Aksi Polisionil
Aksi Polisionil adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5 Agustus 1947 (aksi pertama) dan dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949 (aksi kedua).
Latar belakang
Penjajah Belanda berselisih pendapat mengenai kemerdekaan Indonesia sesudah Jepang menyerah kalah, dan menduduki semua pulau Indonesia kecuali Jawa dan Sumatera. Di pulau-pulau tersebut terus-menerus terjadi pertempuran antara pasukan-pasukan Belanda dan Republik. Di kawasan-kawasan lain di Nusantara juga ada perlawanan hebat. Selain dari itu Belanda menuduh Indonesia kurang melindungi orang Indo-Eropa karena ribuan antaranya dibunuh, sebagian dengan cara digorok. Dari mereka yang terbunuh, 5000 orang dapat diindentifikasi dan lebih dari 20.000 orang sandera hilang.
(Sesudah pejabat-pejabat wibawa Belanda berangsur-angsur kembali ketegangan antara orang pribumi dan nonpribumi bertambah. Penduduk keturunan Tionghoa juga menjadi korban. Perdana Menteri Sjahrir mengakhiri kurun waktu perkosa ini, yang berlangsung dari Oktober 1945 sampai Maret 1946. Topik ini, di Belanda disebut Periode Bersiap, masih saja pantang baik di Belanda maupun di Indonesia.)
Akhirnya ada gencatan senjata dan rundingan untuk akur politik, disebut Persetujuan Linggadjati.
Aksi Pertama: Operatie Product (Operasi Produk)
Aksi pertama terjadi sewaktu Indonesia dinilai oleh pemerintah Belanda, kurang bekerja sama melaksanakan persetujuan tersebut, yang disahkan pihak Belanda tanggal 24 Maret 1947. Pihak Indonesia dianggap sudah kehilangan kepercayaan, karena Tweede Kamer (parlemen Belanda) pada mulanya lama beragu menerima akur rancangan.
Operasi “Product” direncanakan oleh Jenderal Simon Spoor, berencana pendudukan wilayah terpenting ekonomis di Jawa Barat dan Timur tanpa menggangu Yogyakarta, markas pemerintah Indonesia waktu itu, karena biaya tinggi. Operasi ini berhasil pendudukan bagian besar Jawa dan Sumatera, karena TNI kurang melawan (kurang senjata). Akan tetapi ada aksi-aksi gerilya oleh TNI dan Pelopor di wilayah-wilayah lain.
Perserikatan Bansa-Bangsa bercampur tangan untuk gencatan senjata, disahkan Januari 1948 menurut “Renville-overeenkomst” (Persetujuan Renville). Karena itu masalah Belanda intern menjadi masalah internasional.
Aksi Kedua : Operatie Kraai (Operasi Gagak)
Aksi polisionil kedua akhir 1948 dilaksanakan memaksa Republik bekerja sama dengan pengurus Belanda untuk “deelstatenpolitiek” (Politik Negara Bagian) menurut Persetujuan Linggadjati. Maksud pemerintah Belanda (Kabinet Drees/ van Schaik) menyelenggarakan Indonesia berdasar federal dengan hubungan ketat Belanda. Alasan lain Belanda jengkel karena Indonesia kurang menghormati gencatan senjata.
Sewaktu aksi polisionil ini Jogjakarta (Yogyakarta) langsung diserang dan pemerintah Indonesia, termasuk presiden Soekarno, ditahan.Selainnya semua kota besar dan jalan-jalan di antaranya diduduki. Aksi Belanda ini, sebetulnya upaya membinasakan Republik, gagal karena percampuran tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, aksi-aksi boikot internasional dan gerilya Republik yang sangat nekat. Pada Agustus 1949 ada gencatan senjata lagi. Akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia karena tekanan keras dari Amerika Serikat.
Sewaktu dua aksi polisi 100.000 tentara dikerahkan setiap kali, termasuk KNIL (Bala Tentara Hindia-Belanda Kerajaan). Ternyata aksi polisionil ini tidak terbatas, yang dinyatakan pemerintah Belanda. Jumlahnya lebih dari 5000 tentara Belanda tewas. Pihak Indonesia kelipatan, kira-kira lebih dari 150.000.
Peristiwa-Peristiwa Busuk
Zuid-Celebes-Affaire (Peristiwa Sulawesi)
Tersohor peristiwa Westerling yang terjadi sebelum aksi polisionil pertama. Di Sulawesi perlahanan terhadap Belanda keras sekali. Kapten R.P.P. (Raymond) Westerling (1919-1987), kepala DST (Depot Speciale Troepen), bertindak tanpa kasian. DST (Korps Pasukan Khusus) adalah pasukan komando berwenang beroperasi tak tergantung KNIL. Menurut “noodrecht” (hak darurat) di beberapa desa banyak orang pribumi dilangsungkan hukuman mati. Juga orang-orang yang sudah ditahan dimatikan tanpa acara. Kadang-kadang ada penganiayaan.
Sewaktu kejadian ini terkenal, kewenangan khusus pasukan itu diambil. Pada april 1947 komisi Enthoven menyelidiki hal ini. Laporan ini dikirim parlemen Belanda akhir 1948, bersifat pribadi. Dianggap hal ini kekecualian. Awal 1949 surat-surat dari tentara-tentara Belanda dibacakan di parlemen, yang juga dicatat koran-koran Belanda. Penulisnya, sekalipun demikian sering tidak melawan kehadiran militer di Indonesia, melaporkan kejahatan-kejahatan. Pemerintah mempertimbangkan kirim Pangeran Bernhard (suami Ratu Juliana), Pemeriksa Angkatan Darat, ke Indonesia, akan tetapi ini dianggap tidak baik untuk proses perdamaian.
Peristiwa ini lagi menyebabkan gara-gara di Belanda, sewaktu ahli jiwa dr. J.E. Hueting, bekas veteran Hindia, pada 1969 mengajukan pertindakan Belanda melalui TV. Penyelidikan berikut, dikepalai Cees Fasseur, menghasilkan “Excessennota“, nota yang melaporkan 3144 korban dimatikan oleh bala tentara, 136 oleh polisi dan 576 oleh polisi kampung.
Jumlah ini diragukan. Indonesia melaporkan 40.000 korban. Masih saja ada jalan-jalan di Sulawesi disebut “Jalan 40.000”. Sering pengunjung Belanda ditanyakan apa pendapatnya bagi masalah ini dan mengapa Westerling tidak dihukum. Memang, 42 tentara Belanda dihukum karena ini, akan tetapi tidak pernah perwira-perwira.
Nanti, DST dikerahkan upaya mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan).
Bondowoso Dan Pakisadji
Masalah tersohor kedua peristiwa Bondowoso. Tahun 1947 sewaktu transpor kereta api 47 narapindana Indonesia meniggal dunia karena tanpa makanan dan minuman. Beberapa tentara Belanda dihukum dua sampai delapan bulan penjara.
Kira-kira waktu sama bala tentara Belanda membakar kampung Pakisadji karena perjuang-perjuang kemerdekaan menaruh ranjau-ranjau di sekitarnya. Tiga tentara Belanda menolak karena alasan etik dan dihukum dua tahun sampai dua tahun enam bulan penjara.
Satu tahun lalu pers melaporkan hal ini yang memberangkan masyarakat Belanda karena tentara-tentara yang berkelakuan baik dihukum lebih keras.
Akhirnya
Sepertiga tentara Belanda wajib militer menolak berjuang Indonesia. Separohnya yang menolak dipaksa ke Indonesia. Bagian lain dihukum atau melarikan diri. Jumlah tentara yang membelot ke pihak perjuang-perjuang kemerdekaan 23. Mereka dibunuh atau dihukum keras sekali oleh Belanda. Satu-satunya yang baru sempat lolos Poncke Princen, akan tetapi istrinya (pribumi) dibunuh oleh tentara Belanda sewaktu aksi itu. Poncke Princen meniggal dunia tahun 2002 sebagai WNI.
Segera sesudah pernatyaan kemederkaan Indonesia semboyah pemerintah Belanda “Indië verloren, rampspoed geboren” artinya kehilangan Hindia kelahiran malapetaka. Kebalikan benar, sesudah perakuan kemerdekaan Indonesia pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda mengarah industri Eropa. Akibat, minoritas yang kaya karena Hindia kurang kaya, mayoritas rakyat Belanda berangsur-angsur mengalami kemakmuran sejak waktu itu. Sebelumnya keadaan sebagian besar rakyat Belanda buruk sampai buruk sekali, sudah sebelum perang dunia kedua.
Akhirnya lebih dari 400.000 orang Indo-Eropa (orang yang bapaknya Eropa, ibunya Indonesia dan keturunannya) dan 10.000 orang Maluku tunawarga (bekas tentara KNIL dan keluarganya) pindah atau diungsi ke Belanda.
Sebagian besar penduduk Belanda mengakui kesalahan Belanda, terutama yang lahir sesudah kemerdekaan Indonesia. Untunglah pemerintah Belanda secara resmi menyesali kejadian-kejadian sewaktu aksi-aksi polisionil dan akhirnya (2005) mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia, akan tetapi belum minta maaf (2006). Alasan, pemerintah Belanda dengan memperhatikan hati sanubari veteran Belanda dan masyarakat Maluku di Belanda.