Suriansyah dari Banjar

Raja Kesultanan Banjar

Soeltan Soeriân Allâh atau Sultan Suryanullah[1][14][15][16][17] atau Sulthan Soerian Sjach atau Sultan Suriansyah (Panembahan Batu Habang)[18][19] atau Sultan Suria Angsa[20][21][22] adalah Raja Banjarmasin pertama yang memeluk Islam. Ia memerintah tahun 1500-1540.[4][23] Pangeran Jaya Sutera atau Jaya Samudera merupakan raja Banjar pertama sekaligus raja Kalimantan pertama yang bergelar Sultan yaitu Sultan Suryanullah. Gelar Sultan Suryanullah tersebut diberikan oleh seorang Arab yang pertama datang di Banjarmasin, beberapa waktu setelah Pangeran Samudera diislamkan oleh utusan Kesultanan Demak.[1] Setelah mangkat Sultan ini mendapat gelar anumerta Panembahan Batu Habang atau Susuhunan Batu Habang, yang dinamakan berdasarkan warna merah (habang) pada batu bata yang menutupi makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Suryanullah bin Raden Mantri Alu[1]
Sultan
Berkuasa1520-1540[2]
SultanLihat daftar
KelahiranRaga Samudera[3]
Pemakaman
Keturunan1. ♂ Pangeran Tuha/Sultan Rahmatullah
2. ♂ Pangeran Anom/Pangeran Di Hangsana
Nama lengkap
Dayak: Raja Mata Habang Belanda: Sulthan Soerian Sjah (Soeria Angsa)[4][2]
WangsaDinasti Banjarmasin
AyahRaden Mantri Alu bin Raden Bangawan[1]
IbuPutri Galuh Baranakan binti Maharaja Sukarama[1]
AgamaIslam Sunni
Makam Sultan Suriansyah.
Balai Pertemuan yang dinamakan Gedung Sultan Suriansyah di Banjarmasin.

Nama lahirnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih (kepala kampung) di hilir sungai Barito, kemudian ia memakai gelar yang lebih tinggi yaitu Pangeran Samudera atau Pangeran Jaya Samudera. Ia lebih terkenal dengan gelar Sultan Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya.

Menurut naskah Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin alias Hikayat Banjar resensi I, Sultan Suryanullah merupakan keturunan ke-6 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-6 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (saudara angkat Lambung Mangkurat). Sultan Suryanullah juga merupakan keturunan ke-3 dari Raden Sekar Sungsang.

Selain itu gelar lainnya yang dipakai adalah Suryanullah (= matahari Allah), selanjutnya sultan-sultan Banjar berikutnya memakai kata Allah pada nama belakangnya, sedangkan nama belakang syah tidak pernah digunakan lagi oleh penerusnya.

Pada 24 September 1526 bertepatan 6 Zulhijjah 932 H, Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah. Tanggal ini dijadikan Hari Jadi Kota Banjarmasin, sekarang 483 tahun.

Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh Beranakan (Ratu Intan Sari) yaitu puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Dan nama bapaknya adalah Raden Mantri Alu, keponakan Maharaja Sukarama.[1] Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar.

Legitimasi politik yang muncul bagi masyarakat Banjar bahwa seorang raja atau calon pengganti raja mestilah putra tertua raja yang lahir dari ibu yang juga berdarah raja (putera gahara). Hal ini mengacu pada pasangan Suryanata dan Junjung Buih sebagai idealisasinya. Para tutus raja atau garis lurus keturunan raja-raja (dalam konsepsi Hinduistik) yang juga berarti tutus naga (dalam konsepsi religi asli), diyakini sebagai wakil dewa di dunia. Tradisi ini dengan sendirinya menjadi sumber legitimasi politik bagi setiap penguasa yang silih berganti bertahta. Meskipun Kesultanan Banjar yang muncul pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam, namun tradisi politik yang diwariskan dari masa Negara Dipa itu ternyata tetap kuat mewarnai proses suksesinya. Aturan ini rupanya sangat dipahami oleh Maharaja Sukarama, raja kedua Negara Daha (kelanjutan Negara Dipa). Diceritakan dalam Hikayat Banjar, raja ini mempunyai empat orang istri dan empat orang putra dan satu orang putri. Mereka masing-masing adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Pangeran Bagalung, Pangeran Jayadewa, dan si bungsu perempuan bernama Putri Galuh Baranakan. Keempat istri raja tersebut rupanya tidak berdarah bangsawan, sehingga sang raja mengawinkan Putri Galuh Baranakan dengan putra saudaranya sendiri, Raden Bagawan, yang bernama Raden Mantri. Pasangan ini (Galuh dan Mantri) kemudian mempunyai seorang anak bernama Raden Samudera. Maharaja Sukarama menganggap cucunya ini memiliki keturunan bergaris lurus (lahir dari kedua orang tua yang sama-sama berdarah raja), sehingga diputuskan sebagai penggantinya kelak. Meski anak-anaknya keberatan atas keputusan itu, tapi sang ayah bersikukuh: “Maski bagaimana kata angkau karna sudah ia si Samudera itu ringan bibirku” (Hikayat Banjar). Pengingkaran terhadap wasiat raja ini, oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumanggung karena ambisi tahta, membawa Kerajaan Negara Daha pada keruntuhannya.[24] [25]

Kekerabatan raja-raja Nusantara menurut mitologi Hikayat Sang Bima

Salah satu versi mitologi Hikayat Sang Bima dari Kerajaan Bima.

Wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar & Sumbawa adalah Sang Dewa.

Wangsa yang menurunkan raja-raja Bima adalah Sang Bima.

Wangsa yang menurunkan raja-raja Bali adalah Sang Kula/Sang Kangkula/Sang Kilat.

Wangsa yang menurunkan raja-raja Gowa adalah Sang Rajuna.

Wangsa yang menurunkan raja-raja Dompu adalah Sang Darmawangsa/Sang Aji/Indra Jaya.

Lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[26][27][28]

Lihat: Hikayat Sang Bima
Maharaja Pandu Dewata (Dewa Noto)
Sang Darmawangsa (Sang Aji)
Wangsa yang menurunkan
raja-raja Dompu
Sang Bima
Wangsa yang menurunkan
raja-raja Bima
Sang Rajuna
Wangsa yang menurunkan
raja-raja Gowa
Sang Kula (Kangkula)
Wangsa yang menurunkan
raja-raja Bali
Sang Dewa
Wangsa yang menurunkan
raja-raja Banjar

Sistem Pemerintahan

Ketika Pangeran Samudera pertama kali mengatur kerajaan terpilih Patih Masih menjabat sebagai mangkubumi yang lebih tinggi tarafnya daripada Menteri Berempat atau dalam bahasa Banjar disebut Mantri Ampat yaitu 4 orang deputi yaitu:

  1. Pangiwa dijabat Patih Balit
  2. Panganan dijabat Patih Balitung
  3. Gampiran (Gumpiran) dijabat Patih Kuin
  4. Panumping dijabat Patih Muhur

Dibawah Gampiran dan Panumping terdapat 30 wilayah Mantri (captain). Keempat deputi ini juga berwenang sebagai hakim.

Sesudah lenyapnya Negara Daha, patih tertua, Aria Taranggana dari Negera Daha diangkat sebagai Mangkubumi dengan wewenang:

  1. menangani masalah administrasi negara dari seluruh wilayah negara
  2. menentukan keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati.
  3. menentukan perihal hak penyitaan segala harta benda yang dijatuhi hukuman.

Keempat deputi berwenang juga sebagai jaksa dan hakim, tetapi segala keputusan mereka berdasarkan sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara (Kutara Manawa?), yang disusun oleh Aria Taranggana ketika menjabat Mangkubumi Kerajaan Negara Daha.

Kementerian:

  • Mantri Bandar (Kiai Palabuhan) mempunyai anak buah 100 (seratus) orang untuk menjalankan kegiatan pemungutan bea cukai pelabuhan.
  • Mantri Tuhabun, dengan gelar pangkatnya: Andakawan (The Captain of The Tuhabun corps) mempunyai anggota 40 orang. Tugasnya untuk melayani raja, para famili raja seperti antara lain sebagai regu pengayuh perahu ketangkasan raja.
  • Singabana, untuk menjaga keamanan terdapat dua orang kepala:
    • Singantaka
    • Singapati.
  • Mantri Besar bertugas sebagai duta kerajaan di daerah ataupun ke luar daerah kerajaan.

Surat Kepada Sultan Demak (Sultan Trenggono)

Sultan Trenggana pernah mengirim pasukan ke Barunadwipa.[29]

Datang Patih Balit itu membawa surat Sultan Demak, maka disuruh baca oleh Mangkubumi. Bunyinya:
Salam sembah putra andika pangeran di Banjarmasih sampai kepada Sultan Demak. Putra andika mencatu nugraha tatulung bantu tatayang sampiyan, karena putra andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putra andika mancatu nugraha tatulung bantu tatayang sampiyan. Adapun lamun manang putra andika mangawula kepada andika. Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul.
Demikianlah bunyinya surat itu. Maka sembah Patih Balit: Tiada dua-dua yang diharap putra andika nugraha sampiyan itu. Banyak tiada tersebut. Maka kata Sultan Demak: Mau aku itu membantu lamun anakku Raja Banjarmasih itu masuk Islam. Lamun tiada masuk Islam tidak mau aku bertulung. Patih Balit kembali dahulu berkata demikian, maka kata Patih Balit: hinggih.[1]

Daerah yang Takluk

Daerah-daerah yang takluk pada masa Sultan Suryanullah - Sultan Banjarmasin I disebutkan dalam Hikayat Banjar.[30]

Hikayat Banjar menyebutkan:

Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan, orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.[1]

Silsilah

Silsilah menurut naskah Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin yang disebut Hikayat Banjar resensi 1.

Saudagar Jantan[31]

↓ (berputra)

Saudagar Mangkubumi x Sita Rara

↓ (berputra)

Raja Negara Dipa I: Ampu Jatmaka (anak angkat Raja Kuripan) x Sari Manguntu

↓ (berputra)

Raja Negara Dipa II: Lambu Mangkurat (saudara angkat Puteri Junjung Buih) x Dayang Diparaja binti Aria Malingkun dari Tangga Ulin

↓ (berputra)

Puteri Huripan x Raja Negara Dipa V: Maharaja Suryaganggawangsa bin Raja Negara Dipa IV: Maharaja Suryanata (suami dari Raja Negara Dipa III: Puteri Junjung Buih)

↓ (berputra)

Puteri Kalarang (cucu Puteri Junjung Buih) x Pangeran Suryawangsa (adik Maharaja Suryaganggawangsa)

↓ (berputra)

Raja Negara Dipa VI: Maharaja Carang Lalean (cucu Puteri Junjung Buih) x Raja Negara Dipa VII: Puteri Kalungsu (anak Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryaganggawangsa)

↓ (berputra)

Raja Negara Daha I: Maharaja Sari Kaburungan

↓ (berputra)

Raja Negara Daha II: Maharaja Sukarama

↓ (berputra)

Putri Galuh Baranakan x Raden Mantri Alu bin Raden Bangawan bin Maharaja Sari Kaburungan

↓ (berputra)

Sultan Banjar I: Sultan Suryanullah/Pangeran Samoedra/Soeltan Soeriânsjâh

↓ (berputra)
  1. Sultan Banjar II: Sultan Rahmatullah
  2. Pangeran Anom (Pangeran di Hangsana)

Rujukan

Didahului oleh:
Pangeran Tumenggung
Sultan Banjar
1520-1540
Diteruskan oleh:
Rahmatullah

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar (dalam bahasa Melayu). Diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.  ISBN 983-62-1240-X
  2. ^ a b Hoëvel, Wolter Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (dalam bahasa Belanda). 52. Ter Lands-drukkerij. hlm. 199. 
  3. ^ (Melayu)Yayasan Perpustakaan Nasional (Indonesia), Yayasan Perpustakaan Nasional (Indonesia) (1976). Bulletin YAPERNA. 14-17. Yayasan Perpustakaan Nasional. 
  4. ^ a b Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Geschiedkundige aanteekcningen omtrent zuidelijk Borneo)". 23. Ter Lands-drukkerij: 199. 
  5. ^ a b c (Belanda) Noorlander, Johannes Cornelis (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw. M. Dubbeldeman. hlm. 188. 
  6. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia. Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 6. Lange & Co., 1857. hlm. 239. 
  7. ^ (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 2. 
  8. ^ a b (Inggris) Basuni, Ahmad (1986). Nur Islam di Kalimantan Selatan: sejarah masuknya Islam di Kalimantan. Penerbit Bina Ilmu. 
  9. ^ (Belanda) Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 9. 1860. hlm. 96. 
  10. ^ (Belanda) Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia). (1860). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 9. Lange. hlm. 95. 
  11. ^ Karl Helbig, Eine Durchquerung der Insel Borneo (Kalimantan): nach den Tagebüchern aus dem Jahre 1937, D. Reimer, 1982 ISBN 3496001542, 9783496001546
  12. ^ (Belanda) (1867)De tijdspiegel. Fuhri. hlm. 165. 
  13. ^ (Indonesia) Putera mahkota jang terbuang. Saiful. 1963. hlm. 4. 
  14. ^ Balai Pustaka (18 Juni 2008). Sejarah Nasional III, 2008: History Indonesia. Indonesia: Bukupedia. hlm. 10.  [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ Sarkawi B. Husain (1 Januari 2017). Sejarah Masyarakat Islam Indonesia. Indonesia: Airlangga University Press. hlm. 58. 
  16. ^ https://www.scribd.com/doc/190123982/Hikayat-Banjar
  17. ^ (Indonesia) H Purwanta, dkk, Sejarah SMA/MA Kls XI-Bahasa, Grasindo, ISBN 979-759-653-2, 9789797596538
  18. ^ Saleh, Mohamad Idwar (1986). Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin,. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,. hlm. 150. 
  19. ^ Sejarah daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978
  20. ^ (Belanda) Noorlander, Johannes Cornelis (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw (dalam bahasa Belanda). M. Dubbeldeman. hlm. 189. 
  21. ^ (Inggris) Houtsma, M. Th (1993). First Encyclopaedia of Islam 1913-1936:. E.J.Brill,s,BRILL. hlm. 646. ISBN 9004097961.  ISBN 978-90-04-09796-4
  22. ^ Le Rutte, J. M. C. E. (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 12. 
  23. ^ "Indisch archief: tijdschrift voor de Indien. Dl. 4. Tweede". 1851: 482. 
  24. ^ Norprikriadi (2014). PERJALANAN KESULTANAN BANJAR: DARI LEGITIMASI POLITIK KE IDENTITAS KULTURAL. hlm. 81. 
  25. ^ (Indonesia) Rujukan kosong (bantuan) 
  26. ^ Chambert-Loir, Henri (1982). Henri Chambert-Loir, ed. Syair Kerajaan Bima. 2. Jakarta - Bandung: Lembaga Penelitian Perancis Untuk Timur Jauh (Ecole Francaise d'Extreme-Orient). hlm. 131. 
  27. ^ Chambert-Loir, Henri (Juli 2004). Henri Chambert-Loir, ed. Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah (edisi ke-2). Jl. Palmerah Selatan No. 21, Jakarta 10270, Indonesia: (KPG) Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 121. ISBN 9799100119.  ISBN 978-979-9100-11-5
  28. ^ Tajib, H. Abdullah (1995). Sejarah Bima Dan Mbojo. Jakarta, Indonesia: Harapan Masa PGRI. 
  29. ^ Sunyoto, Agus (2005). Suluk Abdul Jalil: perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar. 7. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 599. ISBN 9798451368.  ISBN 978-979-8451-36-2
  30. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 86. ISBN 9794074098. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-11. Diakses tanggal 2013-06-16.  ISBN 978-979-407-409-1
  31. ^ http://sinarbulannews.files.wordpress.com/2011/01/silsilah-sultan-adam.jpg

Pranala luar