Haji Darip

Revisi sejak 31 Januari 2023 12.21 oleh 114.124.131.116 (bicara) (Akhir hayat: Penyempurnaan)

KH. Darip atau KH. Muhammad Arif adalah seorang pejuang kemerdekaan dan ulama Indonesia. KH. Darip, lahir di Klender, Jakarta Timur pada tahun 1886. Ia tidak menempuh pendidikan formal. Pelajaran membaca dan menulis diperolehnya dari temannya. Ia putra bungsu dari tiga bersaudara buah pasangan dari H. Kurdin dan Hj. Nyai Ma'i.

Perjuangan kemerdekaan

Sebelum menjadi ulama ia pergi ke tanah suci Mekah dan Madinah, selama lebih kurang 4 tahun untuk memperdalam ilmu agama. Selama di sana, dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Islam dari berbagai negara. Sekembalinya ke Tanah Air. Ia mengawali perjuangan dengan berdakwah di sebuah musholla kecil yang kini berubah menjadi Masjid Al Makmur yang cukup megah di Klender. Keterlibatan KH. Darip dalam perjuangan merebut kemerdekaan dimulai pada masa kolonial Belanda. KH. Darip bergerilya bersama Bung Karno bergerak dibawah tanah khususnya di Tanjung Priuk dan Cilincing. Lalu pada tahun 1941 bersama KH. Muhammad Yusuf dari Depok, salah satu guru spiritual sekaligus penasehat Bung Karno, KH. Darip menyerang markas batalion X Belanda di Lapangan Banteng.

Pada tanggal 1 Maret 1942, bala tentara Jepang mendarat di Banten. Beberapa hari kemudian, mereka memasuki Kota Jakarta. Setelah beberapa bulan Tentara Pendudukan Jepang berada di Jakarta, keadaan kota bukanlah lebih baik. Dimana-mana mulai kesulitan memperoleh bahan pokok seperti beras, jagung, dan barang kelontong lainnya. Kebutuhan pokok rakyat Jakarta dibawa oleh tentara Jepang melalui pelabuhan Tanjung Priok entah mau dibawa kemana .

Kesulitan untuk memperoleh bahan pokok dirasakan oleh hampir seluruh rakyat di Jakarta. Di pinggir-pinggir jalan mulai kelihatan banyak rakyat yang kelaparan. Badannya kurus dan kering, pakaian yang dikenakan seadanya. Dengan keadaan yang semakin menyengsarakan rakyat Indonesia, KH. Darip kemudian memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para tokoh ulama dan jawara seperti H. Mursyidi dan H. Hasbullah serta napi rutan Cipinang. Dengan prinsip "mencintai Tanah Air merupakan bagian dari iman", KH. Darip membakar semangat ratusan pemuda dari Klender dan sekitarnya. Namanya yang sudah dikenal membuatnya dalam waktu singkat mengumpulkan banyak pengikut untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Merasa mendapat serangan dari pasukan KH. Darip, pihak Jepang menjadi geram dan membuatnya merasa terancam. Pihak Jepang kemudian melakukan siasat untuk menundukkan KH. Darip. Pemerintah Jepang melakukan bujuk rayu harta dan jabatan kepada KH. Darip dengan tujuan agar KH. Darip menghentikan gerakan dan penyerangannya kepada tentara Jepang. Akan tetapi KH. Darip menolak dan tidak bisa ditundukkan dengan bujuk rayu Jepang. Maka Jepang mengambil langkah penangkapan terhadap KH. Darip sebagai pimpinan. Setelah diketahui bahwa dirinya akan ditangkap, KH. Darip melarikan diri dan bersembunyi mulai dari daerah Klender, Pulogadung, Bekasi, Karawang, Cikampek, hingga Purwakarta. Pada tahun 1943, Jepang berhasil menangkap KH. Darip, setelah dikhianati oleh kawannya sendiri yang memberitahukan tempat persembunyiannya. Dua tahun KH. Darip mendekam dipenjara dan terpidana mati. Sebelum di eksekusi mati, KH. Darip menerima penyiksaan secara tak manusiawi dari tentara Jepang. Selama dipenjara KH. Darip tetap menjadi pribadi yang sabar dan tetap taat beribadah.

Ketika tragedi bom atom yang menimpa Hiroshima jatuh pada awal agustus 1945, sebagian tentara Jepang memilih kembali ke negrinya. melihat tentara Jepang yang tersisa dipenjara tinggal sedikit, pasukan KH. Darip kemudian menyusun strategi untuk membebaskan sang pimpinan. Perjuangan pun tak sia-sia, akhirnya KH. Darip berhasil dibebaskan. Setelah bebas dari penjara para pemimpin pergerakan melawan tentara pendudukan berdatangan dan menginap di kediaman KH. Darip, di antaranya adalah Sukarni, Kamaludin, Syamsuddin, dan Pandu Kartawiguna. Mereka menginap di rumah KH. Darip dan menyatakan bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan mereka membicarakan pengusiran terhadap orang-orang Jepang. KH. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, Cipinang, Cempedak, sepanjang Kali Cipinang dan lain-lain.[1]

Hari Proklamasi makin dekat dan keadaan makin panas saja. Tetapi KH. Darip telah mempersiapkan anak buahnya. KH. Darip juga mendatangi gudang-gudang beras di Klender untuk memblokir beras yang ada jangan sampai keluar dari Klender. Maka jadilah Klender wilayah pertahanan yang merupakan gudang makanan dan persenjataan ala kadarnya.

KH. Darip mempersiapkan hal tersebut di atas setelah Jepang mengumumkan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu yang berita ini diketahui oleh kalangan pemuda bangsa Indonesia melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting Corporation) London. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta baru kembali ke Tanah Air memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi di Saigon, Vietnam.

Saat kembali ke Tanah Air, Soekarno ditemui para pemuda untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, Soekarno dan Hatta "diculik" dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang oleh para pemuda di antaranya Sukarni, Chaerul Saleh dan lain-lain. Dalam peristiwa Rengasdengklok itu, KH. Darip menjadi saksi hidup ketika para pemuda mendesak Soekarno Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Kemudian saat Soekarno Hatta ditempatkan di suatu rumah yang tidak layak dipinggir kali, KH. Darip meminta kepada Sukarni dan kawan-kawannya agar menempatkan Soekarno Hatta dirumah yang layak karena Soekarno Hatta adalah calon pemimpin yang harus dihormati. Atas permintaan KH. Darip, maka dipilihlah rumah milik warga dari etnis Tionghoa yang bernama Djiaw Kie Siong.

Pada waktu itu Soekarno dan Hatta menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.

Setelah melalui perundingan yang panjang akhirnya disepakati bahwa proklamasi kemerdekaan dilaksanakan pada 17 Agustus di Jakarta kemudian bendera Merah Putih dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan.

Teks Proklamasi ditulis di ruang makan Laksamana Tadashi Maida di Jl. Imam Bonjol. Setelah Sahur dan sesudah adzan Shubuh Bung Karno menyempatkan diri ke Kwitang dengan menyamar untuk menemui Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi guna memohon doa restu besok akan diadakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Maka tak heran jika pembacaan teks proklamasi yang semula dijadwalkan pagi hari tertunda sampai jam 10. Dikarenakan Bung Karno terlebih dahulu datang ke kediaman Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi untuk meminta doa restu.

Pada akhirnya, tepatnya hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 09 Ramadlan 1364 H, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan tersebut disambut suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Selang dua jam setelah Soekarno Hatta membacakan Teks Proklamasi, Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi mengumumkan kepada Jamaah Sholat Jum’at di Masjid Kwitang, bahwa negara ini telah diproklamirkan kemerdekaannya, Habib Ali memerintahkan agar seluruh Umat Islam memasang bendera merah putih dirumah dan kampungnya masing masing. Habib Ali menegaskan agar apa yang di umumkannya disebarluaskan. Kabar tentang pengumuman dari Al Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang cepat menyebar dikalangan Masyarakat Jakarta khususnya para Ulama dan Habaib, Guru Mansur dari Jembatan Lima yang mendengar maklumat dari sang guru langsung membuat bendera Merah putih dan dipasang di atas menara Masjidnya, tak ketinggalan rakyat yang berada di Klender dan sekitarnya.

Al Habib Ali bin Husein Al Attas pula tidak ketinggalan ikut memasang bendera merah putih di depan kediamannya, begitu pula Al Habib Salim bin Jindan memasang bendera di depan rumahnya, sampai sampai banyak masyarakat yang bertanya kepada Habib Salim.

”Ya Habib Salim, ada apa dan kenapa bendera merah putih kau kibarkan di depan rumahmu ?”

Habib Salim menjawab, ”Apa kalian tak dengar kabar bahwa ini negeri telah merdeka, ketahuilah ini negeri telah merdeka dan lambang dari kemerdekaannya adalah bendera Merah putih ini, sudah kalian jangan banyak tanya lagi, lekas kalian buat bendera merah dan putih lalu pasang di rumah kalian, kalau ada yang tanya, bilang kalau negeri ini sudah Merdeka".

Setelah Jepang menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara Sekutu berusaha kembali menjajah Indonesia. KH. Darip bersama pasukannya [2] bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Soekarno saat rapat akbar di Klender pada tanggal 20 Agustus 1945, dan pada saat itu juga laskar BARA (Barisan Rakyat Indonesia) pimpinan KH. Darip terbentuk yang anggotanya terdiri dari pelarian KNIL Pondok Gede dan mempunyai pasukan organik terlatih. Dalam menegakkan Republik, BARA berperan dalam memobilisasi massa dan menumpas gerakan anti Soekarno, BARA juga pernah bekerja sama dengan BKR dalam pertempuran terbuka di sepanjang Kali Cipinang. Ia dijuluki 'Panglima Perang dari Klender', bertempur di seluruh front di kota Jakarta.[1]

Dengan mengatasnamakan perjuangan, BARA merajalela di wilayah Klender dan sekitarnya. Sebagai korban, mereka kerap memeras masyarakat dari golongan orang Indo, Tionghoa dan etnis-etnis yang di identikan sebagai antek Belanda. "Orang yang beruntung memiliki kulit berwarna akan dibiarkan hanya membayar setara dua gulden dengan mata uang di masa pendudukan Jepang lalu berteriak memekikan kata 'merdeka'," ungkap Cribb dalam buku Gangster and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949.

Tentu saja pemaparan miring tentang KH. Darip versi Cribb itu ditentang keras oleh keluarga sang kyai. Menurut KH. Huryani, salah seorang putra KH. Darip, alih-alih menjadi pemeras KH. Darip malah merupakan pelindung para pedagang Tionghoa dari penjarahan yang dilakukan oleh para bandit setempat.

"Orang-orang Tionghoa itu datang ke rumah dan meminta foto bapak saya lalu memperbanyaknya. Mereka menempelkan foto bapak di pintu-pintu rumah dan toko-toko sehingga gerombolan bandit yang akan merampok langsung mengurungkan niat jahatnya begitu melihat foto bapak tersebut," ungkap lelaki yang dikenal sebagai Ustadz Uung itu.[2]

Pada suatu penyerangan, Klender berhasil diduduki Belanda dan Sekutu. Atas perintah Pemerintah KH. Darip dan pasukan BARA hijrah ke beberapa tempat seperti Tambun, Cikarang, Lemah Abang, Bekasi, Cikampek, Karawang hingga ke Purwakarta. Pada pertengahan tahun 1946, KH. Darip dengan rela membubarkan pasukannya untuk di gabungkan dengan TKR. Kemudian di Cikarang Bekasi KH. Darip membentuk organisasi kelaskaran lagi dengan nama BPRI (Barisan Perang Rakyat Indonesia) Jakarta Raya dan sebagian anggotanya dikirimkan ke Purwakarta untuk menjalankan tugas. Namun ketika terjadi penertiban Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) di Karawang, BPRI KH. Darip kembali di masukkan menjadi Tentara yang dilantik langsung oleh Jenderal A.H. Nasution pada tanggal 02 Februari 1947 di Lapangan Kian Santang Purwakarta. Pada tahun 1948, dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler Penasehat Batalyon AMPI Resimen 7 Brigade 3 Kian Santang Divisi 1 Siliwangi KH. Darip bermarkas di Purwakarta Jawa Barat.

Di tempat persembunyiannya di Purwakarta, ia menyusun strategi melawan Belanda. KH. Darip dianggap oleh Belanda sebagai orang yang berbahaya. Belanda menyebar mata-mata untuk menangkap KH. Darip dan memenjarakannya.[1] Tersebutlah Jami dan Sarosa yang menjebak dan membujuk KH. Darip agar pergi ke Jogjakarta untuk kembali dekat dengan Soekarno. Sejak januari 1946 ibukota memang pindah dari Jakarta ke Jogjakarta. Sarosa berangkat mendahului. Kemudian menyusul KH. Darip, Jami dan Entong, anak perawat kuda yang berumur 13 tahun. Ketika malam hari melewati hutan Jati, Sadang Purwakarta KH. Darip disergap Belanda. KH. Darip diikat erat dengan kabel listrik dan dibawa memakai mobil Jeep. Jami tidak terlihat ditangkap. Akhirnya KH. Darip menyadari bahwa ia dijebak dan dikhianati oleh Jami. Dari Sadang KH. Darip dibawa ke Jakarta kemudian dimasukkan ke sel Polisi I Kebayoran selama tiga hari lalu dipindah ke Ancol. Dalam kondisi tetap diikat dengan kabel listrik, KH. Darip disiksa dengan gagang senapan dan dipukul bertubi-tubi sampai akhirnya KH. Darip dijebloskan ke tahanan Glodok, Jakarta Kota (kini merupakan bagian dari pertokoan Harco) pada tahun 1948. Berita tertangkapnya KH. Darip sampai ke anak buahnya dan mereka sangat marah ternyata pimpinannya tertangkap karena dijebak dan dikhianati oleh Jami. Kemudian anak buahnya mencari-cari Jami hingga akhirnya Jami ditangkap dan tewas dibunuh oleh anak buah KH. Darip yang setia.

Saat dipenjara KH. Darip mengirim surat kepada Soekarno agar ia dibebaskan dari penjara. Konon surat tersebut diterima oleh Fatmawati, istri Soekarno di Istana Negara. Tetapi Soekarno tidak bisa membebaskan KH. Darip. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, KH. Darip akhirnya dibebaskan dari penjara. Para anak buahnya menyambut KH. Darip diluar penjara dan membawa ke rumah Ghozali di Kebon Jahe kemudian ke Klender. Rumahnya di Klender sudah habis dibakar oleh Belanda saat ia di penjara. Lalu bersama-sama anak buahnya dan rakyat Klender secara gotong royong membuat rumah sederhana untuk KH. Darip.

Pada Mei atau Juni 1950 KH. Darip dipanggil Soekarno ke Istana Cipanas. Ia dijemput oleh Letnan Ishaq Latief Hendraningrat. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pertahanan Hamengkubuwono. Soekarno menyambut dan memeluk KH. Darip sambil menangis. Soekarno lalu menjelaskan surat KH. Darip yang dikirimkan untuknya. Soekarno merasa yakin bahwa KH. Darip akan bebas dan tidak akan mati di penjara.

Saat sedang memanasnya situasi negara dalam mengatasi pemberontakan DI/TII Kartosoewiryo, KH. Darip pernah menerima surat dari Soekarno yang diantarkan supirnya kerumah KH. Darip. Didalam isi surat itu Soekarno meminta tolong kepada KH. Darip untuk membantu mengatasi persoalan Kartosoewiryo, maka KH. Darip pun memenuhi permintaan Bung Karno itu. Seiring dengan masalah yang sedang dihadapi negara dibawah kepemimpinan Bung Karno itu, KH. Darip juga diminta oleh Soekarno untuk membantu mengatasi persoalan konfrontasi Malaysia, hanyasaja tidak dipenuhi KH. Darip karna pertimbangan keagamaan. Pada tahun 1965, saat terjadi pemberontakan G.30S PKI, rumah KH. Darip menjadi wadah berkumpulnya tentara RPKAD yang sedang menjalankan tugas membersihkan sisa-sisa anggota dan simpatisan PKI.

Akhir hayat

Dalam menghabiskan masa tuanya, KH. Darip kembali ke masyarakat di Klender dan aktif di dunia dakwah serta kultural sambil berdagang kelontong dan kain sarung di Pasar Klender yang berdekatan dengan rumahnya. Kegiatan belajar mengajar dan berdagang menjadi rutinitasnya dalam keseharian. Pada tahun 1961, KH. Darip yang sejatinya adalah pejuang ikhlas tanpa pamrih dan sebagai pimpinan pejuang, rupanya banyak diantara pengikutnya yang eks pejuang membutuhkan pensiunan, hanyasanya didalam peraturannya itu harus ada tanda tangan KH. Darip sebagai pimpinan mereka, jika tidak ada tanda tangan KH. Darip, mereka tidak bisa mengurus. Dan atas dasar itu akhirnya KH. Darip menyempatkan diri untuk melakukan registrasi pensiunan TNI.

Demikianlah KH. Darip untuk berpuluh-puluh tahun setelah menegakkan kemerdekaan Tanah air Indonesia tetap menjadi sahabat, panutan dan guru bagi masyarakat, khususnya warga Jakarta yang penuh ketauladanan dan tawadlu serta tidak ingin terlalu muncul dipemerintahan. Bahkan, dia rela tunjangan dan pensiunnya dicabut dan rumahnya tergusur, yang perpenting baginya berjuang lillahi ta'ala. "Beliau tidak memiliki tanda jasa karna tak mau mengurusnya. Perjuangannya semata-mata karena Alloh Swt," kata Soetopo Sekretaris umum DHD 45 DKI Jakarta. Sikapnya yang tak mau menonjol, tercermin pula ketika berulang kali menolak untuk diwawancarai wartawan. Tapi pada tahun 1976, berkat bantuan Pak Aseni kawan seperjuangan KH. Darip, Titiek WS redaktur pelaksana Majalah DEWI yang kemudian beralih ke Majalah SERASI, satu-satunya wartawati istana zaman Presiden Soeharto yang berhasil merekam obrolan tanpa sepengetahuan KH.Darip yang sedang dipancing-pancing Pak Aseni untuk bercerita tentang kisah perjuangannya. "Kala itu saya bertandang ke rumahnya di belakang Pasar Klender. Sungguh sederhana, sikap hidupnya. Rumahnya pun tak mencerminkan bahwa beliau memiliki kisah perjuangan yang sangat berarti bagi nusa dan bangsanya," kesan Titiek WS. "Puluhan wartawan datang kemari untuk mewawancarai saya, tetapi saya tolak. Perjuangan yang saya baktikan bukan untuk dibicarakan, saya berjuang semata-mata demi kemerdekaan bangsa dan negara," kata KH. Darip, seperti yang dikutip Titiek WS. KH. Darip juga menceritakan jika bekas siksaan di zaman perang itu masih terus membekas seumur hidup. Kini rekaman suara itu telah diabadikan di museum gedung juang 45 menteng 31 Jakarta Pusat.

Pada hari sabtu pukul 00.30 dinihari tanggal 13 Juni 1981, KH. Darip menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta selama beberapa hari. Mendengar berita meninggalnya KH. Darip yang disiarkan radio RRI dengan pak Rusdi Saleh sebagai penyiarnya, pemerintah bersama DHD Angkatan 45 Jakarta melayat dan meminta agar jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata bersama para pejuang lainnya. Namun keluarga KH. Darip menyampaikan wasiat KH. Darip agar dimakamkan di Klender saja tepatnya di TPU Arrahman Kp. Tanah Koja Klender Jatinegara Kaum. Pemerintah dan kawan-kawan DHD 45 Jakarta pun mengerti dan memberikan penghormatan yang terakhir kalinya untuk KH. Darip dengan mengantarkan jenazah dan membantu proses pemakaman KH. Darip yang dilakukan secara militer sebagaimana umumnya para pejuang yang dimakamkan di TMP Kalibata. Usai pemakaman Bapak Jenderal Achmadi yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum DHD 45 Jakarta memancangkan pusara bambu runcing dan bendera merah putih yang terbuat dari besi di makam KH. Darip sebagai cendera mata dan kenang-kenangan atas jasa-jasa KH. Darip bagi bangsa dan negara. Demikianlah pemerintah mengenal dan mencatatnya sebagai tokoh pejuang yang dikenal baik oleh kawan seperjuangan Angkatan 45 diseluruh Indonesia, bahkan oleh lawan, terutama tentara Inggris dan Belanda/NICA yang pernah berhadapan dalam medan pertempuran. KH. Darip tidak memiliki catatan kejahatan sepanjang perjalanan menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Perjuangannya itu adalah perjuangan yang suci menegakkan negara republik Indonesia. Dengan wafatnya KH. Darip, rakyat dan Bangsa Indonesia kehilangan seorang ulama pejuang yang betul-betul penuh ketauladanan. Gelar, pangkat, jabatan, simpati, puja puji manusia, dan penghargaan apapun tak pernah melintasi benak hati dan pikirannya. Bahkan KH. Darip berpesan kepada keluarganya agar tidak perlu menuntut apa-apa kepada pemerintah atas jasa-jasanya itu. Sekalipun begitu bermunculan surat-surat keterangan dan pernyataan dukungan serta usulan yang ditujukan kepada Gubernur Jakarta Bapak Cokropranolo saat itu agar mengabulkan hal pemberian kenang-kenangan yang lain untuk KH. Darip dari kawan-kawan seperjuangan seperti Bapak Achmadi Ketua Umum DHD 45 Jakarta (20 juni 1981), Bapak Adam Malik Wakil Presiden R.I 2, Bapak Brig. Jend H. Sadikin eks. panglima Divisi Siliwangi, Bapak Surono Ketua Umum DHN 45 Jakarta (28 juli 1981), dan usulan itu berupa rumah tinggal dan nama jalan untuk KH. Darip sebagai tanda kenang-kenangan.[1]

Penghormatan

Pada tahun 1950 menjabat sebagai Ketua Umum Pusat Pancasila Jakarta Raya. Gerakan Pancasila yang dipimpin oleh KH. Darip dan kawan-kawan berkembang dengan subur di daerah karesidenan Jakarta dan Cirebon. Sepanjang jalan dari Jakarta sampai ke Pamanukan, tampak gedung-gedung gerakan tersebut juga merupakan ditempat-tempat besar dan kecil dengan simbolnya harimau sebagai simbol Divisi Siliwangi.

Pada tahun 1959 menjabat sebagai Pimpinan (Ketua 1) DHD Angkatan 45 DKI Jakarta periode 1959-1963.

Pangkat berdasarkan penerimaan pensiun Kapten Jabatan Penasehat Batalyon Kesatuan Divisi Siliwangi

Pada tanggal 17 Agustus 1981, DHD Angkatan 45 DKI Jakarta mengaungerahi KH. Darip dengan Piagam Penghargaan Kesatrya Purna Yudha Jaya.

Pada tahun 2022, pemerintah DKI Jakarta mengganti Jalan Bekasi Timur Raya di kawasan Jakarta Timur menjadi Jalan Haji Darip.[2]

Referensi