Kakawin Bhomântaka
Kakawin Bhomântaka atau juga disebut sebagai Kakawin Bhomakawya adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuno, panjangnya mencapai 1.492 bait. Isinya ialah kisah cerita peperangan antara Prabu Kresna dan sang raksasa Bhoma.[1]
Kakawin Bhomântaka | |
---|---|
Jenis | Prasi |
Tarikh | 1963 |
Bahasa(-bahasa) | Kawi |
Juru(-juru) tulis | Anak Agung Gde Alit Geria |
Ukuran | 21 cm x cm |
Aksara | Aksara Bali |
Halaman | 88 |
Masuk Koleksi pada | Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat |
Masa penulisan dan penggubah syair
Kakawin Bhomakawya ditulis oleh Mpu Panuluh dari zaman Kerajaan Kadiri yang menggubah kisah Bhomakawya, ia mempersembahkan Kakawin ciptaannya kepada Rsi Narada. Apapun mungkin terjadi, tampaknya pasti bahwa Bhomakawya telah lama menghilang dari percaturan sastra di tanah Jawa yang sampai kepada kita saat ini. Meskipun di tanah asalnya karya sastra ini telah lama menghilang, namun di Bali semua naskahnya masih ada dan bertahan menghadapi perjalanan waktu, dan memberikan kesaksian yang terang benderang tentang kenyataan bahwa para penyalin Bali dari generasi ke generasi terus menerus menyalin kembali puisi ini di seluruh pulau Bali. Menurut P.J. Zoetmulder (1974) dapat diketahui bahwa kakawin ini merupakan kakawin terpanjang yang berasal dari Jawa Timur dan kemungkinan bisa dijajarkan dengan kakawin Arjunawiwāha untuk masa penggubahan.
Mengenai nama kakawin
Friedrich, sang pakar sastra Jawa Kuno dari Prusia yang menerbitkan kakawin ini untuk pertama kalinya pada tahun 1852, menyebutnya sebagai kakawin Bhomakāwya. Nama ini memang disebut pada bait ketiga pupuh pertama kakawin ini.. Namun pada kolofon-kolofon naskah-naskah manuskrip nama yang disebutkan adalah Bhomântaka. Selain itu di tradisi Jawa dan Bali nama yang dikenal adalah Bhomântaka pula sehingga para pakar seperti Teeuw (1946, 2005), Zoetmulder (1974), dan Robson (2005) akhirnya menggunakan nama Bhomântaka pula.
Ringkasan
Di bawah ini ringkasan kisah yang terkandung dalam kakawin Bhomântaka disajikan. Ringkasan dibagi menurut adegan yang termuat.
Pembukaan 1-2
Kakawin dimulai dengan manggala sang penyair. Prabu Kresna dan saudaranya; Baladewa diperkenalkan. Lukisan ibu kota Dwārawati diberikan; sebuah adegan audiensi dan datangnya tamu dari sorga dilukiskan, di mana mereka meminta perlindungan dari Naraka, sang raksasa.
Diceritakanlah bagaima sang Naraka dilahirkan sebagai putra batara Wisnu dan batari Pertiwi, oleh karena itu Naraka memiliki nama Bhoma. Bhoma artinya adalah “Putra Bumi”. Lalu ia menjadi raja dan batara Brahma bertitah bahwa ia akan memerintah tiga dunia. Kresna memutuskan bahwa Samba, putra tertuanya akan dikirimkan untuk melindungi para tapa di Himālaya. Kresna mengajarkan Sāmba kewajiban atau dharmanya sebagai seorang anak lelaki.
Kepergian Samba 3-13
Sāmba bertemu dengan ibunya Jambawatī dan lalu berangkat dari istana. Sang raja memberinya wejangan mengenai dharma seorang ksatria; lalu iapun dan pengikutnya berangkat ke daerah pedesaan.
Lalu lukisan daerah pedesaan diberikan; mereka bermalam di sebuah pertapaan dan diterima di sana. Para balatentara bercakap-cakap dan bercengkerama. Pertapaan dan daerah pedesaan sampai gunung Himalaya dilukiskan lebih lanjut.
Pertapaan-pertapaan yang dirusak oleh bala Naraka dilukiskan; para raksasa mencium keberadaan mereka dan menyerang pada malam hari. Terjadilah pertempuran sengit; kaum raksasa berhasil dipukul mundur.
Samba lalu berlawat pada sebuah pertapaan terpencil dan bercengkerama di sana. Sebuah pertapaan dilukiskan. Sisa-sisa kaum raksasa menyerang kembali; mereka berhasil dipukul mundur oleh para tapa dan Samba. Perjalanan lalu dilanjutkan ke tempat larangan Wiśwamitra; Sāmba disambut di sana.
Dharmadewa dan Yajñawatī 14-29
Seorang siswa Wiśwamitra, Guņadewa, menceritakan tentang komunitas di pegunungan, termasuk yang sekarang telah ditinggalkan dan sebelumnya dihuni oleh putra batara Wisnu, Dharmadewa yang merupakan kekasih Yajñawatī.
Sāmba teringat bahwa ia pernah terlahirkan sebagai Dharmadewa dan bagaimana ia meninggalkan Yajñawatī. Ia lalu berusaha keras untuk menemukannya, dan Guņadewa memberinya pelajaran akan anitya. Semetara itu Tilottamā, seorang bidadari datang. Sāmba mengenalnya sebagai dayang Yajñawatī.
Tilottamā memberi tahu bahwa Yajñawatī telah lahir kembali sebagai seorang putri, tetapi sekarang ia dicekal oleh Naraka. Tilottamā tahu ia dicekal di mana dan berjanji akan mengantar Sāmba.
Lalu kecantikan sang putri diperikan; Saharşā berkata bahwa ia sudah datang. Sang putri lalu menyiapkan diri.
Sāmba dan Tillottamā datang; Tilottamā yang pertama masuk dan mendatangi sang putri yang mengharapkan kekasihnya. Sāmba masuk, tetapi sang putri kelihatannya enggan menjumpainya.
Sāmba berusaha keras untuk melayu sang putri dan mengingatkan bahwa mereka pada kehidupan sebelumnya merupakan kekasih. Mereka dipersatukan. Tilottamā merasa cemas, tetapi Sāmba berkata bahwa ia ingin memerangi para raksasa. Para dayang-dayang masuk dan melihat pasangan ini sedang bermain cinta.
Dāruki, seorang kusir, masuk dan memperingatkan pangeran Sāmba bahwa mereka dalam keadaan bahaya: para raksasa telah datang. Sāmba meninggalkan sang putri dan pertempuran mulai.
Sang putri dibawa ke istana Bhoma 30-43
Para wanita menjadi panik dan para dayang-dayang lalu mengungsikan sang putri ke istana Bhoma, Prāgjyotişa. Para raksasa terusir kembali, dan Sāmba lalu mencari kekasihnya lagi.
Ia berusaha mengejarnya, tetapi dihalangi oleh Nārada dan menyuruhnya untuk pulang. Pada perjalanan pulang, ia berjumpa dengan Tilottamā dan meminta untuk menyampaikan rasa rindunya kepada sang putri.
Sang pangeran kembali, tetapi Krĕsna mencemaskannya. Dāruki berusaha memberi tahu apakah yang telah terjadi. Prabu Citraratha diterima di balai audiensi, dikirim oleh Indra, karena para Dewata terdesak berperang melawan Naraka.
Sang raja berjanji akan memberikan bantuan dan meminta saran Uddhawa kebijakan apa yang harus diambil. Uddhawa memberi jawaban dengan bicara panjang lebar mengenai kewajiban seorang raja dan bagaimana harus memerangi para raksasa.
Maka sang prabu memberi perintah untuk bersiap. Dalam waktu tiga hari balatentara Yadu berangkat. Mereka mencapai lereng Himālaya dan membuat sebuah perkemahan di luar pemukiman musuh. Yajñawatī mendengar bagaimana Sāmba telah datang dan mengirimkan Puşpawatī dengan sebuah pesan.
Pernyataan cinta Yajñawati 41-43
Yajñawatī lalu bercerita akan cinta sang putri dan meminta Sāmba untuk mengambilnya. Hari selanjutnya kaum Yadu menyerang; sesudah sebuah pertempuran sengit, para raksasa melarikan diri.
Si raksasa Mura menyerang kembali, tetapi dibunuh dan kaum Yadu memasuki istana. Sāmba hadir dan menemukan Yajñawatī; kaum Yadu lalu pergi.
Sāmba berhasil melarikan Yajñawatī 44-49
Kaum Yadu sungguh lelah dan mereka berkemah untuk bermalam di daerah Magadha. Prabu Jarāsandha mendengar dan menyerang dibantu oleh selimut kegelapan. Sāmba terluka namun bisa melarikan diri dengan sang putri di dalam keretanya; setelah jauh roda kereta patah. Sang pangeran lalu jatuh terpingsan.
Yajñawatī menangis; seorang biku lewat dan merasa iba. Ia merasa kasihan atas keduanya dan memandikan sang pangeran dengan air yang dibawa sebagai bekal.
Sang pangeran siuman dan diurusi di dalam pertapaan. Sāmba bermimpi bahwa Batara Wisnu memberinya jiwa-Nya. Dāruki datang dan bercerita apa yang terjadi terhadapnya, lalu Sāmba kembali ke Dwārawatī dengan Yajñawatī.
Prabu Druma 50-72
Prabu Druma telah terusir dari negerinya dan sekarang meminta perlindungan Krĕsna. Druma berbicara dengan sebuah dewan penghulu dan Basudewa memberikan sokongannya yang lalu diterimanya. Ia lalu menjelaskan siapa saja yang berada di sisi Bhoma.
Kaum Yadu menyatakan dukungan mereka dan lalu pergi bercengkerama di gunung Rewataka.
Seorang gadis, bernama Kokajā, jatuh cinta dan bercerita kepada sahabatnya bahwa ia menggandrungi putra Prabu Druma, Suratha. Lalu sahabatnya pergi mencarinya..
Isi sebuah surat cinta dilukiskan. Selain itu ada pula lukisan alam. Para selir membicarakan kewajiban mereka.
Kaum Yadu bercengkerama di gunung Rewataka dan kembali ke negeri.
Pernyataan perang Bhoma 73-84
Bhoma sungguh murka atas apa yang terjadi dan kembali dari sorga. Ia bercerita kepada Mahodara bahwa ia berencana untuk memerangi Dwārawatī. Ia dibantu oleh Cedi, Awangga, Magadha, dan Kalingga. Bhoma bermusyawarah harus mengambil kebijakan apa. Ia lalu mengirimkan Śatruntapa dan sebagai duta ke Krĕsna untuk mencari tahu apakah ia ingin menyerah atau berperang.
Para duta datang dan diterima. Śatruntapa berbicara kepada Baladewa dan Kresna, menyampaikan pesan Bhoma. Gada menjawab dan menyangkal semua argumennya. Āhuka (Ugrasena) berbicara dengan damai. Śatruntapa murka dan Mahodara berbicara, diikuti oleh Wabhru. Mereka saling menghina dan para duta pergi menuju sang Bhoma.
Bhoma menyatakan perang dan mengambil posisi di gunung Rewataka dengan bala tentara raksasanya. Kaum Yadu dan sekutu mereka berkumpul dan mendiskusikan rencana yang harus mereka ambil. Kresna memberikan perintahnya dan para hulubalang telah siap. Malam itu sebuah pesta diberikan.
Keesokan harinya, pagi-pagi Prabu Kresna didatangi oleh Dewi Ganggā yang telah dikirim oleh para Dewata untuk membawa air dan memandikannya. Kresna lalu berangkat dengan para putranya.
Bala tentara yang telah berkumpul kelihatan. Tiba-tiba sang resi Durwaśa datang untuk menjumpai Kresna, dan memintanya untuk menyiapkan makanan untuknya. Kresna lalu pergi dan menyerahkan kepemimpinan kepada Arjuna dan Rukma.
Perang di Rewataka 85-113
Ketika melihat gunung Rewataka, kedua bala tentara berjumpa. Bhoma memerintahkan Cedi, Karna dan Magadha untuk menantang kaum Yadu. Bhoma memiliki tentara berjumlah lima divisi sedangkan kaum Yadu memiliki tiga.
Para prajurit Bhoma menyerang bala tentara Prabu Bāhlika; bala tentara Cedi menyerang Prabu Drupada; Somadatta bertanding dengan Karna; Windu dan Anuwinda dengan Yawana. Kegelapan menimpa medan pertempuran.
Pertempuran sengit berlangsung. Maka Suratha terluka parah dan tewas. Prabu Śiśupāla (Cedi) tewas. Karna tewas dibunuh Sāmba. Hiraņya terbunuh. Prabu Magadha yang maju tewas dibunuh Gada. Para raksasa ditahan oleh kaum Yadu.
Rukma dibunuh oleh Mahodara; Sāmba dan Dāruki dibunuh oleh Bhoma. Arjuna dan Bhoma bertanding; Arjuna sekarat sementara Bhoma bisa sadar.
Kresna segera diberi tahu yang lalu datang dengan sang Baladewa untuk memerangi para raksasa.
Dāruki bercerita kepada Krĕsna mengenai rahasia bunga Wijaya Bhoma.
Arjuna akhirnya tewas. Sang resi Durwaśa datang dan memberi anugerah untuk mengembalikan seorang yang telah tewas; Kresna memilih Prabu Druma. Durwaśa memberikan ajaran kepada Krĕsna dan menghilang. Pertempuran sementara tetap berlangsung. Nisunda dan Pañcajana tewas. Hayagrīwa dan Tāra juga tewas.
Bhoma dan Kresna berperang; kereta Maņipuşpaka dihancurkan. Kresna mengambil wujudnya sebagai Wisnu, diiringi oleh Garuda, wahananya yang merebut bunga. Bhoma dibunuh oleh Kresna.
Para raksasa melarikan diri. Baladewa menemukan sebuah gunung permata di angkasa dan mengambilnya. Brahmā datang dan memberikan sembah kepada Kresna sebagai raja utama.
Dewa-dewa lain datang dan Wisnu memberi ajaran mereka atas dharma atau kewajiban masing-masing. Batara Śakra (Indra) memberi anugerah, sehingga Krĕsna meminta supaya semua raja yang telah tewas dan kaum Yadu dihidupkan kembali, dan tidak melupakan musuh-musuhnya Cedi, Karna dan Jarāsandha.
Setelah dihidupkan kembali, mereka mengira perang masih berlangsung; Kresna meladeni mantan musuh-musuhnya.
Perang berakhir 114-118
Kresna berpulang ke Dwārawatī dan asmanya yang termasyhur dikenal kembali.
Para ksatria diberi penghargaan dan hadiah. Para pangeran diberi anugerah pula; Sāmba juga diberi hadiah dan Suratha diberi seorang tuan putri untuk diperistri. Keberanian Kresna dikenal seluruh dunia. Ia lalu bersanggama dengan empat putri pada waktu yang bersamaan sebagai Wisnu. Semua kasta melaksanakan kewajiban mereka.
Ajaran anitya
Kakawin Bhomântaka sarat dengan ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama Hindu dan Buddha. Salah satu ajaran yang dibahas dalam kakawin ini dan akan dibahas lebih lanjut adalah suatu uraian mengenai "anitya" atau sering kali diterjemahkan dengan “ketidakkekalan” atau “fana” dalam bahasa Indonesia (Inggris impermanence). Ajaran ini terdapat pada pupuh 17 di mana sang Gunadewa yang merupakan seorang putra pertapa mengajari sang Sāmba. Di bawah diberikan kutipan pupuh ini dalam bahasa Jawa Kuno beserta terjemahannya.
sihika sināhaken ing pati kalawan inaknya winas.t.a kabèh || cinta dikalahkan oleh kematian dan semua kenikmatannya hilangTeks Jawa Kuno | Alihbahasa |
---|---|
5. munisuta marma temen sira ri lara narèndrasutângaça | Putra sang pertama terharu atas rasa masygul sang pangeran yang besar |
irika matangguh ujar t-adiwasa bapa denta wimūrcha dahat | lalu iapun mengajarinya dan berkata: “Janganlah terlalu bersedih hati bapak. |
purih ikanang dadi duhkha gatinika matangnyan ade hid.epen | sebab duka memang bagian dari kehidupan oleh karena itu janganlah dipikirkan |
lilang i manah nrepaputra panguşadha sang ārya rikang prihatin | hati yang bebas dari hasrat oh sang pangeran itulah obat sakit hati seorang bangsawan. |
6. hana laki tatwanikang dadi ginaway anitya dadinya kabèh | Wahai anakku, intisari kehidupan ialah bahwa semuanya adalah tidak kekal (anitya) |
anili-anilih wişaya ng manemu sukha bhinukti mawèh prihati | jika seseorang tetap mengambil kenikmatan indria sebagai tujuannya, maka hal yang telah dinikmati akan membawa kesedihan |
prawalanikā sang angenak-inaki ng anilih sukha mogha jenek | tanda seseorang yang secara tenang menerima pengalaman sukacita ialah bahwa ia melakukannya dengan santai |
sang anemu bhoga ta yan wruha ta sira pinan.d.ita yogya tirun | ia yang menikmati kesenangan mengetahui hal ini, maka ia adalah pandai dan patut ditiru |
7. lawan ikahen ing wwang akuren apasah ta wasānanikā | sedangkan hasil orang menikah ialah akhirnya berpisah |
kunang ikanang kari mogha karaketan i ramyaniki n kabharan | tetapi yang ditinggalkan bagaimanapun rekat dengan keindahannya dan kewalahan |
ikang alarê tekaning pati niyata turung wruh ikān mangaji | yang tetap bersedih hati sampai mati, jelas belum mengerti pelajaran secara penuh.” |
Suntingan teks
Kakawin Bhomântaka pertama kali diterbitkan oleh sang pakar sastra Jawa Kuno dari Prusia, Friedrich pada tahun 1852 menggunakan aksara Jawa. Namun terjemahan pertama, dalam bahasa Belanda, baru muncul pada tahun 1946 dan digarap oleh Teeuw. Lalu hampir 60 tahun kemudian, Teeuw bersama Robson menyajikan terjemahan dalam bahasa Inggris.
Referensi
- ^ olih Dr. Anak Agung Gde Alit Geria, M. Si (2017). Bhomakawya : lontar prasi, teks, dan terjemahan. Surabaya. ISBN 978-602-204-615-8. OCLC 1012658140.
Daftar pustaka
- Poerbatjaraka dan Tardjan Hadiwidjaja, 1952, Kepustakaan Djawa. Amsterdam/Djakarta: Djambatan
- A. Teeuw, 1946, Bhomakâwya.
- A. Teeuw dan S.O. Robson, 2005, Bhomântaka. Leiden: KITLV
- P.J. Zoetmulder, 1974, Kalangwan. A Survey of Old Javanese literature. The Hague:Martinus Nijhoff