Pemberontakan di Pantai Barat Sumatra (1841)

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 7 Februari 2023 14.46 oleh Jonas Carsten (bicara | kontrib) (Hapus sebagai perang yang melibatkan Indonesia, karena Indonesia belum sebagai Negara sebelum 1945.)

Pemberontakan Batipuh 1841 merupakan pemberontakan bersenjata rakyat terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Batipuh, Pantai Barat Sumatra tahun 1841 yang dipimpin oleh Tuan Gadang. Sebagai reaksi, Belanda mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kolonel Michiels untuk menumpasnya.

Pemberontakan Batipuh

Monumen Batipuh di Guguk Malintang, didirikan untuk memperingati tentara yang gugur.
Tanggal1841
LokasiPantai Barat Sumatra, Sumatra Barat
Hasil Kemenangan Pemerintah Hindia Belanda
Pihak terlibat
Minangkabau Hindia Belanda
Tokoh dan pemimpin
Tuan Gadang  Menyerah(diasingkan) Kolonel Michiels

Latar belakang

Setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang yang sebelumnya telah diangkat menjadi Regent oleh Belanda menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta untuk diakui sebagai Raja Pagaruyung ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.[1] Ketidakpuasan ini ditambah dengan adanya perubahan administrasi di Minangkabau serta penerapan cultuurstelsel menjadi pemicu munculnya perlawanan rakyat terhadap pemerintah Hindia Belanda.[2]

Pemberontakan ini banyak sebabnya, salah satu dari sebabnya ialah pemerintah yang sewenang-wenang dari Pemerintah Hindia Belanda yang memaksa rakyat untuk menanam kopi dengan tiada hentinya, dan menjual buahnya dengan harga yang murah.[3]

Perlawanan rakyat

Pada tanggal 22 Februari 1841, rakyat Batipuh dipimpin oleh Tuan Gadang menganggkat senjata melawan pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan ini terus menyebar, pada tanggal24 Februari 1841, sebuah pos garnisun tentara Hindia Belanda di Guguk Malintang, Padang Panjang diserang. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, seperti pengungsian wanita dan anak-anak, agitasi penduduk setempat oleh kaum paderi (ulama), pertemuan malam, dan semacamnya, selain itu pengikut paderi hanya tampak di kota. Di daerah sekitarnya, tepatnya di sebuah ngarai yang amat dalam, terdapat tangsi Belanda di Guguk Malintang yang telah diduduki Belanda, dan dari situlah urusan pemerintahan sipil diatur oleh pemerintah Belanda. Di lingkungan tangsi yang diperkuat itu, hanya ada pondokan pasukan Belanda tanpa ada amunisi, sementara di reduit (salah satu bagian benteng), hanya ada gudang mesiu, yang di situ juga banyak tersedia peluru.

Garnisun itu dipimpin oleh LetDa. JB. Banzer dan terdiri atas letnan satu intenden C. Keppel, 10 prajurit Eropa dan 35 prajurit pribumi tak berpangkat, 44 wanita dan anak-anak pribumi. Setelah terompet pagi, kegiatan harian di tangsi berlangsung seperti biasa hingga Sersan Holij menyaksikan kebakaran besar dan mendengar teriakan penduduk Padang Panjang sehingga ia melapor kepada komandan; pada saat yang sama, sersan mayor pembuat senapan Schelling tiba dan melaporkan bahwa orang-orang bersenjata yang tinggal di sekitaran benteng menyelusup, sehingga sulit bagi dirinya melarikan diri. Setelah itu masuklah sekelompok orang bersenjata sementara pada saat yang sama sekelompok orang bersenjata lengkap masuk dari gerbang yang masih terbuka. Banzer dan pasukannya memberi jalan kepada gerombolan tersebut mencapai reduit, yang karena kecilnya jumlah mereka menyebabkan amunisi yang tersimpan di kubu mudah dipertahankan, hingga munculnya bantuan dari tempat lain.

Pengepungan

2 hari kemudian, Banzer mengirim surat ke tangsi terdekat untuk meminta bantuan namun duta tersebut, prajurit Suroto dari Madura, dibunuh dan dimutilasi secara mengerikan dan mayatnya ditemukan di permukiman yang berada di depan tangsi. Pada tanggal 25 Februari, musuh melancarkan serangan dan pendudukan tersebut menimbulkan banyak kerugian. Prajurit F. Marien, Sosemito, dan SerMa J.C. Schelling terluka parah, akhirnya, dengan 4 tikaman kelewang dan tombak, dicincang secara mengerikan. Pada tanggal 27 Februari tampak bahwa akibat kelelahan, hampir tak satupun yang dapat menggunakan senapan dan Banzer memutuskan bahwa jika musuh dapat masuk benteng, ia dan serdadunya akan meledakkan diri (mati bersama lawan). Untuk itulah, Schelling yang terluka parah ditempatkan di dekat gudang mesiu untuk membakar mesiu sebagai sinyal pertama.

Pada saat itu, Schelling dan prajurit lain yang terluka setuju untuk tetap sendiri dengan melarikan diri dan musuh meledak dan kemudian diputuskan pada malam harinya untuk meninggalkan benteng dan menyelinap di sela-sela musuh atau menyerahkan hidupnya. Banzer kini meninggalkan semua kotak amunisi yang disimpan di tengah-tengah gudang dan kemudian 3 orang yang terluka parah itu ditempatkan di lantai kayu dan SerMa Schelling menjaga sumbu dan tali-temali. Prajurit tersebut, terdiri atas 2 perwira, 8 prajurit Eropa dan 19 prajurit pribumi tak berpangkat serta 44 wanita dan anak-anak menyelinap, saat hari gelap tiba di pinggiran tebing dekat benteng, dan kemudian mereka menyebar dan mencari tempat yang aman.

Begitu di luar benteng, 2 prajurit Eropa dan Letnan Keppel berpencar namun sisanya dihantam musuh, tak satupun dari 6 anak Keppel yang diketahui hidup. Bahkan kemudian, 3 orang yang terluka parah tadi melarikan diri dari benteng yang diledakkan itu, tetapi banyak juga musuh di luar. Di luar tangsi, para pekerja, wanita, dan anak-anak melarikan diri selama 2 hari 2 malam, dan diselamatkan oleh barisan yang dipimpin secara pribadi oleh Andreas Victor Michiels, yang kemudian maju ke wilayah yang bergolak itu. Atas pilihannya, Banzer dinaikkan pangkat menjadi letnan satu dan Sersan Holij menjadi letnan dua. Mereka berdua dianugerahi penghargaan untuk keberanian, kecakapan, dan kesetiaannya oleh Raja Willem II (Dekret Kerajaan tanggal 24 Februari 1842, no. 76).

Monumen

Di tengah-tengah huru-hara, sebuah monumen didirikan untuk memperingati 3 tokoh yang gugur dalam pertempuran. Mereka adalah:

  • JG. Schelling, sersan mayor pembuat senapan
  • F. Marien, prajurit Eropa
  • Sosemito, prajurit pribumi

Rujukan

Catatan

  1. ^ Christine E. Dobbin, (1992), Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847, Inis, ISBN 979-8116-12-7.
  2. ^ Zulqaiyyim, (1997), Peristiwa Batipuh tahun 1841: suatu studi kasus tentang gerakan sosial di Sumatra Barat: laporan penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas Andalas
  3. ^ Radjab, Muhammad (2019). Perang Padri di Sumatera Barat (1803 - 1838). Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 424. ISBN 978-602-481-232-4. 

Kepustakaan

  • Booms ASH. 1902. Neerlands Krijgsroem in Insulinde. Schitterende daden van moed, beleid, trouw en zelfopoffering in de 19de eeuw sedert de instelling van de militaire Willemsorde. Den Haag: W.P. van Stockum & Zoon.
  • Köffler GCE. 1940. De Militaire Willemsorde 1815-1940. Den Haag: Algemene Landsdrukkerij.