Sultan Agung dari Mataram
Sultan Agung dari Mataram (bahasa Jawa: ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ, translit. Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma; lahir di Kutagede, Mataram, 1593–meninggal di Karta, Mataram, 1645) adalah sultan Mataram ketiga yang memerintah dari tahun 1613-1645. Seorang sultan sekaligus senapati ing ngalaga (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.
Anyakrakusuma ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sultan Agung Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi | |||||||||
Berkas:Portrait of Sultan Agung Anyakrakusuma.png | |||||||||
Sultan Mataram | |||||||||
Berkuasa | 1613–1645 (32 tahun berkuasa) | ||||||||
Naik takhta | 1613 | ||||||||
Menggantikan | Pangeran Martapura | ||||||||
Penerus | Amangkurat I | ||||||||
Kelahiran | Raden Mas Jatmika 1593 Kutagede, Mataram | ||||||||
Kematian | 1645 Karta, Mataram | ||||||||
Pemakaman | |||||||||
Permaisuri | Ratu Kulon (pertama) Ratu Wetan (kedua) | ||||||||
| |||||||||
Bahasa Jawa | ꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ | ||||||||
Wangsa | Mataram | ||||||||
Ayah | Anyakrawati | ||||||||
Ibu | Dyah Banawati (Ratu Mas Adi) | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pahlawan Nasional Indonesia S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. |
Sultan Agung atau Susuhunan Agung (secara harfiah, "Sultan Besar" atau "Yang Dipertuan Agung") adalah sebutan gelar dari sejumlah besar literatur yang meriwayatkan karena warisannya sebagai raja Jawa, pejuang, budayawan dan filsuf peletak pondasi Kajawen. Keberadaannya mempengaruhi dalam kerangka budaya Jawa dan menjadi pengetahuan kolektif bersama. Sastra Belanda menulis namanya sebagai Agoeng de Grote (secara harfiah, "Agoeng yang Besar").
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.[1]
Silsilah
Nama asli dari Sultan Agung adalah Raden Mas Jatmika. Selain itu, ia juga dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang. Dia adalah putra dari Prabu Anyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua dari Kesultanan Mataram. Sedangkan ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, raja terakhir dari Kesultanan Pajang.[2][butuh sumber yang lebih baik]
Versi lain mengatakan bahwa Sultan Agung adalah putra Raden Mas Damar (Pangeran Purbaya), cucu Ki Ageng Giring. Dikatakan bahwa Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan oleh istrinya dengan bayi yang dilahirkan oleh Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas yang kebenarannya harus dibuktikan.
Sultan Agung memiliki dua permaisuri utama yang merupakan tradisi Kesultanan Mataram. Kedua permaisuri ini disebut Ratu Kulon dan Ratu Wetan. Ratu Kulon merupakan putri dari sultan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Ratu Wetan merupakan putri dari Adipati Batang sekaligus cucu Ki Juru Martani.[3] Nama asli Ratu Kulon adalah Ratu Mas Tinumpak. Ia melahirkan Raden Mas Syahwawrat yang dikenal sebagai Pangeran Alit. Sedangkan nama asli dari Ratu Wetan adalah Ratu Ayu Batang. Ia melahirkan Raden Mas Sayyidin yang dikenal sebagai Amangkurat I.[butuh rujukan]
Dari permaisurinya, Sultan Agung memiliki 9 anak :[butuh rujukan]
- Raden Mas Syahwawrat alias Pangeran Alit
- Raden Mas Kasim alias Pangeran Demang Tanpa Nangkil
- Pangeran Rangga Kajiwan
- Raden Bagus Rinangku
- GRAy. Winongan
- Pangeran Ngabehi Loring Pasar
- Raden Mas Sayyidin alias Pangeran Arya Mataram (kemudian bergelar Amangkurat I)
- GRAy. Wiramantri
- Raden Mas Alit alias Pangeran Danupaya
Gelar
Di awal pemerintahannya, Raden Mas Jatmika bergelar Susuhunan Anyakrakusuma dan dikenal juga sebagai Panembahan Anyakrakusuma atau Prabu Pandita Anyakrakusuma. Setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya sebagai Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, atau Sunan Agung. Gelar sultan, baru didapatkan Sunan Agung ketika ia mengirim utusan kepada syarif Makkah.[4]
Pada 1641, setelah utusan Sunan Agung tiba di Mataram, mereka menganugrahkan gelar sultan melalui perwakilan syarif Makkah, Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi,[4][5] disertai kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.
Pemerintahan
Kenaikan takhta
Sultan Agung menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613 M. Masa pemerintahannya berlangsung hingga tahun 1645 M.[6] Ia naik takhta untuk menggantikan posisi dari Pangeran Martapura.[7] Sultan Agung ketika menjadi raja baru berusia 20 tahun.[8] Pangeran Martapura merupakan saudara tirinya yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Sultan Agung secara teknis adalah sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang tunagrahita hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Martapura.[butuh rujukan]
Pada tahun kedua pemerintahan Sultan Agung, Patih Mandaraka meninggal karena usianya sudah tua, dan posisinya sebagai patih diduduki oleh Tumenggung Singaranu.[butuh rujukan]
Ibu kota Mataram pada era penobatannya masih berada di Kutagede. Pada 1614, sebuah istana baru dibangun di Karta, sekitar 5 km di barat daya Kutagede, yang mulai ditempati 4 tahun kemudian.[butuh rujukan]
Kepahlawanan
Pendudukan Belanda di ujung barat Jawa, sepanjang Banten, dan pemukiman Belanda di Batavia adalah wilayah di luar kendali Sultan Agung. Dalam upayanya mempersatukan Jawa, Sultan Agung menyatakan Banten yang secara historis sebagai daerah bawahan Demak dan Cirebon. Namun, semenjak kedatangan Belanda, mereka berdaulat atas Banten. Klaim itu mendesak Sultan Agung untuk melancarkan penaklukan militer sebagai upaya untuk mengambil alih Banten dari pengaruh Belanda. Namun, jika Sultan Agung menempatkan baris pasukannya ke Banten, kota pelabuhan Batavia akan berdiri sebagai lawan potensial terlalu dekat dengan kedekatan wilayah Banten. Sultan Agung menganggap keberadaan Belanda di Batavia sebagai ancaman terhadap hegemoni Mataram, sehingga mengharuskan alasan lebih lanjut untuk menempatkan pasukan Mataram di Batavia.[9]
Pada 1628, Sultan Agung dan pasukan Mataram mulai menyerbu Belanda di Batavia.[10] Tahap awal kampanye melawan Batavia terbukti sulit karena kurangnya dukungan logistik untuk pasukan Mataram.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Dipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang dan Cirebon. Namun pihak Belanda yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya. Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai Batavia.[11]
Serangan kedua Sultan Agung ini berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal Belanda yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Reputasi sejarah
Perkembangan Budaya
Perkembangan bedaya sebagai tarian sakral, gamelan dan wayang dikaitkan dengan pencapaian artistik Sultan Agung sebagai budayawan. Beberapa bukti tertulis berasal dari sejumlah kecil dalam catatan Belanda.[12] Namun dalam tutur cerita rakyat yang kompleks, menyebutkan Sultan Agung dengan berbagai bidang pencapaiannya jauh lebih besar. Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri kalender Jawa yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing, yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.
Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut bahasa Bagongan, digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.
Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah Madura, ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Lamun sira tinitah bupati anggea ambek kasudarman den dadi surya padhane sumadya lwir ramu mungwing cala lumawan ening mwang kadi ta samudra pamotireng tuwuh rehing amawi santana wruhanira lwir warsa taru rata nglih mangsaning labuh kapat
Serat Nitipraja karya Sultan Agung
Namun warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional.[13] Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai Adipati sebagai kepala wilayah Kadipaten, khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.
Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut regentschappen. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.
Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden Soekarno ia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Penaklukan Pertama Sultan Agung (1613-1619)
Setelah Panembahan Krapyak beliau digantikan oleh putranya yaitu Sultan Agung Senapati ing Alaga. Sultan mengikuti jejak ayahnya berperang dengan Surabaya. Namun beliau menggunakan strategi lain. Sultan tidak lansung menyerang Surabaya melainkan menguasai daerah-daerah di sekitar Surabaya.
Sultan Agung Senapati ing Alaga tercatat sebagai raja terbesar Kerajaan Mataram. Ia berkuasa selama lebih dari tiga dekade (1613-1646). Ia menguasai seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Ujung Timur dan Madura.
Tak hanya di Jawa dan Madura, kekuasaan Sultan Agung juga diakui oleh Sukadana di Kalimantan, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar. Memang kecuali di Sukadana, angkatan laut Mataram bukanlah kekuatan penakluk yang besar atas pulau-pulau lain. Tetapi keberadaannya telah memberi kepada Mataram suatu pengaruh yang mungkin bisa dibandingkan dengan Majapahit.
"Sultan Agung merupakan penakluk terbesar di Indonesia sejak zaman Majapahit"
—M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004.
Satu-satunya kelemahan Sultan Agung adalah kegagalannya merebut Batavia dari VOC dan satu-satunya kerajaan di Jawa yang tetap merdeka adalah Banten, yang terletak di ujung barat. Dalam ekspansi kekuasaanya, salah satu kendala yang dihadapi Sultan Agung adalah wabah penyakit. Seperti ketika ia menyerang Wirasaba (Mojoagung). Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia meminta waktu satu hari untuk merebut Wirasaba. Akhirnya, setelah tiga serangan hebat yang mendadak, Wirasaba bisa ditaklukan tahun 1615. Surabaya bersama sekutunya berupaya menyerang balik Mataram yang menguasai Wirasaba. Mereka menyerang Mataram melalui Pati, namun hal itu diketahui pihak Mataram. Surabaya dan sekutunya berhasil dikalahkan.
Pada tahun 1616 pasukan Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Mertalaya berhasil menaklukan Lasem. Selanjutnya tahun 1617, Pasuruan juga berhasil ditaklukan. Di tahun yang sama terjadi pemberontakan Pajang kepada Mataram. Pemberontakan itu mengakibatkan terjadinya krisis beras di Mataram, Pada akhirnya Pajang berhasil dikalahkan. Tuban berhasil ditaklukan tahun 1619, Adipati Tuban melarikan diri kearah Giri. [14][15]
Mataram dan VOC (1613-1624)
Ketika Sultan Agung berkuasa, ia mengadakan kontrak dengan Duta Belanda Van Surck mengenai pembangunan Loji di Jepara. Kontrak tersebut akhirnya menimbulkan permasalahan. Pihak Belanda yang merasa dirugikan karena pembangunan Loji berlansung lambat berusaha meninjau kembali kontrak dengan mengutus Andries Soury tahun 1615, Druyff tahun 1616 dan Cornelis van Maseuck tahun 1618.
Pada tahun 1618 Loji Belanda di Jepara diserang Koja Hulubalang atas perintah Raja Mataram. Sebelum penyerbuan ini, pimpinan dari kantor dagang, yaitu Balthasar van Eynthoven dan Cornelis van Maseuck dipanggil oleh Hulubalang dan kemudian ditahan, karena Belanda merampas kapal kapal pribumi yang singgah di Jepara dan mencoba mengingkari kontrak yang telah disepakati antara utusan VOC pertama van Surck dengan pihak Mataram.
Pihak Belanda dalam hal ini Jan Pieterszoon Coen membalas serangan itu dengan merusak Jepara, tahun 1618-1619. Karena keretakan hubungan antara Belanda dan Mataram, Belanda kembali menjalin hubungan dengan Raja Surabaya. Belanda juga berusaha melakukan perundingan kembali dengan Mataram untuk menghilangkan ketegangan , namun perundingan tersebut tidak menghilangkan ketegangan yang terjadi.[16]
Kemenangan Atas Surabaya (1620-1625)
Setelah berhasil menguasai Tuban. Mataram mulai menyusun strategi untuk menguasai Surabaya. Tahun 1620 serangan pertama ke Surabaya dilakukan oleh Mataram, disusul serangan kedua tahun 1621. Sebelum menyerang Surabaya kembali, Mataram menduduki daerah kekuasaan Surabaya yaitu Sukadana tahun 1622. Selanjutnya Mataram melancarkan serangan ketiga di tahun yang sama, serangan keempat tahun 1623. Surabaya yang dengan ulet berusaha mempertahankan diri ternyata sulit ditaklukan. Mataram kembali menerapkan strateginya, tahun 1624 Madura ditaklukan. Kemudian melancarkan serangan kelima tahun 1624 ke Surabaya. Sultan Agung menggunakan taktik penyakit untuk mengalahkan lawan terkuatnya, Surabaya, dengan membendung Kali Mas, cabang dari kali Brantas. Hanya sebagain dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. Karena hal itu penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk, gatal, demam dan sakit perut. Namun, setelah Surabaya menyerah pada 1625, kegiatan militer Sultan Agung mengalami kemunduran. Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduran ini juga akibat penyakit menular. [17]
Raja, Keraton dan Pemerintahanya
Orang Eropa menilai Sultan Agung tidak dapat dianggap remeh. Sultan memiliki badan bagus, kulitnya lebih hitam dari rata rata orang Jawa, hidung kecil tapi tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa dan lamban bila berbicara. Sorot matanya tajam bagaikan Singa. Pakiannya tidak berbeda dengan pakaian orang Jawa lainya. Mengenakan sabuk emas, mengenakan kuluk putih di kepala dan keris yang diletakkan di depan serta jari jarinya dihiasi cincin. Sultan Agung mempunyai dua istana. Bernama Kota Karta dan satunya terletak di Lautan Selatan. Di sekitar istana terdapat alun alun. Selain istana juga terdapat kepatihan, masjid dan tempat tinggal untuk tumenggung, para pejabat dan kawula. Kehidupan istana berlansung menurut aturan tertentu, ada pertarungan lawan harimau dan juga perburuan.sultan agung memiliki tentara perkasa. Bagian terbesar tentara adalah infanteri yang bersenjatakan tombak dan keris. Pasukan Sultan sangat disiplin dan memiliki semangat tempur tinggi. [18]
Pengangkatan Sebagai Susuhunan (1624)
Di awal pemerintahannya Raden Mas Jatmika, atau dikenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma. Kemudian setelah menaklukan Madura pada tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung Adiprabu Hanyakrakusuma, atau juga bisa disebut Sunan Agung.[19]
"Gelar Susuhunan digunakan selama 17 tahun.
Perang dengan Pati (1627)
Adipati Pragola penguasa Pati memberontak terhadap Mataram hal itu direncanakan ketika Raja sibuk dengan Surabaya. Namun pemberontakan itu dapat diselesaikan dengan perkawinan politik. Rupanya pemberontak yang sebenarnya adalah Tumenggung Endrana, pada akhirnya Endrana dihukum mati di muka umum. [20]
Pengepungan ke Batavia (1628-1629)
Penyakit pes yang mewabah pada 1625-1627 itu membunuh 2/3 penduduk di beberapa daerah di Jawa Tengah dan 1/3 penduduk Banten. Sultan Agung memulai lagi ekspansinya pada 1628 dengan menyerang VOC di Batavia. Serangan itu gagal meskipun telah menerapkan strategi seperti ketika merebut Surabaya, yaitu membendung sungai untuk menimbulkan penyakit. Serangan kedua pada 1629 juga mengalami kegagalan. Kekalahan itu tak menghentikan Sultan Agung. Ia menaklukan Giri, Panarukan, Blitar, dan Blambangan di Ujung Timur. [21]
"Kurang lebih 50 persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman dan peluru Belanda."
—Adolf Heuken. (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka (edisi ke-8).[22]
Mataram dan Portugis (1629-1634)
Sikap raja Mataram terhadap Batavia sangat teguh walaupun gagal dalam pengepungan yang sudah dilakukan. Untuk itu Sultan meminta bantuan Portugis. Portugis pun mengirim beberapa utusan untuk menjalin hubungan dengan Mataram.[23]
Mataram dan VOC (1629-1634)
Karena gagal dua kali dlam mengepung Batavia Sultan Agung melakukan perundingan dengan Belanda. Belanda menanggapi dengan mengutus Pieter Franssen. Namun pertempuran tidak dapa di hindari. Tahun 1633-1634 terjadi pertempuran laut antra Mataram dan Belanda.[24]
Ketegangan dalam Kerajaan Setelah Kegagalan di Depan Batavia (1628-1635)
Kegagalan yang dialami pasukan Mataram di depan Batavia meninggalkan kesan yang mendalam bagi Sultan Agung. Itu tercermin dalam cerita tentang tidak setianya Sumedang dan Dipati Ukur yang terjadi pada akhir pengepungan pertama. Raja mendengar bahwa mereka tidak setia, hal itu membuat raja murka. Raja juga cemas karena rakyat Priangan melepaskan diri dari kekuasaan raja.[25]
Keruntuhan Giri (1635-1636)
Penaklukan Giri dilakukan atas perintah raja Mataram. Dalam cerita Jawa dapat dibagi dalam tiga bagian. Pertama Raja berdamai dengan putra raja Surabaya yang terakhir yaitu Pangeran Pekik. Kedua Pangeran Pekik bersama istri ke Giri. Ketiga penaklukan Panembahan Giri.[26]
Mataram dan Portugis (1634-1640)
Portugis dan Mataram kembali melanjutkan hubungan. Portugis kembali mengutus utusanya ke Mataram. Selanjutnya Mataram dan Portugis saling bertukar utusan. Portugis juga mengemban Misi Dominikan dalam menjalin kerjasama dengan Mataram.[27]
Mataram dan VOC (1636-1642)
Dalam setiap pertempuran dengan Belanda pastilah Mataram menawan orang orang Belanda. Atas permintaan Belanda tawanan tersebut mendapat bantuan baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Namun beberapa tawanan berhasil melarikan diri dari penjara Mataram. Belanda dan Mataram melakukan perundungin, namun rupanya perundingan iu tidak pernah menghasilakn kesepakatan.[28]
Keresahan Sekitar Putra Mahkota (1637)
Putra mahkota yang kelak akan menjadi pengganti raja melakukan perbuatan yang tidak senonoh, Putra Mahkota melariakan istri Tumenggung Wiraguna. Raja amat terpukul dengan hal itu. Putra Mahkota mengakui kesalahanya dan memilih hukumannya sendiri. Istri Tumenggung wiraguna hendak dikembalikan, namun karena murka Tumenggung Wiraguna membunuh istrinya.[29]
Penaklukan Blambangan (1636-1640)
Orang orang Mataram mulai menyerang Blambangan setelah Surabaya menyerah. Serangan besar pertama dilakukan pada tahun 1635, disusul serangan serangan berikutnya di tahun 1636-1640. Blambangan akhirnya ditaklukan, Raden Kembar meyerah (anak adipati Blambangan). Kemudian Sultan memerintahkan sebagian penduduk Blambangan dipindah ke Mataram.[30]
Penerimaan Gelar Sultan (1641-1642)
Karena keberhasilanya dalam menaklukan banyak wilayah dan memenangkan pertempuran. Sultan Agung melakukan langkah simbolisnya yaitu mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar Sultan. Ia tak mau kalah dengan pesaingnya, raja Banten yang pertama di Jawa menerima gelar Sultan dari Mekkah. Pangeran ratu mendapatkan nama Arab, Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir. Utusan Sultan Agung kembali pada 1640 dengan membawa gelar dan nama Arab: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.[31][32]
Gelar Sultan hanya digunakan 4 tahun saja.
Mataram dan Tanah Seberang
Di tanah sebrang Sultan Agung dikenal raja yang kuat. Ia memiliki armada laut dengan kapal kapal kecil tetapi cepat. Palembang merasa tertarik dengan Mataram karena mempunyai musuh yang sama yaitu Banten. Palembang menawarkan bantuan untuk menyerang Banten. Bahkan Palembang mengaku tunduk pada Mataram. Jambi yang berbatasan dengan Palembang, juga mengikuti Palembang tunduk pada Mataram. Sultan Agung juga berhasil menaklukan Banjarmasin di Kalimantan. Sultan Agung juga menjalin hubungan dengan Makasar.[33]
Tahun Terakhir, Makam, dan Wafatnya (1643-1646)
Kesehatan Sultan Agung menurun. Ia jatuh sakit pada 1642. Sebelum meninggal Sultan Agung mengadakan peraturan untuk mencegah perebutan tahta, hal itu ia percayakan kepada Tumenggung Wiraguna. Sehingga yang tampil menggantikannya dalam urusan kerajaan adalah Tumenggung Wiraguna. [34]
"Sedemikian menonjol orang kuat ini tampil dalam surat-surat, sedemikian sepinya muncul berita-berita tentang rajanya,"
"Mungkinkah tindak-tanduk Tumenggung Wiraguna yang kuat ini disebabkan karena kemunduran kesehatan Sultan Agung? Pada tahun 1642, raja jatuh sakit. Penyakitnya cukup berat."
—H.J. de Graaf. (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafitipers.
Menurut cerita tutur dalam Serat Kandha, Nyai Loro Kidul telah meramalkan kematian Sultan Agung, yaitu ketika ia mengunjungi Istana dibawah laut. Jadi, awal tahun 1644, ia telah mengetahui atau merasa bahwa ia akan meninggal.[35]
"Apakah pengetahuan ini didasarkan pada kesehatannya yang tidak stabil, ataukah ia sungguh-sungguh menerima wahyu ketika ia mengunjungi Gua Langse? Pengganti-penggantinya pun biasa pergi ke Gua tersebut."
—H.J. de Graaf. (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafitipers.
Untuk menghadapi kematiannya, pada 1645, Sultan Agung membangun sebuah tempat pemakaman baru di puncak bukit di Imogiri, kira-kira lima kilometer di sebelah selatan Istananya. Situs ini akan menjadi pemakaman bagi hampir semua penggantinya dan anggota-anggota keluarga kerajaan yang terkemuka. Akhirnya, Sultan Agung meninggal dunia pada 1646, kira-kira antara awal Februari dan awal April.[36]
"Wabah-wabah penyakit merajalela pada tahun 1640-an, dan kematian Sultan Agung mungkin sekali disebabkan oleh salah satu wabah tersebut."
—M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004.
Mengutip Babad ing Sangkala bahwa pada 1643-1644 di Mataram (Jawa) terjadi epidemi beratus-ratus mati setiap hari. Sultan Agung wafat, pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta. Ia digantikan putranya dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.[37]
Referensi
- ^ Said, Julinar & Wulandari, Triana (1995). Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- ^ Hariyanto (2018). "Gerakan Dakwah Sultan Agung: Arti Penting Perubahan Gelar Sultan Agung Terhadap Gerakan Dakwah di Jawa pada Tahun 1613 M - 1645 M". Jurnal Al-Bayan. 24 (1): 129–130.
- ^ Jalaludin, Ghulam, Z., dan Ghofur, A. (2021). "Analisis Wacana Strategi Dakwah Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo". Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam. 7 (1): 64. ISSN 2443-0617.
- ^ a b Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Palgrave.
- ^ Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia. ABC-CLIO.
- ^ Septriani, L. D., Wahyuni, A., dan Purnomo, B. (2020). "Analisis Karakter Cinta Tanah Air melalui Novel Berjudul Sultan Agung: Tonggak Kokoh Bumi Mataram" (PDF). Literacy : Jurnal Ilmiah Sosial. 2 (2): 66.
- ^ Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (PDF). Yogyakarta: Biro Tata Pemerintah, Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 17.
- ^ Maharsi (2016). "Sultan Agung: Simbol Kejayaan Kasultanan Islam Jawa" (PDF). Jurnal Riset Daerah. XV (2): 2475.
- ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 60.
- ^ "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.
- ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 61.
- ^ Sumarsam. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java. Chicago: University of Chicago Press, 1995. Page 20.
- ^ Bertrand, Romain, Etat colonial, noblesse et nationalisme à Java, Paris, 2005
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 26-52). Brill. [1]
- ^ M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004. [2]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). MATARAM EN DE V.O.C.: 1613—24. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 53–76). Brill. [3]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 77-98). Brill. [4]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 99-126). Brill. [5]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). DE VERHEFFING TOT SUSUHUNAN.: 1624. In De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Vol. 23, pp. 127–134). Brill. [6]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 135-143). Brill. [7]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 144-163). Brill. [8]
- ^ Adolf Heuken. (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka (edisi ke-8).[9]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 164-172 ). Brill. [10]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 173-192). Brill. [11]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 193-204). Brill. [12]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 205-222). Brill. [13]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 223-232). Brill. [14]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 233-246). Brill. [15]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 247-253). Brill. [16]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 254-263). Brill. [17]
- ^ M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004.
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 264-273). Brill. [18]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 274-283). Brill. [19]
- ^ DE GRAAF, H. J. (1958). De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) (Halaman: 284-291). Brill. [20]
- ^ H.J. de Graaf. (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Grafitipers. [21]
- ^ M.C. Ricklefs. (2007). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1200-2004. [22]
- ^ Anthony Reid. (1992). Asia Tenggara di Era Bisnis 1450-1680 Jilid I: Negri di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Perpustakaan Obor Indonesia. [23]
Kepustakaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris–the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Moscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.
Lihat pula
Sultan Agung dari Mataram Lahir: 1593 Meninggal: 1645
| ||
Gelar | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Anyakrawati |
Sultan Mataram 1613 ‒ 1645 |
Diteruskan oleh: Amangkurat I |