Pulau Kemaro

pulau di Kota Palembang, Sumatra Selatan, Dan
Revisi sejak 1 Februari 2023 14.52 oleh Ontex (bicara | kontrib) (Sejarah tentang Pulau Kemaro, karna saya lihat ada kesalahan penyebutan nama benteng dan sejarahnya kurang lengkap)

Pulau Kemaro, merupakan sebuah delta kecil di Sungai Musi, terletak sekitar 6 km dari Jembatan Ampera. Pulau Kemaro terletak di daerah industri, yaitu di antara Pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Plaju dan Sungai Gerong. Posisi Pulau Kemaro adalah agak ke timur dari pusat Kota Palembang.

Pulau Kemaro

Pagoda berlantai 9 di Pulau Kemaro
Pulau Kemaro di Palembang
Pulau Kemaro
Lokasi di Palembang
Informasi
Lokasi Pulau Kemaro, 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatra Selatan
Negara  Indonesia
Koordinat 2°58′44″S 104°49′05″E / 2.978951°S 104.817997°E / -2.978951; 104.817997
Jenis objek wisata Wisata Sejarah dan Agama
Fasilitas  • Pagoda berlantai 9
 • Klenteng Hok Tjing Rio

Pulau kemaro memiliki luas ±79 Ha dengan ketinggian 5 m dpl, Selain memiliki pesona alam yang indah, pulau Kemaro identik dengan kota Tiongkok dan masyarakat Tionghoa serta adat istiadat dan kehidupan asli masyarakat Palembang. Daya tarik wisata sejarah yang ada di pulau Kemaro berupa adanya peninggalan-peninggalan sejarah (Pagoda berlantai 9, Makam putri Sriwijaya, Klenteng Hok Tjing Rio, Kuil Buddha, pertunjukkan kesenian, dan ritual keagamaan khususnya umat Tridharma). Sejarah Pulau Kemaro sudah ada sejak Kerajaan Sriwijaya yang erat kaitannya dengan kisah putri dari raja Kerajaan Sriwijaya dan putra raja Kerajaan Tiongkok, dari legenda itulah muncul sebuah Pulau yang dikenal dengan sebutan Pulau Kemaro. Yang mana arti dari pulau kemaro adalah pulau yang kemarau (pulau yang tidak pernah tenggelam ketika sungai Musi sedang pasang). Sejarah Pulau Kemarau (Kembara), Pulau Kemarau adalah salah satu Delta Sungai Musi yang dimanfaatkan sejak era Sriwijaya sebagai salah satu pos penjagaan bahkan Panglima Cheng Ho pun pernah menetap di Pulau Kemarau dalam rangka menumpas perompak laut asal Tiongkok. Dan para era Kerajaan Palembang menjadi salah satu Benteng pertahanan berfungsi sebagai gerbang sungai sebelum masuk ke Kraton (pusat) Kota Palembang saat itu. Nama benteng tersebut Benteng Tambak Bayo, apabila Kapal-kapal akan masuk ke pusat kota maka harus melewati dan mendapat ijin dari pos benteng tersebut. [1]

Legenda

 
Batu yang bercerita tentang Legenda Pulau Kemaro

Di Pulau Kemaro juga terdapat makam dari putri Palembang, Siti Fatimah. Menurut legenda setempat yang tertulis di sebuah batu di samping Klenteng Hok Tjing Rio, pada zaman dahulu, datang seorang pangeran dari Negeri Tiongkok, bernama Tan Bun An, ia datang ke Palembang untuk berdagang. Ketika ia meminta izin ke Raja Palembang, ia bertemu dengan putri raja yang bernama Siti Fatimah. Ia langsung jatuh hati, begitu juga dengan Siti Fatimah. Merekapun menjalin kasih dan berniat untuk ke pelaminan. Tan Bun An mengajak sang Siti Fatimah ke daratan Tiongkok untuk melihat orang tua Tan Bun Han. Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke Palembang. Bersama mereka disertakan pula tujuh guci yang berisi emas. Sesampai di muara Sungai Musi Tan Bun han ingin melihat hadiah emas di dalam Guci-guci tersebut. Tetapi alangkah kagetnya karena yang dilihat adalah sayuran sawi-sawi asin. Tanpa berpikir panjang ia membuang guci-guci tersebut ke laut, tetapi guci terakhir terjatuh di atas dek dan pecah. Ternyata di dalamnya terdapat emas. Tanpa berpikir panjang lagi ia terjun ke dalam sungai untuk mengambil emas-emas dalam guci yang sudah dibuangnya. Seorang pengawalnya juga ikut terjun untuk membantu, tetapi kedua orang itu tidak kunjung muncul. Siti Fatimah akhirnya menyusul dan terjun juga ke Sungai Musi. Untuk mengenang mereka bertiga dibangunlah sebuah kuil dan makam untuk ketiga orang tersebut.[2]

Sejarah

Pada Tahun 1659 terjadi Perang Benteng Pertama (I) di Ibukota Kerajaan Palembang yang bernama Keraton Kuto Gawang yang melibatkan Benteng-benteng pertahanan Kerajaan Palembang di Pulau Kemaro dalam menghadapi ekspedisi militer VOC. Pertempuran ini terjadi disekitar Pulau Kemaro dan Plaju. Saat itu di Pulau Kemaro sudah terdapat Benteng Maguntama dan Benteng Bamagangan serta satu Benteng Rakit di perairan sungai musi. Diseberang sungai, di daerah Plaju ada Benteng Tambak Bayo dan Benteng Martopuro di Bangus Kuning. Namun VOC akhirnya berhasil menduduki Palembang pada tahun 1659 itu, semua benteng yang ada di sekitar Keraton Kuto Gawang (sekarang wilayah kawasan PT.Pusri) diluluh-lantakkan oleh VOC, termasuk Benteng Manguntama, Bamagangan, Benteng Rakit, Tambak Bayo dan Martopuro. Bahkan tak ada sedikit pun sisa-sisa bangunan benteng yang masih berdiri hingga saat ini. Saat terjadi Perang Benteng Kedua (II) tahun 1812, yaitu perang antara Kesultanan Palembang dengan Kerajaan Inggris, terjadi juga pertempuran dahsyat disekitar Pulau Kemaro ini yang melibatkan Benteng-benteng pertahanan tersebut diatas. Tahun 1819 dan 1821, terjadi Perang Benteng Ketiga (III), Keempat (IV) dan Kelima (V) antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan Kerajaan Belanda, dan peranan Benteng-benteng pertahanan di Pulau Kemaro seperti; Benteng Manguntama, Benteng Bamagangan, dan Benteng Rakit kembali memegang peranana penting, disamping Benteng Tambak Bayo di Plaju dan Benteng Martopuro di Bagus Kuning.[3]

Pulau Kemaro sendiri dipilih sebagai lokasi strategis pertahanan lapis pertama pertahanan karena kawasannya tidak pernah terendam saat permukaan Sungai Musi sedang tinggi. Sedangkan kawasan lain selalu terendam air Sungai Musi, karena sebagian besar kawasan Palembang merupakan rawa air.[4]

Benteng pertahanan Pulau Kemaro menjadi kunci penting dan strategis masuknya bangsa kolonialis ke Palembang. Dalam berbagai ekspedisi militernya, Bangsa Kolonialis seperti VOC, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda kehilangan banyak kapal dan anak buah karena pertahanan Benteng-benteng di Pulau Kemaro yang solid dibawah komando Benteng Manguntama.[3]

Namun Belanda akhirnya berhasil menduduki Palembang pada tahun 1659, semua benteng yang ada di sekitar Keraton Kuto Gawang—sekarang wilayah Pusri—diluluh-lantakkan oleh Belanda, termasuk Benteng Manguntama, Bamagangan, Benteng Rakit, Tambak Bayo dan Martopuro. Bahkan tak ada sedikit pun sisa-sisa bangunan benteng yang masih berdiri hingga saat ini.

Fungsi Pulau Kemaro sejak tahun 1965 hingga tahun 2012 terbagi menjadi empat fase, diantaranya : fungsi Pulau Kemaro pada tahun 1965-1967 adalah sebagai kamp tahanan. Kamp ini telah terjadi serangkaian peristiwa mengenaskan yang banyak menewaskan para tapol (tahanan politik). Namun fungsi sebagai kamp tersebut kemudian hilang diakhir tahun 1967 dan berganti fungsi baru. Fungsi Pulau Kemaro pada tahun 1968-1997 adalah sebagai tempat pemukiman dan tempat ibadah. Sejak tahun 1968 pulau ini mulai dihuni oleh peduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Selain itu, pada periode ini pula Pulau Kemaro mulai dijadikan sebagai tempat pemujaan. Banyak masyarakat yang telah mengunjungi Pulau Kemaro untuk berdoa, berziarah dan meminta peruntungan. Fungsi Pulau Kemaro tahun 1998-2007 adalah sebagai lahan pertanian. Pola fikir penduduk yang semakin maju, didukung dengan lokasi yang berada di tengah-tengah sungai sangat mendukung untuk dibukanya lahan pertanian guna meningkatkan taraf hidup penduduk Pulau Kemaro. Fungsi Pulau Kemaro tahun 2008-2012 adalah sebagai Objek Wisata Ritual.[1]

Tempat Wisata

Daya tarik Pulau Kemaro sekarang ini hanyalah sebuah Pagoda berlantai 9 yang menjulang di tengah-tengah pulau yang dibangun baru tahun 2006. Sedangkan keberadaan Benteng-benteng pertahanan Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang di Pulau Kemaro tidak ada bekasnya lagi.

Pagoda berlantai 9 ini tingginya 45 meter dengan masing-masing tingkatnya 5 meter. Pagoda dibangun sembilan tingkat dimaksudkan agar sejalan dengan makna Feng Shui. Pagoda Tiongkok ini memiliki delapan sudut seperti simbol Pat Kwa atau KedelapanTrigram. Warna pagoda tersebut memiliki warna-warna yang cerah sesuai dengan makna simbol warna yang terdapat pada kepercayaan Tiongkok.[5]

Selain pagoda ada klenteng yang sudah dulu ada. Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kwan Im dibangun sejak tahun 1962. Di depan klenteng terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.

Selain itu di tempat ini juga terdapat sebuah Pohon yang disebut sebagai "Pohon Cinta" yang dilambangkan sebagai ritus "Cinta Sejati" antara dua bangsa dan dua budaya yang berbeda pada zaman dahulu antara Siti Fatimah Putri Kerajaan Sriwijaya dan Tan Bun An Pangeran dari Negeri Tiongkok, konon, jika ada pasangan yang mengukir nama mereka di pohon tersebut maka hubungan mereka akan berlanjut sampai jenjang Pernikahan. Untuk itulah Pulau ini juga disebut sebagai Pulau Jodoh.

Aktraksi yang ada di Pulau Kemaro sendiri adalah ketika event tahunan Cap Gomeh yang bertepatan dengan hari ke-15 hari raya Imlek, dimana pada acara tersebut masyarakat Tiong Hoa ataupun pribumi beramai-ramai berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melihat acara yang ada pada hari itu, biasanya event Cap Gomeh sendiri hanya berlangsung 1-3 hari saja. Banyak aktraksi yang dapat dilihat, yaitu acara doa bersama warga Tionghoa, penerbangan lampion dan atraksi barongsai pada malam hari.[1]

Referensi

  1. ^ a b c Simanjuntak, Rury Nanindya (2016). "Perencanaan Lanskap Pulau Kemaro sebagai Kawasan Wisata Sejarah di Kota Pelembang" (PDF). 
  2. ^ Batu Legenda disamping Klenteng Hok Tjing Rio
  3. ^ a b Adil, HG Sutan (31 Agustus 2022). "PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 & 19 di Palembang". https://www.youtube.com/@truebackhistoryofficial4204.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  4. ^ "Kisah Heroik di Balik Keindahan Pulau Kemaro". liputan6.com. 28 April 2016. 
  5. ^ Wanaputri, Diah Ayu (2015). "Kajian Ornamen Pagoda Tiongkok di Pulau Kemaro Palebang Sumatra Selatan" (PDF).