La Patau Matanna Tikka, Matinroe ri Nagauleng

Revisi sejak 3 Februari 2023 03.30 oleh Risyrini (bicara | kontrib)

La Patau Matanna Tikka (lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714) adalah Mangkau (Raja) Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714. menggantikan Arung Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng. La Patau juga adalah Raja (Datu) Soppeng XVIII dan Ranreng Tuwa (Wajo) XVIII dan mewarisi Arung Ugi dan Arung Timurung dari ayahandanya La Pakokoe dan Arung Palakka dari ibdundanya. Selain sebagai Raja, La Patau juga tampil sebagai sosok yang menguatkan praktik syariat Islam yang ketat di Sulawesi Selatan dan beliau juga yang memiliki pemeran utama terbaik yang menjadi simpul dalam gerakan sompunglolo-Sempugi atau penyatuan genealogis antar bangsawan Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan pada abad ke-18. Nyaris semua tokoh atau elite di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sekarang ini adalah keturunan (wija) dari La Patau.

Riwayat Keluarga

La Patau adalah anak dari pasangan La PakokoE To Angkone Arung Timurung, Paddanreng Tuwa XVII, Putra Sultan Bone XIII La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka yang merupakan adik dari Arung Palakka Arung Palakka menikahkan La Patau Matanna Tikka dengan We Ummung Datu Larompong anak dari La Settia Raja, PajungngE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang kemudian melahirkan We Batari Toja Daeng Talaga. Pada tahun 1687 Masehi, La Patau Matanna Tikka dinikahkan lagi oleh pamannya Arung Palakka di Makassar yaitu We Mariama Karaeng Pattukangan, anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung atau cucu yang juga merupakan cucu dari Sultan Hasanuddin. Dari perkawinannya itu lahirlah empat anak, yaitu We Yanebana I Dapattola, La Pareppa To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi. Diriwayatkan bahwa selain kedua permaisuri La Patau di atas, tercatat 18 (Delapan belas) orang istri lainnya dalam Lontaraq antara lain adalah Sitti Maemuna (Dala Maru'), I Akiya (Datu Baringeng), We Rakiya (Dala Bantaeng), We Biba To Unynyi', We Maisa To Lemo Ape', We Leta To BaloE, We Sangi To BikuE, We SIa, We Sitti To Palakka, We Najang To Soga, We Caiya To BaloE, We Cimpau To UciE, We Baya To Bukaka, We Sitti, We Saira Karobang, We Sanra To Soppeng, We Ati, dan We Rupi.

Riwayat Pemerintahan

La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum adat istiadat dan syariat agama. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik. Baginda tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri. Pada masa kekuasaannya, Tercatat dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang. Pertama, yaitu pada tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Namun Belanda segera turu tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak berlanjut.Perang kedua yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La Padangsajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri maka melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada kakeknya. Oleh Karena permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La Padangsajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum. Sebelum perang dimulai, Raja Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padangsajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh Belanda, sehingga perang perang antara anak dengan ayah menjadi terhindarkan. La Patau adalah raja yang pertama mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena mengingat pada waktu itu La Patau mempunyai tugas sebagai Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat sebagai Matowa Wajo.

La Patau juga menjabat sebagai Ranreng Tuwa di Wajo yang diwarisi dari ayahandanya, dan juga sebagai Arung Ugi'. Pada mulanya La Patau diminta menjadi Datu Soppeng namun menolak karena menurutnya masih ada yang lebih pantas dan dituakan yaitu We Ada, namun setelah We Ada wafat maka datanglah kembali orang Soppeng meminta memegang Soppeng dan Bone sekaligus sehingga barulah La Patau bersedia. Selain mewarisi Arung Timurung dari ayahandanya, La Patau juga mewarisi Arung Palakka dari ibundanya yang maddanreng di Palakka.

Riwayat Syiar Islam

La Patau menjadikan ajaran Islam sebagai pengikat dan pendorong ke arah kesatuan dan persatuan anggota masyarakat, serta antara kerajaan. Hal ini juga dikarenakan beliau selain menjadi Arumpone, juga menjadi Datu di Soppeng dan Ranreng Ruwa di Kerajaan Wajo. Perannya dalam islamisasi di Kerajaan Bone dan kerajaan lain, La Patau dibantu oleh seorang khadi Bone yang bernama Syeikh Ismail.70 Syaikh Ismail sebagai khadi kedua di Kerajaan Bone sekaligus merangkap pula di Soppeng, Syeikh Ismail menjadi guru bagi masyarakat Bone dan bagi Arumpone sendiri. Dalam waktu yang tidak lama, La Patau sudah menguasai beberapa ilmu agama. Oleh karena itu, beliau diberi gelar Sultan Alimuddin (orang yang mengetahui agama). Langgar atau Mushallah didirikan di tengah pemukiman penduduk yang berfungsi selain tempat ibadah, juga digunakan lebih banyak sebagai tempat pendidikan. Lambat laun ajaran Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dalam proses islamisasi itu, dikaitkan dengan upacara-upacara keislaman dan upacara yang berhubungan lingkaran hidup (cycle life ceremony). Jadi, setiap adanya upacara senantiasa di tempatkan sifat Islami yang berdampingan dengan tradisi budaya setempat. Pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka (1696-1714 M) dasar-dasar ajaran Islam sudah dimantapkan dengan kokoh sampai pada gilirannya ajaran Islam menyebar dan menyatu dengan masyarakat Bugis. Sejak zaman itu, terciptalah ungkapan dalam bahasa Bugis yang mengatakan tennia ugi kotennia selleng (bukan orang Bugis kalau tidak beragama Islam). Nilai-nilai ajaran Islam menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Bugis. Pembelajaran Islam terus digalakkan sehingga dalam kehidupan sosial masyarakat Bugis selalu melekat identitas Islam. Ditengah pengamalannya terhadap ajaran Islam, beliau meninggal dan di makam di Nagauleng, sehingga digelar Matinroe ri Nagauleng. Beliau dianggap berhasil dan sukses dalam menanamkan ajaran dan nilai-nilai Islam bagi masyarakat Bone pada khususnya dan masyarakat Bugis pada umumnya.

Perkumpulan Wija La Patau

Dalam upaya untuk menghimpun potensi para wija (keturunan) La Patau, didirikan organisasi berbadan hukum yang berbentuk perkumpulan pada tanggal 2 Februari 2022 lalu dengan nama Perkumpulan Wija Raja La Patau Matanna Tikka yang disingkat PERWIRA LPMT dan disahkan oleh pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dengan Skep Nomor AHU-0005389.AH.01.07. Tahun 2022. Organisasi antara lain bertujuan untuk meningkatkan hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan kebersamaan yang harmonis antar wija (keturunan) dan lingkungan masyarakat baik lokal maupun global dan mengambil peran dalam upaya pemajuan kebudayaan lokal khususnya di Sulawesi Selatan sebagai pilar kebudayaan nasional.

Referensi

  • A. Palloge (1990) Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Yayasan Al Muallim, Makassar.
  • M. Hadrawi, et al. (2020) Lontara Sakke, Attoriolong Bone. Inninawa, Makassar.
  • M. Pamulu (2018) Sejarah Kerajaan & Silsilah Raja-Raja Bone
  • A. Sofyan Hadi, M. Hadrawi & M. Pamulu (2022) Catatan Harian La Patau Matanna Tikka. Yayasan Turikalenna, Makassar
  • A. Ridha (2013) Islamisasi Kerajaan Bone. UIN Makassar

Pranala luar