Ekowisata atau ekoturisme (dalam bahasa Inggris: ecotourism) merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

Fernando de Noronha di Brasil
Taman Nasional Tapantí in Kosta Rika

Ekowisata dimulai sejak dirasakan adanya dampak negatif pada kegiatan pariwisata konvensional. Dampak negatif ini bukan hanya dikemukakan dan dibuktikan oleh para ahli lingkungan tetapi juga para budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata. Dampak berupa kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai mengancam lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat setempat.

Pada mulanya, ekowisata dijalankan dengan membawa wisatawan ke objek wisata alam yang eksotis dengan cara ramah lingkungan. Proses kunjungan yang memberikan dampak negatif kepada lingkungan mulai dikurangi.

Sejarah

Kegiatan ekowisata yang pertama adalah kegiatan safari (berburu hewan di alam bebas) yang dilakukan oleh para petualang dan pemburu di Afrika. Kegiatan ini marak pada awal 1900. Dan pemerintahan Kenya mengambil kesempatan dan membuka peluang bisnis dari kegiatan safari ini. Pemerintah Kenya yang baru merdeka, dengan sumber daya flora dan fauna yang dimilikinya menjual kegiatan petualangan safari kepada para pemburu yang ingin menyaksikan padang safana dan mamalia Afrika. Pemerintah Kenya menjual satu ekor singa sebagai buruan seharga US$27.000 pada tahun 1970. Namun, akhirnya disadari bahwa perburuan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kepunahan spesies flora atau fauna dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Belajar dari pengalaman ini, pemerintah Kenya akhirnya melakukan banyak perubahan di dalam pelaksanaan kegiatan safari dan mulai menerapkan konsep-konsep ekowisata modern di dalam industri pariwisata.

Pada akhir dekade 1970, gagasan ekowisata mulai diperbincangkan dan dianggap sebagai suatu alternatif kegiatan wisata tradisional. Selama masa 1980-an, beberapa badan dunia, peneliti, pencinta lingkungan, ahli-ahli di bidang pariwisata dan beberapa negara mulai mencoba merumuskan dan mulai menjalankan kegiatan ini dengan caranya masing-masing.

Rumusan ekowisata pernah dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain pada tahun 1987 sebagai berikut: "Ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini". Bagi kebanyakan orang, terutama para pencinta lingkungan, rumusan yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain tersebut belum cukup untuk menggambarkan dan menerangkan kegiatan ekowisata. Penjelasan di atas dianggap hanyalah penggambaran dari kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, sebagai berikut: "Ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.

Pada awal 1980-an, Costarica dipilih oleh badan dunia PBB sebagai proyek percontohan kegiatan ekowisata. Belajar dari pengalaman di Kenya, di Costarica pelaksanaan kegiatan ini melibatkan berbagai pihak, yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, dan badan lingkungan hidup internasional. Proyek ini kemudian dinilai berhasil dan menjadi contoh bagi pelaksanaan kegiatan ekowisata di seluruh dunia.

Perkembangan ekowisata di dunia secara umum terasa cukup cepat dan mendapat prioritas dan perhatian dari pemerintahan masing-masing negara yang melaksanakannya. Walaupun dimulai dari Afrika, ekowisata berkembang pesat dan berevolusi di Amerika Latin.

Di beberapa negara Amerika Latin (terutama yang dialiri oleh sungai Amazon), kegiatan mengunjungi objek wisata alam berkembang menjadi kegiatan penyelamatan lingkungan hidup (konservasi). Seiring dengan berjalannya waktu, banyak peserta ekowisata yang tertarik dan ingin berkontribusi di dalam penyelamatan alam (flora dan fauna) dari kerusakan yang semakin parah. Beberapa lembaga atau organisasi yang bergerak dibidang lingkungan hidup menangkap peluang ini dan mulai mengadakan kegiatan reboisasi bersama dengan masyarakat luas termasuk peserta ekowisata, hingga penggalangan dana dan penanaman pohon yang dapat diikuti melalui media internet.

Keanekaragaman hayati di aliran sungai Amazon juga membuka peluang bagi kegiatan penelitian (yang semula tertutup) menjadi sebuah penelitian yang sifatnya terbuka dan bisa diikuti oleh wisatawan dengan kriteria tertentu. Kegiatan penelitian berupa pendataan spesies dan dampak kerusakan lingkungan, saat ini telah menjadi salah satu paket kegiatan ekowisata.

Kehidupan suku terasing Indian dengan budayanya yang unik dan menghormati lingkungan di aliran sungai Amazon juga mengundang daya tarik wisatawan yang kemudian menjadi peluang yang diorganisir oleh masyarakat, biro wisata dan pemerintah untuk menarik wisatawan agar mau menetap untuk belajar dan mengetahui lebih lanjut kehidupan dan budaya dari masyarakat Indian.

Belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu yang menyebabkan dampak rusaknya lingkungan, pemerintah Kosta Rika memobilisasi masyarakatnya untuk berperan aktif dalam kegiatan ekowisata. Tidak ada hotel berbintang dan bandara internasional yang dibangun di dekat objek wisata alam. Yang ada adalah rumah-rumah masyarakat yang terbuka untuk ditinggali sementara oleh para wisatawan (sekarang disebut homestay atau rumah singgah). Masyarakat pun tidak menyediakan menu masakan internasional kepada para wisatawan, mereka menyuguhkan masakan tradisional dengan standar kebersihan yang tinggi. Pemerintah Costarica yakin bahwa peserta ekowisata bukan hanya tertarik kepada eksotisme alam dari negaranya, tetapi juga tertarik kepada kebudayaan dan cara hidup masyarakatnya.

Di Afrika, kegiatan perburuan binatang (singa, kerbau, gajah, badak dan lain sebagainya) yang sebelumnya dianggap dapat mengganggu kelestarian suatu spesies ternyata kalau dilakukan secara selektif justru dapat meningkatkan populasi spesies tersebut atau spesies yang lainnya. Kesimpulan ini didapatkan dari kenyataan yang ada bahwa banyak kelompok keluarga singa yang didominasi oleh jantan yang sudah tua berhenti berkembang biak dan tidak lagi melahirkan anak-anak singa yang baru. Hal ini diakibatkan oleh kualitas sperma yang dimiliki oleh si jantan yang telah tua sudah tidak baik lagi (mandul) atau tidak lagi memiliki birahi yang tinggi. Membunuh singa jantan yang tua ternyata membuka peluang bagi singa jantan yang muda, sehat dan produktif untuk memimpin kelompok tersebut dan kembali meneruskan garis keturunannya. Semenjak itulah kegiatan perburuan singa dan beberapa spesies lainnya mulai diadakan kembali di Kenya, dengan spesfikasi dan pengawasan yang ketat dari petugas taman nasional.

Ekowisata di Indonesia

Di Indonesia, kegiatan ekowisata mulai dirasakan pada pertengahan 1980-an, dimulai dan dilaksanakan oleh orang atau biro wisata asing, salah satu yang terkenal adalah Mountain Travel Sobek–sebuah biro wisata petualangan tertua dan terbesar. Beberapa objek wisata terkenal yang dijual oleh Sobek antara lain adalah pendakian gunung api aktif tertinggi di garis khatulistiwa - Gunung Kerinci (3884 m), pendakian danau vulkanik tertinggi kedua di dunia - Danau Gunung Tujuh dan kunjungan ke danau vulkanik terbesar didunia - Danau Toba.

Beberapa biro wisata lain maupun perorangan yang dijalankan oleh orang asing juga melaksanakan kegiatan kunjungan dan hidup bersama suku-suku terasing di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua.

Salah satu dari proyek ekowisata yang terkenal yang dikelola pemerintah bersama dengan lembaga asing adalah ekowisata orang utan di Tanjung Puting, Kalimantan.

Kegiatan ekowisata di Indonesia diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009.

Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak jauh berbeda dari kegiatan wisata alam biasa, tetapi memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya.

  • Wisata pemandangan:
  • Wisata petualangan:
  • Wisata kebudayaan dan sejarah:
  • Wisata penelitian:
    • Pendataan spesies (serangga, mamalia dan seterusnya)
    • Pendataan kerusakan alam (lahan gundul, pencemaran tanah)
    • Konservasi (reboisasi, lokalisasi pencemaran)
  • Wisata sosial, konservasi dan pendidikan:
    • Pembangunan fasilitas umum di dekat objek ekowisata (pembuatan sarana komunikasi, kesehatan)
    • Reboisasi lahan-lahan gundul dan pengembangbiakan hewan langka
    • Pendidikan dan pengembangan sumber daya masyarakat di dekat objek ekowisata (pendidikan bahasa asing, sikap)

Lihat pula

Pranala luar