Kopi Arabika Flores Bajawa

Revisi sejak 12 April 2023 22.43 oleh Rudiwaka (bicara | kontrib) (+ {{gaya penulisan}})

Kopi arabika kualitas unggul dengan rasa dan aroma spesial yang kuat. Ditanam dan diolah secara organik, diawasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) dan instansi terkait, menghasilkan kopi sehat dengan cita rasa yang kuat dan harum.

Karakteristik

Kopi Arabika Flores Bajawa sudah terkenal di pasar domestik dan internasional. Ini adalah kopi spesial dengan rasa dan aroma yang khas. Sebagian besar kopi Arabika dari wilayah Flores Bajawa disangrai sedang dan memiliki komponen rasa utama sebagai berikut: aroma kopi kering, aroma kopi dan bunga. Rasanya enak dan kuat, dan tubuhnya sedang hingga kental; keasaman sedang, dan itu memberi kesan manis yang kuat.

Lingkungan

Cara tradisional dalam memproduksi kopi merupakan salah satu faktor yang menciptakan kekhasan kopi arabika Flores Bajawa. Wilayah geografis (1 200-1.800 m dpl) memiliki tanah yang gelap, subur berpori yang berasal dari material vulkanik, yang dengan kondisi iklimnya (suhu rata-rata 15-25 °C, dan pada waktu-waktu tertentu suhu sangat dingin (<10 °C) karena pengaruh angin muson, dengan angin tenggara dari benua Australia) menciptakan suatu wilayah tertentu. Ekosistem pertanian sangat cocok untuk kopi Arabika, yang dikombinasikan dengan kondisi iklim dataran tinggi Ngada dan pengetahuan produsen menghasilkan kopi berkualitas tinggi.

Batas Wilayah

Wilayah geografisnya berada di Pulau Flores, salah satu pulau besar di kepulauan Sunda Kecil, memanjang ke timur dari Jawa. Dataran tinggi Ngada merupakan daerah pertemuan lereng dua gunung berapi, Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Secara administratif, wilayah geografis terletak di Kecamatan Bajawa dan Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sejarah

Untuk mendapatkan informasi tentang kapan masuknya kopi Arabika untuk kali pertama ditanam di Bajawa ternyata tidaklah mudah. Berdasarkan keterangan dari David Lado Baraus pemerhati sejarah Flores, ujicoba pertama penanaman kopi dilakukan di Larantuka dan Flores Timur pada tahun 1871. Kopi tersebut merupakan hasil introduksi dari salah satu kabupaten di Jawa bagian timur yaitu Pasuruan. Pengetahuan teknik budidaya yang masih sangat rendah mengakibatkan kopi pertama hasil introduksi Portugis dengan dibantu Misionaris Katholik tersebut mati di lapangan. Pada tahun 1874 untuk kali kedua dilakukan kembali introduksi kopi dari Timor Leste yang ditanam di Larantuka. Introduksi kopi dari Timor Leste juga dilanjutkan pada tahun 1894. Namun, banyak tanaman kopi yang ditanam di Larantuka tersebut mati di lapangan, sampai kemudian disimpulkan untuk semua daratan Flores tidak disarankan kembali untuk pengembangan kopi secara besar-besaran karena tidak ada harapan tumbuh baik. Jejak introduksi kopi di Flores tempo dulu diduga kuat juga telah sampai ke Bajawa. Sebagai indikatornya adalah penggunaan kata “sombar” dalam Bahasa Bajawa yang berarti pohon penaung kopi. Kata “sombar” diduga kuat berasal dari Bahasa Portugis “sombra” yang berarti penaung atau lengkapnya “arvore de sombra” yang berarti pohon penaung. Kata sombar menjadi memasyarakat diduga karena kegagalan awal pengembangan kopi di Pulau Flores disebabkan oleh kurang atau tidak digunakannya tanaman penaung untuk budidaya kopi. Penggunaan pohon penaung merupakan hal yang sangat prinsip dalam budidaya kopi di Flores, mengingat Flores merupakan pulau beriklim kering. Pada tahun 1926-1929 di daratan flores banyak didirikan Seminari yang merupakan sarana persatuan umat Kristen Katholik. Ketika terjadi resesi dunia pada tahun 1930 mengharuskan Seminari mempunyai perkebunan dan peternakan untuk penguatan ekonomi umat. Pada tahun yang sama, 1930, dibuat untuk kali pertama perkebunan kopi di bawah pengawasan Seminari di daerah Mataloko (dekat Bajawa) hasil introduksi dari Timor Leste, kopi yang dibudidayakan di bawah sombar. Kopi tersebut tumbuh dengan baik dan menghasilkan, yang pada akhirnya banyak masyarakat disekitar Seminari menanam kopi di luar wilayah perkebunan. Pada tahun 1947 atas jasa seorang guru sekolah rakyat yang bernama Joseph Ratu Depu membentuk Organisasi Serikat Tani Ternak Katholik (STATERK) yang memberikan ruang kepada petani untuk saling berbagi pengalaman. Namun, pada waktu itu STATERK masih mempunyai visi hanya pada penguatan tanaman pangan, dengan harapan masyarakat Ngada tidak boleh ada yang kekurangan pangan. Sampai dengan pada tahun 1950, Herman Deru membentuk Perhimpunan Persaudaraan Kerukunan Tani (PPKT) yang tidak hanya memperhatikan tanaman pangan tetapi mempunyai kebijakan bahwa untuk daerah panas ditanami kelapa dan daerah dingin ditanami kopi. Bahkan untuk kali pertama gedung PPKT yang terletak di Mataloko dibuat untuk membibitkan kopi dalam jumlah besar. Pada tahun 1958, berdasarkan UU 69/1958 tentang pembentukan daerah tingkat dua (II) pada daerah tingkat satu (I) untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menjadi dasar terbentuknya Dinas Pertanian dan Perkebunan. Proyek PRPTE yang dimulai tahun anggaran 1978/1979 melalui Dinas Perkebunan Propinsi Nusa Tenggara Timur mulai berusaha untuk membangkitkan kembali budidaya kopi Arabika di Flores melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Pertimbangan pengembangan kopi Arabika di Flores bukan hanya didasarkan pada kepentingan ekspor, akan tetapi perkebunan kopi di dataran tinggi Bajawa juga dipandang mempunyai peran strategis dalam melestarikan fungsi hidrologis. PRPTE di Flores telah mampu mengembalikan dan menambah luas areal perkebunan di Flores sehingga produksi kopi dari Flores mulai meningkat. Pada akhir tahun 1980-an, luas lahan kopi di Flores mencapai sekitar 8.000 ha. Program Pengembangan Wilayah Khusus (P2WK) yang digulirkan pada tahun 1993/1994 menjadi awal pengembangan kopi secara lebih luas di daerah Ngada. Namun, peningkatan produksi tersebut rupanya belum diikuti dengan perolehan mutu yang baik.   Penjabaran tentang sejarah kopi Arabika asal Ngada di atas menunjukkan bahwa lebih dari satu abad, kopi telah menjadi budaya masyarakat petani yang primordial. Bahkan bila ada fluktuasi besar pada lahan yang ditanami, kopi ini tetap menjadi tanaman yang penting dan menjadi pendorong bagi pembangunan daerah. Saat ini kopi “Flores Bajawa” telah reputasi yang tinggi di pasar domestik maupun di pasar manca negara.

Proses Produksi

Kopi yang ditanam di daerah dataran tinggi Ngada hanya berasal dari varietas Arabika. Produsen harus menggunakan cara khusus untuk membudidayakan tanaman kopi (penggunaan pupuk alami dan tanaman pelindung, kerapatan tanaman, tanpa pestisida, dll). Ceri merah dipilih dengan cermat dan dipetik untuk memastikan kualitas terbaik, dengan minimal 95% ceri merah. Untuk mendapatkan biji kopi hijau, buah ceri dicuci (pengolahan metode basah), disortir, dihaluskan, difermentasi, direndam, dijemur, , dinilai dan disimpan. Biji kopi pada awalnya disortir dan dinilai dan kemudian disortir dengan tangan untuk memastikan kualitas biji terbaik. Produk kopi dari dataran tinggi Ngada sebagian besar berupa biji kopi hijau (sebagai bahan baku) dan hanya sebagian kecil yang berupa kopi bubuk (sebagai produk akhir). Proses roasting tidak serta merta berlangsung di area produksi.

Referensi