Sisingamangaraja XII

pahlawan nasional Indonesia
Revisi sejak 22 Maret 2023 12.18 oleh Frendy Aldo Tobing (bicara | kontrib) (Tunggu dulu)

Si Singamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di Negeri Toba dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.

Si Singamangaraja XII
Ilustrasi wajah Si Singamangaraja XII pada lembaran uang 1000, berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani.
Berkuasa1876–1907 M
PendahuluRaja Sohahuaon Sinambela
(Si Singamangaraja XI)
KelahiranPatuan Bosar Sinambela
(1845-02-18)18 Februari 1845
Bangkara, Toba
Kematian17 Juni 1907(1907-06-17) (umur 62)
Si Onom Hudon, Dairi
Pemakaman
Pasangan
Keturunan
  • Patuan Nagari Sinambela
  • Patuan Anggi Sinambela
  • Lopian br. Sinambela
  • Raja Buntal Sinambela
  • Raja Sabidan Sinambela
  • Raja Barita Sinambela
  • Pangarandang Sinambela
  • Raja Pangkilim Sinambela
  • Rinsan br. Sinambela
  • Purnama Rea br. Sinambela
  • Sunting Mariam br. Sinambela
  • Saulina br. Sinambela
  • Tambok br. Sinambela
  • Mangindang br. Sinambela
  • Sahudat br. Sinambela
  • Nagok br. Sinambela
Nama lengkap
Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu
Wangsa Singa Mangaraja
AyahRaja Sohahuaon Sinambela
Ibuboru Situmorang

Semula, ia dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.[1]

Nama dan gelar

Si Singamangaraja XII dilahirkan dengan nama Patuan Bosar Sinambela. Ia naik tahta sebagai pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Si Singamangaraja XI yang bernama Raja Sohahuaon Sinambela. Sebagai seorang Singamangaraja, Patuan Bosar Sinambela juga berperan sebagai raja-imam. Dari Patuan Anggi Sinambela, Si Singamangaraja XII mendapatkan pahompu panggoaran bernama Pulo Batu Sinambela sehingga ia digelari sebagai Ompu Pulo Batu Sinambela. [butuh rujukan]

Asal usul

Si Singamangaraja XII adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling di kawasan utara Sumatera untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Thomas Stamford Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Si Singamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.[3]

Sampai awal abad ke-20, Si Singamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Pagaruyung melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.[4]

Sementara itu, sumber dari Pemerintah Daerah setempat menyebutkan bahwa dinasti Singamangaraja bermula dari salah satu keturunan Si Raja Oloan. Si Raja Oloan memiliki enam orang putra yakni Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, dan Simanullang.

Kemudian, Sinambela memiliki tiga orang putra, salah satunya adalah Raja Bona Ni Onan. Raja Bona Ni Onan menikah dengan seorang boru Pasaribu. Anak dari Raja Bona Ni Onan adalah Raja Manghuntal yang kemudian mengawali dinasti Singamangaraja sebagai Si Singamangaraja I.[5]

Penobatan

Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera, terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.[5]

Perang melawan Belanda

Pada tahun 1824, seluruh wilayah koloni Inggris di Sumatera diberikan kepada Belanda melalui Perjanjian Inggris dan Belanda (Anglo-Dutch Treaty of 1824 ). Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk menganeksasi seluruh wilayah yang belum dikuasainya di Sumatera.

Pada tahun 1873, Belanda melakukan invasi militer ke Aceh melalui Perang Aceh. Kemudian, Belanda melanjutkan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Para raja kampung Batak (huta) yang beragama Kristen menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bangkara, Si Singamangaraja XII, yang memiliki hubungan dekat dengan Kesultanan Aceh, menolak dan menyatakan perang.

Pada tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada Pemerintah Kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Si Singamangaraja XII. Kemudian, Pemerintah Kolonial Belanda dan para misionaris sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.

Pada tanggal 6 Februari 1878, Pasukan Belanda tiba di Pearaja, tempat kediaman misionaris Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta misionaris Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah, Pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Si Singamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada tanggal 14 Maret 1878, datanglah Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada 1 Mei 1878, Bangkara yang merupakan pusat pemerintahan Si Singamangaraja XII diserang oleh pasukan kolonial. Pada 3 Mei 1878, seluruh Bangkara telah ditaklukkan, namun Si Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara, para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan Hindia Belanda.

Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Si Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya. Hingga akhir Desember 1878, beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga telah ditaklukkan oleh Pasukan Kolonial Belanda.

Di antara tahun 1883-1884, Si Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta Tangga Batu pada tahun 1884.

 
Cap Mohor Si Singamangaraja XII

ia penganut Islam.

  1. pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan
  2. Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).

Namun pemakaian simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang asing bagi agama asli Nusantara. Maka masih menyimpan misteri mengenai agama Sisingamangaraja

Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja sebelumnya (penganut Parmalim). Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu dan Parmalim. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat pengaruh Hindu.[6] Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia sangat terinspirasi lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.[7] Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?] sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara". Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil[butuh rujukan] seperti I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda.[butuh rujukan]-->

Kematian

Si Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin oleh Hans Christoffel di kawasan sungai Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si Onom Hudon, di perbatasan Humbang dengan Dairi.[1] Si Singamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, seorang penembak jitu pasukan Marsose, mendaratkan tembakan ke kepala Si Singamangaraja XII tepat di bawah telinganya.[8] Menjelang nafas terakhir, ia tetap berucap, "Ahu Si Singamangaraja" (bahasa Indonesia: "Aku Si Singamangaraja"). Turut gugur bersamanya adalah kedua putranya, Patuan Nagari Sinambela dan Patuan Anggi Sinambela, serta putrinya, Lopian br. Sinambela. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Si Singamangaraja XII kemudian dikebumikan oleh Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Dairi.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh pemerintah, msyarakat, dan keluarga.[butuh rujukan]

Dinasti Singa Mangaraja

Patuan Bosar Sinambela adalah Singamangaraja XII sekaligus sebagai Singamangaraja terakhir dari Dinasti Singa Mangaraja. Setelah kematiannya, tidak ada lagi penerus dinasti Singa Mangaraja di Bangkara, sebab seluruh keluarganya telah ditawan oleh Belanda di Siborongborong.

Ada pun nama para Singamangaraja yang pernah bertahta di Bangkara adalah sebagai berikut:

  1. Si Singamangaraja I, bernama Raja Manghuntal Sinambela
  2. Si Singamangaraja II, bernama Ompu Raja Tinaruan Sinambela
  3. Si Singamangaraja III, bernama Raja Itubungna Sinambela
  4. Si Singamangaraja IV, bernama Sori Mangaraja Sinambela
  5. Si Singamangaraja V, bernama Pallongos Sinambela
  6. Si Singamangaraja VI, bernama Pangulbuk Sinambela
  7. Si Singamangaraja VII, bernama Ompu Tuan Lumbut Sinambela
  8. Si Singamangaraja VIII, bernama Ompu Sotaronggal Sinambela
  9. Si Singamangaraja IX, bernama Ompu Sohalompoan Sinambela
  10. Si Singamangaraja X, bernama Ompu Tuan Nabolon Sinambela
  11. Si Singamangaraja XI, bernama Raja Ompu Sohahuaon Sinambela
  12. Si Singamangaraja XII, bernama Patuan Bosar Sinambela

Gelar pahlawan

Si Singamangaraja XII digelari Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 590 Tahun 1961. Surat ini tertanggal 19 November 1961.[9]

Warisan sejarah

 
Sebilah pedang hasil tempaan pandai besi Batak yang diduga oleh Belanda digunakan oleh Si Singamangaraja XII. Foto diambil 1907.

Usai gugurnya Si Singamangaraja XII, Pasukan Kolonial Belanda menemukan sebilah pedang yang diduga digunakan oleh Si Singamangaraja XII. Kini, pedang tersebut disimpan sebagai koleksi milik Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.

Kegigihan perjuangan Si Singamangaraja XII dalam melawan penjajahan Belanda telah menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia. Selain menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia, Pemerintah Indonesia juga mengabadikan nama Si Singamangaraja XII sebagai nama ruas jalan di banyak kawasan di Republik Indonesia.

Penghargaan

Sebagai penghargaan atas jasa Si Singamangaraja XII, beberapa tugu didirikan untuknya di beberapa daerah di Sumatra Utara, di antaranya di Markas Si Singamangaraja, Parlilitan, Humbang Hasundutan, dan di Monumen Si Singamangaraja XII, Medan.

Referensi

  1. ^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Aku Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7.
  2. ^ Brenner, J.F. von. Besuch bei den Kannibalen Sumatras: erste Durchquerung der unabhangigen Batak-Lande. Wurzburg: Wurl. 
  3. ^ Raffles, Stamford (1830). Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray. 
  4. ^ Schrieke, Bertram Johannes Otto (1929). The Effect of Western Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago (dalam bahasa Inggris). G. Kolff & Company. 
  5. ^ a b Sejarah Daerah Sumatera Utara, 1978
  6. ^ Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since C.1200. h,174. Palgrave Macmillan (2008). "The Bataks were a fierce and violent pagan people whose religious life was a combination of animism, magic and old Hindu (or Hindu-Javanese) influences."
  7. ^ Kozok, Uli, (2009), Surat Batak: sejarah perkembangan tulisan Batak: berikut pedoman menulis aksara Batak dan cap Si Singamangaraja XII, École française d'Extrême-Orient, ISBN 979-9101-53-0.
  8. ^ Okezone (2020-06-17). "Saat Peluru Marsose Menembus Sisingamangaraja XII yang Terkenal Kebal Senjata : Okezone Nasional". Okezone. Diakses tanggal 2021-03-19. 
  9. ^ Natalia, S. F., dan Aditya, M. F. (2019). "Dampak Perang Batak pada Tahun 1878 - 1907 Terhadap Penyebaran Agama Kristen di Sumatera Utara". Tsaqofah: Jurnal Agama dan Budaya. 17 (1): 43.