Teungku Ahmad Dewi
Teungku Ahmad Dewi (19 Januari 1951 – 1 Maret 1991) adalah seorang tokoh ulama pendakwah (dai), seorang ulama yang berani dengan tegas melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan syariat Islam.[butuh rujukan] Ia mengharamkan anak-anak Aceh menghafal Pancasila sebelum pandai membaca Alif Ba ta, karena menurut dia lebih dahulu turun perintah menuntut ilmu agama daripada mengamalkan Pancasila.[butuh rujukan]
Nama ayahnya Teungku Muhammad Husen, dan ibunya Dewi kelahiran Peudagee, Sumatra Utara, Dia mengambil nama belakang dari nama ibunya Dewi, sehingga ia lebih dikenal dengan Ahmad Dewi.[butuh rujukan] Kakeknya seorang ulama fiqh ternama Teungku Hasballah yang bergelar Teungku Chik di Meunasah Kumbang. Dari kecil dia belajar ilmu agama Islam di dayah (pesantren). Sekolah formal yang sempat ditempuh oleh Ahmad Dewi muda adalah Madrasah Ibtidaiyah Idi Cut. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Dayah, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Matang Geutoe Idi Cut pada tahun 1964. Menurut sebuah informasi, Tgk. Ibrahim Bardan (Abu Panton) juga pernah belajar di dayah yang dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Thaib ini. Di dayah ini Ahmad Dewi diasuh di bawah bimbingan Abu Saleh (Pakcik Tgk. Ahmad Dewi/salah seorang anak Abu Meunasah Kumbang) yang juga menjadi guru di Dayah MTI. Abu Saleh dikenal sebagai kader militan yang kerap berurusan dengan aparat keamanan era Suharto.
Ahmad Dewi juga sempat menuntut ilmu di sebuah pesantren yang dipimpin oleh Tgk. H. Sofyan di Matang Kuli, sekitar tahun 1968 sampai 1970, setelah itu ia kembali ke Idi Cut. Saat itu dayah MTI tidak aktif lagi sepeninggal Tgk. Muhammad Thaib (w. 1968), dan kiblat pendidikan di Idi Cut telah beralih ke Dayah Darussa'dah Idi Cut di bawah pimpinan Tgk. H. Abdul Wahab. Pada masa ini Tgk. Ahmad Dewi juga sempat belajar pada Tgk. H. Abdul Wahab Idi Cut sambil bekerja mencari nafkah.
dan lama belajar kepada Teungku Haji Abdul Aziz, tokoh PERTI yang memimpin Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. Ia pemimpin Dayah BTM Bantayan Idi Cut, Aceh Timur.[butuh rujukan]
Sebagai pendakwah kondang dia diundang hampir ke setiap pelosok desa yang ada di seluruh Aceh dan dalam dakwahnya selalu berisikan sindiran-sindiran halus kepada pemerintahan untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil dan meminta agar diberlakukan syariat Islam di Aceh.[butuh rujukan] Ia dengan Barisan Tentara Merahnya menghalau muda-mudi yang bukan muhrim yang duduk berdua-duaan di tepi pantai Idi Cut.[butuh rujukan] Ia berdakwah tujuh hari tujuh malam dengan mengundang para ulama-ulama seluruh Aceh untuk mencari solusi tegaknya syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam.[butuh rujukan]
Akhirnya dia dituduh subversif (merongrong ideologi Pancasila) dan berkali-kali keluar masuk penjara, dalam penjara pun dia tetap berdakwah mengajak narapidana bertobat kembali ke jalan Allah.[butuh rujukan] Setiap ada persidangan dia di pengadilan selalu dipenuhi ratusan ribu massa untuk meyaksikan jalannya sidang sang dai. Pada waktu Aceh berstatus siaga, Operasi Jaring Merah dilancarkan di Aceh, Teungku Ahmad Dewi (sang pendakwah kondang) sampai hari ini tidak pernah muncul lagi di atas podium.[butuh rujukan]