Puteri Junjung Buih
|jmpl|ka|Ilustrasi sosok Putri Mayang Sari dalam sebuah lukisan.]] Puteri Junjung Buih atau Poetrie Djoendjoeng Boeih atau Poetri Djoendjoeng Boewih merupakan seorang Puteri Raja dari Kerajaan Negara Dipa yang termuat dalam Hikayat Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan sehingga banyak kerajaan-kerajaan Banjar biasanya mengaku masih berkaitan dengan keturunan puteri Junjung Buih.
Di ceritakan Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Ngabehi Hileer[1] dan menjadi saudara angkat Patih Lambung Mangkurat yang dipertemukan ketika melakukan kegiatan "balampah" (bahasa Banjar: bertapa) sebagai wanita dewasa dari dalam kumpulan buih di sungai.
Raja kemudian menikahkan Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang anak mereka yaitu Pangeran Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin, puteri dari Lambung Mangkurat (unsur pendiri negeri). Kemudian, mereka berdua yang menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan Kepangeranan Kotawaringin.[2][3][4]
Legenda
Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan Selatan mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih.[5]
Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih/Putri Junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara ke-1.
Drg Marthin Bayer mengemukakan bahwa Puteri Junjung Buih sama dengan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun yang dikenal dalam masyarakat Dayak. Puteri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (tahun 1524), adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).
Dalam Perang Banjar, salah seorang puteri dari Panembahan Muda Aling yang bernama Saranti diberi gelar Poetri Djoendjoeng Boewih.[6]
Pranala luar
- (Indonesia) Transformasi dan Rekayasa Budaya di Banua Banjar Dalam Perspektif Sejarah
- Cerita Rakyat Putri Junjung Buih
- http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/perkawinan-agung-suryanata-maharaja-negara-dipa-9.html Diarsipkan 2014-05-14 di Wayback Machine.
- http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/makam-pangeran-suryanata-di-cina.html Diarsipkan 2014-05-14 di Wayback Machine.
- http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/tunjung-buih-raja-puteri-negara-dipa-4.html Diarsipkan 2014-05-14 di Wayback Machine.
- http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/siapa-putri-junjung-buih.html Diarsipkan 2014-05-21 di Wayback Machine.
Catatan kaki
- ^ Poetri Djoendjoeng Boewih (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1866). Notulen van de Directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. 148.
- ^ Poetri Djoendjoeng Boeih (Belanda) (1860)Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. 94.
- ^ Poetri Djoendjoeng Boeih (Belanda) (1867)De tijdspiegel. Fuhri. hlm. 152.
- ^ Putri Junjung Buih (Inggris) R. Soekmono (1995). The Javanese Candi: function and meaning. Volume 17. Studies in Asian art and archaeology. BRILL. hlm. 19. ISBN 9004102159.ISBN 978-90-04-10215-6
- ^ Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1862). "Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde". 11. Lange & Co.: 2.
- ^ Poetri Djoendjoeng Boewih (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 44.