Operasi Trikora

artikel daftar Wikimedia

Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah operasi militer yang dilancarkan Indonesia untuk melawan pendudukan Belanda di Irian Barat (Papua). Operasi ini dimulai pada bulan Desember 1961 dan berakhir pada bulan Agustus 1962. Operasi ini berakhir dengan pendudukan militer Indonesia di beberapa daerah Nugini Belanda dan penyerahan wilayah Irian Barat oleh Belanda menjadi bagian dari Indonesia melalui UNTEA.

Operasi Trikora
Tanggal19 Desember 1961 - 15 Agustus 1962
LokasiIrian Barat
Hasil ·Jalan buntu secara militer, keuntungan politik bagi Indonesia
·Belanda menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA
·UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia
Pihak terlibat

 Indonesia

 Uni Soviet

 Belanda

Tokoh dan pemimpin

Indonesia Soekarno
Indonesia Abdul Haris Nasution
Indonesia Ahmad Yani
Indonesia Soeharto
Indonesia Soerjadi Soerjadarma (Hingga Januari 1962)
Indonesia Omar Dhani
(dari Januari 1962 )
Indonesia Eddy Martadinata

Indonesia Yos Sudarso 
Indonesia Leonardus Benyamin Moerdani
Belanda C.J van Westenbrugge
W.A. van Heuven
Kekuatan

Indonesia Indonesia:
13.000 Tentara
7.000 Pasukan terjun payung
4.500 Marinir
139 Pesawat
Uni Soviet Rusia Soviet/Rusia:
3.000 Tentara
1 Kapal Jelajah Sverdlov Class
3 Kapal selam Whiskey Class

26 Pesawat pembom strategis Tupolev Tu-16

Belanda Belanda:
10.000 Tentara
1.400 Marinir
1.000 Relawan
5 Kapal perusak
2 Fregat
3 Kapal selam

1 Pesawat pengangkut
Korban

214 Prajurit Indonesia gugur
1 Kapal Torpedo Motor tenggelam

2 Kapal Torpedo Motor rusak

Jumlah Korban tewas Prajurit Belanda tidak diketahui secara pasti

Jumlah Korban Relawan Papua yang tidak diketahui

Dimulainya operasi

Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia.

Latar belakang

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih berada di bawah kedaulatan Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Irian Barat, tetapi setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Irian Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Irian Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Irian Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Irian Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu kota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, tetapi tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

Persiapan

Militer

Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, tetapi gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jenderal A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan. [1] Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Irian Barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada bulan April 1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.[1]

Landasan Udara

Untuk mencapai keunggulan udara, persiapan-persiapan pertama yang dilakukan AURI adalah memperbaiki pangkalan-pangkalan udara yang rusak akibat perang, yang akan dipergunakan untuk operasi - operasi infiltrasi maupun menghadapi operasi terbuka di daratan Irian Barat. Pangkalan Udara dan Landing Strip yang banyak terdapat di sepanjang perbatasan Maluku dan Irian Barat, adalah peninggalan Jepang. Pangkalan Udara dan Landing Strip tersebut terakhir dipergunakan pada tahun 1945, dan setelah itu sudah tidak dipakai lagi. Keadaan Pangkalan Udara dan Landing Strip tersebut tidak terawat dan banyak yang rusak serta ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon. Kesiapan operasional pangkalan udara dan landing strip itu pada akhir tahun 1961 adalah sebagai berikut:

  • PAU Morotai
  • PAU Amahai
  • PAU Letfuan
  • PAU Kendari
  • PAU Kupang
  • PAU Gorontalo
  • PAU Jailolo
  • PAU Pattimura
  • PAU Liang
  • PAU Lahat
  • PAU Namlea
  • PAU Langgur
  • PAU Dokabarat
  • PAU Selaru

Diplomasi

Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman, dan Prancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Irian Barat. Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu 2 tahun.

Ekonomi

Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU No. 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.

Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti:

  1. Perusahaan Perkebunan
  2. Nederlandsche Handel-Maatschappij
  3. Perusahaan Listrik
  4. Perusahaan Perminyakan
  5. Rumah Sakit (CBZ) menjadi RSUD

Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:

  1. Memindahkan pasar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat)
  2. Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
  3. Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
  4. Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda

Konfrontasi Total

Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut:

  • Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.
  • Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik Indonesia.

Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.

  • Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
  • Tahap Eksploitasi (awal 1963),yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
  • Tahap Konsolidasi (awal 1964),yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.

Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.

Konflik bersenjata

 
Soekarno, Presiden Indonesia yang mencetuskan Trikora

Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Irian Barat. Angkatan Laut Kerajaan Belanda menjadi tulang punggung pertahanan di perairan Irian Barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Irian Barat terdiri dari:

Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah dengan kesatuan dari Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 batalyon yang ditempatkan di Sorong, Fakfak, Merauke, Kaimana, dan Teminabuan.[2]

Operasi-operasi Indonesia

Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Irian Barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, tetapi misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Irian Barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.
Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Irian Barat. Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Irian Barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Irian Barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda.
Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal.[3]

Pertempuran laut Aru

Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli pada posisi 4°49' LS dan 135°02' BT. Menjelang pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, di mana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut.[3]
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, tetapi tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, tetapi kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[3] Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".

Operasi penerjunan penerbang Indonesia

Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Irian Barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, tetapi operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, tetapi karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.[1]
Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03:30 WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.
Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik Belanda.[1]
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[4] Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.

Akhir dari konflik

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konflik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.[5][6]

Persetujuan New York

Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan New York adalah:

  • Belanda akan menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
  • Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
  • Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
  • UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
  • Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Irian Barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
    1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Irian Barat
    2. penetapan tanggal penentuan pendapat
    3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk
      • tetap bergabung dengan Indonesia; atau
      • memisahkan diri dari Indonesia
    4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional
  • Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia. Ibu kota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963, Irian Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pengeboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.

Penentuan Pendapat Rakyat

Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia.[7][8]

Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, tetapi mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.[9] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, tetapi keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Irian Barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.

Setelah penggabungan

Setelah Irian Barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:

  1. Irian Barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
  2. Belanda berjanji menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
  3. penggabungan Irian Barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
  4. penggabungan Irian Barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.

Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional.[1][2]

Setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatra dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat.[10][11][12] Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada provinsi Papua untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi: Papua dan Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.

Warisan

Berkas:Irian Barat Statue.JPG
Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta.

Berbagai monumen dan nama tempat di Indonesia diambil berdasarkan pidato dan Operasi Trikora. Beberapa monumen telah dibangun, di antaranya dua monumen di Jakarta (Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta Pusat dan Monumen Trikora di dalam Markas Besar TNI di Jakarta Timur), Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat dan Museum Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat di Makassar, Sulawesi Selatan, Monumen Jayawijaya di Tinangkung, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah,[13] serta monumen-monumen bernama "Monumen Trikora" atau "Tugu Trikora" di Bitung, Sulawesi Utara,[14] Kabupaten Morotai, Maluku Utara,[15] dan Ambon, Maluku.[16]

Penerjun payung yang terlibat dalam Operasi Trikora juga diabadikan dalam sejumlah monumen, seperti patung di Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan[17] dan Kabupaten Fakfak, Papua Barat,[18] serta patung L.B. Moerdani sebagai penerjun payung di Kabupaten Merauke, Papua.[19]

Sebuah jalan pendek di utara Alun-Alun Utara Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta sebelumnya sempat bernama Jalan Trikora sebelum diganti menjadi Jalan Pangurakan.[20] Jalan-jalan lain di berbagai kota di Indonesia, khususnya di Papua dan Papua Barat, juga dinamai Jalan Trikora. Puncak Trikora di pegunungan tengah Papua juga dinamai dari operasi ini.

Lihat juga

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e Sibero, Tarigan (3 Mei 2006). "Kisah Heroik Merebut Irian Barat (1)". TNI. 
  2. ^ a b c "Pembebasan Irian Barat dan Pasukan Belanda di Irian Barat". Pusjarah TNI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-09-05. 
  3. ^ a b c Intisari. Mengenang Tragedi di Laut Aru
  4. ^ "Batalyon Armed–9/Pasopati". Patriot. 09-03-2007. 
  5. ^ United States Department of State. "95/03/06 Foreign Relations, 1961-63, Vol XXIII, Southeast Asia" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-08-13. Diakses tanggal 2007-09-20. 
  6. ^ John F. Kennedy. "Surat John F. Kennedy" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-26. Diakses tanggal 2007-09-20. 
  7. ^ The National Security Archive. "Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice"" (dalam bahasa Inggris). 
  8. ^ Saltford, John Francis. "UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West New Guinea During the 1960's" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-07-17. Diakses tanggal 2007-09-20. Indonesia's final preparation for the assembly meetings have been described by several people, including assembly members. They allege that members were isolated beforehand in camps for several weeks. Forbidden to contact friends and relatives and often under armed guard, they were then subjected to a series of threats and bribes by the authorities to do exactly as they were told. 
  9. ^ The Indonesia Human Rights Campaign. "Act of Free Choice: The Papuans of Western New Guinea and the limitations of the right to self determination" (dalam bahasa Inggris). 
  10. ^ Andrew Kilvert. "Golden Promises: Indonesian migrants find themselves pawns in a war for control of West Papua" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-12-15. Diakses tanggal 2007-09-20. 
  11. ^ M.Adriana Sri Adhiati & Armin Bobsien (ed.). "Indonesia's Transmigration Programme - An Update" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-02. Diakses tanggal 2007-09-20. 
  12. ^ The World Bank. "Transmigration in Indonesia" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-20. Diakses tanggal 2007-09-20. 
  13. ^ "Sejarah Dibalik Berdirinya Monumen Trikora Jayawijaya Di Salakan". Paulipu. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  14. ^ Prasetyo (2017). "Monumen Trikora Kota Bitung: Saksi Sejarah Yang Terpinggirkan". Duasudara. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  15. ^ Bachtiar, Basri (2017). "Mengenal Monumen Trikora di Morotai". detikcom. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  16. ^ "Tugu Trikora di Pusaran Korupsi". Siwalima. 2020. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  17. ^ Paul (2019). "54 Tahun Tugu Trikora Telantar". Kumparan. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  18. ^ "Tugu TRIKORA Fakfak". Nan Emma. 2016. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  19. ^ "Moerdani Monument in Merauke Regency, Papua Province". indonesia-tourism.com. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 
  20. ^ Redaksi Solopos.com (2013). "Desember, Tiga Ruas Jalan di Jogja akan Ganti Nama". Solopos.com. Diakses tanggal 12 Oktober 2021. 

Pranala luar