Presiden Amerika Serikat

kepala negara dan kepala pemerintahan Amerika Serikat

Presiden Amerika Serikat (bahasa Inggris: President of the United States, disingkat POTUS) adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara Amerika Serikat. Sesuai amanat konstitusi, seorang Presiden Amerika Serikat hanya boleh menjabat selama masa bakti 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Pada mulanya, pelantikan diadakan setiap empat tahun pada tanggal 4 Maret dan diberhentikan saat itu juga.

Presiden Amerika Serikat
President of the United States
Petahana
Joe Biden

sejak 20 Januari 2021
Pemerintah Federal Amerika Serikat
Kantor Eksekutif Presiden Amerikat Serikat
GelarMr. President
(tidak resmi)[1][2]
The Honorable
(resmi)[3]
His Excellency[4][5]
(diplomatik, di luar AS)
JenisKepala Negara dan Kepala Pemerintahan
AnggotaKabinet

Dewan Kebijakan Domestik
Dewan Ekonomi Nasional

Dewan Keamanan Nasional
KediamanGedung Putih
Washington, D.C.
Ditunjuk oleh1. Dewan Elektoral,
2. Suksesi dari Wakil Presiden
Masa jabatan4 tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali
DibentukKonstitusi Amerika Serikat
4 Maret 1789
Pejabat pertamaGeorge Washington
WakilWakil Presiden
Gaji$400,000 pertahun
Situs webwww.whitehouse.gov
Amerika Serikat

Artikel ini adalah bagian dari seri:
Politik dan Ketatanegaraan
Amerika Serikat



Negara lain · Atlas
 Portal Pemerintah Amerika Serikat

Kekuasaan Presiden meningkat secara substansial[6] sejak dibentuk pada tahun 1789. Presiden memainkan peran yang kuat dalam kehidupan berpolitik di Amerika Serikat sejak abad ke 20 dengan meluasnya peran Presiden sejak era Franklin D. Roosevelt. Di zaman sekarang ini jabatan presiden juga dilihat sebagai figur paling berkuasa karena dipandang sebagai pemimpin negara superpower global yang tersisa[7][8][9][10]. Sebagai pemimpin negara dengan angka GDP terbesar, presiden memiliki kekuasaan dalam negeri dan luar negeri yang signifikan.

Bab II Konstitusi membentuk cabang eksekutif dari pemerintahan federal dan menempatkan kekuasaan eksekutif pada presiden. Kekuasaan yang diberikan berupa pelaksanaan hukum tingkat federal dan tanggung jawab untuk mengangkat menteri, kepala badan, duta besar dan pejabat-pejabat yang mengurusi hukum dan regulasi. Berdasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi, presiden juga dapat melakukan perjanjian dengan negara lain dan perjanjian tersebut diratifikasi oleh Kongres. Selain itu jabatan presiden di era modern ini bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri AS dan bidang militer AS, terlebih AS merupakan negara dengan anggaran militer paling besar dan mempunyai gudang senjata nuklir terbesar kedua di dunia.

Presiden juga memainkan perang penting dalam bidang legislatif tingkat federal dan pembuatan kebijakan dalam negeri. Sebagai bagian dari sistem checks and balances dalam Bab I Pasal 7 Konstitusi memberikan presiden kewenangan untuk menandatangani atau mem-veto undang-undang. Karena Presiden AS dimasa modern ini juga dipandang sebagai pemimpin partai politik, banyak pembuatan kebijakan negara yang secara signifikan dibentuk dari hasil kampanye pemilunya dengan presiden mengambil peran aktif dalam mengenalkan kebijakan prioritas mereka kehadapan para anggota Kongres yang sering bergantung secara elektoral pada presiden[11]. Dalam beberapa dekade terakhir, presiden juga telah meningkatkan penggunaan perintah eksekutif, peraturan agensi, dan penunjukan yudisial untuk membentuk kebijakan domestik.

Setelah ratifikasi Amendemen Ke-22 pada Konstitusi Amerika Serikat mengubah masa bakti Presiden dan Wakil Presiden sehingga dimulai pada tengah hari tanggal 20 Januari, dimulai dengan masa bakti kedua Franklin Roosevelt pada tahun 1937 sampai sekarang.

Saat ini Joe Biden merupakan Presiden Amerika Serikat ke 46 dan mulai menjabat sejak tanggal 20 Januari 2021

Latar Belakang

Sejarah Pembentukan

Pada tahun 1776, 13 koloni yang tergabung dalam Kongres Kontinental ke-2, menyatakan kemerdekaan politik dari Inggris pada saat berlangsung Revolusi Amerika.[12] Negara baru yang akan dibentuk ini, terdiri dari koloni-koloni tersebut yang independen satu sama lain sebagai sebuah bangsa dan negara,[13] mengakui diperlukannya koordinasi yang erat dalam upaya mereka melawan Inggris,[14] berkeinginan jauh untuk menghindari apa pun yang menyerupai monarki.

Menyadari akan perlunya koordinasi yang dekat sebagai upaya untuk melawan Inggris,[15] Kongres Kontinental memulai pembuatan konstitusi yang bersifat mengikat bersama negara-negara bagian tersebut. Banyak terjadi perdebatan panjang selama pembahasannya, termasuk masalah bagaimana rakyat diwakili dalam negara, tata cara pelaksanaan pemilihan umum dan bagaimana metode pemberian kekuasaan kepada pemerintah pusat[16]. Kongres akhirnya menyelesaikan pembuatan konsttitusi Konfederasi untuk membentuk sebuah negara perserikatan antara semua negara bagian pada bulan November 1777 dan mengirimkan draf konstitusi kepada setiap negara bagian untuk dirafitikasi[12].

Dibawah Konstitusi tersebut yang berlaku efektif sejak 1 Maret 1781, Kongres Konfederasi adalah otoritas politik pusat tanpa diberikan kewenangan dalam bidang legislatif. Kongres Kontinental dapat membuat resolusi, keputusan dan regulasi tetapi tidak dapat membuat undang-undang serta tidak dapat mengenakan pajak apa pun atau memberlakukan peraturan komersial lokal kepada warganya. Perancangan institusi ini terefleksi dari bagaimana para warga Amerika percaya bahwa sistem kerajaan dan sistem perwakilan Inggris seharusnya berfungsi dengan mendapatkan hormat dari para negara persemakmuran yang ada di Inggris. Negara-negara bagian berada di luar monarki mana pun dan menetapkan beberapa hak prerogatif kerajaan sebelumnya (misalnya, berperang, menerima duta besar, dll.) kepada Kongres; hak prerogatif yang tersisa diajukan ke dalam pemerintah negara bagian mereka masing-masing. Para anggota Kongres memilih seorang presiden Amerika Serikat di Majelis Kongres untuk memimpin pembahasannya sebagai moderator diskusi netral. Tidak berhubungan dengan dan sangat berbeda dari jabatan presiden Amerika Serikat saat ini, jabatan presiden pada masa itu adalah posisi seremonial sebagian besar tanpa banyak pengaruh[17].

Pada tahun 1783, Perjanjian Paris dibuat untuk menjamin kemerdekaan dari setiap bekas negara koloni. Dengan perdamaian di tangan mereka, masing-masing negara bagian beralih ke urusan internal mereka sendiri. Di tahun 1786 Amerika mengetahui bahwa batas negara mereka telah dikepung dan terjadi krisis ekonomi karena negara-negara tetangga mengagitasi persaingan perdagangan satu sama lain. Mereka menyaksikan mata uang keras mereka mengalir ke pasar luar negeri untuk membayar impor, perdagangan Mediterania mereka dimangsa oleh bajak laut Afrika Utara, dan utang Perang Revolusi yang dibiayai asing yang belum dibayar dan bunga yang bertambah ditambah lagi dengan bayang-bayang akan terjadinya kerusuhan sipil dan politik.

Setelah resolusi yang mengatur penyelesaian perselisihan dagang dan perikanan antara Negara Bagian Virginia dan Maryland yang ditandatangani pada Konferensi Mount Vernon tahun 1785. Virginia memanggil semua negara bagian untuk ikut dalam konferensi perdagangan yang dilaksanakan pada bulan September 1786 di Annapolis, Maryland. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyelesaikan antagonisme perdagangan antar negara bagian yang lebih jauh. Konferensi tersebut pada akhirnya gagal akibat sedikit perwakilan negara bagian yang hadir karena adanya kecurigaan antara negara-negara bagian. Akibatnya Alexander Hamilton memimpin para delegasi Maryland untuk mengadakan sebuah Konvensi untuk menawarkan revisi dari Konstitusi Kontinental yang akan diadakan pada musim semi berikutnya di Philadelphia. Prospek dari konvensi ini masih tidak jelas sampai James Madison dan Edmund Randolph berhasil memastikan kehadiran George Washington ke Philadelphia sebagai delegasi untuk Virginia[18].

Ketika Konvensi Konstitusi bersidang pada bulan Mei 1787, 12 delegasi negara hadir (Negara Bagian Rhode Island tidak mengirimkan delegasinya) membawa serta akumulasi pengalaman atas serangkaian pengaturan kelembagaan yang beragam antara cabang legislatif dan eksekutif dari dalam pemerintah negara bagian masing-masing. Sebagian besar negara bagian mempertahankan eksekutif yang lemah tanpa hak veto atau penunjukan, dipilih setiap tahun oleh legislatif untuk satu periode saja, berbagi kekuasaan dengan dewan eksekutif, dan dilawan oleh legislatif yang kuat. New York menawarkan pengecualian terbesar, memiliki gubernur kesatuan yang kuat dengan hak veto dan kekuasaan penunjukan yang dipilih untuk masa jabatan tiga tahun, dan memenuhi syarat untuk pemilihan kembali untuk jumlah masa jabatan yang tidak terbatas sesudahnya. Melalui negosiasi tertutup di Philadelphia, kepresidenan yang dibingkai dalam Konstitusi AS muncul.

Perkembangan

 
George Washington,Presiden Pertama AS

Sebagai Presiden Amerika Serikat yang pertama, George Washington membentuk banyak aturan yang akan menjadi patokan utama dalam jabatan presiden[19]. Keputusannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah menjabat selama dua periode membantu mengatasi rasa takut akan berubahnya bentuk negara menjadi kerajaan[20], dan menyebabkan timbulnya sebuah preseden masa jabatan presiden dua periode untuk orang yang sama yang berlangsung sampai tahun 1940 dan kemudian diratifikasi dalam amandemen kedua puluh lima. Dengan berakhirnya masa jabatan Washington banyak partai politik didirikan[21], ditandai dengan John Adams mengalahkan Thomas Jefferson pada tahun 1796 yang diakui sebagai pilpres pertama yang sebenarnya[22]. Setelah Jefferson mengalahkan Adams di tahun 1800 dan presiden seterusnya yang berasal dari Virginia James Madison dan James Monroe tetap menjabat selama dua periode yang akhirnya mendominasi politik bangsa selama Era Perasaan Baik sampai putra Adams, John Quincy Adams memenangkan pemilihan pada tahun 1824 setelah Partai Demokrat-Republik terpecah.

Pemilihan Andrew Jackson pada tahun 1828 merupakan sebuah tonggak baru karena Jackson bukan merupakan elit politik dari Virginia dan Massachusetts yang menjabat sebagai presiden setelah 40 tahun Amerika Serikat dibentuk[23]. Demokrasi Jacksonian terlihat menguatkan kepresidenan atas biaya dari Kongres, sambil memperluas partisipasi publik saat negara Amerika Serikat berkembang pesat ke arah bagian barat amerika. Bagaimanapun penerusnya Martin Van Buren menjadi tidak disukai masyarakat setelah kasus Kepanikan Tahun 1837[24] dan kematian dari William Henry Harrison dan kurang harmonisnya hubungan antara Kongres dengan Presiden John Tyler menyebabkan melemahnya jabatan presiden[25]. Termasuk Van Buren, dalam 24 tahun antara 1837 dan 1861, enam masa jabatan presiden akan diisi oleh delapan orang yang berbeda, tanpa ada yang memenangkan pemilihan ulang. Senat memainkan peran penting selama periode ini, dengan Triumvirat Hebat Henry Clay, Daniel Webster, dan John C. Calhoun memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan nasional pada tahun 1830-an dan 1840-an sampai perdebatan tentang perbudakan mulai memisahkan negara pada tahun 1850-an.[26][27].

 
Abraham Lincoln, yang diyakini para sejarawan sebagai salah satu Presiden Terhebat Amerika Serikat

Kepemimpinan Abraham Lincoln selama Perang Saudara Amerika membuat para sejarawan mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari Presiden Terhebat Bangsa Amerika Serikat[A]. Keadaan Negara yang sedang dalam berperang dan Kongres yang didominasi oleh para politikus dari Partai Republik menjadikan jabatan presiden sangat berkuasa[28][29] dan terpilihnya Lincoln pada tahun 1864 merupakan kejadian terpilihnya pertama kali seorang presiden petahana sejak terakhir kali terjadi pada waktu terpilihnya Jackson di tahun 1832. Setelah Lincoln dibunuh pada tahun 1865, penerusnya Andrew Johnson kehilangan semua dukungan politiknya[30] dan hampir dimakzulkan dari jabatannya[31] dengan Kongres masih berkuasa selama masa kepresidenan Jenderal Perang Saudara Ulysses S. Grant. Setelah akhir dari masa-masa Rekonstruksi, Grover Cleveland menjadi politikus Partai Demokrat pertama yang terpilih sejak Perang Saudara, mencalonkan diri pada tiga pilpres (1884,1888, 1892) dan menang dua kali. Pada tahun 1900 William Mckinley menjadi presiden petahana yang terpilih kembali sejak terakhir kalinya dipegang oleh Grant pada tahun 1872.

Setelah terbunuhnya McKinley, Theodore Roosevelt menjadi figur dominan dalam perpolitikan Amerika Serikat[32]. Para sejarawan percaya Theodore Roosevelt mengubah sistem politik dengan menguatkan jabatan presiden[33], dengan beberapa pencapaian kunci termasuk memecah kepercayaan, konservasionisme, reformasi tenaga kerja, menjadikan karakter pribadi sama pentingnya dengan masalah, dan memilih penggantinya, William Howard Taft. Dekade berikutnya, Woodrow Wilson memimpin negara menuju kemenangan selama Perang Dunia I, meskipun proposal Wilson untuk Liga Bangsa-Bangsa ditolak oleh Senat. Warren Harding, yang disukai oleh rakyat, akan melihat warisannya ternoda oleh skandal, terutama Kubah Teko, dan Herbert Hoover dengan cepat menjadi sangat tidak disukai setelah gagal meringankan Depresi Hebat[34].

Era Kepresidenan Imperial

 
Franklin Delano Roosevelt, satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang terpilih selama 4 Periode masa jabatan

Terpilihnya Franklin D. Roosevelt dalam pilpres tahun 1932 menjadi titik tonggak dengan apa yang dinamakan oleh para sejarawan sebagai Kepresidenan Imperial[35]. Didukung dengan Kongres yang dikuasai oleh mayoritas Partai Demokrat dan dukungan masyarakat untuk melakukan perubahan, kebijakan Kesepakatan Baru yang dibuat Roosevelt semakin menjangkau ranah pemerintahan federal termasuk badan-badan yang ada dibawahnya[36]. Staf Kepresidenan yang sebelumnya hanya berjumlah sedikit pada era Roosevelt ditambah jumlah anggotanya tanpa perlu adanya konfirmasi dari Senat[36]. Terpilihnya Roosevelt untuk masa jabatan periode ketiga dan keempat yang belum pernah terjadi sebelumnya ditambah dengan kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II serta pertumbuhan ekonomi negara yang meningkat pesar menjadi salah satu faktor amerika menjadi tonggak kepemimpinan dunia[36]. Presiden penerusnya, Harry Truman dan Dwight Eisenhower yang menjabat selama dua periode berturut-turut dimasa Perang Dingin menjadikan jabatan presiden sebagai pemimpin dunia bebas, sedangkan terpilihnya John F. Kennedy yang masih muda dan disukai masyarakat dengan mengambil keuntungan dari bangkitnya dunia pertelevisian di tahun 1960-an[37][38]

Setelah kalahnya Lyndon B. Johnson akibat Perang Vietnam dan mundurnya Richard Nixon karena Skandal Watergate, Kongres AS memberlakukan sejumlah agenda reformasi yang bertujuan untuk mempertegas kembali posisi Kongres[39][40]. Agenda Reformasi tersebut termasuk Resolusi Kewenangan Perang dan Undang-undang Kontrol Penahanan dan Anggaran Kongres pada tahun 1974 yang terliihat menguatkan kekuasaan fiskal Kongres[41]. Pada tahun 1976 Presiden Gerald Ford mengakui bahwa "bandul sejarah" telah berayun kepada Kongres yang mungkin bisa menyebabkan terjadinya sebuah erosi yang menganggu kemampuannya untuk memerintah[42]. Ford dan Jimmy Carter akhirnya gagal untuk terpilih kembali menjadi Presiden. Ronald Reagan yang sebelumnya merupakan seorang aktor sebelum terjun ke dunia politik, menggunakan kemampuannya sebagai seorang komunikator untuk membentuk ulang kebijakan Agenda Amerika Serikat yang berbeda jauh dengan konsep kebijakan Kesepakatan Baru yang cenderung mengarah kepada ideologi konservatif[43][44]. Sementara itu Wakil Presidennya George H. W. Bush menjadi wakil presiden pertama yang terpilih menjadi presiden sejak terakhir kali terjadi pada tahun 1836[45].

Dengan berakhirnya Perang Dingin dan Amerika Serikat menjadi global power tunggal[46], Bill Clinton, George W. Bush, and Barack Obama menjadi presiden yang menjabat selama dua masa jabatan berturut-turut. Sementara Kongres dan Bangsa Amerika Serikat menjadi lebih terpolarisasi dalam berpolitik, terlebih pada pemilu sela tahun 1994 partai Republik berhasil mengambil alih mayoritas di DPR untuk pertama kalinya setelah 40 tahun dan bangkitnya filibuster dalam Senat beberapa dekade terakhir ini[47]. Maka dari itu presiden dengan demikian semakin fokus pada perintah eksekutif, peraturan lembaga, dan penunjukan yudisial untuk menerapkan kebijakan-kebijakan utama, dengan mengorbankan undang-undang dan kekuasaan kongres[48]. Pemilihan presiden di abad ke-21 telah mencerminkan polarisasi yang terus berlanjut ini, dengan tidak ada calon presiden kecuali Obama pada tahun 2008 yang memenangkan lebih dari lima persen suara populer dan dua presiden— George W. Bush dan Donald Trump — menang di Dewan Elektoral tetapi kalah dalam suara populer[B]. Clinton dan Trump menghadapi upaya pemakzulan dari Kongres yang dipimpin oleh oposisi, tetapi upaya pemakzulan tersebut tidak memiliki efek jangka panjang pada posisi politik mereka[49][50].

Kritikan-kritikan Akibat Evolusi Jabatan Presiden

Para Pendiri Bangsa mengharapkan Kongres untuk menjadi cabang pemerintah federal yang lebih dominan; mereka tidak mengharapkan bidang eksekutif yang dominan[51]. Bagaimanapun kekuasaan presiden bergant-ganti seiring waktu yang menghasilkan klaim bahwa kepresidenan di era modern telah menjadi terlalu kuat[52][53], tidak terkendali, tidak seimbang[54], dan sifatnya "monarkis"[55]. Pada tahun 2008 Profesor Dana D. Nelson menyatakan keyakinannya bahwa presiden selama tiga puluh tahun sebelumnya bekerja menuju "kontrol presiden yang tidak terbagi atas cabang eksekutif dan badan-badannya"[56]. Ia mengkritik para pendukung teori eksekutif Kesatuan karena memperluas "banyak kekuasaan eksekutif yang tidak dapat dikendalikan—seperti perintah eksekutif, dekrit, memorandum, proklamasi, arahan keamanan nasional, dan pernyataan penandatanganan legislatif—yang telah memungkinkan presiden untuk memberlakukan banyak kebijakan asing dan domestik. kebijakan tanpa perlu bantuan, campur tangan atau persetujuan dari Kongres"[56]. Bill Wilson, anggota dewan American for Limited Government, berpendapat bahwa perluasan kewenangan kepresidenan adalah "ancaman terbesar yang pernah ada terhadap kebebasan individu dan pemerintahan demokratis"[57].

Kewenangan Eksekutif

Presiden merupakan kepala cabang eksekutif pemerintahan federal dan secara hukum telah diikat untuk memperhatikan dan mengawasi bagaimana undang-undang yang telah ada secara implementasi telah dilaksanakan[58]. Cabang eksekutif mempunyai lebih dari empat juta pegawai termasuk para tentara angkatan bersenjata amerika serikat.[59]

Urusan Administratif Dalam Negeri

Presiden bisa membuat aturan-aturan tingkat federal. Para duta besar, menteri-menteri dan pejabat-pejabat federal lainnya semuanya diangkat oleh presiden dengan persetujuan dari Senat. Ketika pada saat akan dilakukan pengangkatan pejabat federal ternyata Senat sedang dalam masa reses, maka presiden akan melakukan "pengangkatan reses"[60]. Pengangkatan reses seorang pejabat bersifat sementara dan akan berakhir pada saat masa sidang Senat yang akan datang.

Kekuasaan presiden untuk memberhentikan para pejabat telah lama menjadi isu kontroversial. Pada umumnya seorang presiden mungkin dapat memberhentikan para pejabatnya atas keinginannya sendiri[61]. Tetapi Kongres dapat membatasi hal tersebut dan membatasi kewenangan presiden dalam memberhentikan para pejabat tinggi maupun pejabat eksekutif rendah tertentu melalui undang-undang[62].

Untuk mengatur pertumbuhan biro federal, presiden secara bertahap akan mengelilingi dirinya dengan berbagai lapisan staf yang ada dalam Kantor Staf Kepresidenan Amerika Serikat.

Presiden juga memiliki kewenangan untuk mengatur proses berjalannya pemerintahan federal dengan mengeluarkan berbagai proklamasi presiden dan perintah eksekutif. Ketika presiden secara sah menjalankan salah satu tanggung jawab presiden yang diberikan secara konstitusional, ruang lingkup kewenangan ini bersifat luas[63]. Meski begitu, arahan ini tunduk pada tinjauan yudisial oleh pengadilan federal AS, yang dapat menemukan bahwa mereka tidak konstitusional. Selain itu, Kongres dapat membatalkan perintah eksekutif melalui undang-undang (misalnya, Undang-Undang Tinjauan Kongres).

Urusan Luar Negeri

 
Presiden John F. Kennedy bersama para Duta Besar di tahun 1961

Bab II Pasal 3 Ayat 4 Konstitusi menyatakan bahwa presiden menerima duta-duta besar negara sahabat. Hal ini dikenal dengan nama Klause Resepsi telah diinterpretasikan sebagai sebuah makna tersirat bahwa presiden memiliki kekuasaan yang luas atas masalah kebijakan luar negeri[64] Konstitusi juga memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengangkat para duta besar dan mengajukan atau bernegosiasi untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain. Perjanjian tersebut, setelah menerima saran dan persetujuan dari Senat AS (dengan suara mayoritas dua pertiga), menjadi mengikat dengan kekuatan hukum federal.

Urusan luar negeri selalu menjadi elemen penting dalam tanggung jawab presiden terlebih dengan adanya kemajuan teknologi sejak adopsi Konstitusi telah meningkatkan kekuasaan presiden. Di mana sebelumnya para duta besar diberi kekuasaan yang signifikan untuk bernegosiasi secara independen atas nama Amerika Serikat, presiden sekarang secara rutin bertemu langsung dengan para pemimpin negara asing.

Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata

 
Abraham Lincoln, sukses mempertahankan Amerika Serikat dalam Perang Saudara

Kewenangan eksekutif yang paling penting adalah sebagai Pemimpin Tertinggi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Kewenangan mendeklarasikan perang secara konstitusi berada pada Kongres, tetapi presiden memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur dan menempatkan para tentaranya. Tingkat kewenangan yang tepat bahwa Konstitusi memberikan kekuasaan tertinggi kepada presiden sebagai pemimpin tertinggi telah menjadi subjek perdebatan sepanjang sejarah dengan Kongres beberapa kali memberikan presiden kewenangan yang besar atas hal tersebut, dan banyak terjadi upaya untuk membatasi kewenangan tersebut[65].

Dalam Era Modern sesuai dengan Resolusi Kewenangan Perang, Kongres harus mengesahkan penempatan tentara yang jangka waktunya lebih dari 60 hari, meskipun proses itu bergantung pada mekanisme pemicu yang belum pernah digunakan, menjadikannya tidak efektif[66] Sebagai tambahan Kongres akan mengecek penggunaan kewenangan militer presiden melalui kontrol atas pengeluaran belanja militer dan regulasi-regulasi yang berkaitan dengan itu. Dalam sejarah Amerika Serikat, Kebanyakan Presiden AS yang memulai proses perang[67][68], tetapi banyak kritikan yang bahwa telah terjadi beberapa konflik di mana presiden tidak mendapatkan deklarasi resmi, termasuk ketika Theodore Roosevelt memindahkan tentara ke Panama pada tahun 1903[67], Perang Korea[67], Perang Vietnam[67], invasi ke Grenada pada tahun 1983[69] dan Panama pada tahun 1989[70].

Jumlah detail tentara yang dipegang presiden pada waktu perang bervariasi[71]. George Washington Presiden AS pertama membentuk subordinasi militer yang mapan di bawah otoritas sipil. Pada tahun 1794 Washington menggunakan kewenangannya untuk mengumpul 12.000 milisi untuk memadamkan Pemberontakan Whiskey. Sejarawan mencatat bahwa pada masa itu pertama kalinya seorang presiden memimpin pasukan langsung dalam perang, meskipun James Madison pernah mengambil alih unit artileri dalam mempertahankan Ibukota Washington D.C. pada perang tahun 1812[72]. Abraham Lincoln juga terlibat dalam seluruh strategi dan pelaksanaan sehari-hari selama Perang Sipil Amerika (Sejarawan memberikan pujian atas insting strategi dan kemampuan Lincoln dalam memilih perwira perang seperti Ulysses S. Grant[73]). Komando operasional Angkatan Bersenjata saat ini didelegasikan kepada Departemen Pertahanan dan biasanya dilaksanakan melalui menteri pertahanan. Ketua Kepala Staf Gabungan dan Komando Tempur membantu operasi sebagaimana digariskan dalam Rencana Komando Terpadu (UCP) yang disetujui presiden[74][75][76].

Kewenangan Yuridis dan Hak-hak Khusus

 
Presiden Barack Obama bersama dengan Hakim Agung yang ia pilih Sotomayor, di tahun 2009

Presiden berwenang dalam mencalonkan para hakim federal, termasuk para anggota dari Pengadilan Banding Amerika Serikat dan para hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat. Para calon hakim yang dicalonkan oleh presiden harus mendapat persetujuan dari Senat sebelum dilantik. Dalam upaya untuk mengamankan persetujuan Senat mungkin bisa menjadi rintangan bagi presiden yang berharap untuk mengarahkan peradilan federal ke arah sikap ideologis tertentu. Saat mencalonkan hakim-hakim Pengadilan Distrik Amerika Serikat, presiden biasanya menghormati tradisi lama kesopanan senator. Presiden juga dapat memberikan pengampunan dan penangguhan hukuman. Presiden Gerald Ford memberikan pengampunan kepada mantan Presiden Richard Nixon sebulan setelah ia menjabat. Presiden biasanya memberikan pengampunan dihari-hari terakhir mereka menjabat, seperti ketika Presiden Bill Clinton memberikan pengampunan kepada Patty Hearst pada hari terakhir ia menjabat; namun biasanya pengampunan disaat akhir-akhir masa jabatan tersebut bisa menimbulkan kontroversi[77][78][79].

Dua doktrin yang mengkhawatirkan kekuasaan eksekutif telah berkembang yang membuat presiden menjalankan kekuasaan eksekutifnya dengan sebuah derajat otonomi. Doktrin yang pertama yaitu hak-hak khusus eksekutif yang mengizinkan presiden menahan untuk mengungkapkan setiap komunikasi yang dibuat langsung oleh presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya dibidang eksekutif. George Washington dianggap presiden yang pertama menggunakan hak-hak khusus ini saat Kongres meminta untuk melihat catatan Ketua Mahkamah Agung John Jay dari negosiasi perjanjian dengan Inggris Raya yang tidak diketahui publik. Meskipun hal itu tidak diatur dalam Konstitusi atau undang-undang lainnya, tindakan Washington tersebut akhirnya menciptakan preseden untuk hak khusus tersebut. Ketika Presiden Nixon mencoba menggunakan hak khusus eksekutif sebagai sebuah alasan untuk tidak menyerahkan bukti yang berkaitan dengan skandal Watergate kepada Kongres, Mahkamah Agung membuat sebuah perintah bahwa penggunaan hak khusus itu tidak dapat dipakai dalam sebuah kasus dimana presiden petahana menggunakannya untuk mengelak dari proses hukum. Saat Presiden Bill Clinton menggunakan hak khusus ini saat sedang hebohnya skandal Lewinsky, Mahkamah Agung juga membuat sebuah perintah bahwa penggunaan hak khusus ini juga tidak dapat dipakai dalam gugatan perdata. Kejadian-kejadian diatas menjadi preseden legal bahwa hak-hak khusus eksekutif merupakan hak yang sah, meskipun sejauh mana hak istimewa tersebut belum didefinisikan dengan jelas. Selain itu, pengadilan federal telah mengizinkan hak istimewa ini untuk memancar keluar dan melindungi pejabat-pejabat eksekutif lainnya, tetapi melemahkan perlindungan itu untuk komunikasi cabang eksekutif yang tidak melibatkan presiden[80].

Doktrin yang kedua yaitu hak-hak khusus rahasia negara mengizinkan presiden dan para pejabat eksekutif untuk menahan rilisnya sebuah dokumen atau informasi dalam proses hukum yang dianggap dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini terjadi saat Thomas Jefferson menolak untuk merilis dokumen militer dalam proses persidangan atas dugaan pengkhianatan oleh Aaron Burr, ketika Mahkamah Agung menolak kasus yang dibawa oleh mantan mata-mata Union. Hal inilah yang menjadi preseden hak khusus rahasia negara. Meskipun demikian hak khusus ini belum resmi diakui oleh Mahkamah Agung AS sampai saat di mana itu dianggap sebagai hak pembuktian hukum umum[81]. Sebelum Serangan 11 September, penggunaan hak khusus ini sarang jarang terjadi. Sejak tahun 2001 pemerintah menegaskan penggunaan hak khusus ini dalam banyak kasus tahap awal litigasi, sehingga dalam beberapa kasus menyebabkan pembatalan gugatan sebelum mencapai manfaat dari klaim, seperti dalam keputusan Sirkuit Kesembilan pada kasus Mohamed v. Jeppesen Dataplan, Inc[82][83] . Kritikus mengklaim penggunaan hak khusus ini, telah menjadi alat untuk pemerintah untuk menutupi tindakan ilegal atau memalukan pemerintah.[84][85]

Kewenangan Legislatif

Bab I Pasal I Konstitusi menetapkan segala urusan yang terkait dengan pembuatan undang-undang dan legislasi lainnya berada dibawah kewenangan Kongres. Sedangkan dalam Bab I Pasal 6 Ayat 2 mengatur tentang bagaimana mencegah presiden dan para pejabat-pejabat eksekutif lainnya (menteri-menteri dan kepala-kepala badan) pada saat yang bersamaan menjadi anggota Kongres. Namun demikian kepresidenan di era modern ini memberikan kekuasaan yang signifikan atas undang-undang, baik karena ketentuan konstitusional dan perkembangan sejarah dari waktu ke waktu.

Menandatangani dan Memveto RUU

 
Presiden Lyndon B. Johnson menandatangani UU Hak Sipil 1964 sambil disaksikan oleh Martin Luther King Jr.

Kewenangan legislasi presiden diturunkan dari Klausa Presentment yang memberikan presiden kewenangan untuk memveto RUU yang telah diloloskan oleh Kongres. Namun Kongres juga dapat membatalkan keputusan presiden yang memveto RUU tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan setidak-tidaknya dari dukungan suara dua per tiga anggota Kongres yang biasanya sangat sulit dicapai kecuali untuk legislasi bipartisan yang didukung secara luas. Para perancang konstitusi khawatir jika Kongres akan meningkatkan kewenangannya dan mencoba menghidupkan "tirani mayoritas" sehingga memberikan hak veto kepada presiden dipandang sebagai pemeriksaan penting terhadap kekuasaan legislatif. George Washington percaya bahwa hak memveto ini hanya dapat digunakan dalam kasus dimana RUU tersebut bersifat inkonstitusionil, dimasa sekarang hak memveto ini sering dipakai jika presiden merasa jika RUU yang diloloskan itu bertentangan dengan kebijakan-kebijakannya. Hak memveto – atau ancaman veto – telah berkembang untuk menjadikan kepresidenan modern sebagai bagian pusat dari proses legislatif Amerika.

Lebih khusus, dibawah Klausa Presentment pada saat RUU telah diloloskan oleh Kongres maka presiden dapat :

  1. Menandatangani RUU tersebut dalam jangka waktu 10 hari (hari minggu tidak dihitung) dan RUU tersebut menjadi UU.
  2. Memveto RUU dalam jangka waktu 10 hari dan mengembalikan RUU tersebut kepada Kongres dan menyatakan keberatan— RUU itu tidak menjadi undang-undang, kecuali jika kedua majelis Kongres memberikan suara setidaknya dua pertiga anggota Kongres untuk membatalkan veto presiden tersebut.
  3. Tidak mengambil tindakan terhadap RUU dalam jangka waktu di atas—RUU menjadi undang-undang, seolah-olah presiden telah menandatanganinya, kecuali Kongres ditunda pada saat itu, dalam hal ini RUU tersebut tidak menjadi undang-undang.

Mengatur Agenda

 
Presiden Joe Biden menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam sesi Sidang Bersama Kongres pada tanggal 1 Maret 2022. Dibelakang Biden adalah Wakil Presiden Kamala Harris (sebagai Presiden Senat) dan Ketua DPR Nancy Pelosi (kanan)

Dalam sejarah amerika, para calon presiden menyampaikan janjinya untuk sebuah agenda legislatif. Secara resmi dalam Bab II Pasal 3 Ayat 2 menyatakan bahwa presiden merekomendasikan tindakan dan kebijakan yang ia akan lakukan kepada Kongres. Hal ini dilakukan dengan cara yaitu Presiden menyampaikan pidato kenegaraannya yang dikenal dengan istilah State of the Union yang biasanya akan menjadi tolok ukur kebijakan legislatif presiden dalam tahun yang sama dan tolok ukur itu didapat dengan melakukan komunikasi resmi maupun tidak resmi bersama Kongres.

Presiden juga bisa terlibat dalam pembuatan legislasi dengan merekomendasikan, meminta atau bahkan bersikeras dengan Kongres berkaitan dengan RUU yang ia rasa diperlukan. Sebagai tambahan Presiden dapat mencoba untuk membentuk legislasi selama proses legislasi melalui pengaruhnya terhadap para anggota Kongres[86]. Presiden memiliki kewenangan ini karena Konstitusi tidak mengatur secara jelas siapa yang dapat menulis RUU, tetapi kekuasaan itu terbatas karena hanya anggota Kongres yang dapat memulai proses legislasi rancangan undang-undang[87].

Presiden maupun para pejabat pemerintah lainnya dapat membuat draf legislasi dan kemudian meminta para senator atau anggota DPR untuk dapat mengenalkan draf legislasi tersebut kepada Kongres. Selain itu presiden juga dapat meminta Kongres untuk dapat mengubah isi RUU yang diusulkan dengan mengancam akan memveto RUU tersebut jika perubahan yang diminta presiden tidak diindahkan[88].

Mengumumkan Peraturan

banyak peraturan-peraturan yang diberlakukan oleh Kongres tidak disampaikan kemungkinannya secara detail, baik secara eksplisit atau implisit mendelegasikan kekuasaan implementasi ke lembaga federal yang sesuai. Sebagai pejabat tertinggi eksekutif presiden mengontrol susunan yang luas dari badan-badan eksekutif yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturan dengan sedikit pengawasan oleh Kongres.

Pada abad ke 20, banyak kritik yang berkaitan dengan kewenangan legislatif dan pengadaan anggaran belanja negara yang seharusnya berada dibawah kewenangan Kongres namun kenyataannya malah berada ditangan presiden. Satu kritik yang ditujukan kepada kewenangan presiden yang dapat mengangkat sebuah "tentara maya tsar—masing-masing sepenuhnya tidak bertanggung jawab kepada Kongres namun ditugasi mempelopori upaya kebijakan utama untuk Gedung Putih[89]. Presiden banyak dikritik berkaitan dengan bolehnya presiden untuk menandatangani pernyataan ketika menandatangani legislasi kongres tentang bagaimana mereka (para anggota Kongres) memahami sebuah ruu atau rencana kebijakan yang akan diberlakukan[90]. Praktik ini telah dikritik oleh Asosiasi Pengacara Amerika sebagai tindakan yang inkonstitusional[91].

Persidangan dan Penundaan Kongres

Untuk mengizinkan pemerintah supaya cepat bertindak jika terjadi krisis dalam negeri maupun luar negeri ketika Kongres tidak dalam masa sidang. Presiden diberikan kewenangan oleh Bab II Pasal 3 Konstitusi AS untuk memanggil sebuah sesi sidang istimewa di salah satu dari dua majelis yang ada di Kongres. Sejak hal ini pertama kali dilakukan oleh John Adams menggunakan hak ini pada tahun 1797, Presiden memanggil Kongres untuk melaksanakan sidang istimewa untuk 27 hal. Terakhir kali hak ini digunakan oleh Harry S. Truman pada bulan Juli 1948 (dikenal dengan Sesi Hari Turnip). Sebelum amandemen ke 25 pada tahun 1933 yang memajukan tanggal di mana Kongres bersidang dari Desember hingga Januari, presiden yang baru dilantik akan secara rutin memanggil Senat untuk bertemu guna mengonfirmasi pencalonan atau meratifikasi perjanjian. Dalam praktiknya, kekuasaan telah tidak digunakan lagi di era modern karena Kongres sekarang secara resmi tetap bersidang sepanjang tahun, mengadakan sesi pro forma setiap tiga hari bahkan ketika seolah-olah sedang istirahat. Sejalan dengan itu, presiden berwenang untuk menunda Kongres jika DPR dan Senat tidak dapat menyepakati waktu penundaan; tidak ada presiden yang pernah menggunakan kewenangan ini[92][93].

Peran Kepemimpinan

Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

 
Presiden Woodrow Wilson melempar bola pada pelaksanan Hari Opening, tahun 1916

Sebagai Kepala Negara, Presiden bertindak sebagai perwakilan pemerintah Amerika Serikat terhadap rakyatnya sendiri dan bangsa dalam kegiatan internasional. Sebagai contoh dalam kegiatan kunjungan kenegaraan oleh pemimpin negara lain, presiden akan menjamu pemimpin negara yang datang dengan mengadakan sebuah acara resmi yang dikenal dengan State Arrival Ceremony yang bertempat di taman selatan Gedung Putih. Kemudian setelah acara penyambutan ini, pada malam harinya akan diadakan Makan Malam Kenegaraan di ruangan makan negara di dalam Gedung Putih[94]. Acara ini pertama kali dikenalkan oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961[95].

Sebagai pemimpin bangsa, presiden juga memenuhi serangkaian tugas-tugas seremonial. Sebagai contoh, Presiden William Taft memulai sebuah tradisi lemparan pertama seremonial di Stadium Griffith, Washington D.C. pada tahun 1910. Selain itu setiap presiden menjabat sebagai Presiden Kehormatan Pramuka Amerika[96] yang dimulai sejak kepemimpinan Presiden Theodore Roosevelt.

 
Presiden Ronald Reagan memeriksa pasukan kehormatan pada kunjungan kenegaraan ke Republik Rakyat Cina pada tahun 1984

Selain itu ada lagi tradisi yang dilakukan Presiden Amerika Serikat yang kebanyakan berhubungan dengan hari libur di Amerika Serikat. Rutherford B. Hayes memulai tradisi menggulung telur di Gedung Putih pada tahun 1878 yang ditujukan untuk anak-anak[97]. Di tahun 1947 setiap perayaan hari Thanksgiving, presiden akan dipersembahkan dengan sebuah kalkun selama pelaksanaan kegiatan Persembahan Kalkun Hari Thanksgiving Nasional yang diadakan di Gedung Putih. Perayaan ini dilegalkan oleh Presiden George H. W. Bush, dimana kalkun yang terpilih akan ditempatkan di sebuah peternakan sampai hewan tersebut mati[98].

Selain itu banyak tradisi yang dilakukan oleh juga berkaitan dengan perannya sebagai kepala pemerintahan. Presiden yang akan memasuki akhir jabatan biasanya akan memberikan saran dan nasihat kepada presiden terpilih selama periode transisi[99].

Kepresidenan diera moderen juga memandang presiden sebagai satu dari selebriti utama bangsa. Beberapa ahli berpendapat bahwa image dari presiden mempunyai tendensi untuk dimanipulasi oleh pejabat humas administrasi maupun oleh presiden sendiri. Satu kritik menjelaskan bahwa presiden sebagai "Pemimpin Propaganda" yang mempunyai "sebuah daya pukau yang ada disekitar jabatannya" [100]. Manajer humas administrasi staf kepresidenan juga melakukan pemotretan yang dibuat sehati-hati mungkin dari presiden yang tersenyum dengan orang banyak yang tersenyum untuk kamera televisi[101]. Seorang kritikus menulis bahwa potret John F. Kennedy digambarkan dengan hati-hati yang dibingkai "dalam detail yang kaya" dan "mengambil kekuatan mitos" mengenai insiden PT 109[102] dan kritikus tersebut juga menilai bahwa Kennedy mengerti bagaimana menggunakan gambar untuk memajukan ambisi kepresidenannya[103]. Oleh karena itu para pengamat politik berpendapat bahwa para pemilih di AS mempercayai harapan yang tidak realistis pada presidennya: para pemilih berharap seorang presiden akan "mengendalikan ekonomi, mengalahkan musuh, memimpin dunia bebas, menghibur korban tornado, menyembuhkan jiwa nasional dan melindungi peminjam dari biaya kartu kredit tersembunyi"[104].

Pemimpin Partai

Presiden yang sedang menjabat sering dipandang sebagai pemimpin partainya. Sejak pemilihan anggota DPR dan sepertiga senator dilaksanakan serentak dengan pemilihan presiden, calon-calon senator atau anggota DPR mau tidak mau bergantung pada kesuksesan pemilihan mereka yang berkaitan dengan kinerja calon presiden dari partai tersebut. Efek coattail, atau kekurangannya, juga akan sering berdampak pada kandidat partai di tingkat pemerintahan negara bagian dan lokal. Namun, sering ada ketegangan antara presiden dan orang lain di partai, dengan presiden yang kehilangan dukungan signifikan dari kaukus partai mereka di Kongres umumnya dipandang lebih lemah dan kurang efektif.

Tahapan-tahapan Pemilihan Presiden

Kelayakan

Bab II, Pasal I Ayat 5 Konstitusi AS menjelaskan mengenai tiga syarat utama untuk dapat menduduki jabatan presiden, yaitu :

  1. Harus seorang warga negara asli kelahiran Amerika Serikat;
  2. Berusia setidaknya 35 tahun saat pencalonan;
  3. Setidak-tidaknya sudah 14 tahun tinggal di Amerika Serikat[105].

Calon Presiden ataupun Presiden Amerika Serikat dapat diberhentikan dari jabatannnya jika:

  1. Telah dimakzulkan, dihukum dan didiskualifikasi dari memegang jabatan publik lebih lanjut, meskipun ada beberapa perdebatan hukum mengenai apakah klausul diskualifikasi juga mencakup jabatan presiden: satu-satunya orang sebelumnya yang dihukum adalah tiga hakim federal. (Diatur dalam Bab I Pasal 3 Ayat 7 Konstitusi)[106][107]
  2. Seseorang yang telah diambil sumpahnya untuk memegang teguh konstitusi namun dikemudian harinya malah menjadi pengkhianat negara, tidak diperbolehkan untuk memegang jabatan publik apapun (diatur dalam Pasal 3 Amandemen Ke 14). Meskipun demikian, hal tersebut dapat dibatalkan dengan persetujuan setidaknya dua pertiga dari Senat dan DPR[108]. Hal ini, sekali lagi menjadi perdebatan apakah klausul seperti yang tertulis memungkinkan seseorang didiskualifikasi dari posisi presiden, atau apakah itu akan memerlukan litigasi terlebih dahulu di luar Kongres, meskipun ada preseden untuk penggunaan amandemen ini di luar tujuan awal yang dimaksudkan untuk mengecualikan Konfederasi. dari jabatan publik setelah Perang Saudara[109].
  3. Seorang Presiden petahana tidak boleh dipilih untuk lebih dari 2 masa jabatan (diatur dalam Amandemen ke 22). Amandemen ini juga mengatur bahwa jika ada calon presiden yang sebelumnya pernah menjabat sebagai presiden atau penjabat presiden selama lebih dari dua tahun masa jabatan maka calon tersebut hanya dapat dipilih sebagai presiden untuk satu kali masa jabatan[110][111].

Proses Pencalonan dan Kampanye

 
Presiden Jimmy Carter (kiri) berdebat dengan calon presiden dari partai Republik Ronald Reagan pada tanggal 28 Oktober 1980

Pelaksanaan kampanye presiden di era moderan ini dimulai sebelum pilpres, dimana dua partai politik utama gunakan untuk membersihkan bidang kandidat sebelum konvensi pencalonan nasional mereka, dimana bakal calon yang berhasil akan menjadi calon presiden dari partai politik itu. Biasanya para calon presiden memilih calon wakil presidennya dan pilihannya ini akan disahkan oleh partai. Biasanya profesi dari seorang calon presiden adalah seorang pengacara[112].

Para calon presiden akan melaksanakan kampanye yang disiarkan melalui televisi. Pelaksanaan debat ini biasanya hanya terbatas dari calon presiden yang berasal dari partai demokrat dan partai republik. Jika ada calon presiden selain dari partai tersebut, maka calon presiden itu akan diundang untuk ikut serta dalam pelaksanaan debat seperti yang dilakukan oleh Calon Presiden Independen Ross Perot pada debat tahun 1992. Para calon akan melaksanakan kampanye diseluruh negara bagian untuk menyampaikan pandangan mereka, meyakinkan para pemilih dan meminta kontribusi dari para pemilih. Sebagian besar proses pemilihan presiden di era modern berkaitan dengan memenangkan suara di negara-negara bagian melalui kunjungan-kunjungan dan dorongan iklan media massa.

Pelaksanaan Pemilihan

 
Peta Amerika Serikat yang menunjukkan jumlah suara elektoral yang telah dialokasikan untuk pelaksanaan pilpres tahun 2012, 2016 dan 2020 berdasarkan dari hasil sensus tahun 2010. Dibutuhkan sekitar 270 suara elektoral untuk dapat memenangkan kontestasi pilpres dari total 538 suara elektoral.

Preisden dipilih secara tidak langsung oleh pemilih dari setiap negara bagian dan wilayah Washington, D.C melalui Dewan Elektoral. Dewan Elektoral merupakan sebuah badan pemilihan yang dibentuk setiap empat tahun sekali dengan tujuan unutk memilih presiden dan wakil presiden Amerika Serikat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab II, Pasal I Ayat II Konstitusi AS, setiap negara bagian diberikan alokasi jumlah pemilih elektoral yang dianggap setara dengan jumlah total perwakilan dalam kedua majelis perwakilan yang ada di Kongres AS. Sebagai tambahan, Amandemen Ke 23 juga menjelaskan bahwa Wilayah Ibukota Washington, D.C. juga diberikan sejumlah pemilih elektoral yang dianggap setara dengan jumlah penduduknya[113]. Untuk saat ini semua negara bagian dan wilayah D.C. memilih pemilih elektoralnya berdasarkan pada pemilihan yang dilakukan oleh rakyat[114]. Tapi khusus di dua negara bagian yang merupakan asal tiket presiden-wakil presidennya menerima sejumlah suara populer di negara bagian tersebut memiliki seluruh daftar calon pemilih yang dipilih sebagai pemilih negara bagian. Maine dan Nebraska menyimpang dari praktik pemenang-ambil-semua ini, memberikan dua pemilih kepada pemenang di seluruh negara bagian dan satu kepada pemenang di setiap distrik kongres[115][116].

Pelantikan

Berdasarkan pada Amandemen Ke - 25, Konstitusi Amerika Serikat, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat dimulai pada tengah hari tanggal 20 Januari[117], pelaksanaan ketentuan ini dimulai pada pelantikan Presiden Franklin Delano Roosevelt dan Wakil Presiden John Nance Garner untuk masa jabatan mereka yang kedua di tahun 1937[118]. Sebelumnya Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden AS dilaksanakan pada tanggal 4 Maret[119].

Sebelum menjabat Presiden Amerika Serikat terpilih akan membacakan sumpah jabatan presiden. Isi dari sumpah jabatan presiden diatur dalam Bab II Pasal I Ayat 8 Konstitusi AS. Sumpah jabatan Presiden Amerika Serikat berbunyi sebagai berikut :

I do solemnly swear (or affirm) that I will faithfully execute the Office of President of the United States, and will to the best of my ability, preserve, protect, and defend the Constitution of the United States.

Atau yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia bermakna sebagai berikut :

Saya dengan bersungguh-sungguh bersumpah (atau dengan tegas) bahwa saya akan menjalankan jabatan Presiden Amerika Serikat dengan setia, dan saya akan melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan saya untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan Konstitusi Amerika Serikat.

Presiden yang dilantik biasanya akan menempatkan salah satu tangannya diatas sebuah alkitab ketika sedang membacakan sumpahnya dan menambahkan kalimat "Maka tolong aku Tuhan"[120][121] setelah membacakan sumpahnya. Meskipun pelaksanaan sumpah dapat dipandu oleh siapapun yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang, biasanya pelantikan presiden dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat[122].

Petahanan

Masa Jabatan

 
Franklin D. Roosevelt memenangkan rekor empat kali masa jabatan (1932, 1936, 1940 and 1944), yang menjadi sebab diberlakukannya aturan masa jabatan dua periode

Saat Presiden pertama, George Washington, menyampaikan dalam Pidato Perpisahannya bahwa dia tidak akan mencalonkan diri untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan munculnya preseden "setelah dua kali masa jabatan, berhenti". Preseden ini menjadi tradisi setelah Thomas Jefferson menyatakan bahwa ia menganut prinsip preseden tersebut satu dekade dalam masa jabatannya sebagai presiden dan diikuti oleh penerusnya[123]. Presiden Ulysses S. Grant mencalonkan kembali untuk periode ketiganya, tapi tidak berhasil[124].

Pada tahun 1940 setelah memimpin negara melewati Depresi Besar, Franklin Delano Roosevelt terpilih untuk periode ketiga, mematahkan preseden dua jabatan yang sudah lama berlangsung. Empat tahun kemudian dalam keaadaan Amerika Serikat yang masih bergelut dengan Perang Dunia II, Roosevelt terpilih kembali untuk masa jabatan keempat meskipun kondisi kesehatannya semakin memburuk, Roosevelt akhirnya wafat setelah 82 hari menjabat di periode keempatnya tanggal 12 April 1945[125].

Sebagai reaksi akibat lamanya masa jabatan Roosevelt, Amandemen Ke 25 kemudian diberlakukan pada tahun 1951. Amandemen tersebut melarang siapapun untuk menjadi presiden melebihi dari dua periode masa jabatan, atau saat presiden tersebut menjabat lebih dari dua puluh empat bulan sebagai akibat dari meninggalnya atau presiden yang sebelumnya mengundurkan diri atau diberhentikan[125].

Sejak diberlakukan amandemen ini, lima orang presiden menjabat selama dua periode masa jabatan yaitu : Dwight D. Eisenhower, Ronald Reagan, Bill Clinton, George W. Bush dan Barack Obama. Jimmy Carter, George H. W. Bush, dan Donald Trumpy, mencalonkan diri kembali untuk periode masa jabatan kedua namun gagal. Richard Nixon terpilih untuk periode kedua namun ia mengundurkan diri sebelum menyelesaikan masa jabatannya. Lyndon B. Johnson yang menjadi presiden dalam sisa masa jabatan John F. Kennedy yang masih tersisa empat belas bulan lagi, berhak untuk mencalonkan diri kembali di periode keduanya, namun ia mengundurkan diri dari pencalonannya saat pelaksanaan konvensi partai demokrat. Presiden Gerald Ford yang menjabat selama dua tahun lima bulan dalam sisa masa jabatan presiden Nixon, mencalonkan diri kembali namun ia dikalahkan oleh Jimmy Carter pada pemilu tahun 1976.

Kekosongan Jabatan dan Proses Suksesi

DIbawah Bab I dari Amandemen Ke 25 yang diratifikasi tahun 1967, Wakil Presiden akan menjadi Presiden pada saat presiden petahana dimakzulkan, meninggal dunia atau mengundurkan diri. Kematian seorang presiden petahana terjadi beberapa kali sepanjang sejarah AS, pengunduran diri terjadi sekali, dan pemakzulan dari jabatan tidak pernah terjadi.

Dalam Konstitusi asli didalam Bab II Pasal I Ayat 6 menyatakan bahwa wakil presiden hanya mengambil alih tugas dan kekuasaan dari kepresidenan jika terjadi pemakzulan, pengunduran diri, ketidakmampuan atau wafatnya seorang presiden petahana[126]. Dibawah klausa ini, terjadi keambiguan mengenai posisi dari wakil presiden itu sendiri apakah ia secara otomatis menjadi presiden atau hanya bertindak sebagai Pelaksana Tugas Presiden AS[127], yang berpotensi akan memicu pemilihan khusus. Pada saat kematian Presiden William H. Harrison pada tahun 1841, Wakil Presiden John Tyler menyatakan bahwa ia telah menjadi Presiden AS yang baru dan menolak menerima segala dokumen kenegaraan yang menyatakan bahwa ia adalah seorang Pelaksana Tugas Presiden. Meskipun begitu, Kongres AS menyetujui penetapan Tyler sebagai Presiden AS yang baru. Hal ini menjadi preseden di masa yang akan datang walaupun preseden ini belum disahkan sampai Amandemen Ke 25 diratifikasi.

Jika terjadi kekosongan ganda, Bab II Pasal 1 Ayat 6 juga menyatakan bahwa Kongres berwenang untuk mengangkat siapapun untuk menjadi Pelaksana Tugas Presiden jika terjadi pemakzulan, pengunduran diri, ketidakmampuan atau pun kematian dari Presiden dan Wakil Presiden petahana secara bersamaan[127]. UU Suksesi Presiden tahun 1947 menyatakan bahwa jika Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka urutan suksesi kepresidenan akan dilaksanakan. Urutan-urutan tersebut terdiri dari : Ketua DPR AS, Presiden Pro Tempore Senat AS dan jika memang tidak juga berhasil maka salah satu dari para menteri-menteri kabinet akan ditunjuk untuk menjadi Pelaksana Tugas Presiden AS. Saat ini kabinet terdiri dari lima belas anggota dengan Sekretaris Negara Amerika Serikat menjadi urutan pertama diantara yang setara sedangkan sekretaris Kabinet lainnya mengikuti urutan pembentukan departemen mereka (atau departemen di mana departemen mereka adalah penerusnya). Orang-orang yang secara konstitusional tidak memenuhi syarat untuk dipilih menjadi presiden juga didiskualifikasi dari mengambil alih kekuasaan dan tugas kepresidenan melalui suksesi. Belum ada pengganti resmi yang dipanggil untuk bertindak sebagai presiden[128].

Pendeklarasian Ketidakmampuan

Dibawah Amandemen Ke 25, Presiden mungkin sementara waktu dapat melimpahkan tugas dan wewenangnya kepada wakil presiden, yang kemudian akan bertindak sebagai Pelaksana Tugas Presiden dengan mengirimkan surat pernyataan kepada Ketua DPR AS dan Presiden Pro Tempore Senat AS yang berisi pernyataan dari presiden itu sendiri bahwa ia tidak dapat melaksanakan tugasnya. Presiden akan kembali mengambil alih tugas dan wewenangnya dengan kembali mengirimkan surat pernyataan bahwa ia telah kembali dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya. Mekanisme ini telah dipakai oleh Presiden Reagan, George W. Bush dan Joe Biden ketika mereka sedang melaksanakan operasi pembedahan[129][130].

Amandemen Kedua Puluh Lima juga mengatur bahwa wakil presiden, bersama-sama dengan mayoritas anggota Kabinet tertentu, dapat mengalihkan kekuasaan dan tugas kepresidenan kepada wakil presiden dengan menyampaikan pernyataan tertulis, kepada ketua DPR dan Presiden Pro Tempore Senat, yang mengakibatkan presiden tidak dapat melaksanakan kekuasaan dan tugasnya. Jika presiden kemudian membuat pernyataan bahwa ia masih mampu untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, maka presiden dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya kecuali jika wakil presiden dan Kabinet membuat pernyataan kembali berkaitan dengan ketidakmampuan presiden, maka hal ini Kongres memutuskan untuk mempertanyakan pernyataan tersebut.

Pemakzulan

Bab II Ayat 4 Konstitusi mengizinkan pemakzulan para pejabat tinggi federal termasuk presiden dengan alasan "pengkhianatan, penyuapan atau tindakan kejahatan kelas tinggi dan perbuatan yang tidak baik lainnya". Bab I Pasal 2 Ayat 5 juga memberikan wewenang kepada DPR AS bertindak sebagai juri utama dengan kewenangan untuk memakzulkan pejabat-pejabat yang tertuduh dengan suara mayoritas[131]. Sedangkan dalam Bab I Pasal 3 Ayat 6 juga memberikan wewenang kepada Senat AS untuk bertindak sebagai Hakim dengan kewenangan untuk memberhentikan pejabat-pejabat yang telah diajukan untuk dimakzulkan dari DPR AS dengan suara mayoritas dua pertiga[132].

Sebanyak tiga orang Presiden telah menghadapi upaya pemakzulan dari DPR AS yaitu : Presiden Andrew Johnson di tahun 1868, Bill Clinton di tahun 1998 dan Donald Trump ditahun 2019 dan 2021, meskipun Senat menolak upaya pemakzulan tersebut. Sebagai tambahan Komite Hukum DPR AS juga pernah mengajukan upaya pemakzulan kepada Presiden Richard Nixon yang berlangsung dari tahun 1973-1974 dan menyampaikan tiga dokumen pemakzulan kepada DPR untuk keputusan final, meskipun pada akhirnya Presiden Nixon mengundurkan diri sebelum DPR melakukan pemungutan suara untuk mengajukan pemakzulan terhadap dirinya[131].

Gaji

Sejak tahun 2011, gaji presiden selama setahun berjumlah $400.000 Dollar AS, bersama tunjangan pengeluaran sebesar $50.000 Dollar AS, tunjangan transportasi non pajak sebesar $100.000 Dollar AS dan rekening hiburan sebesar $19.000 Dollar AS.

Gaji Presiden diatur oleh Kongres AS dan dibawah Konstitusi dalam Bab II Pasal 1 Ayat 7, setiap perubahan gaji Presiden akan mulai diberlakukan pada awal masa jabatan presiden yang berikutnya[133][134]

Kediaman Resmi

Kediaman Resmi Presiden AS adalah Gedung Putih yang terletak di Ibukota Washington, District of Columbia. Lokasi ini dipilih oleh George Washington dan peletakan batu pertama dilaksanakan pada tahun 1792. Semua Presiden AS dimulai dari John Adams tinggal disini. Dalam beberapa kali sepanjang sejarah AS, sebelumnya Gedung Putih dikenal dengan istilah "Istana Presiden", "Rumah Presiden" dan "Mansion Eksekutif". Presiden Theodore Roosevelt yang memberikan nama Gedung Putih secara resmi pada tahun 1901[135]. Pemerintah Federal akan melakukan pembayaran untuk setiap pelaksanaan acara resmi kenegaraan dan acara-acara resmi kenegaraan lainnya, sedangkan untuk urusan rumah tangga kepresidenan, keluarga presiden, dan makanan untuk tamu dan proses setelahnya akan dibayarkan oleh presiden[136].

Camp David, atau nama resminya Fasilitas Pendukung Angkatan Laut Thurmont, adalah sebuah kamp militer yang berlokasi di daerah pegunungan yang terletak di Frederick County, Maryland. Camp David telah menjadi rumah pedesaan resmi presiden. Tempat yang menyendiri dan tenang, situs ini telah digunakan secara luas untuk menjamu pejabat asing sejak tahun 1940-an[137].

Rumah Tamu Presiden yang terletak di sebelah Bangunan Kantor Eksekutif Eisenhower menjadi rumah tamu resmi kepresidenan dan kediaman kedua presiden[138].

Transportasi

Presiden menggunakan salah satu dari dua pesawat kembar Boeing VC-25 yang kemudiannya dikenal dengan sebutan Air Force One (meskipun semua Pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat telah dirancang sebagai "Air Force One", jika presiden menaiki salah satu dari pesawat yang ada). Untuk perjalanan udara di dalam negeri presiden akan menggunakan salah satu dari pesawat Boeing VC-25 yang ada, sementara untuk perjalanan udara keluar negeri, kedua pesawat Boeing VC-25 dibawa dengan satu pesawat akan dinaiki oleh presiden dan satu pesawat lain berfungsi sebagai "backup-an". Jika presiden bepergian ke suatu wilayah yang dimana bandaranya tidak mendukung pendaratan pesawat jumbojet, presiden akan menggunakan pesawat Boeing C-32 (pesawat ini juga terkadang digunakan oleh Wakil Presiden)[139]. Selain itu untuk perjalanan udara yang berjarak dekat, presiden akan menggunakan helikopter dari Korps Marinir Amerika Serikat dengan kode panggilan "marine one". Pada saat perjalanan udara menggunakan helikopter marine one ini berlangsung, akan ada lima helikopter sejenis yang akan berangkat bersamaan untuk pencegahan dari hal-hal yang tidak diinginkan[140].

Untuk perjalanan di darat, presiden menggunakan mobil kepresidenan. Mobil kepresidenan yang digunakan berjenis limosin dengan merek Cadillac yang dikenal dengan kode panggilan "The Beast"[141].

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Nearly all scholars rank Lincoln among the nation's top three presidents, with many placing him first. See Historical rankings of presidents of the United States for a collection of survey results.
  2. ^ See List of United States presidential elections by popular vote margin.

Referensi

  1. ^ "How To Address The President; He Is Not Your Excellency Or Your Honor, But Mr. President". The New York Times. 1891-08-02. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-26. Diakses tanggal 2013-06-05. 
  3. ^ "Models of Address and Salutation". Ita.doc.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal 2010-09-04. 
  4. ^ The White House Office of the Press Secretary (September 2, 2010). "Remarks by President Obama, President Mubarak, His Majesty King Abdullah, Prime Minister Netanyahu and President Abbas Before Working Dinner". WhiteHouse.gov. Diakses tanggal July 19, 2011. 
  5. ^ "Exchange of Letters". Permanent Observer Mission of Palestine to the United Nations. 1978. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-25. Diakses tanggal July 19, 2011. 
  6. ^ Ford, Henry Jones (1908). "The Influence of State Politics in Expanding Federal Power". Proceedings of the American Political Science Association. 5: 53–63. doi:10.2307/3038511. JSTOR 3038511. 
  7. ^ Von Drehle, David (February 2, 2017). "Is Steve Bannon the Second Most Powerful Man in the World?". Time. 
  8. ^ "Who should be the world's most powerful person?". The Guardian. London. January 3, 2008. 
  9. ^ Meacham, Jon (December 20, 2008). "Meacham: The History of Power". Newsweek. Diakses tanggal September 4, 2010. 
  10. ^ Zakaria, Fareed (December 20, 2008). "The Newsweek 50: Barack Obama". Newsweek. Diakses tanggal September 4, 2010. 
  11. ^ Pfiffner, J. P. (1988). "The President's Legislative Agenda". Annals of the American Academy of Political and Social Science. 499: 22–35. doi:10.1177/0002716288499001002. 
  12. ^ a b Milkis, Sidney M.; Nelson, Michael (2008). The American Presidency: Origins and Development (edisi ke-5th). Washington, D.C.: CQ Press. hlm. 1–25. ISBN 978-0-87289-336-8. 
  13. ^ Milkis, Sidney M.; Nelson, Michael (2008). The American Presidency: Origins and Development (edisi ke-5th). Washington, D.C.: CQ Press. hlm. 1–25. ISBN 0-87289-336-7. 
  14. ^ Kelly, Alfred H.; Harbison, Winfred A.; Belz, Herman (1991). The American Constitution: Its Origins and Development. I (edisi ke-7th). New York: W.W. Norton & Co. hlm. 76–81. ISBN 0-393-96056-0. 
  15. ^ Kelly, Alfred H.; Harbison, Winfred A.; Belz, Herman (1991). The American Constitution: Its Origins and Development. I (edisi ke-7th). New York: W.W. Norton & Co. hlm. 76–81. ISBN 978-0-393-96056-3. 
  16. ^ "Articles of Confederation, 1777–1781". Washington, D.C.: Office of the Historian, Bureau of Public Affairs, United States Department of State. Diakses tanggal January 20, 2019. [pranala nonaktif]
  17. ^ Ellis, Richard J. (1999). Founding the American Presidency. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield. hlm. 1. ISBN 0-8476-9499-2. 
  18. ^ Beeman, Richard (2009). Plain, Honest Men: The Making of the American Constitution . New York: Random House. ISBN 978-0-8129-7684-7. 
  19. ^ Steven, Knott (October 4, 2016). "George Washington: Life in Brief". Miller Center (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal February 5, 2018. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  20. ^ Spalding, Matthew (February 5, 2007). "The Man Who Would Not Be King". The Heritage Foundation. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  21. ^ Feeling, John (February 15, 2016). "How the Rivalry Between Thomas Jefferson and Alexander Hamilton Changed History". Time. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  22. ^ NCC staff (November 4, 2019). "On This Day: The first bitter, contested presidential election takes place". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  23. ^ Walsh, Kenneth (August 20, 2008). "The Most Consequential Elections in History: Andrew Jackson and the Election of 1828". U.S. News & World Report. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  24. ^ Bomboy, Scott (December 5, 2017). "Martin Van Buren's legacy: Expert politician, mediocre president". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  25. ^ Freehling, William (October 4, 2016). "John Tyler: Impact and Legacy". University of Virginia, Miller Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  26. ^ Heidler, David; Heidler, Jeanne. "The Great Triumvirate". Essential Civil War Curriculum. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  27. ^ Winters, Michael Sean (August 4, 2017). "'Do not trust in princes': the limits of politics". National Catholic Reporter. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  28. ^ Weber, Jennifer (March 25, 2013). "Was Lincoln a Tyrant?". New York Times Opinionator. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  29. ^ Williams, Frank (April 1, 2011). "Lincoln's War Powers: Part Constitution, Part Trust". American Bar Association. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  30. ^ Varon, Elizabeth (October 4, 2016). "Andrew Johnson: Campaigns and Elections". University of Virginia, Miller Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  31. ^ NCC Staff (May 16, 2020). "The man whose impeachment vote saved Andrew Johnson". National Constitution Center. Diakses tanggal September 14, 2020. 
  32. ^ Boissoneault, Lorraine (April 17, 2017). "The Debate Over Executive Orders Began With Teddy Roosevelt's Mad Passion for Conservation". Smithsonian Magazine (website). Diakses tanggal September 14, 2020. 
  33. ^ Posner, Eric (April 22, 2011). "The inevitability of the imperial presidency". The Washington Post. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  34. ^ Smith, Richard Norton; Walch, Timothy (Summer 2004). "The Ordeal of Herbert Hoover". Prologue Magazine. National Archives. 36 (2). 
  35. ^ Schlesinger, Arthur M. (Arthur Meier) (1973). The imperial Presidency. Internet Archive. Boston, Houghton Mifflin. ISBN 978-0-395-17713-6. 
  36. ^ a b c Yoo, John (2018-02-14). "Franklin Roosevelt and Presidential Power" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. 
  37. ^ Magazine, Smithsonian; Eschner, Kat. "A Year Before His Presidential Debate, JFK Foresaw How TV Would Change Politics". Smithsonian Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 
  38. ^ "See How JFK Created a Presidency for the Television Age". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-08-07. 
  39. ^ Wallach, Philip (April 26, 2018). "When Congress won the American people's respect: Watergate". LegBranch.org. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  40. ^ Berger, Sam; Tausanovitch, Alex (July 30, 2018). "Lessons From Watergate". Center for American Progress. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  41. ^ Glass, Andrew (July 12, 2017). "Budget and Impoundment Control Act becomes law, July 12, 1974". Politico. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  42. ^ Shabecoff, Philip (March 28, 1976). "Presidency Is Found Weaker Under Ford". The New York Times. Diakses tanggal September 9, 2020. 
  43. ^ Edwards, Lee (February 5, 2018). "What Made Reagan a Truly Great Communicator". The Heritage Foundation. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  44. ^ Brands, H. W. "What Reagan Learned from FDR". History News Network. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  45. ^ Schmuhl, Robert (April 26, 1992). "Bush Enjoyed the Martin Van Buren Comparisons in '88; He Won't". Chicago Tribune. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  46. ^ Sorensen, Theodore (Fall 1992). "America's First Post-Cold War President". Foreign Affairs. 71 (4): 13–30. doi:10.2307/20045307. JSTOR 20045307. 
  47. ^ Barber, Michael; McCarty, Nolan (2013), Causes and Consequences of Polarization, American Political Science Association Task Force on Negotiating Agreement in Politics report, at 19–20, 37–38.
  48. ^ Rudalevige, Andrew (April 1, 2014). "The Letter of the Law: Administrative Discretion and Obama's Domestic Unilateralism". The Forum. 12 (1): 29–59. doi:10.1515/for-2014-0023. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  49. ^ DeSilver, Drew (October 3, 2019). "Clinton's impeachment barely dented his public support, and it turned off many Americans". Pew Research Center. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  50. ^ Olsen, Henry (January 6, 2020). "Trump's approval rating has already recovered from its impeachment slump". The Washington Post. Diakses tanggal September 12, 2020. 
  51. ^ Kakutani, Michiko (July 6, 2007). "Unchecked and Unbalanced". The New York Times. Diakses tanggal November 9, 2009. the founding fathers had "scant affection for strong executives" like England's king, and ... Bush White House's claims are rooted in ideas "about the 'divine' right of kings" ... and that certainly did not find their way into our founding documents, the 1776 Declaration of Independence and the Constitution of 1787. 
  52. ^ Sirota, David (August 22, 2008). "The Conquest of Presidentialism". HuffPost. Diakses tanggal September 20, 2009. 
  53. ^ Schimke, David (September–October 2008). "Presidential Power to the People—Author Dana D. Nelson on why democracy demands that the next President be taken down a notch". Utne Reader. Diakses tanggal September 20, 2009. 
  54. ^ Linker, Ross (September 27, 2007). "Critical of Presidency, Prof. Ginsberg and Crenson unite". The Johns-Hopkins Newsletter. Diakses tanggal November 9, 2017. Presidents slowly but surely gain more and more power with both the public at large and other political institutions doing nothing to prevent it. 
  55. ^ Kakutani, Michiko (July 6, 2007). "Unchecked and Unbalanced". The New York Times. Diakses tanggal November 9, 2009. Unchecked and Unbalanced: Presidential Power in a Time of Terror By Frederick A. O. Schwarz Jr. and Aziz Z. Huq (authors) 
  56. ^ a b Nelson, Dana D. (October 11, 2008). "Opinion—The 'unitary executive' question—What do McCain and Obama think of the concept?". Los Angeles Times. Diakses tanggal September 21, 2009. 
  57. ^ Shane, Scott (September 25, 2009). "A Critic Finds Obama Policies a Perfect Target". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. There is the small, minority-owned firm with deep ties to President Obama's Chicago backers, made eligible by the Federal Reserve to handle potentially lucrative credit deals. "I want to know how these firms are picked and who picked them," Mr. Wilson, the group's president, tells his eager researchers. 
  58. ^ "Article II, Section 3, U.S. Constitution". Legal Information Institute. 2012. Diakses tanggal August 7, 2012. 
  59. ^ "Executive Branch". whitehouse.gov. April 2015. Diakses tanggal January 24, 2020 – via National Archives. 
  60. ^ NLRB v. Noel Canning, 572 U.S. __ (2014).
  61. ^ Shurtleff v. United States, 189 U.S. 311 (1903); Myers v. United States, 272 U.S. 52 (1926).
  62. ^ Humphrey's Executor v. United States, 295 U.S. 602 (1935) and Morrison v. Olson, 487 U.S. 654 (1988), respectively.
  63. ^ Gaziano, Todd (February 21, 2001). "Executive Summary: The Use and Abuse of Executive Orders and Other Presidential Directives". Washington, D.C.: The Heritage Foundation. Diakses tanggal January 23, 2018. 
  64. ^ United States v. Curtiss-Wright Export Corp., 299 U.S. 304 (1936), characterized the President as the "sole organ of the nation in its external relations," an interpretation criticized by Louis Fisher of the Library of Congress.
  65. ^ Ramsey, Michael; Vladeck, Stephen. "Common Interpretation: Commander in Chief Clause". National Constitution Center Educational Resources (some internal navigation required). National Constitution Center. Diakses tanggal May 23, 2017. 
  66. ^ Christopher, James A.; Baker, III (July 8, 2008). "The National War Powers Commission Report". The Miller Center of Public Affairs at the University of Virginia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal November 26, 2010. Diakses tanggal December 15, 2010. No clear mechanism or requirement exists today for the president and Congress to consult. The War Powers Resolution of 1973 contains only vague consultation requirements. Instead, it relies on reporting requirements that, if triggered, begin the clock running for Congress to approve the particular armed conflict. By the terms of the 1973 Resolution, however, Congress need not act to disapprove the conflict; the cessation of all hostilities is required in 60 to 90 days merely if Congress fails to act. Many have criticized this aspect of the Resolution as unwise and unconstitutional, and no president in the past 35 years has filed a report "pursuant" to these triggering provisions. 
  67. ^ a b c d "The Law: The President's War Powers". Time. June 1, 1970. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 7, 2008. Diakses tanggal September 28, 2009. 
  68. ^ Mitchell, Alison (May 2, 1999). "The World; Only Congress Can Declare War. Really. It's True". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. Presidents have sent forces abroad more than 100 times; Congress has declared war only five times: the War of 1812, the Mexican War, the Spanish–American War, World War I and World War II. 
  69. ^ Mitchell, Alison (May 2, 1999). "The World; Only Congress Can Declare War. Really. It's True". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. President Reagan told Congress of the invasion of Grenada two hours after he had ordered the landing. He told Congressional leaders of the bombing of Libya while the aircraft were on their way. 
  70. ^ Gordon, Michael R. (December 20, 1990). "U.S. troops move in Panama in effort to seize Noriega; gunfire is heard in capital". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. It was not clear whether the White House consulted with Congressional leaders about the military action, or notified them in advance. Thomas S. Foley, the Speaker of the House, said on Tuesday night that he had not been alerted by the Administration. 
  71. ^ Andrew J. Polsky, Elusive Victories: The American Presidency at War (Oxford University Press, 2012) online review
  72. ^ "George Washington and the Evolution of the American Commander in Chief". The Colonial Williamsburg Foundation. 
  73. ^ James M. McPherson, Tried by War: Abraham Lincoln As Commander in Chief (2009)
  74. ^ "DOD Releases Unified Command Plan 2011". United States Department of Defense. April 8, 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 13, 2011. Diakses tanggal February 25, 2013. 
  75. ^ 10 U.S.C. § 164
  76. ^ Joint Chiefs of Staff. About the Joint Chiefs of Staff. Retrieved February 25, 2013.
  77. ^ Johnston, David (December 24, 1992). "Bush Pardons Six in Iran Affair, Aborting a Weinberger Trial; Prosecutor Assails 'Cover-Up'". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. The prosecutor charged that Mr. Weinberger's efforts to hide his notes may have 'forestalled impeachment proceedings against President Reagan' and formed part of a pattern of 'deception and obstruction'. ... In light of President Bush's own misconduct, we are gravely concerned about his decision to pardon others who lied to Congress and obstructed official investigations. 
  78. ^ Eisler, Peter (March 7, 2008). "Clinton-papers release blocked". USA Today. Diakses tanggal November 8, 2009. Former president Clinton issued 140 pardons on his last day in office, including several to controversial figures, such as commodities trader Rich, then a fugitive on tax evasion charges. Rich's ex-wife, Denise, contributed $2,000 in 1999 to Hillary Clinton's Senate campaign; $5,000 to a related political action committee; and $450,000 to a fund set up to build the Clinton library. 
  79. ^ Johnston, David (December 24, 1992). "Bush Pardons Six in Iran Affair, Aborting a Weinberger Trial; Prosecutor Assails 'Cover-Up'". The New York Times. Diakses tanggal November 8, 2009. But not since President Gerald R. Ford granted clemency to former President Richard M. Nixon for possible crimes in Watergate has a Presidential pardon so pointedly raised the issue of whether the president was trying to shield officials for political purposes. 
  80. ^ Millhiser, Ian (June 1, 2010). "Executive Privilege 101". Center for American Progress. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 9, 2010. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  81. ^ Frost, Amanda; Florence, Justin (2009). "Reforming the State Secrets Privilege". American Constitution Society. Diakses tanggal November 9, 2017. 
  82. ^ Finn, Peter (September 9, 2010). "Suit dismissed against firm in CIA rendition case". The Washington Post. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  83. ^ Savage, Charlie (September 8, 2010). "Court Dismisses a Case Asserting Torture by C.I.A." The New York Times. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  84. ^ Glenn Greenwald (February 10, 2009). "The 180-degree reversal of Obama's State Secrets position". Salon. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  85. ^ "Background on the State Secrets Privilege". American Civil Liberties Union. January 31, 2007. Diakses tanggal October 8, 2010. 
  86. ^ Pfiffner, James. "Essays on Article II: Recommendations Clause". The Heritage Guide to the Constitution. Heritage Foundation. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  87. ^ "Our Government: The Legislative Branch". www.whitehouse.gov. Washington, D.C.: The White House. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  88. ^ Heitshusen, Valerie (November 15, 2018). "Introduction to the Legislative Process in the U.S. Congress" (PDF). R42843 · Version 14 · updated. Washington, D.C.: Congressional Research Service. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  89. ^ Cantor, Eric (July 30, 2009). "Obama's 32 Czars". The Washington Post. Diakses tanggal September 28, 2009. 
  90. ^ Nelson, Dana D. (October 11, 2008). "The 'unitary executive' question". Los Angeles Times. Diakses tanggal October 4, 2009. 
  91. ^ Suarez, Ray; et al. (July 24, 2006). "President's Use of 'Signing Statements' Raises Constitutional Concerns". PBS Online NewsHour. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 21, 2007. Diakses tanggal November 11, 2009. The American Bar Association said President Bush's use of "signing statements", which allow him to sign a bill into law but not enforce certain provisions, disregards the rule of law and the separation of powers. Legal experts discuss the implications. 
  92. ^ Forte, David F. "Essays on Article II: Convening of Congress". The Heritage Guide to the Constitution. Heritage Foundation. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  93. ^ Steinmetz, Katy (August 10, 2010). "Congressional Special Sessions". Time. Diakses tanggal April 14, 2019. 
  94. ^ "The White House State Dinner". The White House Historical Association. Diakses tanggal November 9, 2017. 
  95. ^ Abbott, James A.; Rice, Elaine M. (1998). Designing Camelot: The Kennedy White House Restoration . Van Nostrand Reinhold. hlm. 9–10. ISBN 978-0-442-02532-8. 
  96. ^ "History of the BSA Fact Sheet" (PDF). Boy Scouts of America. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal June 29, 2014. Diakses tanggal November 9, 2017. 
  97. ^ Grier, Peter (April 25, 2011). "The (not so) secret history of the White House Easter Egg Roll". The Christian Science Monitor. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 30, 2012. Diakses tanggal July 30, 2012. 
  98. ^ Hesse, Monica (November 21, 2007). "Turkey Pardons, The Stuffing of Historic Legend". The Washington Post. Diakses tanggal May 14, 2011. 
  99. ^ Gibbs, Nancy (November 13, 2008). "How Presidents Pass The Torch". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 21, 2008. Diakses tanggal May 6, 2011. 
  100. ^ Dykoski, Rachel (November 1, 2008). "Book note: Presidential idolatry is "Bad for Democracy"". Twin Cities Daily Planet. Diakses tanggal November 11, 2009. Dana D. Nelson's book makes the case that we've had 200+ years of propagandized leadership ... 
  101. ^ Neffinger, John (April 2, 2007). "Democrats vs. Science: Why We're So Damn Good at Losing Elections". HuffPost. Diakses tanggal November 11, 2009. ... back in the 1980s, Lesley Stahl of 60 Minutes ran a piece skewering Reagan's policies on the elderly ... But while her voiceover delivered a scathing critique, the video footage was all drawn from carefully - [sic]staged photo-ops of Reagan smiling with seniors and addressing large crowds ... Deaver thanked ... Stahl ... for broadcasting all those images of Reagan looking his best. 
  102. ^ Nelson, Dana D. (2008). "Bad for democracy: how the Presidency undermines the power of the people". U of Minnesota Press. ISBN 978-0-8166-5677-6. Diakses tanggal November 11, 2009. in rich detail how Kennedy drew on the power of myth as he framed his experience during World War II, when his PT boat was sliced in half by a Japanese ... 
  103. ^ Nelson, Dana D. (2008). "Bad for democracy: how the Presidency undermines the power of the people". U of Minnesota Press. ISBN 978-0-8166-5677-6. Diakses tanggal November 11, 2009. Even before Kennedy ran for Congress, he had become fascinated, through his Hollywood acquaintances and visits, with the idea of the image ... (p.54) 
  104. ^ Lexington (July 21, 2009). "The Cult of the Presidency". The Economist. Diakses tanggal November 9, 2009. Gene Healy argues that because voters expect the president to do everything ... When they inevitably fail to keep their promises, voters swiftly become disillusioned. Yet they never lose their romantic idea that the president should drive the economy, vanquish enemies, lead the free world, comfort tornado victims, heal the national soul and protect borrowers from hidden credit-card fees. 
  105. ^ "Article II. The Executive Branch, Annenberg Classroom". The Interactive Constitution. Philadelphia, Pennsylvania: The National Constitution Center. Diakses tanggal June 15, 2018. 
  106. ^ Bernstein, Richard D. (February 4, 2021). "Lots of People Are Disqualified From Becoming President". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal March 1, 2021. In addition to the list of people who are ineligible for reasons of mere demographic chance, the Constitution adds a category of people who cannot be elected as a result of their misdeeds. This category includes presidents (along with vice presidents and federal “civil officers”) who are impeached, convicted by two-thirds of the Senate, and disqualified for serious misconduct committed while they were in office. 
  107. ^ Wolfe, Jan (January 14, 2021). "Explainer: Impeachment or the 14th Amendment – Can Trump be barred from future office?". Reuters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal March 1, 2021. 
  108. ^ Moreno, Paul. "Articles on Amendment XIV: Disqualification for Rebellion". The Heritage Guide to the Constitution. The Heritage Foundation. Diakses tanggal June 15, 2018. 
  109. ^ Vlamis, Kelsey. "Here's how the 14th Amendment could be used to prevent Trump from running again". Business Insider. Diakses tanggal March 1, 2021. 
  110. ^ Albert, Richard (Winter 2005). "The Evolving Vice Presidency". Temple Law Review. 78 (4): 811–896. Diakses tanggal July 31, 2018 – via Digital Commons @ Boston College Law School. 
  111. ^ Peabody, Bruce G.; Gant, Scott E. (February 1999). "The Twice and Future President: Constitutional Interstices and the Twenty-Second Amendment". Minnesota Law Review. 83 (3): 565–635. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 15, 2013. Diakses tanggal June 12, 2015. 
  112. ^ International Law, US Power: The United States' Quest for Legal Security, p 10, Shirley V. Scott—2012
  113. ^ "Twenty-third Amendment". Annenberg Classroom. Philadelphia, Pennsylvania: The Annenberg Public Policy Center. March 29, 1961. Diakses tanggal July 30, 2018. 
  114. ^ Neale, Thomas H. (May 15, 2017). "The Electoral College: How It Works in Contemporary Presidential Elections" (PDF). CRS Report for Congress. Washington, D.C.: Congressional Research Service. hlm. 13. Diakses tanggal July 29, 2018. 
  115. ^ "Maine & Nebraska". Takoma Park, Maryland: FairVote. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-02. Diakses tanggal August 1, 2018. 
  116. ^ "Split Electoral Votes in Maine and Nebraska". 270towin.com. Diakses tanggal August 1, 2018. 
  117. ^ Larson, Edward J.; Shesol, Jeff. "The Twentieth Amendment". The Interactive Constitution. Philadelphia, Pennsylvania: The National Constitution Center. Diakses tanggal June 15, 2018. 
  118. ^ "The First Inauguration after the Lame Duck Amendment: January 20, 1937". Washington, D.C.: Office of the Historian, U.S. House of Representatives. Diakses tanggal July 24, 2018. 
  119. ^ "Commencement of the Terms of Office: Twentieth Amendment" (PDF). Constitution of the United States of America: Analysis and Interpretation. Washington, D.C.: United States Government Printing Office, Library of Congress. hlm. 2297–98. Diakses tanggal July 24, 2018. 
  120. ^ Munson, Holly (July 12, 2011). "Who said that? A quick history of the presidential oath". ConstitutionDaily. Philadelphia, Pennsylvania: National Constitution Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-04. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  121. ^ NCC Staff (January 20, 2017). "How Presidents use Bibles at inaugurations". Constitution Daily. Philadelphia, Pennsylvania: National Constitution Center. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  122. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama VK218
  123. ^ Neale, Thomas H. (October 19, 2009). "Presidential Terms and Tenure: Perspectives and Proposals for Change" (PDF). Washington, D.C.: Congressional Research Service. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  124. ^ Waugh, Joan (October 4, 2016). "Ulysses S. Grant: Campaigns and Elections". Miller Center of Public Affairs, University of Virginia. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  125. ^ a b "Twenty-second Amendment". Annenberg Classroom. Philadelphia, Pennsylvania: The Annenberg Public Policy Center. Diakses tanggal August 2, 2018. 
  126. ^ Feerick, John D. (2011). "Presidential Succession and Inability: Before and After the Twenty-Fifth Amendment". Fordham Law Review. New York City: Fordham University School of Law. 79 (3): 907–949. Diakses tanggal December 13, 2018. 
  127. ^ a b Feerick, John. "Essays on Article II: Presidential Succession". The Heritage Guide to the Constitution. The Heritage Foundation. Diakses tanggal December 13, 2018. 
  128. ^ "Succession: Presidential and Vice Presidential Fast Facts". cnn.com. October 24, 2017. Diakses tanggal July 19, 2018. 
  129. ^ Olsen, Jillian (November 19, 2021). "How many other vice presidents have temporarily taken over presidential powers?". St. Petersburg, Florida: WTSP. Diakses tanggal May 11, 2022. 
  130. ^ Sullivan, Kate (November 19, 2021). "For 85 minutes, Kamala Harris became the first woman with presidential power". CNN. Diakses tanggal November 19, 2021. 
  131. ^ a b Presser, Stephen B. "Essays on Article I: Impeachment". Heritage Guide to the Constitution. The Heritage Foundation. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  132. ^ Gerhardt, Michael J. "Essays on Article I: Trial of Impeachment". Heritage Guide to the Constitution. The Heritage Foundation. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  133. ^ Longley, Robert (September 1, 2017). "Presidential Pay and Compensation". ThoughtCo. Diakses tanggal July 31, 2018. 
  134. ^ Elkins, Kathleen (February 19, 2018). "Here's the last time the president of the United States got a raise". CNBC. Diakses tanggal July 31, 2018. 
  135. ^ "The White House Building". whitehouse.gov. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  136. ^ Bulmiller, Elisabeth (January 2009). "Inside the Presidency: Few outsiders ever see the President's private enclave". National Geographic. Washington, D.C.: National Geographic Partners. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  137. ^ "The White House Building". whitehouse.gov. Diakses tanggal August 3, 2018. 
  138. ^ "President's Guest House (includes Lee House and Blair House), Washington, DC". Washington, D.C.: General Services Administration. Diakses tanggal November 9, 2017. 
  139. ^ Any U.S. Air Force aircraft carrying the president will use the call sign "Air Force One". Similarly, "Navy One", "Army One", and "Coast Guard One" are the call signs used if the president is aboard a craft belonging to these services. "Executive One" becomes the call sign of any civilian aircraft when the president boards.
  140. ^ "Air Force One". whitehouse.gov. March 21, 2015 – via National Archives. . White House Military Office. Retrieved June 17, 2007.
  141. ^ Farley, Robert (August 25, 2011). "Obama's Canadian-American Bus". FactCheck. Diakses tanggal December 16, 2017. 

Pranala luar