Siti Hartinah

ibu negara Indonesia ke-2
Revisi sejak 21 Februari 2023 02.37 oleh 36.65.65.204 (bicara) (Perbaikan kesalahan)

Raden Ayu Hj. Siti Hartinah (23 Agustus 1923 – 28 April 1996), atau lebih dikenal dengan Ibu Tien Soeharto, adalah istri Presiden Indonesia kedua, Jenderal Besar Purnawirawan Soeharto.[1]

Siti Hartinah
Ibu Negara Indonesia ke-2
Masa jabatan
12 Maret 1967 – 28 April 1996
PresidenSoeharto
Informasi pribadi
Lahir(1923-08-23)23 Agustus 1923
Jaten, Kadipaten Mangkunegaran, Keresidenan Surakarta, Hindia Belanda
Meninggal28 April 1996(1996-04-28) (umur 72)
Jakarta, Indonesia
MakamAstana Giribangun, Karanganyar, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Suami/istriSoeharto
Anak
Orang tua
  • K. P. H Soemoharjomo (bapak)
  • K. R. Ay. Hatmanti Hatmohoedojo (ibu)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Siti Hartinah merupakan anak kedua pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Ia merupakan canggah Mangkunagara III dari garis ibu. Tien menikah dengan Soeharto pada tanggal 26 Desember 1947 di Surakarta.

Ibu Tien Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia tak lama setelah kematiannya.[2]

Masa kecil dan pendidikan

Waktu kecil, hidupnya berpindah-pindah mengikuti penempatan tugas bapaknya sebagai pamong praja, mulai dari Klaten ke Jumapolo, lalu ke Matesih, Solo, dan Kerjo. Ia juga sempat diadopsi oleh teman bapaknya, Abdul Rachman, tetapi karena sakit-sakitan, dikembalikan ke keluarga asal.[3]

Terkait pendidikan, Siti Hardianti mengaku hanya mengikuti Sekolah Dasar Dua Tahun (Ongko Loro), tetapi sebenarnya masih mengikuti HIS Siswo hingga tahun 1933. Sambil sekolah, ia ikut les membatik dan mengetik. Saat tentara Jepang datang, ia ikut serta dalam Barisan Pemuda Putri di bawah Fujinkai. Setelah kemerdekaan, Barisan Pemuda Putri ini menjadi Laskar Putri Indonesia, di mana ia menjadi salah satu pelopornya. Ia ikut serta membantu perang kemerdekaan di dapur umum dan palang merah, yang menjadi alasan pengangkatannya sebagai pahlawan nasional pada 1996.[3]

Peran dalam karier Soeharto

Soeharto adalah pribadi yang sangat mempercayai keyakinan diri dan masukan keluarganya. Karena itu posisi Siti Hartinah sangat menentukan dalam beberapa keputusan penting. Antara lain saat Soeharto memutuskan terus menjadi tentara saat ia merasa mengalami badai fitnah pada tahun 1950-an. Soeharto nyaris berhenti dan ingin menjadi petani atau sopir taksi pada saat itu. Ia memberikan saran,

“Saya dulu diambil istri oleh seorang prajurit dan bukan oleh supir taksi. Seorang prajurit harus dapat mengatasi setiap persoalan dengan kepala dingin walaupun hatinya panas,”.

[3]

Siti Hartinah juga berpengaruh dalam pelarangan poligami bagi pejabat di Indonesia. Sebagai penggerak Kongres Wanita Indonesia, ia mendesak perlunya larangan poligami yang akhirnya keluar dalam wujud Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 yang tegas melarang PNS untuk berpoligami dan juga UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[4]

Soeharto sendiri menegaskan kesetiaan kepadanya

"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto"

Ia juga mempengaruhi rencana sukses Soeharto pada akhir tahun 1990-an, dengan menyarankan petinggi Golkar agar tidak lagi mencalonkan suaminya.[5] Walaupun saran ini akhirnya terlambat dilakukan. Siti Hartinah meninggal pada tahun 1996 dan Soeharto kembali dicalonkan [3]

Meski demikian ada peninggalan dan gagasannya yang terwujud untuk bangsa, sebagai contoh Taman Mini Indonesia Indah, Taman Buah Mekarsari, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, RSAB Harapan Kita, dan lainnya.[6] [7][8]

Meninggal dunia

Berawal saat Siti Hartinah terbangun akibat sakit jantung yang menimpanya, lalu ia dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Siti Hartinah meninggal dunia pada Minggu, 28 April 1996, jam 05.10 WIB yang bertepatan dengan peringatan Hari Raya Idul Adha 1416 Hijriyah.[9]

Keesokan harinya tepat pada 29 April 1996, sekitar pukul 14.30 WIB, Siti Hartinah dimakamkan di Astana Giri Bangun, Jawa Tengah. Upacara pemakaman tersebut dipimpin oleh inspektur upacara yaitu Ketua DPR/MPR saat itu, Wahono dan Komandan upacara Kolonel Inf G. Manurung, Komandan Brigif 6 Kostrad saat itu.

Sedangkan sebelumnya saat pelepasan almarhumah, bertindak sebagai inspektur upacara, Letjen TNI (Purn) Achmad Tahir dan Komandan Upacara Kolonel Inf Sriyanto Muntasram, Komandan Grup 2 Kopassus Kartasura zaman itu. Namun banyak rumor dan beberapa bocoran dari mantan Ajudan Soeharto dan mantan Pekerja rumah tangga bahwa Beliau meninggal dunia karena terkena peluru dari tembakan senjata Tommy Soeharto saat bertikai dengan kakak kandungnya Bambang Trihatmodjo, pada saat beliau melerai sayangnya peluru tembakan itu mengenai dada kiri beliau hingga meninggal dunia. Hal ini ditutupi dan tidak ter ekspos ke publik.

Referensi

Pranala luar

Gelar kehormatan
Didahului oleh:
Fatmawati Soekarno
Ibu Negara Republik Indonesia
1967—1996
Diteruskan oleh:
Hasri Ainun Habibie