Suku Hubula adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia dan salah satu suku asli yang di Papua. Suku ini mendiami kawasan pegunungan tengah Papua, tepatnya di Lembah Baliem bersama suku-suku lainnya,[1][2][3] namun ada pula yang mengatakan kalau Suku Hubula adalah gabungan dari tiga suku yang bermukim di Lembah Baliem, yakni Suku Dani, Suku Yali dan Suku Lani, maupun suku-suku Wamena lainnya.


Sistem kepemimpinan

Tidak ada kata kepemimpinan dalam bahasa Hubula, demikian ap kaintek dan ap koktek sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Istilah ap sendiri dalam bahasa Hubula berarti pria dewasa, kok artinya besar, sehingga ap kok secara harafian berarti 'pria besar', ap koktek bentuk jamaknya. pria berwibawa (big man) adalah istilah antropologi untuk mendeskripsikan orang tersebut yang berfungsi seperti kepala suku.

Sedangkan kain lebih sulit untuk diartikan dalam bahasa Indonesia, karena bisa berarti pemimpin, kepala suku, orang berpengaruh, orang berwibawa. Sehingga ap kain berarti pria besar berpengaruh, demikian pula ap kaintek berarti 'para pria besar berpengaruh'. Orang tersebut dari tingkat kampung (oukul), konfederasi (ap logalek), hingga aliansi perang (oagum).

Untuk tingkat lebih tinggi disebut ap kain metek mele (orang yang biasa berdiri) artinya panglima perang. Sedangkan istilah lain ap kaintek inetaga pogot (para pria yang namanya melangit) atau ap koktek inetaga pogot (para pria besar yang namanya melangit) adalah pemimpin politik atau panglima perang dalam tingkat konfederasi atau aliansi perang.

Perlu dipahami dari berbagai tingkat komunitas Hubula tersebut, tidak memiliki satu pemimpin saja melainkan para ap kaintek yang berdasarkan prestasinya masa lampau dalam peperangan dan masyarakat. Diantara mereka ada yang dijuluki ap etaga pogot (pria yang namanya melangit) bila prestasinya sangat baik dalam peperangan.

Adat dan budaya

Suku Hubula dikenal dekat dengan berbagai macam upacara adat dan ritual, salah satu yang paling terkenal adalah upacara Pesta Babi atau orang-orang di Suku Hubula menyebutnya sebagai wam mawe.[1] Selain upacara wam mawe, Suku Hubula juga memiliki ritual memanah babi dengan menggunakan sege (sejenis tombak khas milik Suku Hubula). Dalam Festival Budaya Lembah Baliem, tradisi atau ritual melempar sege juga dilakukan oleh tokoh pemerintah daerah atau instansi terkait sebagai penanda dibukanya festival, namun yang mnejadi sasaran sege dalam festival bukanlah babi, melainkan batang pohon pisang.

Suku Hubula juga memiliki hukum adat sendiri yang diatur dalam hukum Honai (merujuk pada rumah adat honai dari kebanyakan suku-suku di Papua), hukum Honai juga tidak hanya mengatur tentang masalah sosial, namun juga masalah peperangan. Dalam sebuah peperangan, Suku Hubula biasanya melengkapi diri dengan senjata khas suku mereka, seperti sege, sementara untuk membedakan prajurit biasa dengan pemimpin atau panglima perang, pemimpin Suku Hubula dilengkapi dengan tongkat aksesoris yang terbuat dari bulu kasuari yang disebut sebagai syuesi dan walemo yang terbuat dari cangkang kerang. Tetapi sejak adanya modernisasi, hukum Honai yang menyangkut peperangan sudah jarang dan bahkan sudah tidak digunakan, sebagai gantinya masyarakat Suku Hubula menjadikan perang sebagai sebuah tarian saja, itupun biasanya hanya dilakukan dalam festival-festival.[2]

Upacara Wam Mawe

Dalam bahasa Hubula, wam mawe terdiri dari dua kata, yakni wam dan mawe. Wam (dalam Bahasa Indonesia) berarti babi dan mawe (dalam Bahasa Indonesia) berarti upacara, secara garis besar maka wam mawe berarti Upacara Babi. Bagi Suku Hubula wam mawe adalah upacara dan pesta adat yang sangat penting, oleh karena itu orang-orang Hubula akan melaksanakan upacara ini secara besar-besaran. Upacara ini juga tidak berlangsung tiap tahun, tetapi setiap empat atau lima tahun sekali, sehingga tidak mengherankan kalau Suku Hubula melaksanakannya secara meriah.[1]

Upacara wam mawe dilaksanakan khusus bagi kaum laki-laki. Sebelum pelaksanaan wam mawe biasanya dilakukan pula upacara wam wesake atau Pesta Honai Adat, babi-babi yang dipilih untuk upacara pun bukan babi-babi sembarangan, melainkan babi yang yang paling bagus dan terbaik yang telah dipersiapkan dan dipelihara sangat lama untuk upacara tersebut.[1]

Tujuan pelaksanaan upacara

Pelaksanaan wam mawe sendiri juga tidak semata-mata sebagai bentuk perayaan, melainkan juga sebagai upacara untuk menyelesaikan masalah-masalah adat yang terjadi di dalam masyarakat. Masalah-masalah yang muncul itu seperti masalah maskawin yang belum dibayarkan atau masalah-masalah hutang piutang lainnya.[1]

Selain masalah hutang piutang, upacara wam mawe memiliki tujuan lainnya, antara lain:[1]

  • Untuk memperbaiki tatanan masyarakat dan hubungan internal antar-klan dalam honai adat Suku Hubula.
  • Untuk penghormatan dan penghargaan atas aliansi atau persekutuan antar-suku dalam sebuah peperangan. Hal ini juga dilaksanakan sebagai perayaan kemanganan dalam perang yang dilakukan oleh Suku Hubula dan suku yang menjadi sekutu mereka.
  • Membangun hubungan diplomasi dengan honai adat dari klan atau suku lainnya.

Setelah pesta selesai, para pemuda kemudian melantunkan nyanyian-nyanyian sebagai tanda selesainya upacara, setelah itu mereka membagikan daging babi yang sudah dibakar sebelumnya kepada seluruh masyarakat adat yang telah ditentukan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g abdulrazak (2019-02-28). "Suku Hubula di Lembah Baliem pegunungan tengah Papua dalam hidupnya banyak upacara yang dilksanakan berkaitan dengan upacara adat seputar lingkaran hidup seperti upacara pesta adat Babi (Wam Mawe)". Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-25. 
  2. ^ a b "INDOPOS". indopos.co.id (dalam bahasa Indonesian). 2018-08-09. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-25. Diakses tanggal 2019-03-25. 
  3. ^ Fahmi Firdaus, Melihat Lebih Dekat Festival Lembah Baliem Situs Budaya Papua dalamhttps://news.okezone.com/read/2018/08/09/1/1934160/melihat-lebih-dekat-festival-lembah-baliem-situs-budaya-papua diakses 2 April 2019