Orang Melayu di Makassar

artikel daftar Wikimedia

Orang Melayu di Makassar merupakan orang-orang beretnis Melayu yang berasal dari Pahang, Johor, Siam, Pattani, Champa, dan Minangkabau. Perantau-perantau ini merupakan diaspora orang-orang Melayu sejak takluknya Kesultanan Melaka dari tangan Portugis pada tahun 1511 oleh Kerajaan Gowa pada masa Pemerintahan raja Gowa yang ke-10 Karaeng Tunipallangga (1545–1565).

Awal kedatangan

Pada tahun 1542, Antonio de Paiva seorang petualang Portugis mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva menyatakan ketika mendarat ia telah bertemu orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susunan masyarakat yang teratur sejak 1490.[1] Manuel Pinto yang mengunjungi Siang pada tahun 1545, menyatakan bahwa orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa. Pada zaman pemerintahan Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500–1545), orang Melayu sudah mendirikan pemukiman di Mangallekana, sebelah utara Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa. Pada masa Karaeng Tunipallangga, orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Mangallekana diberi hak otonomi.

Peran orang Melayu

Sejak kedatangan orang Melayu ke Kerajaan Gowa, peranannya tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan sosial dan politik kerajaan. Besarnya jumlah dan peranan orang Melayu di Kerajaan Gowa, menyebabkan Raja Gowa ke-X Daeng Bonto Karaeng Tunipallangga (1545-1565) membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk orang Melayu, sekalipun raja belum memeluk Islam.[2] Dalam struktur kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang Melayu memegang peranan penting di istana kerajaan.

Pada masa pemerintahan raja Gowa X (1546–1565), seorang keturunan Melayu, Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar kerajaan menggantikan Daeng Pamatte. Sejak saat itu secara turun temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu. Jabatan penting lainnya ialah sebagai juru tulis istana. Pada masa Sultan Hasanuddin (1653–1669), seorang Melayu yang bernama Encik Amin menjadi juru tulis istana sekaligus penyair. Karyanya masih bisa ditemui satu ini yaitu Syair Perang Mengkasar.

Pecampuran etnis

Saat ini perkampungan orang Melayu masih bisa ditemui di Kota Makassar, tepatnya di kelurahan Melayu. Begitupun dengan orang Pattani, mereka berbaur satu sama lain dengan masyarakat setempat hingga kini, orang Pattani membentuk sebuah Kampung di desa Patani, Mappakasunggu, Takalar.

Kembali ke tanah Melayu

Ketika terjadi ketegangan antara kerajaan Gowa dengan VOC dalam memperebutkan dominasi ekonomi di Indonesia timur sejak awal abad ke-17, orang Melayu dan Jawa yang bekerja pada kantor-kantor asing mendapat tekanan yang berat. Kerajaan Gowa sangat curiga pada orang Melayu yang bekerja untuk kegiatan perdagangan Belanda di Makassar. Kecurigaan ini mencapai puncaknya ketika kerajaan Gowa kalah dalam Perang Makassar (1667–1669) yang mengakibatkan mereka diusir dari kerajaan. Perang Makassar memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Gowa. Akibat perjanjian ini, orang Melayu yang menduduki jabatan di kerajaan bersama orang Bugis lainnya ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu (khususnya Semenanjung Malaya).

Tokoh terkenal

Referensi

  1. ^ Pelras, Christian (1983). Sulawesi Selatan sebelum datangnya Islam berdasarkan kesaksian Portugis dalam citra masyarakat Indonesia. Jakarta: YRS. 
  2. ^ Daeng Patunru, Abdul Razak (1988). Sejarah Gowa. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.