Tabut
Tabut adalah upacara tradisi masyarakat Bengkulu untuk mengenang mati syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syekh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu kemudian anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabut. upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram setiap tahun.
Arti nama
Menurut Sumber dari keturunan Imam Senggolo Sebagai Pelaku Tabut Imam Senggolo sejak 1994, yang kebetulan juga Sebagai Ketua KKT Bencoolen Dan BAKT Tabut Bencoolen MAMU Achmad Syiafril Tabut pertama kali dibawa ke Bengkulu oleh Imam Maulana Ichsad pada 1336 Masehi tetapi tidak populer kemudian dilanjutkan dan menjadi populer oleh Imam Senggolo atau Syeikh Burhanuddin I dari Iraq (1400 M yg Wafat 12 April 1427 di Padang Kerbala Bengkulu.)
Gelombang penyiaran Islam ke Wilayah Nusantara dari Jazirah Arab (Medinah-Karbala Irak Iran) sejak abad ke 7 M melalui laut Arabia masuk keluar sungai Indus dengan terlebih dahulu menetap di Punjab. Arus penyebaran Islam semakin deras pada abad ke 13 dan abad ke 14 masehi, dikarenakan terjadinya penghancuran Baghdad dan pembunuhan masal di Irak oleh bangsa mongol dibawah Hulagu Khan pada sepuluh Februari tahun 1258 M/ 27 Muharram 656 H. Bangunan-bangunan indah termasuk perpustakaan yang menyimpan naskah seribu satu malam dan kitab lainnya hancur dimusnahkan.
Sebagian pelaut-pelaut ulung dari Punjab melalui sungai Indus, laut Arab berlayar untuk menyiarkan Agama Islam Islam ke Nusantara, sebelum sampai di Bengkulu terlebih dahulu mendarat dan singgah di tanah Aceh, tetapi mereka tidak menetap tinggal di Aceh. Pada saat itu di Aceh telah berdiri kerajaan Samudera Pasai. Raja yang berkuasa pada waktu itu adalah sultan Mahmud Malik Zahir, raja ke III. Rombonganpun melanjutkan pelayaran ke arah selatan sehingga sampailah mereka di Bandar Sungai Serut pada hari kamis 5 Januari tahun 1336 M. 18 Jumdil Awwal 736 H). Mereka yang selamat sampai di Bengkulu hanyalah 13 orang dibawah pimpinan Imam Maulana Ichsad (Keturunan Rasullulah para Zuriat/Ahlul Bait) keturunan Ali bin Husain ( Ali Zainal Abidin) bin Ali Bin Abi Thalib. Diantara para Zuriat tersebut diketahui adalah Syech Abdurrahman (Ampar Batu) wafat hari Kamis tanggal 12 April 1336 M/ 21 Sya’ban 736 H. dan Zalmiyah (kramat Gadis) wafat hari Sabtu, 24 Ramadhan 737 H. Perayaan Tabut diteruskan dan dipopulerkan oleh Syah Bedan dan anaknya Burhanuddin Imam Senggolo XII pada abad 17 M, untuk periode berikutnya keturunan Imam Senggolo yang mempertahankan dan melanjutkan tradisi Tabut di Bengkulu.
Perkembangan berikutnya perayaan Tabut juga disemarakkan oleh para tentara yang didatangkan oleh Inggris dari Bengali. Hal tersebut ditulis Syiafril sebagai berikut: “Skuadron Prancis di bawah pimpinanan Comte Charles Henri d’Estaing meninggalkan Bengkulu, setelah mengambil alih Port Marlbrough dari Inggris selama delapan bulan antara 1759-1760. Garnizun Inggris kembali menguasai Bengkulu yang diperkuat tentara (sepoy atau Sipay.) Rombongan pertama berasal dari Madras India. Pada 1785. Sepoy Madras ditarik dan digantikan sepoy rombongan kedua dari Benggala, benggali Banglades. Kelompok tentara (Sipay) ini ikut membuat Tabut dengan sekelumit doa’ yang mereka lantunkan adalah sebagai berikut: Bismillahirrohmanirrohim “yo modo yohawo kupinto mere lamban rohku, rohmu same lamban-lamban, Ipo Dewo dewo mere josoku dube mbun-mbun. Waktu itu mulai terjadi kekacauan terlebih lagi karena mereka sering bermabuk-mabukan dan membuat hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam, sehingga tepat mereka tinggal disebut kampung kepiri (menurut riwayat berarti kampung kafir). Doa yang dilantunkan tentara (sipay) sangat berbeda dengan doa yang diwariskan Imam Senggolo yaitu memakai bahasa Urdu Punjab Pakistan yang berakar dari bahasa Pesia yaitu: Bismillahirrohmanirrohim saaluree, Mahuree yaa Sahuree,,,,,sarare, Tabute Bencoelene, surarahe Adene.
Kondisi sosial budaya masyarakat, nampaknya juga menjadi penyebab munculnya perbezaan dalam tatacara pelaksanaan upacara Tabut. Di Bengkulu misalnya, Tabut 17 menunjukkan kepada jumlah keluarga awal yang melaksanakan Tabut, sedangkan di Pariaman hanya terdiri dari 2 jenis Tabut (Tabuik) iaitu Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa. Tempat pembuangan Tabut (Tabuik) antara Bengkulu dan Pariaman juga berbeza. Pada awalnya Tabut di Bengkulu di buang ke laut sebagaimana di Pariaman Sumatera Barat. Namun, pada perkembangannya, Tabut di Bengkulu dibuang di rawa-rawa yang berada di sekitar pemakaman umum yang dikenali dengan nama makam Karbela yang diyakini sebagai tempat dimakamnya Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin.
Kebelakangan ini juga, banyak kritikan dari berbagai elemen masyarakat terhadap pelaksanaan upacara Tabut. Satu hal yang paling mendasar dari semua kritikan tersebut adalah berubahnya fungsi upacara Tabut dari ritual bernuansa keagamaan menjadi sekadar festival kebudayaan belaka. Ini nampaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa yang melaksanakan upacara Tabut adalah orang-orang bukan Syiah. Hilangnya nilai-nilai sakraliti upacara Tabut semakin diperparahkan dengan munculnya Tabut pembangunan (Upacara Tabut yang dimodenkan).
Perlengkapan upacara
Untuk melaksanakan upacara Tabut, ada beberapa peralatan yang harus dipersiapkan, di antaranya adalah:
Pembuatan Tabut
Kelengkapan alat untuk membuat Tabut antara lain: bambu, rotan, kertas karton, kertas mar-mar, kertas grip, tali, pisau ukir, alat-alat gambar, lampu senter, lampu hias, bunga kertas, bunga plastik dan lain sebagainya. Jika dilihat dari banyaknya alat yang dibutuhkan, maka biaya yang dibutuhkan untuk membuat Tabut sekitar 5-15 Juta rupiah.
Kenduri dan Sesaji
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kenduri dan sesaji antara lain: beras ketan, pisang emas, tebu, jahe, dadeh, gula aren, gula pasir, kelapa, ayam, daging, bumbu masak, kemenyan dan lain-lain.
Perlengkapan Musik Tabut
Alat-alat musik yang biasanya digunakan dalam upacara Tabut adalah dol dan tessa. Dol terbuat dari kayu tengahnya dilubangi dan kemudian ditutup dengan menggunakan kulit lembu. Dol berbentuk seperti beduk. Garis tengahnya sekitar 70 – 125 cm, dan alat pemukulnya berdiameter 5 cm dan panjangnya 30 cm. Cara menggunakannya dengan cara dipukul-pukul. Sedangkan Tessa berbentuk seperti rebana, terbuat dari tembaga, besi plat atau alumunium, dan juga bisa dari kuali yang permukaannya ditutup dengan kulit kambing yang telah dikeringkan.
Kelengkapan lainnya
Perlengkapan-perlengkapan lain yang harus dipersiapkan pada setiap unit Tabut adalah: Bendera merah putih ukuran rumah tangga berikut tiangnya, bendera panji-panji berwarna hijau atau biru yang ukurannnya lebih besar dari bendera merah-putih, bendera putih yang ukurannnya sama dengan panil (beserta tiangnya), tombak bermata ganda diujungnya digantung, duplikat pedang zufikar (pedang Rasulullah) dengan ukuran mini.
Nilai-Nilai
Secara umum, ada dua nilai yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Tabut, yaitu: nilai Agama (sakral), sejarah, dan sosial. Nilai-nilai Agama (sakral) dalam upacara Tabut di antaranya adalah: satu, proses mengambik tanah mengingatkan manusia akan asal penciptaannya. Kedua, terlepas dari adanya pandangan bahwa ritual Tabut mengandung unsur penyimpangan dalam akidah, seperti penggunaan mantra-mantra dan ayat- ayat suci dalam prosesi mengambik tanah, tetapi esensinya adalah untuk menyadarkan kita bahwa keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya lokal. Dan ketiga, pelaksanaan upacara Tabut merupakan perayaan untuk menyambutan tahun baru Islam.
Nilai sejarah yang terkandung dalam budaya Tabut adalah sebagai manifestasi kecintaan dan untuk mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW yakni Husein bin Abi Thalib yang terbunuh di Padang Karbela dan juga sebagai ekspresi permusuhan terhadap keluarga Bani Umayyah pada umumnya dan khususnya pada Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang memerintah waktu itu, beserta Gubernur ‘Ubaidillah bin Ziyad yang memerintahkan penyerangan terhadap Husain bin ‘Alî beserta laskarnya. Adapun nilai sosial yang terkandung didalamnya, antara lain: mengingatkan manusia akan praktik penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan dan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial.
Banyak nilai-nilai kebijaksanaan yang dapat digali dan dijadikan landasan untuk mengarungi kehidupan, tetapi jika tidak disikapi dengan bijaksana, maka upacara Tabut akan menjadi sekadar festival budaya yang kehilangan makna dasarnya. Meriah dalam pelaksanaan (festival) tapi kehilangan sepiritnya.
Referensi
Sumber
- Bambang Indarto. Ritual Budaya Tabut Sebagai Media Penyiaran Dakwah Islam di Bengkulu, Skripsi Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006
- Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud. Upacara Tabut: Upacara Tradisional Daerah Bengkulu di Kotamadya Bengkulu, 1991/1992.
- Dan, Tabut Sakral Itu Pun Patah... Diarsipkan 2008-12-08 di Wayback Machine. Harian Kompas, 15 Februari 2006
- Tugu Tabut Tak Boleh Dibongkar! Harian Rakyat Bengkulu
- Upacara Tabut (Bengkulu). Diarsipkan 2008-09-26 di Wayback Machine. melayuonline.com
- Ayo, Sukseskan TABUT Di Bengkulu
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia)Perayaan Massal Tabut. Indonesia.go.id
- (Indonesia)TABUT, Praktik Syiah Kultural di Indonesia. Diarsipkan 2009-07-03 di Wayback Machine. Harian Global, 13 Januari 2008.
- (Indonesia)Teropong: Tabut.[pranala nonaktif permanen] Indosiar, 28 Maret 2006.
- Sejarah Perayaan dan Festival Tabut di Bengkulu. Diarsipkan 2012-11-18 di Wayback Machine. Musiardanis, 11 Januari 2001.