Gusti Abdul Muis

Ulama Indonesia
Revisi sejak 22 Januari 2023 16.42 oleh Arya-Bot (bicara | kontrib) (→‎Referensi: clean up, removed stub tag)

Gusti Abdul Muis adalah seorang kiai dan politikus Indonesia kelahiran Samarinda pada tahun 1917. Kedua orang tuanya bernama Haji Gusti Abdul Syukur dan Hajjah Mastora. Ia adalah anak kedua dari 11 bersaudara yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius.

Gusti Abdul Muis

Ayah dan ibunya sangat mementingkan pendidikan. Karena itu, Abdul Muis sejak kecil dididik dengan penuh disiplin. Dia menempuh pendidikan dasar di sekolah rakyat (volkschool) kota setempat. Setelah lulus pada 1931, pemuda ini meneruskan belajar di Madrasah Tsanawiyah asy-Syafi’iyah Samarinda selama dua tahun. Selanjutnya, ia menuntut ilmu di Madrasah Aliyah Darussalam Martapura hingga tahun 1936.

Selama beberapa tahun, Abdul Muis muda sempat mengamalkan ilmunya di Samarinda. Pada 1938, ia mulai merantau ke luar Kalimantan. Ia meneruskan studinya ke Kulliyatul Muallimin Gontor, Ponorogo. Setelah itu, ia kemudian pindah ke pesantren tertua di Solo, Jawa Tengah, yakni Pondok Jamsaren Solo. Lembaga tersebut didirikan oleh KH Idris Jamsari pada 1750.

Selain mempelajari ilmu agama di madrasah dan pesantren, Abdul Muis juga sempat menempuh pendidikan tinggi di Akademi Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dari 1947 sampai 1948. Walaupun tidak sampai selesai, masa studi lanjut itu sangat mengasah kualitas intelektualnya. Daya tangkapnya tidak kalah dengan para sarjana.

Sebab, Abdul Muis merupakan sosok pemuda yang sangat rajin belajar secara otodidak. Tidak pernah sehari pun terlewatkan tanpa bergelut dengan buku-buku, khususnya yang membahas topik keislaman. Kecintaannya terhadap literasi sudah ditunjukkan sejak kecil. Kamar dan tempat tidurnya sering dipenuhi dengan berbagai buku, baik yang sudah maupun akan dibacanya.

Saat masih menempuh masa kuliah, ia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Gusti Norsehat. Dari pernikahannya itu, dia dikaruniai sembilan anak. Mereka terdiri atas lima putra dan empat putri. Dalam keseharian, lelaki asal Kalimantan Timur itu selalu mendidik para buah hatinya dengan penuh cinta kasih dan keteladanan.

Kiprah

Keterlibatan Haji Gusti Abdul Muis dengan Muhammadiyah untuk pertama kalinya terjadi saat masih berusia 13 tahun. Kala itu, ia bergabung dengan lini kepemudaan di ormas tersebut.

Tidak menunggu waktu lama, dia merasa nyaman dengan menjadi aktivis persyarikatan. Dalam pandangannya, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan visinya tentang kemajuan Islam.

Melalui gerakan Muhammadiyah, Haji Abdul Muis dapat menyalurkan dan mengembangkan bakat dakwahnya. Ia selalu berusaha menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya. Di antara materi-materi dakwah yang menjadi keahliannya adalah ilmu tauhid, tafsir, dan tasawuf.

Dalam pandangannya, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan visinya tentang kemajuan Islam.

Sebelum menetap di Banjarmasin, H Abdul Muis telah melakukan dakwah keliling di berbagai kota. Ia giat mengisi ceramah, khutbah, serta kuliah subuh di sejumlah masjid. Salah satu tempat dakwahnya ialah Masjid al-Jihad di Cempaka dan Masjid ar-Rahman, Kampung Melayu. Barulah pada akhirnya, ia bertempat tinggal di Kota Seribu Sungai.

Sebagai kader Muhammadiyah, lapangan dakwahnya tidak hanya di majelis-majelis taklim, tetapi juga sekolah dan kampus. Dirinya bahkan ikut merintis pendirian Sekolah Wustho Zu’ama Muhammadiyah di Karang Intan Martapura, Kabupaten Banjar. Hingga datangnya balatentara Jepang, ia mengajar di lembaga tersebut sejak tahun 1940.

Pada 1942, Dai Nippon dengan cepat merebut Indonesia dari tangan kolonialis Belanda. Awalnya, kekaisaran dari Asia Timur itu digadang-gadang sebagai “saudara tua” yang siap membebaskan Tanah Air dari belenggu penjajahan. Nyatanya, Negeri Matahari Terbit toh berlaku tak ubahnya penjajah.

Selama kira-kira tiga tahun, pemerintahan pendudukan menguasai Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dalam Perang Dunia II.

Sebagai kader Muhammadiyah, lapangan dakwahnya tidak hanya di majelis-majelis taklim, tetapi juga sekolah dan kampus.

Dua hari kemudian, Sukarno dan Mohammad Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Semangat proklamasi itu sampai juga ke luar Jawa, termasuk Kalimantan. Banyak tokoh daerah yang ikut mengisi kemerdekaan dengan berperan dalam politik bernegara. Salah satunya ialah Haji Abdul Muis. Dirinya ditunjuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945.

Hanya beberapa bulan, Indonesia kembali menghadapi situasi genting. Pasukan Sekutu yang datang ke Tanah Air untuk menjemput para bekas tawanan Perang Dunia II justru memberi ruang gerak bagi pemerintah kolonial, Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Belanda kian nyata menunjukkan niatnya, ingin kembali menjajah Indonesia. Laskar-laskar pun bermunculan di pelbagai daerah. Mereka menjawab ancaman NICA dengan perjuangan-perjuangan bersenjata.

Beberapa waktu kemudian, tokoh Muhammadiyah itu kembali ke daerah asalnya. Di sana, dirinya didaulat menjadi pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan.

Abdul Muis turut dalam heroisme tersebut. Pada 1946, ia diangkat menjadi staf Dewan Kelaskaran Pusat di Jakarta. Beberapa waktu kemudian, tokoh Muhammadiyah itu kembali ke daerah asalnya. Di sana, dirinya didaulat menjadi pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan.

Pada Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Situasi perlahan-lahan kembali kondusif. Di Kalimantan, Abdul Muis terus bergiat dalam pelbagai aktivitas. Pada 1950, ia terpilih menjadi pimpinan Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) yang berpusat di Jakarta.

Sahabat Pak Natsir

Masih di Ibu Kota, Haji Abdul Muis mulai bersentuhan dengan ranah politik. Sejak 1950, ia menjadi legislator Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Posisi itu dipegangnya hingga puncak masa Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada 1960.

Pada 1953, alim dari Kalimantan itu mulai bergabung dengan Partai Masyumi. Sebagai salah satu unsur Muhammadiyah, ia juga akrab dengan tokoh-tokoh dari ormas keislaman lainnya, terutama yang aktif di partai politik tersebut. Salah satunya ialah Mohammad Natsir.

Seperti dijelaskan dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, H Abdul Muis sangat akrab dengan Pak Natsir. Setiap kali perdana menteri RI (1950-1951) itu mengadakan perjalanan, baik resmi maupun nonresmi ke Kalimantan, ia selalu menjamunya di rumah. Begitu pula sebaliknya. Tiap bertandang ke Jakarta, ia selalu mengunjungi Pak Natsir di kediaman tokoh Persatuan Islam (Persis) itu.

Pada 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di Sumatra. Oleh pemerintah pusat, gerakan itu disamakan sebagai tindakan makar. Turut serta dalam jajaran tinggi PRRI ialah sejumlah tokoh Masyumi. Setiap kali perdana menteri RI (1950-1951) itu mengadakan perjalanan, baik resmi maupun nonresmi ke Kalimantan, ia selalu menjamunya di rumah.

Keadaan itu segera dimanfaatkan musuh politik partai yang berlambang bulan-sabit bintang tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai berlogo palu-arit itu membujuk Bung Karno untuk mengambil tindakan tegas dan keras terhadap Masyumi. Akhirnya, pada 1960 sang RI-1 mengeluarkan keputusan yang mengharuskan parpol Islam tersebut membubarkan diri.

Setelah Masyumi bubar, H Abdul Muis cenderung lebih mencurahkan waktunya pada dunia persyarikatan Muhammadiyah dan pendidikan. Hingga tahun 1960, ia sebenarnya tidak hanya berkutat pada Masyumi.

Pelbagai jabatan yang pernah didudukinya menggambarkan luasnya cakupan pergaulan sang alim. Di antaranya, ia pernah menjadi wakil ketua Badan Pengurus Besar Gerakan Indonesia di Jakarta pada 1950-1953. Namanya juga termasuk dalam jajaran Pengurus Besar Serikat Buruh Indonesia (SBI) pada 1953-1955.

Dalam pindang pendidikan, Kiai Abdul Muis juga pernah menjabat sebagai Dekan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah di Banjarmasin, sekitar 1964 atau 1965. Pada 1978-1980, ia juga menjadi dosen luar biasa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari.

Tidak hanya itu, H Abdul Muis juga pernah mengasuh Akademi Kulliyatul al-Muballighin dan pernah menjabat sebagai rektor pertama Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin. Saat menjadi rektor, ia pun aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik sebagai peserta aktif maupun narasumber.

Adapun di Banjarmasin sendiri, Abdul Muis tercatat pernah menjadi Ketua Badan Pengawas Rumah Sakit Islam, pengelola Masjid ar-Rahman, dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan.

Setelah banyak mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama dan bangsa, Kiai Abdul Muis akhirnya wafat pada 27 September 1992 di Banjarmasin dalam usia 73 tahun. Ia meninggalkan sembilan anak dan 13 cucu. Jenazahnya dimakamkan di Kuburan Muslimin Banjarmasin.[1]

Referensi