Pemberontakan PETA Blitar
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (November 2017) |
Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar adalah sebuah peristiwa pemberontakan yang dilakuan sebuah batalion PETA (Pembela tanah Air) di Blitar, Jawa Timur pada tanggal 14 Februari 1945. Pemberontakan ini dipimpin oleh Shodancho Soeprijadi terhadap pasukan Jepang.[1]
Pemberontakan PETA Blitar | |||||
---|---|---|---|---|---|
| |||||
Pihak terlibat | |||||
PETA | Kekaisaran Jepang | ||||
Tokoh dan pemimpin | |||||
Soeprijadi | |||||
Korban | |||||
10 Tewas, 68 ditangkap
| 3 tewas 1 terluka |
Sebab dan Akibat
Shodancho Soeprijadi merasa prihatin pada nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar, Jawa Timur yang hidup sengsara dibawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi dikarenakan Kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa (romusha), perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial seperti halnya kekuasaan fasisme di Eropa, perlakuan rasis tersebut juga dialami oleh tentara PETA yang notabene adalah bentukan Jepang. Berdasarkan hal-hal itulah, Soeprijadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan Tentara Kekaisaran Jepang.[1]
Pemberontakan itu sendiri berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan pasukan PETA pimpinan Soeprijadi berhasil melarikan diri dengan membawa banyak perlengkapan dan logistik Jepang, seperti senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99. Namun, struktur komando Jepang yang tidak mebuatkan PETA memiliki komando terpusat sendiri, melainkan tetap terpusat pada komando Tentara Jepang berhasil mencegah pemberontakan itu menyebar ke ''daidan'' lainnya. Kemudian Jepang akhirnya memutuskan untuk mengirim tentara PETA yang masih setia pada Jepang untuk memburu Soeprijadi dan pengikutnya.[2]
Tentara PETA yang tertangkap kemudian diadili di Jakarta, pusat komando pemerintahan pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia. Sebanyak 68 orang anggota PETA yang memberontak berhasil ditangkap - 8 orang dihukum mati, 2 orang dibebaskan - sementara Soeprijadi sendiri tidak ditemukan sampai hari ini. Banyak spekulasi beredar tentang keberadaan Soeprijadi, ada yang mengatakan ia ditangkap dan dibunuh di tempat, melarikan diri ke Trenggalek, kota kelahirannya yang letaknya cukup dekat dengan Blitar dan kondisi geografisnya yang memungkinkan Soeprijadi untuk mengasingkan diri dan bersembunyi, atau sebenarnya Soeprijadi telah tewas dalam pertempuran 14 Februari 1945 itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu.[3]
Referensi
- ^ a b Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2013) hal. 14
- ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2013) hal. 14 dan 15
- ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Computindo, 2013) hal. 15