Filsafat alam
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Filsafat alam (dari bahasa Latin philosophia naturalis) adalah istilah yang melekat pada pengkajian alam dan semesta fisika yang pernah dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang sebagai pendahulu ilmu alam misalnya ilmu fisika.
Pada universitas-universitas yang lebih tua, Kursi-Kursi Filsafat Alam yang sudah mapan kini sebagian besar dikuasai oleh para guru besar fisika. Catatan modern ilmu pengetahuan dan ilmuwan merujuk pada abad ke-19 (Webster's Ninth New Collegiate Dictionary menuliskan bahwa asal mula kata "ilmuwan" adalah dari tahun 1834). Sebelumnya, kata "ilmu pengetahuan" sekadar berarti pengetahuan dan gelar ilmuwan belum wujud. Karya ilmiah Isaac Newton dari tahun 1687 dikenal sebagai Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica.
Filsafat alam merupakan awal dari ilmu filsafat. Disebut filsafat alam karena yang menjadi obyek pemikiran adalah mengenai kejadian alam semesta ini. Filsafat alam ada sejak zaman pra-Sokrates dengan Miletus sebagai tanah kelahiran filsafat alam. Pemikiran para filsuf alam sangat dipengaruhi oleh kehidupan dan kemahiran yang dimilikinya.
Para filsuf alam tidak tertarik membahas bagaimana segala sesuatu muncul dari ketiadaan, akan tetapi mereka lebih tertarik tentang bagaimana ikan hidup dapat muncul di air, bagaimana pohon dan bunga tumbuh dan bermekaran dari tanah yang mati. Dan bagaimana seorang bayi dapat muncul dari rahim ibunya.
Beberapa filsuf alam yang terkenal, yang percaya ada suatu zat yang menyebabkan perubahan alam.
1. Thales
Dia pernah menghitung Piramid dengan menggunakan bayangan Piramid dan meramalkan secara tepat terjadinya gerhana matahari. Thales beranggapan semua kehidupan bersumber dari air. Prestasi besar thales di tandai dengan sejumlah karya nya yaitu berhasil meramalkan gerhana matahari pada tanggal 28 mei 585 s.M. Ia dapat menemukan cara untuk mengukur tinggi piramida dan jarak kapal di laut. Dan dapat menerangkan teori tentang banjir tahunan di Mesir.
2. Anaximandros
Anaximandros juga mencari prinsip yang dapat memberikan pengertian mengenai kejadian di alam ini, tetapi dia tidak memilih salah satu anasir yang bisa diamati pancaindera. Meskipun Anaximandros merupakan murid Thales, namun ia menjadi terkenal justru karena mengkritik pandangan gurunya mengenai air sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Menurutnya, bila air merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak ada lagi zat yang berlawanan dengannya. Namun kenyataannya, air dan api saling berlawanan sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Karena itu, Anaximandros berpendapat bahwa tidak mungkin mencari prinsip dasar tersebut dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih mendalam dan tidak dapat diamati oleh pancaindera. Anaximandros mengatakan bahwa prinsip dasar segala sesuatu adalah to apeiron.[13] “Apeiron” itu tidak dapat di rupakan tidak ada yang menyamainya di dunia ini. Karena segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindera kita, adalah barang yang mempunyai akhir.
3. Anaximenes
Dia beranggapan segala sesuatu bersumber dari udara atau uap. Tentu saja ia menentang perkataan dari Thales yang mengatakan segala sesuatu bersumber dari air. Anaximenes beranggapan, air adalah udara yang dipadatkan; dikenal dengan hujan. Adalah api dari udara yang dijernihkan. Anaximenes beranggapan bahwa tanah, air, dan api adalah penghidupan. Tapi segala sesuatu penghidupan bersumber dari udara. Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes menggunakan pengalaman bahwa udara yang meliputi dunia ini menjadi sebab segala yang hidup. Kalau tak ada udara, tak akan terjadi yang lahir ini dengan beberapa macam dan ragamnya. Anaximenes juga menulis suatu buku, dan dari buku itu hanya satu fragmen yang di simpan.
4. Democritus,
Dia beranggapan, bahwa segala sesuatu bersumber dari partikel-partikel kecil, yang disebut atom. Democritus juga menekankan bahwa atom yang dia maksud tidak dapat dibagi-bagi sekecil-kecilnya, yang dimana anggapan Anaxogoras. Democritus mengartikan partikel-partikel atau atomnya adalah kekal, abadi, dan tidak dapat di bagi-bagi. Adalah hal mustahil menyatukan jika atom itu sendiri dapat dibagi sekecil-kecilnya. Ia percaya bahwa alam terdiri dari atom-atom yang jumlahnya beraneka ragam dan jumlahnya tak terhingga. Kini kita dapat menyatakan bahwa teori atom milik Democritus kurang lebih benar. Alam memang tersusun dari atom-atom yang menyatu dan kemudian terpisah lagi.