodra dan pada tahun berjalan (1682) diangkatlah anak Wiralodra sebagai penggantinya. Ngabehi Wiralodra memerintah daerah Indramayu atas nama pemerintah Mataram.


[1] De Haan menuliskan bahwa kemungkinan penyerahan wilayah sebelah barat Cimanuk dilakukan oleh Panembahan Ratu kepada Raja Mataram karena adanya jalinan perkawinan (de Haan. III, 1912: 62).

[2] Lihat A. Sobana Hardjasaputra (2004), SERI SUNDAKALA 3 Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.[3] laporan memori serah terima jabatan dari mantan Residen Cirebon Hasselaer yang menyerahkan kepada saudagar Robbert Hendrik Armaneult pada tahun 1765, menuliskan bahwa “Indramayu, tempat dimana rakit kayu diproduksi dan dikirim, merupakan sebuah kabupaten kecil, yang sekarang berada di bawah kendali Pepatih Tanujiwa dan Wirantaka (Papattys Tanoe Jiwa en Wirantakka), saudara sepupu laki-laki dari bupati yang telah diganti, sebagai wali dari anak Ngabehi Wiralodra (Ingaby Wira Loedra) yang masih di bawah umur.” Sedangkan Dalam laporan memori serah terima jabatan dari saudagar dan Syahbandar tua Batavia Robert Hendrik Armenault kepada penggantinya titular saudagar Evert Jan Van Nieuwkerken, yang ditulis oleh Nijvenheim pada bulan Agustus 1771 menuliskan bahwa “Indramayu memiliki seorang bupati muda bergelar Ngabehi Wiralodra (regent de jonge Ingabee Wiera Lodra), yang tertulis dalam akta tertanggal 6 September 1764 terkait serah terima ini” ((de Jonge XI, 1883: 193).[5] Memorie van toelichting op een ontwerp nnieuw reglement op de particuliere. landerijen bewesten de Tjimanoek (J Faes 1890). Wiralodra periode ini kemungkinan dijabat oelh Krestal anak Semangun yang setelah peristiwa geger Bagus Rangin harus menyerahkan tanah Dermayu kepada pemerintah Hindie Belanda sepenuhnya, jabatan Bupati Indramayu ditiadakan karena Indramayu menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon.


[1] Dalam bahasa Jawa, jika ada ada dua kata yang kata pertama diakhiri vokal dan bertemu dengan awal kata kedua dengan vokal yang sama dengan kata pertama, maka hanya dibaca satu vokal saja, sehingga Darma dan Ayu menjadi Darmayu. Contoh lain kata Maja Agung yang disatukan menjadi Majagung (Nurlelasari, 2016: 39).

[2] Lihat Zulkarnaen, Iskandar, Dkk., 2022. Wiralodra Penguasa Indramayu Abad ke-17 : Kajian Naskah Kuno dan Daghregister. Yogyakarta: K-Media.

[3] Kiai Ngabehi Wiralodra, yang merupakan ayah Wirapati menurut Daghregister VOC, meninggal sekitar awal tahun 1682 (Zulkarnaen, dkk., 2022 : 195).

[4] Peta Theodore de Bry 1598.



[5] Istilah Pires untuk menyebut mereka yang belum mengenal Kristen dan Islam (Cortesao, 2015: xiii).



[6] Istilah Moor merujuk pada deskripsi orang Muslim pengikut ajaran Muhammad dari zaman pertengahan yang tinggal di Al-andalus (Semenanjung Iberia termasuk Spanyol dan Portugis zaman sekarang) dan juga Maroko serta Afrika barat, yang budayanya disebut Moorish. Kata ini juga digunakan di Eropa untuk menunjuk orang yang memiliki keturunan Arab atau Afrika. Nama Moor berasal dari suku kuno Maure dan Kerajaan Mauritania (Wikipedia). Pires menggunakan istilah Moor untuk merujuk mereka yang beragama Islam yang merupakan pesaing utama dengan Portugis yang juga membawa misi Kristenisasi.


[7] Dagh-Register 3 Juni 1678.

[8] Lihat Kasim, Supali. 2011. Menapak jejak Sejarah Indramayu. Yogyakarta: Framepublishing.

[9] Pires menuliskan urutan nama-nama Pelabuhan Kerajaan Sunda dimulai dengan Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, Chemano (Cortesao, 2015 : 232). Pelabuhan terakhir yaitu Chemano dianggap nama lain dari Cimanuk oleh para penerjemah dan sejarawan Indonesia.

[10] Lihat Danasasmita, Saleh. 2014. Menemukan Kerajaan Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

[11] Prabu dalam dalam Kamus Sansekerta-Indonesia, berarti Raja (Purwadi dkk., 2008 : 114). Lebih tepatnya adalah raja daerah atau sebuah kawasan tertentu, karena di atas para prabu terdapat satu hierarki lebih tinggi lagi yaitu maharaja, hal ini tergambar dalam gelar dari Ratu Jayadewata yang menjadi Maharaja Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran.

[12] Dalam terjemahan Cortesao tulisan asli dari teksnya berbunyi “Payboy” sang penguasa kawasan ini dan kawasan itu. Para Payboy tersebut berada di bawah struktur hierarki mangkubumi (macobumj/ bendahara kerajaan), susuhunan (cocunam/ wakil raja), sanghyang (samg briamg/ Raja Sunda) (Cortesao, 2015: 234).

[13] Penyalin atau pengalihaksaraan naskah tersebut dilakukan pada tahun 1982 oleh seorang keturunan/Trah Sunan Gunung Jati yang menjadi rama Peguron Keprabon, Cirebon. Beliau adalah Pangeran Suleman Sulendraningrat (Wildan, 2003: 40). Sulendraningrat juga diketahui telah menulis sebuah buku berjudul Nukilan Sejarah Cirebon Asli yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1956 kemudian pada tahun 1972 diterbitkan cetakan ke-III. Buku-buku tersebut sepertinya memang mengambil kisah-kisah dari masyarakat yang secara temporal menggambarkan kondisi wilayah Jawa bagian barat sebelum agama Islam besar dan masuk kedalam struktur pemerintahan.

[14] Tokoh Indrawijaya hanya muncul dala sumber-sumber tradisional Cirebon. Belum didapati sumber pembanding untuk itu status ketokohan Indrawijaya sebagai tokoh historis masih sangat lemah, bisa juga nama tokoh ini sebagai pelengkap dari legitimasi kekuasaan Cirebon atas pelabuhan terakhir kerajaan Sunda (Cimanuk).

[15] Terdapat penemuan benda arkeologi berupa dua buah lumpang watu di Desa Dermayu yang mengisyaratkan telah adanya peradaban kuno di wilayah tersebut.

[16] Pires menuliskan berdasarkan penuturan Raja Tuban, bahwa sebelumnya Negeri Jawa sangatlah luas dan besar perdaganganya hingga ke negeri-negeri atas angin. Demi menguasai perdagangan di Asia Tenggara saat itu Kerajaan Jawa memberi ijin para pedagang-pedagang yang berasal dari  Cina, Arab, Persia, Gujarat, Bengal, dan berbagai bangsa asing lainnya untuk tinggal di sepanjang Pesisir Pantai Utara Jawa. Para pedagang asing tersebut mayoritas telah memeluk agama Islam (seperti kaum Moor), maka tak heran uraian Pires mengenai Kerajaan Jawa menyatakan bahwa Raja Jawa yang masih pagan ini membawahi para Dipati (pate) moor (Islam) mulai dari Cirebon hingga Demak (Cortesao, 2015: 242-243). Angka tahun 1443 merupakan perhitungan mundur berdasar keterangan Pires bahwa pada saat dia berkunjung ke Jawa tahun 1513 disebutkan bahwa para pate di pesisir masuk islam atau Moor sejak 70 tahun yang lalu.

[17] Lihat Danasasmita, Saleh. 2014. Menemukan Kerajaan Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

[18] Dalam deskripsi peta tersebut bertuliskan Malaysian-Portuguese cartographer Emanuel Godinho de Eredia (1563-1623). Kemudian pada bagian bawah peta terdapat angka tahun 1601 (www.alamy.com/stock-photo).


REKONTRUKSI SEJARAH WIRALODRA

Semua dimulai pada tahun 1977. Pada waktu itu Kabupaten Indramayu berniat menggali nilai-nilai luhur daerah untuk diwujudkan dalam Logo Kabupaten Indramayu dan di saat bersamaan berusaha meneliti mengenai peranan tokoh Wiralodra dengan menggunakan sumber data lokal berupa rontal dan naskah Babad Darmayu. Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah mengganggap Wiralodra sebagai tokoh yang hidup pada era Kerajaan Demak dan Cirebon pada tahun 1527-an. Namun, simpulan tersebut menyisakan banyak kelemahan. Selain karena sumber data yang digunakan terbatas dan belum melalui proses kritik internal-eksternal, juga terdapat missing link era pemerintahan Wiralodra I (tahun 1527) sampai era Wiralodra II (1681-1701). Dalam naskah Babad Darmayu Macapatan sendiri ada kisah yang anakronis yaitu kisah awal Wiralodra I bertempur dengen Arya Kuningan menghadap kepada Sunan Gunung Jati Cirebon yang mana artinya latar kejadiannya terjadi pada sekitar tahun 1528-an. Namun, pada bagian lain diceritakan pula Wiralodra (tokoh yang sama) yang menghadapi pertempuran dengan Pasukan Ciliwidara dan Rangga Nitinegara. Baik Ciliwidara dan Rangga Nitinegara merupakan tokoh historis karena peran mereka terekam dalam Daghregister VOC tahun 1679. Kisah anakronis terjadi karena ada jarak 151 tahun dari peristiwa Wiralodra melawan Arya Kuningan dan Wiralodra melawan Rangga Nitinegara.

Sebenarnya dalam buku Sejarah Indramayu tahun 1977 telah disebutkan bahwa terdapat nama Wiralodra disekitar tahun 1670-an. Argumen yang muncul pada waktu itu menyatakan bahwa Wiralodra yang disebut-sebut dalam Daghregister VOC tahun 1670-an adalah Wiralodra III yaitu Raden Sawerdi (cucu Wiralodra I). Namun, pendapat ini dipatahkan oleh Daghregister VOC tahun 1681 yang dengan jelas menuliskan “Wirapati anak laki-laki Bupati Indramayu yaitu Wiralodra”. Informasi yang sama yang muncul dalam naskah Babad Darmayu Macapatan dan juga sarasilah Trah Wiralodra. Informasi yang menyatakan bahwa Wirapati adalah anak Wiralodra I dan dia menggantikan ayahnya menjadi Wiralodra II.

Naskah Babad Darmayu sendiri menuliskan peristiwa pergantian tersebut pasca peristiwa peperangan antara Wiralodra I melawan Rangga Nitinegara (Pasca tahun 1679-an). Di sini, naskah Babad Darmayu sebenarnya mengkonfirmasi kebenaran informasi Daghregister di mana Wiralodra I hidup pada sekitar tahun 1670-an lalu Wirapati menjabat sebagai Wiralodra II sekitar tahun 1682. Akan tetapi, terjadi kekeliruan pada bagian awal yang menceritakan perjalanan Wiralodra (diidentikan sebagai Indrawijaya) membuka hutan Cimanuk dan menghadapi Pasukan Arya Kuningan yang sebenarnya merupakan cerita kolektif kondisi abad ke-16 awal pengislaman wilayah Dermayu oleh pihak Kerajaan Cirebon. Sumber awal kisah ini berasal dari naskah Babad Tanah Sunda dan Babad Carbon yang menjadi sumber penyusunan Babad Darmayu berbahan rontal (tulisan baru) dan manuskrip kulit binatang. Kebingungan kesimpulan pada tahun 1977 lebih disebabkan karena pemahaman metodelogi ilmu sejarah yang belum maksimal, belum bisa memilah mana yang masuk dalam sumber primer dan skunder.

Berdasarkan paparan data-data di buku ini, dapat disimpulkan bawah Wiralodra adalah tokoh historis dengan nama kecil Bagus Taka. Masa muda diisi dengan menjadi prajurit di Mataram dan menjabat mantri di Desa Andong, yang saat ini masuk dalam Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Lalu terlibat dalam pasukan Laskar Mataram yang menyerang VOC sekitar tahun 1629. Kegagalan penyerangan tersebut, dan adanya kekecewaan Wiralodra terhadap kebijakan yang diambil Raja Mataram membawa Wiralodra memilih jalan peruntungan dengan cara berniaga di kawasan Dermayu-Batavia. Wiralodra adalah orang yang mampu membaca arah angin perubahan peta politik kerajaan Jawa yang saat itu mulai bersinggungan dengan kekuatan baru yaitu VOC (bangsa Eropa). Nasibnya berubah ketika Mataram di bawah kekuasaan Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) di mana Wiralodra memperoleh posisi strategis sebagai bupati-wedana Indramayu setelah sebelumnya wilayah Indramayu barat diserahkan oleh Sunan Amangkurat II kepada VOC sebagai janji bagi bantuan militer VOC dalam memukul pasukan pemberontak Mataram. Momentum Wiralodra memperoleh kedudukan strategis merupakan buah dari mulai turunnya pamor Kerajaan Mataram pada era Susuhunan Amangkurat I di mana kerajaan Mataram yang pernah mandiri sejak pemerintahan Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati), Panembahan Anyakrawati, sampai dengan Panembahan Anyakrakusuma alias Susuhunan Agung (Sultan Agung) berubah menjadi kerajaan yang harus meminta pertolongan VOC. Hal ini berdampak pada penyerahan pengelolaan tanah-tanah di Priangan dan bandar-bandar di Pesisir Utara. Wiralodra selanjutnya menjadi salah satu bupati pesisir Mataram yang berkedudukan di Indramayu (Dermayu) untuk mengawasi tanah-tanah Mataram mulai dari Indramayu, Pamanukan hingga Ciasem yang merupakan wilayah otonom Mataram. Wiralodra juga sebagai salah satu pejabat yang menjaga kedaulatan wilayah tersebut dari usaha pendudukan pasukan Banten pada era Sultan Ageng Tirtayasa, dan ikut menyukseskan kebijakan politik maritim Mataram pada abad

ke-17.


[1] Ki Tarka adalah pemerhati sekaligus penerjemah naskah-naskah kuno yang berasal dari Desa Cikedung Indramayu. Keahliannya diperoleh dari kakek buyutnya semasa kecil.

[2] Berdasarkan kisah terakhir yang dimasukan dalam naskah tersebut, maka bisa dipastikan penulisan naskah Babad Darmayu dengan media kulit binatang ini baru dilakukan sekitar abad ke-19 ketika penulis telah hidup minimal sezaman dengan tokoh yang dikisahkan sebagai Jaksa Wiralodra (Regeeringalmanak, 1838: 38).

[3] Tokoh Tumenggung Singaranu disebut-sebut sebagai orang yang sangat disayang oleh Susuhunan Mataram. Pada tahun 1625, Raja Mataram membangun kepatihan untuknya. Bangunan kepatihan itu dikelilingi tembok batu setinggi 24 kaki dan tebal lima kaki penuh. Di dalamnya hanya terdapat rumah dengan sedikit penduduk dan sedikit jalan (Graaf, 1986: 115).

[4] Nama Satria Indrakusuma sebagai anak dari pengusa Indramayu (Prabu Indrawijaya) dalam naskah  Babad Cirebon, kemungkinan adalah tokoh yang sama dengan Pangeran Dharmakusuma dalam ingatan kolektif cerita tutur masyarakat Desa Sindang, Indramayu, Jawa Barat. Menurut beberapa sesepuh dan tokoh Desa Sindang, Indramayu sesepuh daerah mereka yang sebenarnya adalah Pangeran Dharma (Kusuma). Kemudian menurut beberapa masyarakat Indramayu Barat yang mewarisi cerita tutur dari leluhurnya dinyatakan bahwa Indrawijaya ini berasal dari era kekuasaan Sumedang.

[5] Sindang (bl) = mampir. bl = Bahasa lemes / halus/ hormat. Arti Sindang dalam Bahasa Sunda adalah tempat persinggahan (Sumantri, dkk., 1985: 384).

[6] Peta Asia yang dibuat oleh Mercator dilengkapi oleh Jodocus Hondius pada tahun 1606 di Amsterdam, yang pada bagian pulau Jawa terdapat sebuah wilayah yang bernama Derrmaiyo (Dermayu), Mercator sendiri membuat peta sejak tahun 1569 (Suarez, 2004: 67 dan Roelofz, dkk., 2016: 31). Meskipun belum diketahui secara pasti kapan nama Dermayu ada, namun berdasar peta-peta kuno, nama Dermayu memang baru tercatat dalam peta-peta asing tahun 1600-an.

[7] Sindang : sing.gah (v = kata kerja) eureun sakeudeung di hiji tempat dma jero lalampahan; sindang: kami tidak terus ke Bedahulu, melainkan --  dahulu di Kintamani kuring sarerea hanteu terus ke Bedahulu, tapi nyimpang at sindang heula di Kintamani; persinggahan nl tempat eureun (reureuh) sakeudeung dma jero lalampahan; 2 tempat balabuh (pikeun kapal dsb) (Umsari, dkk., 1993: 320).

[8] Bersumber dari https://pasekan.indramayukab.go.id/profil-kecamatan/. Diakses pada tanggal 25 Juni 2022.

[9] Tidak mudah untuk memastikan tokoh Tumenggung Wangsaita yang disebutkan sebagai prajurit yang baik dan setia dalam pertempuran di Demung (Dommon) dan gugur pada sekitar bulan September 1676. Graaf (1986) yang bersumber pada Daghregister 1676 menuliskan Nama Wangsaita sebagai bendaharawan kerajaan bersama Nitisastra, kemudian ada nama Wangsadita seorang kepala abdi di Gresik. Selanjutnya ada Wangsadipa yang menjabat sebagai Bupati Jepara dan masih hidup sampai dengan bulan Desember 1676. Maka, terhadap nama-nama tadi sepertinya tidak tepat dengan penggambaran profil gubernur agung – Wangsaita – versi Daghregister 1682.  Namun terdapat beberapa tokoh yang terlibat dalam pertempuran di desa Demung (Dommon), Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1676: 1) Raden Prawirataruna; 2) Ngabehi Singawangsa dan Rangga Sidayu. Raden Prawirataruna dikisahkan memimpin pasukan Mataram mendarat, dan langsung diserang laskar Makassar yang bersenjatakan tombak dan belati. Dengan sisa pasukan sebanyak 40 orang, Raden Prawirataruna melancarkan serangan balasan, namun kekuatan laskar Makassar lebih besar mengakibatkan seluruh keluarga besar Raden Prawirataruna meninggal, sedangkan ia melarikan diri ke pantai untuk melindungi sisa pasukannya, namun laskar Makassar terus mengejar dengan senjata lembing pendek dan besar menewaskan seluruh pasukan Mataram termasuk Raden Prawirataruna pada tanggal 24 Mei 1676. Sedangkan Ngabehi Singawangsa dan Rangga Sidayu yang merupakan penguasa pesisir Mataram bertempur melawan pasukan Makassar namun nasib Rangga Sidayu tidaklah mujur, ia meninggal dalam pertempuran di Gegedog bersama dengan pasukan Pangeran Mataram tanggal 16 September 1676 (Graaf, 1986: 98-113). Rangga Sidayu disebut sebagai pelita Sunan Amangkurat I yang mampu menerangi seluruh pesisir Jawa. Rangga Sidayu merupakan paman dari Raden Prawirataruna, meraka masih satu keluarga (satu wangsa). Sosok Wangsaita – gubernur agung – bisa jadi diantara kedua tokoh tersebut yang memang memiliki kapasitas dalam pengawasan wilayah pesisir utara Jawa dan gigih dalam medan pertempuran.


Persoalan tokoh Indrawijaya yang dianggap identik dengan tokoh Wiralodra.


Dalam naskah Babad Tanah Sunda, yang telah dialihaksara oleh Sulendraningrat (tahun 1982), Indrawijaya adalah gelar lain dari Wiralodra (Wildan, 2002: 40). Hasil alih aksaranya diberi judul Babad Tanah Sunda atau Babad Cirebon, diterbitkan pada tahun 1982. Naskah Babad Tanah Sunda berasal dari kerabat Kanoman Cirebon. Secara umum isinya menjelaskan asal-muasal kerajaan Cirebon. Pada naskah ini, bagian 38 diberi judul “Raja Galuh dan Sayambara Panguragan”, bercerita tentang putra penguasa Indramayu yang bernama Satria Indrakusuma.[1] Satria Indrakusuma adalah salah seorang yang turut serta dalam sayembara memperebutkan Nyi Mas Gandasari (Sulendraningrat, 1982: 62). Namun, Satria Indrakusuma gagal. Orang-orang Indramayu akhirnya meninggalkan Panguragan.

Kemudian, pada Babad Tanah Sunda atau Babad Cirebon  bagian 41 ”Prabu Indrawijaya/Arya Wiralodra memeluk agama Islam sambil menyerahkan daerahnya, Indramayu, kepada Cirebon pada tahun 1528 Masehi”, dikisahkan Pangeran Kuningan menuju Dermayu. Pangeran Kuningan mengendarai kuda Winduaji untuk menaklukan Dermayu dan memaksa penguasanya, Indrawijaya, tunduk pada Cirebon. Indrawijaya mengundang salah satu pembesar yang bernama Patih Danujaya. Sang Prabu Indrawijaya lalu segera menuju Kali Kamal untuk memasang jimat Oyod Mingmang dan Jimat Lembu Tirta. Indrawijaya merubah diri menjadi Kidang Kuning, memancing Pasukan Kuningan untuk menangkapnya. Kidang Kuning menceburkan diri ke Kali Kamal. Pangeran Kuningan berusaha menangkapnya. Kidang Kuning menghilang; Pangeran Kuningan terseret banjir hingga ke Pulau Biawak. Pangeran Kuningan ditolong oleh seorang kakek. Kemudian pasukan Pangeran Kuningan kembali melanjutkan pengejaran. Namun tanpa disadari, ternyata pasukan justru bergerak pulang menuju Alun-alun Cirebon. Pangeran Kuningan kemudian masuk ke Keraton Pakungwati. Di hadapannya ada Sunan Gunung Jati sedang bersama Indrawijaya dan para pembesarnya. Rupanya mereka telah menyatakan memeluk Islam kepada Sunan Gunung Jati serta tunduk pada Cirebon (Sulendraningrat, 1982: 83-85). Cerita ini serupa dengan yang dikisahkan dalam naskah Saduran Sejarah Indramayu. Hanya saja tidak menyebut nama Indrawijaya (Nurhata, 2020).

Cerita lengkap tentang interaksi antara Indrawijaya dan Pangeran Kuningan dapat dilihat dalam naskah Sejarah Bab Cirebon (Muhamad Mukhtar Zaedin dkk., 2018), berupa alih aksara dan alih bahasa. Ceritanya dimulai dari rencana penaklukan Pangeran Arya Kemuning terhadap Negara Darmayu. Sebelum melakukan penyerangan, Arya Kemuning memohon izin kepada Kanjeng Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati menolaknya. Sunan Gunung Jati justru mengajaknya ke Demak, menemui Kanjeng Gusti Sunan Demak. Arya Kemuning terus memaksa menyerang Negara Dermayu. Akhirnya Sunan Gunung Jati mengizinkan, meski dengan sangat terpaksa.

“Pangeran Arya Kemuning beserta pasukannya bergerak melewati ruas jalan utama. Sepanjang jalan ramai suara sorak-sorak prajurit. Mereka membawa aneka macam senjata: tombak, pedang, meriam, dan lain-lain. Tujuannya, tak lain, ingin meluluhlantahkan Negara Darmayu.

Rencana penyerangan diketahui oleh Indrawijaya, meskipun para sentana dan prajuritnya belum mengetahuinya. Patih Mangunjaya dan para sentana diperintahkan untuk menjaga Indramayu lebih ketat lagi. Orang-orang yang hilir mudik Negara Indramayu semuanya dipantau. Sejumlah prajurit dikerahkan untuk berjaga, siang dan malam.


Setelah semuanya dalam penjagaan ketat, Indrawijaya pergi seorang diri, menghadapi Arya Kemuning dan pasukannya. Cara itu dilakukan supaya musuh tidak sampai menyentuh Bumi Darmayu, untuk menghindari banyak korban yang berjatuhan di pihak rakyat Darmayu. Pada mulanya Patih Mangunjaya merasa keberatan, tidak enak hati, meninggalkan tuannya seorang diri. Namun karena itu perintah, akhirnya dengan berat merelakan. Indrawijaya pun pergi, lalu merubah wujud menjadi Kijang Kencana, berlari kencang menuju Dusun Ujung Tua. Indrawijaya mengetahui jika musuhnya akan melewati dusun itu.

Rombongan prajurit di bawah pimpinan Arya Kemuning terus berjalan. Pangeran Arya Kemuning berada di barisan paling depan, menunggang kuda kebanggaannya: Si Windu. Sampai di Ujung Tua, Si Windu melihat seekor kijang, yang tak lain adalah jelmaan Indrawijaya. Si Windu mengejar kencang, seperti tidak mau tahu dengan penunggangnya. Hingga tibalah di tepi Kali Kamal (Juntinyuat). Sementara para prajurit tertinggal jauh, mengejar, dan menyusulnya. Kijang Kencana berubah lagi menjadi manusia. Indrawijaya memasang zimat Oyod Mingmang Wenang Latamaosandi. Kemudian Indrawijaya pergi ke arah timur, menemui Kanjeng Susuhunan Jati Purba Syekh Syarif Hidayatillah di Negera Cirebon (Gerage), untuk memohon restu atas berdirinya Negara Darmayu.

Sejak kejadian itu, Arya Kemuning melarang semua prajuritnya mengejar kijang, apalagi memakannya. Sebetulnya Arya Kemuning memahami jika kemunculan seekor kijang di Dusun Ujung adalah pertanda buruk. Namun Arya Kemuning terdorong ambisi keras, tidak sabar ingin menaklukan Negara Darmayu. Ki Patih Warungga yang sangat mempercayainya berusaha mengingatkan untuk tidak menyerang Negara Darmayu. Namun oleh Arya Kemuning, Ki Warungga dianggap penakut, bukan sikap seorang kesatria, bahkan disuruh mengenakan tapih. Karena diejek dan takut pada tuannya, Patih Warungga pun akhirnya turut serta dalam barisan, memimpin prajurit.

Tiba di tepi Kali Kamal, Si Windu hanya bisa maju-mundur, tidak mau menyeberang. Arya Kemuning kesal, mencambuknya, memaksa melompat. Dengan sangat terpaksa, Si Windu lompat, tercebur di sungai. Arya Kemuning terjatuh, terseret arus deras, hingga sampai ke Pulau Biyawak. Sementara Si Windu berhasil menyelamatkan diri, tidak sampai terseret jauh. Si Windu pulang ke Cirebon, meninggalkan tuannya. Sampai di Cirebon, oleh Kiai Bongko, Si Windu dimasukkan ke kandang.

Di Pulau Biyawak, Pangeran Arya Kemuning bertemu dengan Syekh Syarif Hidayatillah yang sedang menyamar sebagai Syekh Dagang. Arya Kemuning memohon bantuan supaya diberi petunjuk jalan menuju daratan. Syekh Dagang bukan hanya memberikan petunjuk jalan melainkan Jimat Cupu, berupa minyak wangi. Kesaktiannya, jika dipercikkan ke merang, lalu merang ditaburkan, maka akan berubah menjadi prajurit. Selain itu, kesaktian Jimat Cupu juga, jika dioleskan ke anggota badan atau pakaian maka orang itu bisa berjalan di atas air dan tidak mempan tersentuh api.

Karena azimat itu, Arya Kemuning berhasil kembali mendarat, menemui prajuritnya di tepi Kali Kamal. Di sana wadyabala bersenjata lengkap sudah siap perang, hendak menuju Darmayu. Namun Jimat Oyod Mingmang masih bekerja. Para prajurit hanya bisa berputar-putar di tempat, hingga tujuh kali. Semakin bersemangat semakin menjauh dari Negara Darmayu, bahkan tanpa disadari mereka kembali ke Alun-alun Negara Cirebon.

Syekh Syarif Hidayatillah yang memahami duduk perkaranya hanya tersenyum dari kejauhan. Arya Kemuning beserta pasukannya kebingungan di tengah-tengah alun-alun. Tiba-tiba, seluruh pasukan yang mengiringi Arya Kemuning semuanya menjadi merang. Arya Kemuning lemas tak berdaya. Di hadapan Kanjeng Sinuhun Syekh Syarif, wajahnya tertunduk malu yang tiada terkira (Zaedin, dkk., 2018: 186-188).

Kutipan di atas, bersumber dari naskah Babad Cirebon yang ditulis pada kertas buram. Naskah ditulis dengan menggunakan aksara Pegon, bahasa Jawa (Cirebon). Diperkirakan waktu penulisannya tahun 1900-an. Secara umum naskah ini tidak jauh berbeda dari naskah Babad Tanah Sunda yang dialihaksara oleh Sulendraningrat. Namun, pada bagian kisah Indrawijaya dan anaknya yang bernama Indrakusuma, tidak disertai nama gelar: Indrawijaya/Arya Wiralodra.

Penjelasan di atas, berbeda dengan karya Sulendraningrat sebelumnya dalam buku berjudul Nukilan Sejarah Cirebon Asli (terbitan tahun 1972). Dalam buku tersebut tokoh Indrawijaya belum diidentikan dengan tokoh Wiralodra. Buku Nukilan Sejarah Cirebon Asli menceritakan, Kerajaan Pajajaran ketika baru berdiri, membawahi empat provinsi. Letaknya di sepanjang tapal batas kali Cipamali. Keempat provinsi itu kemudian melepaskan diri dan masing-masing sebagai wilayah otonom (abad ke-14 hingga abad ke-15). Keempat provinsi itu adalah (1) Rajagaluh, dengan Prabu Cakraningrat sebagai kepala negaranya; (2) Luragung, dengan Prabu Luragung sebagai kepala negaranya; (3) Telaga, dengan Prabu Pucukumum sebagai kepala negaranya; (4) Indramayu, dengan Prabu Indrawijaya sebagai kepala negaranya (Sulendraningrat, 1972: 10). Di tengarai, Indrawijaya adalah penguasa Indramayu/Dermayu sebelum Wiralodra. Dalam peta kuno (1606, 1610, dan 1614) dan Daghregister 1632, nama Dermayu telah disebut-sebut beberapa dekade sebelum Wiralodra menjadi gubernur (tahun 1678) atau sebelum menjadi bupati wedana.

Jadi, pada naskah-naskah Babad Cirebon, fragmen cerita penguasa Dermayu hanya difokuskan pada kisah tokoh Pangeran Indrawijaya dan anaknya yang bernama Pangeran Indrakusuma, ketika Cirebon melebarkan sayap dakwah dan pengaruhnya di Bandar Cimanuk pada tahun 1500-an.

Kisah tentang Indrawijaya juga terdapat pada naskah Babad Darmayu berbahan rontal dan kulit binatang milik Trah Wiralodra. Berdasarkan pada kedua naskah tersebut, Wiralodra dianugerahi gelar Indrawijaya oleh Prabu Cakraningrat Raja Galuh. Wiralodra kemudian menikah dengan Nyi Endang Dharma alias Nyi Mas Gandasari. Lalu Wiralodra memerintah daerah Indramayu. Adapun perangkat pemerintahannya atau pejabatnya yakni Patih Danujaya, Punggawa Kawulanya Pulaha, Wanasara, Bayantaka, Surantaka, dan Puspataruna. Di samping itu ada Puspahita sebagai bahu suku serta Ki Tinggil sebagai lurah. Dua sumber ini sama-sama menceritakan peristiwa kedatangan pasukan Kuningan dan peristiwa pemasangan jimat di Kali Kamal.


Naskah Babad Darmayu bentuk macapatan anakronis dengan sumber sejarah konvensional. Misalnya, kisah pertemuan Pangeran Kuningan dengan Sunan Gunung Jati pada tahun 1528-an, setelah pasukan Kuningan mengalahkan Rajagaluh Palimanan. Kemudian cerita Wiralodra bertemu dengan Tumenggung Nitinegara dan Tumenggung Waduaji (pelarian dari Jepara), yang hendak merebut tanah Dermayu, tetapi dikalahkan oleh Sinuhun Mataram (Zaedian, dkk., 2019: 91-95). Hal ini menjadi anakronis karena Kerajaan Mataram baru didirikan pada tahun 1586. Raja Mataram pertama yang menggunakan gelar Susuhunan/sinuhun adalah Sultan Agung (tahun 1624). Sementara kekuasaan Sunan Gunung Jati muncul sekitar tahun 1500-an.

Fragmen cerita Wiralodra dan Nitinegara adalah peristiwa historis. Sosok Nitinegara tertulis dalam Daghregister tanggal 14 Agustus 1679. Pada Daghregister tersebut Nitinegara disebutkan dengan nama lain Wangsatanu, bupati wedana daerah Pagagadin (Pegaden) dan Pamanukan. Rangga Intenagara (Nitinagara) merupakan nama gelar yang diberikan oleh Raja Banten.

Keterangan Daghregister tanggal 14 Agustus 1679 tersebut senada dengan informasi dalam buku karya Asikin Widjaja Kusuma yang berjudul “Babad Pasundan; Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntugna Karadjaan Padjajaran Dina Taun 1580, 1961 hal.13” yang menuliskan informasi sebagai berikut:

“…. ebreh diberendelkeun djenengan2 para putrana Pangeran Guesan Ulun anu ti Ratu Hasibaja, nja eta:

1.     Pangeran Tumenggung Tegal Kalong (Sumedang), mertua Sultan Agung Mataram;

2.     Raden Arya Wiraradja I di lemah Beureum Darmaradja (Sumedang); Rama Raden Wangsakara (Raden Wiraradja II), anu muka Kampung Lengkong – Sumedang, anu parenahna soso Tijsadane Beulah kentja, girangeun Tangerang;

3.     Raden Rangga Niti Nagara, anu djadi Luluhur rundajan para Bupati Pegaden (Wangsatanu).”


Dari informasi Daghregister dan buku Babad Pasundan dapat diketahui bahwa Wangsatanu merupakan salah satu anak pasangan Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya yang menjadi leluhur bupati di Pegaden. Keberpihakan Wangsatanu kepada Kesultanan Banten (berbeda dengan saudaranya Rangga Gempol III) yang sedang mencoba menguasai tanah dari barat Indramayu sampai Jakarta membuatnya dianugerahi gelar Niti Nagara dengan pangkat Rangga kemudian diangkat menjadi Bupati Pegaden-Pamanukan. Wangsatanu atau Rangga Nitinegara kemudian menjadi bagian dari kekuatan Banten yang mencoba menghalangi usaha Mataram dan VOC dalam menduduki wilayah Priangan. Kiprahnya dapat dilihat ketika dia membuat surat peringatan kepada Bupati Indramayu saat itu yaitu Kiai Ngabehi Wiralodra seperti yang termuat dalam Daghregister tertanggal 23 November 1679 berikut ini.

“Surat ini berasal dari Rangga Nitinegara (Ranga Nity Negara) kepada Kiai  Ngabehi Wiralodra (Ke Angabey Wiera Loddra) dan Kapten Karang (capiteyn Carrangh). Saya harap Anda harus waspada karena orang Banten dan Cirebon sudah berada di Jatibarang. Mereka dalam perjalanan sehari dari Indramayu. Para ketua pasukan Banten adalah: Kiai Aria Suradimarta (Keey Aria Soera de Martha), Kiai Dipati Cakradilaya (Keey Depatty Sacra de Laya). Dengan para pasukan lainnya yang berasal dari orang-orang Banten, Cirebon, Makassar, Melayu dan Bali; karena Yang Mulia ingin datang berperang terhadap orang-orang superior ini. Saya beri tahu Yang Mulia, selain salam kepada Yang Mulia Kapten Karang, dipimpin oleh Kartapati (Carta Pattiy)” (Daghregister 23 November 1679: 529).

Adapun interaksi Wiralodra yang menunjukkan masa hidupnya pada sekitar tahun 1670-an dapat dilihat pada Daghregister tanggal 17 Desember 1679. Dalam dokumen tersebut, Wiralodra menerima sebuah surat dari Kiai Aria Suradimarta mengenai kecurigaan Kiai Aria Suradimarta tentang dirinya yang menjadi sekutu VOC.  Kiai Aria Suradimarta dalam dokumen surat tersebut disebutkan sebagai salah satu ketua pasukan Banten. Gelar bangsawan beliau adalah “Pangeran Suradimarta” dituliskan sebagai anggota keluarga Pangeran di Grage (Cirebon) (Djajadiningrat, 1983: 67). Kiai Aria Suradimarta juga sebagai kepala suku Banten, saat menduduki Indramayu (Daghregister 24 Desember 1679). Kemudian sesuai informasi dalam Daghregister bertanggal 21 September 1681 disebutkan nama Wirapati sebagai anak Wiralodra Indramayu yang datang berkunjung ke Batavia untuk bertemu dengan Direktur Jenderal VOC.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Wiralodra bukanlah Indrawijaya. Sebab, masa hidup Wiralodra adalah sekitar tahun 1600-an sedangkan Indrawijaya sezaman dengan Sunan Gunung Jati atau sekitar tahun 1500-an. Ada selisih waktu satu abad. Era Indrawijaya disebutkan oleh Tome Pires, yang mencatat nama-nama Bandar Kerajaan Sunda pada sekitar tahun 1513-1515. Tome Pires menuliskan, dalam Suma Oriental, Bandar Cimanuk adalah pelabuhan keenam Kerajaan Sunda yang berpusat di Dayo (Pakuan Pajajaran) yang telah menjalankan perdagangan dengan baik dan memiliki kota yang bagus (Cortesao, 2015: 241-242). Di Bandar Cimanuk sudah ada kaum Moor (beragama Islam) sedangkan kapten/Syahbandar Cimanuk masih beragama pagan (penyembah arwah leluhur). Pelabuhan Cimanuk ini kedudukannya berada di bawah kekuasaan Raja Sunda.

Dalam dokumen-dokumen VOC tahun 1600-an disebutkan bahwa kapal jenis tinggang membawa komoditas dari Dermayu. Pada peta 1610 sudah muncul sebuah daerah yang disebut daerah Dermayo (kota Dermayu) dan Cust Dermayo (Pesisir pantai Dermayu). Artinya sudah ada ada tempat/pelabuhan di sekitar area tersebut.

Dokumen-dokumen VOC awal abad ke-17 juga menjelaskan kondisi Bandar Cimanuk tahun 1513-1515, yang memiliki kedudukan penting bagi pelacakan jejak Indrawijaya. Informasi tentang agama pagan pada waktu itu dapat diartikan sebagai agama pra-Islam yang muncul di wilayah Sunda. Kondisi ini mengkonfirmasi bahwa penguasa Cimanuk yang bernama Indrawijaya sejatinya adalah bawahan Rajagaluh. Rajagaluh sendiri adalah kerajaan lokal di bawah Pakuan Pajajaran. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penguasa Cimanuk belum memeluk Islam dan tidak tunduk kepada Cirebon.

Penguasa Cimanuk baru tunduk pada kerajaan Cirebon pasca peperangan antara pasukan koalisi Demak, Cirebon, dan Kuningan, melawan Rajagaluh pada tahun 1528. Agama masyarakatnya pun kemudian berangsur memeluk Islam pada saat kerajaan Mataram Islam berdiri. Kerajaan Cirebon kemudian menjadi vasal Mataram. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan Kuta Beteng Keraton oleh Panembahan Senapati Mataram sebagai wujud penghormatan kepada Panembahan Ratu Cirebon. Pada saat Mataram dipimpin Cucu Panembahan Senapati yaitu Sultan Agung (1613-1645), bandar-bandar kerajaan Cirebon (termasuk Bandar Cimanuk) dijadikan pangkalan militer dalam penyusunan strategi dan konsolidasi pasukan Mataram sebelum menuju Batavia.

Dari beberapa sumber yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Indrawijaya yang diidentikkan dengan Wiralodra adalah bentuk legitimasi atas tokoh yang datang dari luar Dermayu (Bagelen), yang selanjutnya mengusai tanah dan Bandar Indramayu (Cimanuk) sekitar tahun 1670-an. Legitimasi tersebut dibutuhkan supaya masyarakat sekitar menerima kekuasaan tokoh pendatang. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kisah bahwa Wiralodra sama dengan Indrawijaya, sang penguasa Cimanuk pada era Kerajaan Sunda dan era perluasan kekuasaan Kerajaan Cirebon. Asumsi lain disebabkan oleh para penulis naskah Babad Darmayu yang rata-rata hidup di tahun 1800 sampai tahun 1900-an, tidak mengetahui masa hidup tokoh-tokoh lokal sebelum kedatangan Wiralodra.


[1] Nama Satria Indrakusuma sebagai anak dari pengusa Indramayu (Prabu Indrawijaya) dalam naskah  Babad Cirebon, kemungkinan adalah tokoh yang sama dengan Pangeran Dharmakusuma dalam ingatan kolektif cerita tutur masyarakat Desa Sindang, Indramayu, Jawa Barat. Menurut beberapa sesepuh dan tokoh Desa Sindang, Indramayu sesepuh daerah mereka yang sebenarnya adalah Pangeran Dharma (Kusuma). Kemudian menurut beberapa masyarakat Indramayu Selatan yang mewarisi cerita tutur dari leluhurnya dinyatakan bahwa Indrawijaya ini berasal dari era kekuasaan Sumedang.

Kependudukan Indramayu

Mayoritas penduduk Indramayu adalah orang jawa, dengan ethnis tionghoa dermayu yang populasinya ikut berkembang dengan signifikan[1].

Beberapa ethnis lainnya juga dapat ditemukan di daerah ini yaitu orang bugis yang sudah ada sejak lama [2], kemudian orang melayu dan betawi migrasi dari Bekasi, orang sunda migrasi dari tegalkalong Sumedang [3], Tasikmalaya dan Bandung sejak jaman pengungsian [4][5], orang madura yang bermigrasi sebagai pembuka usaha kecil, selain itu dari Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Minangkabau.

Sebagai daerah di pesisir utara, Indramayu dikenal sebagai daerah agraria dan maritim melalui potensi alam, selain itu pelabuhan dan jalan raya pantura menjadi pusat perekonomian sebagai daerah pasar yang ramai menjual beberapa komoditas, maka dengan demikian berbagai penduduk dari luar daerah melakukan perpindahan penduduk ke daerah ini.

Pada penduduk Indramayu memiliki keagamaan mayoritas Islam, beberapa agama minoritas yaitu Kristen, Kejawen, Hindu, dan Khonghucu.

Sumber lain

Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara lain:

  • Berita yang bersumber pada Babad Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama islam bernama Ki Dampu Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415.[6]
  • Catatan dalam buku Purwaka Caruban Nagari mengenai adanya Desa Babadan,dimana pada tahun 1417 M Sunan Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan.[7]
  • Di tengah kota Indramayu ada sebuah desa yang bernama Desa Lemahabang, nama itu ada kaitannya dengan nama salah seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (14501406) Syeikh Lemah Abang pernah tinggal di desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya untuk mengajarkan agama islam.

Referensi

  1. ^ "Kedatangan Tionghoa". Diakses tanggal 2021-2-12. 
  2. ^ "Suku Bugis Indramayu". 
  3. ^ "migrasi Tegalkalong". Diakses tanggal 2021-4-26. 
  4. ^ "pengungsian suku sunda". Diakses tanggal 2022-1-3. 
  5. ^ "Perjanjian Renville dan migrasi militer". Diakses tanggal 2017-10-5. 
  6. ^ Babad Cirebon (Lihat #Daftar pustaka)
  7. ^ "Cerita Purwaka Caruban Nagari". Cirebon Me. 2011-12-07. Diakses tanggal 2015-01-16. 

Daftar pustaka

  • Cortesao, Armando. 2015. Suma Oriental. Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Fransisco Rodrigues. Yogyakarta. Penerbit Ombak.
  • Dagh-Register 1678 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan, 1907. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. Dagh-Register 1679 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan, 1909. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. Dagh-Register 1680 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan, 1912. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. Dagh-Register 1681 Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de Dr. F. De Haan, 1919. Batavia: landsdrukkeij&‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. Dagh-Register 1682.I Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de W. Fruin_Mees, 1928. Batavia: G. Kolff&Co. Dagh-Register 1682.II Gehouden int Casteel Batavia vant Passerende daer ter Plaetse als over Geheel Uitgegeven door het Departement van Kusten en Wetenschappen, met medewerking van de Nederlandsch-Indische Regeering en Onder Toezicht van de W. Fruin_Mees, 1931. Batavia: G. Kolff&Co.
  • Dasuki, H.A. dkk. 1977. Sejarah Indramayu. Indramayu: Sudiam.
  • De Graaf, H.J. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers. De Graaf, H.J. 1987. Disintegraasi Mataram Di Bawah Amangkurat I. Jakarta: PT Pusataka Grafitipers. De Graaf, H.J. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack. Kemelut di Kartasura Abad XVII. Jakarta: PT Pusataka Grafitipers. de Haan, F. 1912. De Preanger -Regentschappen Onder Het Nederlandsch Bestuur Tot 1811. Batavia: Gedrukt Ter Boekdrukkerij G. Kolff & Co.
  • Zulkarnaen, dkk., 2022. Wiralodra Penguasa Indramayu Abad ke-17: Kajian Naskah Kuno dan Daghregister. DIY: K-Media.
  • Kasim, Supali. 2011. Menapak Jejak Sejarah Indramayu. DIY: Framepublishing.
  • Margana, Sri, dkk. 2021. Sejarah Kebudayaan Maritim Mataram 1600-1755. DIY: Dinas Kebudayaan DIY
  • Nurlelasari, Dini. 2016. "Pelabuhan Indramayu pada Masa Kerajaan Tradisional hingga Masa Hindia Belanda (Abad XVI-XX)”. Konferensi Nasional Sejarah X. Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.