Penyakit kulit berbenjol

penyakit pada sapi dan kerbau
Revisi sejak 30 Maret 2023 01.57 oleh RianHS (bicara | kontrib)

Penyakit kulit berbenjol (bahasa Inggris: lumpy skin disease, disingkat LSD) adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh Lumpy skin disease virus. Penyakit ini dicirikan dengan adanya nodul-nodul yang keras pada kulit di hampir seluruh bagian tubuh.

Penyakit kulit berbenjol
Informasi umum
PenderitaSapi, kerbau
PenyebabLumpy skin disease virus
Aspek klinis
Gejala dan tandaNodul kulit
Tata laksana
PencegahanVaksinasi, disinsektasi vektor

Penyebab

Penyakit kulit berbenjol diakibatkan oleh Lumpy skin disease virus (LSDV) yang termasuk dalam famili Poxviridae. Keluarga virus ini umumnya menimbulkan penyakit-penyakit cacar dan sejenisnya pada beragam spesies hewan.

Epidemiologi

Hewan rentan

Sapi dan kerbau domestik asia merupakan hewan-hewan yang terinfeksi secara alami. Infeksi eksperimental pernah dilakukan pada jerapah dan impala. Sementara itu, oriks di Afrika Selatan, oriks arab di Arab Saudi, dan springbok di Namibia pernah menunjukkan tanda klinis.[1] LSD tidak dapat menular ke manusia.[2]

Penyebaran penyakit

Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Zambia pada tahun 1929 dan kemudian menyebar luas ke seluruh wilayah Afrika hingga dinilai endemik di Afrika Sub-Sahara.[3] Laporan pertama LSD di luar Afrika terjadi antara 1988 dan 1989 di Israel.[4] Penyakit ini kemudian menyebar ke Eropa bagian Tenggara, Timur Tengah, dan Asia Tengah. Sejak bulan Juli 2019, LSD masuk ke Bangladesh dan selanjutnya ke India dan Tiongkok.[5] Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Myanmar mulai terdampak pada tahun 2020. Pada 2021, penyakit ini menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, mulai dari Thailand (Maret 2021) hingga Kamboja, Laos, dan Malaysia (Mei 2021).[6] Pada 2022, Indonesia melaporkan adanya kasus LSD.[7]

Penularan

Wabah LSD cenderung bersifat sporadik dan bergantung pada lalu lintas hewan antarwilayah dan antarnegara. Penyakit ini terutama ditularkan oleh vektor mekanik berupa artropoda, seperti nyamuk dan lalat penggigit. Potensi penularan yang lebih kecil terjadi melalui kontak langsung antara hewan terinfeksi dan hewan sehat, serta melalui air dan pakan terkontaminasi.[1]

Tanda klinis

Masa inkubasi penyakit berdasarkan infeksi eksperimental adalah 4–14 hari dan pada kondisi lapangan bisa mencapai lima pekan.[8] Demam muncul pada 6–9 hari setelah inokulasi virus, sedangkan lesi kulit muncul pertama kali setelah 4–20 hari. Untuk keperluan perdagangan, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) menstandarkan masa inkubasi menjadi 28 hari.[1]

Tanda-tanda klinis pertama yang dapat diamati di antaranya adalah pembengkakan kelenjar limfa subskapularis dan prefemoralis, demam tinggi di atas 40,5 °C yang terjadi hingga selama satu pekan, munculnya leleran mata dan hidung, serta penurunan produksi susu yang drastis.[8] Lesi kulit berupa nodul dan papula muncul dalam jumlah banyak, dengan benjolan yang keras, datar, berbatas jelas, dan berdiameter antara 0,5 hingga 5 cm. Nodul melibatkan lapisan dermis dan epidermis, tetapi kadang juga dapat mencapai subkutan dan jaringan otot lurik di bawahnya. Nodul juga dapat muncul di membran mukosa di saluran pernapasan hingga mengakibatkan pneumonia, sementara nodul-nodul di membran mukosa mata, hidung, mulut, rektum, hingga alat kelamin dapat mengalami ulser dan menghasilkan sekresi. Akibatnya, leleran mata, hidung, dan air liur dapat mengandung virus LSD. Pada salah satu atau kedua kornea mata dapat ditemukan lesi ulseratif yang dapat mengakibatkan kebutaan. Pada fase kronis, lesi ditandai dengan jaringan infark dengan bagian tengah yang nekrosis dan dikelilingi jaringan granulasi yang berangsur-angsur mengalami fibrosis.[4][9] Manifestasi klinis sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya; terkadang lesi kulit bersifat berat, ringan, atau bahkan subklinis.[10] Morbiditas (tingkat serangan) LSD berkisar dari 5 hingga 45%, sementara tingkat kematian kasusnya di bawah 10%.[1]

Diagnosis

Diagnosis banding untuk penyakit ini adalah mamilitis herpes sapi, stomatitis papular sapi, dermatofilosis, dermatofitosis, fotosensitisasi, aktinomikosis, aktinobasilosis, urtikaria, gigitan serangga, besnoitiosis, nokardiasis, demodikosis, onkosersiasis, dan cacar sapi.[11][2] Diagnosis definitif LSD ditegakkan dengan pengujian laboratorium. Spesimen diambil melalui biopsi nodul kulit. Selain itu, darah dari hewan yang mengalami infeksi akut juga bisa diambil sebagai spesimen. Identifikasi virus untuk mendiagnosis LSD dilakukan dengan isolasi virus dan reaksi berantai polimerase (PCR). Kedua metode ini digunakan untuk mengonfirmasi kasus klinis dan memastikan seekor hewan tidak tertular penyakit sebelum dilalulintaskan. Di sisi lain, metode yang digunakan untuk mendeteksi respons imun yaitu uji netralisasi virus (VNT), uji antibodi fluoresens tidak langsung (IFAT), dan ELISA.[2]

Pencegahan, pengendalian, dan pengobatan

Penyakit kulit berbenjol merupakan salah satu penyakit yang kasusnya diwajibkan oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH).[12] Organisasi ini merekomendasikan persyaratan teknis kesehatan hewan bagi sapi dan kerbau hidup, semen, embrio, susu dan produk susu, kulit, dan produk hewan lainnya sebelum ditransportasikan antarnegara.[13] Pemberian vaksin digunakan untuk mencegah penyebaran LSD. Belum ada obat spesifik untuk penyakit ini, tetapi antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi sekunder.[9]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (2016), Poster LSD (PDF), World Organisation for Animal Health (OIE) 
  2. ^ a b c OIE Manual 2021, hlm. 3.
  3. ^ Davies, F.G. (1991). "Lumpy skin disease of cattle: A growing problem in Africa and the Near East". World Animal Review. 68. 
  4. ^ a b OIE Manual 2021, hlm. 2.
  5. ^ FAO 2020, hlm. 3.
  6. ^ Naipospos, Tri Satya Putri (23 Juli 2021). Situasi, Epidemiologi dan Mitigasi Lumpy Skin Disease (LSD) (Speech). Pertemuan Daring Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati. 
  7. ^ "Kementan Siapkan Sumberdaya Tangani Lumpy Skin Disease Pada Sapi Di Riau". Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 6 Maret 2022. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  8. ^ a b FAO Modul 1, hlm. 7.
  9. ^ a b Gibbs, Paul (Februari 2021). "Lumpy Skin Disease in Cattle". MSD Manual. Diakses tanggal 23 Juli 2021. 
  10. ^ FAO Modul 1, hlm. 8.
  11. ^ OIE 2017, hlm. 3.
  12. ^ "Lumpy Skin Disease". OIE. Diakses tanggal 23 Juli 2021. 
  13. ^ OIE Code 2019, hlm. 2–5.

Daftar pustaka