Periode kolonial

Perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda

Setelah Perjanjian Inggris-Belanda pada tanggal 13 Agustus 1814 di London dan berakhirnya peperangan Napoleon, Belanda secara perlahan-lahan mengambil kembali koloninya satu per satu. Pada tanggal 28 Agustus, Belanda membentuk angkatan militer untuk Hindia Belanda yang bernama Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).[1] Pada tahun 1916, Belanda berhasil mengambil alih seluruh koloni milik Belanda seperti sebelum peperangan Napoleon pecah. Setelah itu, Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yaitu badan yang mengatur pengambilalihan wilayah Hindia Belanda, merestrukturisasi pemerintahan di Hindia Belanda dan membentuk Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) yang kemudian mengatur struktur pemerintahan Hindia Belanda selama beberapa dekade ke depan.[2] Peraturan ini menyiratkan pandangan politik yang disebut Pax Nederlandica, yaitu upaya Belanda untuk menguasai dan menduduki wilayah Nusantara dengan praktik kolonisasi yang lebih keras dan pembagian masyarakat ke dalam sistem kasta.[3] Sesuai pandangan tersebut, Belanda mulai mengerahkan KNIL ke wilayah-wilayah lain di Nusantara untuk memperluas wilayah Hindia Belanda.

 
Ilustrasi Sultan Mahmud Badaruddin II.

Ekspansi koloni ke luar Pulau Jawa yang dilakukan oleh Belanda tentu saja mendapat perlawanan penduduk setempat yang diserang oleh armada Belanda.[4] Misalnya, pemberontakan yang dilancarkan oleh rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Pattimura mulai pada bulan Mei 1817 terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat kecil. Pemberontakan tersebut berakhir dengan ditangkapnya Pattimura dan beberapa tokoh pejuang lainnya, yang kemudian dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.[5] Lalu pada tahun 1819, Belanda melakukan ekspedisi untuk menguasai negara Palembang, yang disebut Perang Menteng, tetapi dikalahkan oleh pasukan Palembang yang dipimpin oleh Mahmud Badaruddin II, Sultan Palembang saat itu. Kemudian dua tahun setelahnya, Belanda kembali melakukan penyerangan ke Palembang, tetapi kali ini dengan taktik serangan tiba-tiba. Taktik tersebut berhasil mengecoh pasukan Palembang, sehingga Palembang akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh pasukan KNIL. Badaruddin dan keluarganya ditangkap lalu diasingkan ke Ternate, sementara negara Palembang resmi dihapuskan.[6]

Konflik di negeri suku Minangkabau, khususnya di negara Pagaruyung, antara kaum Padri (pendukung penegakan syariat Islam dalam tatanan adat Minangkabau) dan kaum Adat (pendukung adat dan tradisi murni Minangkabau) akhirnya memicu pecahnya Perang Padri yang pecah pada tahun 1803. Setelah Pagaruyung direbut oleh kaum Padri pada tahun 1815, kaum Adat yang terdesak kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang saat itu baru selesai menstabilkan pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, dan akhirnya membuat suatu kesepakatan dengan pihak Belanda. Belanda mulai ikut ambil bagian dalam pertempuran sejak tahun 1821. Perlawanan kaum Adat bersama pasukan KNIL itu sempat mengalami kekalahan akhirnya melakukan gencatan senjata dengan pihak kaum Padri pada tahun 1825, setelah Belanda yang terpecah karena meletusnya Perang Diponegoro.[7][4]

 
Pembagian Kesultanan Johor-Lingga menjadi koloni Britania (Johor, Pahang, Singapura) dan Belanda (Riau-Lingga, Indragiri)

Sementara itu, ekspansi yang dilakukan oleh Belanda juga mendapat perlawanan dari sesama bangsa Eropa, yaitu armada pasukan dari bangsa Inggris yang juga telah mengklaim beberapa wilayah di Nusantara. Perselisihan tersebut diawali dengan pembentukan Singapura sebagai tempat bermarkasnya pasukan Britania, yang ditentang oleh Belanda pada tahun 1819. Oleh karena didesak oleh para pedagang yang menginginkan kejelasan batas wilayah kolonial di Timur Jauh, pihak Belanda dan pihak Britania akhirnya mulai melakukan perundingan pada tanggal 20 Juli 1820. Meskipun begitu, perundingan kemudian ditunda pada tanggal 5 Agustus 1820. Perundingan dilanjutkan pada tanggal 15 Desember 1823, hingga akhirnya perundingan tersebut menghasilkan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824, juga di London. Secara garis besar, perjanjian ini menyebutkan bahwa Belanda akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di Semenanjung Malaka, Singapura, dan Anak Benua India kepada Britania Raya, tetapi sebaliknya, Britania Raya akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di Pulau Sumatra, Riau-Lingga (sekarang Kepulauan Riau), dan Banka-Biliton (sekarang Kepulauan Bangka Belitung) kepada Belanda.[2] Perjanjian tersebut secara tegas membagi wilayah kolonial di Nusantara menjadi Malaya Britania (diteruskan oleh Malaysia dan Singapura) dan Hindia Belanda (diteruskan oleh Indonesia). Perjanjian tersebut diratifikasi oleh Britania Raya pada tanggal 30 April 1824 dan oleh Belanda pada 2 Juni 1824. Kedua belah pihak kemudian bertemu kembali di London pada tanggal 8 Juni 1824 untuk saling menukarkan dokumen hasil ratifikasi.[2]

Selama perundingan tersebut, Belanda tetap melakukan misi kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Pada tahun 1823, pemberontakan di Pulau Kalimantan bagian barat oleh orang-orang Tionghoa, karena berselisih paham dengan pemerintah kolonial, berhasil diredam oleh KNIL.[8] Pada tahun 1824, pasukan KNIL yang dipimpin oleh Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen melawat ke negara Bone, yang sebelumnya melakukan hubungan kerja saja dengan Belanda setelah Perjanjian Bungaya, untuk merundingkan pembaruan pengakuan perjajian tersebut dengan pihak Bone. Namun, Bone ternyata ingin tidak ingin lagi melakukan kerja sama dengan pihak Belanda. Belanda yang tidak terima kemudian mengerahkan pasukan KNIL untuk menduduki Sulawesi, tetapi mereka mengalami kekalahan karena kekurangan pasukan, dan bahkan beberapa pos Belanda direbut oleh pasukan Bone. Pada tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan sejumlah besar pasukan beserta beberapa artileri untuk menangkap keluarga kerajaan Bone. Namun, sultan Bone dan pembesar-pembesarnya ternyata telah meninggalkan istana dan mengungsi ke pedalaman. Akibat peperangan yang pecah di Jawa dan Sumatra, pasukan pengejar dari KNIL terpaksa ditarik untuk menyelesaikan pertempuran.[9] Pasukan KNIL kembali dikerahkan setelah Perang Padri selesai pada tahun 1838, dan pada tahun yang sama, pihak Bone akhirnya menyerah dan bersedia mengakui kembali Perjanjian Bungaya.[10]

 
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, oleh Raden Saleh.

Di Jawa, pemerintah kolonial Belanda merencanakan pembangunan jalan di sekitar Yogyakarta pada bulan Mei 1825, dengan memasang patok-patok di setiap tanah yang akan dibangun jalan tersebut. Namun, jalan tersebut ternyata melewati lahan makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro yang marah karena keputusan sepihak Belanda, ditambah faktor-foktor lain seperti penindasan sewenang-wenang Belanda terhadap rakyat Jawa dan ikut campur Belanda dalam keluarga keraton, membuatnya mengerahkan pasukan dari rakyat jelata dan beberapa bangsawan yang simpatik untuk memberontak melawan Belanda dan Yogyakarta.[11] Awalnya, mereka menggunakan strategi gerilya yang berhasil mengecoh tentara KNIL. Sayangnya, pemerintah Belanda yang mulai menganggap serius perlawanan pasukan Diponegoro kemudian mengerahkan pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang berhasil melumpuhkan dan memukul mundur pasukan Diponegoro.[12] Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, pasukan KNIL di bawah komando Hendrik Merkus de Kock berhasil menjepit Diponegoro dan membuatnya menyerah. Hampir seluruh penguasa lokal di Jawa tunduk menyerah pada Belanda, sementara Diponegoro yang ditangkap kemudian diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar.[11]

 
Lukisan pertempuran Perang Padri.

Setelah Belanda menyelesaikan perang di Jawa tersebut, Belanda kembali melanjutkan Perang Padri di tanah Minangkabau pada tahun 1931, dengan memulai operasi militer melawan kaum Padri. Semua berjalan sesuai rencana, hingga kaum Adat, yang tanpa disadari oleh pihak Belanda, mulai bersekongkol dengan pihak kaum Padri dan berkhianat kepada Belanda pada tahun 1933, dengan menyerang beberapa kubu pertahanan dan garnisun Belanda.[13] Melihat hal ini, Belanda mulai menyadari bahwa mereka bukan hanya harus menghadapi kaum Padri, tetapi menghadapi orang Minangkabau secara keseluruhan. Sejak saat itu, Belanda mulai berusaha untuk menarik hati penduduk-penduduk sekitar sembari tetap menyerang pos-pos milik kaum Padri.[7][4] Setelah pertempuran demi pertempuran yang berkepanjangan, Perang Padri akhirnya berakhir pada tanggal 28 Desember 1838,[14] setelah seluruh benteng milik kaum Padri jatuh ke tangan Belanda dan negara Pagaruyung runtuh. Wilayah bekas kerajaan tersebut diserap ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda.[15]

 
Johannes van den Bosch, pencetus Cultuurstelsel. Lukisan oleh Raden Saleh.

Setelah peperangan dan ekspedisi yang dilakukan oleh KNIL, Hindia Belanda telah mencakup sebagian besar Pulau Jawa, pantai barat Sumatra, Pulau Sumatra bagian selatan, Pulau Bangka dan Pulau Belitung, Makassar dan sekitarnya, bagian ujung utara Pulau Sulawesi, Maluku bagian tengah, dan Kupang. Namun akibatnya, keuangan Belanda semakin menjadi carut-marut dan nyaris di ambang kebangkrutan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat pada saat itu, yaitu Johannes van den Bosch, mengeluarkan kebijakan yang disebut Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pada tahun 1830, yang pada intinya mengharuskan pribumi (inlander) memberikan 20% tanah pertanian untuk ditanami tanaman komoditas ekspor Belanda, atau memaksa petani untuk bekerja di tanah pertanian milik pemerintah selama 60 hari per tahun.[16] Kebijakan tersebut terbukti berhasil menstabilkan kas pemerintah kolonial Belanda dan memajukan jumlah ekspor Hindia Belanda ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan ekspor masa VOC, sehingga Belanda terlepas dari jeratan kebangkrutan dan bahkan mampu membayar lunas utang-utang yang tersisa setelah VOC bangkrut. Walaupun demikian, kebijakan tersebut justru membuat keadaan penduduk lokal di Hindia Belanda semakin lama semakin terpuruk, hingga bencana kelaparan hebat dan wabah penyakit bermunculan pada tahun 1840-an.[17] Perlawanan dari rakyat kecil dan bahkan dari para pedagang yang menginginkan sistem pasar bebas akhirnya menghilangkan kebijakan ini pada tahun 1870-an.

Sementara kebijakan Cultuurstelsel diberlakukan, Belanda juga masih tetap melakukan ekspedisi dan penyerangan ke wilayah-wilayah luar Jawa untuk memperluas cakupan wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1831, Belanda mulai mengirimkan pasukan KNIL untuk menyerang wilayah pesisir bagian barat di Sumatra, sebagai respons dari kenekatan orang-orang Aceh yang menduduki pos-pos milik Belanda di wilayah tersebut.[18] Setahun kemudian, Amerika Serikat (AS) juga mengirimkan pasukan ke Aceh, terutama daerah Kuala Batee, untuk membantu pasukan KNIL, karena merasa dirugikan setelah penduduk Kuala Batee merompak kapal Friendship milik AS dan membantai anak buah kapal tersebut.[19] Pertempuran berhenti setelah orang-orang Aceh menyerah.

Akibat kebijakan Cultuurstelsel, rakyat Batipuh yang dihasut oleh oleh Datuk Pamuncak kemudian melakukan pemberontakan terhadap Belanda, yang dimulai pada tanggal 22 Februari 1841. Pemberontakan tersebut menyulut pemberontakan lain di seputar daerah suku Minangkabau, hingga ke kawasan Fort de Kock (sekarang di Bukittinggi) dan Fort Van der Capellen (sekarang di Batusangkar). Dalam pemberontakan tersebut, beberapa tentara KNIL dari kalangan Belanda dan pribumi tewas.[20] Pemberontakan berhasil diredam seminggu setelahnya oleh Andreas Victor Michiels. Setelah pemberontakan tersebut, penduduk Batipuh dihukum kerja paksa.[21]

 
Pasukan Bali melawan pasukan KNIL di Kusamba. Ilustrasi dari Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch Leger oleh G. L. Kepper (1902).

Pada tahun 1846, Hindia Belanda mengerahkan pasukan KNIL ke negara Buleleng di Bali utara untuk menguasai daerah tersebut, dengan dalih bahwa pihak Buleleng tidak mengindahkan kerja sama dengan pihak Belanda dan bahwa pihak Belanda menentang hak tawan karang milik raja-raja Bali, yaitu hak merampas kapal yang karam di wilayah Bali beserta muatannya, yang dianggap melanggar hukum internasional. Belanda mulai menguasai wilayah Buleleng dan Karangasem dengan kekuatan militer, hingga akhirnya tentara KNIL menduduki Singaraja, ibu kota Buleleng pada awal tahun 1848. Orang Bali utara bersedia untuk menandatangani perjanjian dan membiarkan Belanda mendirikan markas di Buleleng.[22] Namun, setelah KNIL kembali ke Jawa, orang Bali melanggar perjanjian tersebut dan bahkan melakukan penyerangan di bawah komando I Gusti Ketut Jelantik, seorang patih Buleleng. Pasukan KNIL kembali dikerahkan untuk menumpas pemberontakan pada pertengahan tahun 1848, tetapi pasukan Buleleng, yang berpindah markas ke Jagaraga setelah pasukan KNIL berlabuh di Bali, kali ini berhasil mengalahkan dan mengusir tentara KNIL.[22] Belanda yang tidak terima kemudian mengirimkan armada dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar di bawah komando Andreas Victor Michiels. Kali ini, mereka memilih menyerang melalui gabungan jalur laut dan darat. Buleleng yang dengan cepat dikuasai oleh tentara KNIL membuat sejumlah orang Buleleng melakukan ritual bunuh diri massal (puputan), yang saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Jagaraga.[22] Sisa pasukan Buleleng kemudian melarikan diri ke negara-negara lain, salah satunya Karangasem. Namun, wilayah Karangasem akhirnya juga dikuasai dengan mudah berkat bantuan dari pasukan dari orang-orang dari Pulau Lombok, yang bermusuhan dengan Karangasem. Dalam penyerangan ke Karangasem, Jelantik beserta I Gusti Ngurah Made Karangasem, raja Buleleng saat itu, gugur dalam pertempuran, sementara I Gusti Ngurah Gede Karangasem, raja Karangasem saat itu dan saudara sepupu dari Made Karangasem, melakukan puputan.[23] Pasukan KNIL kembali mengejar pasukan Bali yang melarikan diri ke Jembrana dan Klungkung. Namun, pengejaran ini terbukti tidaklah mudah bagi KNIL yang dihadang oleh pasukan Bali dari negara-negara selatan, yang kemudian diperparah dengan terbunuhnya Michiels dalam serangan mendadak di Kusamba, Klungkung.[24] Pihak Belanda dan pihak negara-negara Bali yang tidak menginginkan adanya pertumpahan darah lebih lanjut akhirnya menyetujui Perjanjian Kuta pada tahun 1850, yang membuat Hindia Belanda berhak memonopoli perdagangan di kerajaan-kerajaan Bali, sementara Buleleng dan Jembrana jatuh ke tangan Belanda, serta Karangasem menjadi negara vasal Belanda yang dikuasai oleh orang-orang Lombok, terutama oleh orang Bali-Mataram.[25]

 
Pasukan KNIL dalam menumpas pemberontakan di Bone (1859–1860). Ilustrasi diambil dari Wapenfeiten van het Nederlandsch-Indisch Leger oleh G. L. Kepper (1902).

Dalam beberapa tahun ke depannya, Belanda lebih gencar lagi melakukan penaklukan di beberapa wilayah Nusantara. Pada tahun 1850–1854, Belanda melakukan penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa di Pulau Kalimantan bagian barat yang menolak membayar pajak dan melawan pemerintah kolonial.[26] Pada tahun 1851–1859, Hindia Belanda mengirimkan tentara KNIL untuk menaklukkan sisa-sisa pengikut negara Palembang yang telah runtuh.[26] Antara tahun 1855–1864, Belanda melancarkan beberapa penyerbuan ke Pulau Nias untuk menaklukkan daerah tersebut.[26] Pada tahun 1858, Belanda memadamkan pemberontakan di Bali yang dikepalai oleh I Gusti Nyoman Ide Gempol. Pasukan pemberontak tersebut ditangkap dan Gempol diasingkan.[27] Kemudian pada tahun 1859, Bone kembali memberontak dan berperang melawan pemerintah kolonial. Pasukan KNIL yang dikerahkan untuk melakukan agresi militer awalnya gagal menaklukkan Bone karena banyaknya prajurit KNIL yang tewas dan pasukan ditarik untuk sementara waktu, tetapi setahun setelahnya, pasukan KNIL yang lebih besar dikerahkan dan Bone berhasil ditundukkan. Sebagian wilayah Bone direbut oleh Belanda dan menjadi wilayah Hindia Belanda.[26]

 
Lukisan Antasari yang disimpan di Museum Lambung Mangkurat.

Perebutan takhta Banjar di antara Tamjidillah II (ditunjuk menjadi sultan Banjar oleh Belanda) dan Hidayatullah II (diangkat sebagai mangkubumi pada saat itu) membuat rakyat Banjar terpecah. Pada awal 1859, Perang Banjar di antara kedua kubu pendukung masing-masing tokoh tersebut meletus, dengan KNIL memposisikan diri di pihak Tamjidillah. Tetapi tidak lama kemudian, Tamjidillah turun takhta pada bulan Juni 1859, dan karena Belanda melihat bahwa tidak ada penerus yang dapat menggantikan posisinya, maka Belanda secara sepihak membubarkan negara Banjar. Namun, rakyat Banjar mengangkat Hidayatullah sebagai sultan Baru, lalu ia memimpin rakyat dari suku Banjar dan Dayak untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial. Setelah beberapa tahun bertempur melawan Belanda, pada bulan Maret 1862, Hidayatullah menyerah kepada pasukan KNIL dan kemudian diasingkan ke Cianjur. Antasari diangkat pemimpin pemerintahan tertinggi Banjar dan melanjutkan kepemimpinan pasukan pemberontakan. Namun setelah beberapa bulan, ia meninggal karena penyakit cacar pada tanggal 11 Oktober 1862. Pada tahun 1863, Belanda menetapkan bahwa perang telah berakhir, tetapi beberapa pemberontakan sporadis yang dipimpin oleh Muhammad Seman masih terjadi hingga kematiannya pada tahun 1905.[28]

Pada tahun 1864–1868, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan pasukan KNIL untuk menaklukkan suku Basemah yang meneror Palembang dan Benkoelen (Bengkulu).[29] Kemudian pada tahun 1868, pihak Belanda dan pihak Britania Raya kembali berembuk untuk menentukan wilayah-wilayah kolonial tambahan yang belum disepakati dalam perjanjian tahun 1824. Pada tanggal 8 September 1870, dua perjanjian Inggris-Belanda ditandatangani,[30] salah satunya merupakan Perjanjian Siak yang berisi persetujuan pengintegrasian wilayah Siak Sri Inderapura ke dalam wilayah Hindia Belanda.[31] Sebenarnya pihak Belanda juga ingin memasukkan wilayah Aceh ke dalam klausa perjanjian, tetapi niat tersebut dihalangi oleh pihak Britania yang menginginkan wilayah Pantai Emas Belanda di Benua Afrika, yang saat itu dikuasai oleh Belanda, sebagai gantinya.[30] Dewan Perwakilan Belanda menolak meratifikasi Perjanjian Siak, sehingga pihak Belanda dan pihak Britania kemudian melakukan perembukan ulang. Pada tanggal 2 November 1871, kedua pihak menandatangani Perjanjian Sumatra, yang juga menambahkan klausa penggabungan Aceh dan seluruh Pulau Sumatra ke dalam wilayah Hindia Belanda, selain klausa-klausa yang telah disepakati dalam Perjanjian Siak.[32][30]

 
Ilustrasi Jenderal J. H. Köhler yang terbunuh di dekat meuseugit (sekarang Masjid Baiturrahman Banda Aceh).

Setelah perundingan tersebut, Belanda mengerahkan pasukan untuk menyerang dan menguasai Aceh pada tahun 1873. Di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler dan Eeldert Christiaan van Daalen, pasukan KNIL berlabuh di Aceh dan mulai menyerang wilayah tersebut pada bulan Maret, tetapi sebulan kemudian, Belanda terpaksa menarik pasukan tersebut karena kurangnya persiapan.[33] Pada akhir tahun yang sama, Belanda kembali menyerang, kali ini, dengan jumlah pasukan yang sangat besar. Pada bulan Januari 1874, pengikut setia, keluarga kerajaan Aceh, dan Sultan Aceh saat itu, Mahmud Syah, yang tidak sanggup membendung pasukan KNIL akhirnya melarikan diri dari Kutaraja (sekarang Banda Aceh), ibu kota negara Aceh, dan bersembunyi di pedalaman. KNIL yang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini langsung menduduki Banda Aceh dan mengumumkan secara sepihak pembubaran negara Aceh dan pengintegrasian wilayah Aceh ke dalam Hindia Belanda. Setelah Mahmud Syah meninggal karena penyakit kolera tidak lama setelah ia melarikan diri, Muhammad Daud Syah diangkat sebagai sultan dan pemimpin pejuang Aceh. Pasukan Aceh yang bersembunyi masih melancarkan beberapa perlawanan kecil terhadap pasukan Belanda yang menguasai Kutaraja.[4] Pada dekade 1880-an, para ulama yang juga ikut dalam pasukan Aceh melawan Belanda, khususnya tokoh Teungku Chik di Tiro, mulai mempropagandakan Perang Aceh sebagai perang jihad melawan pasukan Belanda yang dipandang sebagai "para penjajah kafir", sehingga peperangan ini mulai dipandang sebagai simbol perlawanan umat Muslim terhadap imperialisme Barat.[34]

Kedatangan Belanda ke negeri suku Batak dengan maksud untuk menguasai wilayah tersebut sekaligus melakukan misi Kristen di tanah Batak membuat rakyat setempat, khususnya Sisingamangaraja XII, merasa terancam dengan kehadiran mereka. Pada tanggal 16 Februari 1878, Perang Batak antara pasukan Batak di bawah komando Sisingamangaraja dengan pasukan KNIL meletus. Pasukan Sisingamangaraja menyerang pasukan KNIL di pos-pos pertahanan milik Belanda. Pada bulan Desember, pasukan Sisingamangaraja membentuk aliansi dengan para pejuang dari Aceh yang juga sedang berperang dengan Belanda kala itu dan mereka bersama-sama melakukan taktik gerilya untuk menyulitkan Belanda. Selama satu dekade setelahnya, pertemputan antara pasukan Sisingamangaraja dan pasukan KNIL berjalan seimbang. Pasukan Sisingamangaraja berhasil merebut beberapa pos pertahanan milik Belanda, sementara Belanda menangkap dan menyiksa prajurit dari pasukan Sisingamangaraja. Pada tahun 1889, Belanda yang mulai melihat jalan buntu dalam peperangan tersebut akhirnya mengirimkan pasukan dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, pasukan Sisingamangaraja mulai mengalami kekalahan dan jumlah prajurit semakin berkurang, hingga pada tanggal 17 Juni 1907, Korps Marechaussee te Voet (Marsose) dari KNIL berhasil mengepungnya dan sisa pasukannya di suatu desa bernama Sionom Hudon. Sisingamangaraja bersama kedua putranya gugur dalam pertempuran tersebut.[35][36]

 
Perkembangan Kepulauan Krakatau sebelum dan sesudah Gunung Krakatau meletus, hingga terbentuknya Gunung Anak Krakatau.

Selagi Belanda memperluas wilayah kolonial Hindia Belanda, bencana berupa letusan dahsyat Gunung Krakatau terjadi pada tahun 1883. Sebenarnya, aktivitas seismik yang intens telah tercatat mulai dari beberapa tahun sebelumnya. Mulai pada tanggal 20 Mei 1883, Perbuwatan, yang merupakan puncak utara Gunung Krakatau, mengeluarkan asap dan uap yang kuat, yang terbawa hingga ke Batavia (sekarang Jakarta). Mulai pada tanggal 16 Juni, erupsi yang lebih kuat dengan awan dan kabut asap berwarna hitam tebal keluar dari Krakatau, dan pada tanggal 24 Juni, kawah baru, yang terbentuk di antara Perbuwatan dan Danan karena erupsi kuat tersebut, juga mulai mengeluarkan erupsi, sehingga kedua erupsi membentuk seperti dua pilar awan hitam yang besar. Pada awal bulan Agustus, pilar ketiga terbentuk dari erupsi Danan, sementara beberapa kawah kecil di sekitanya, yang mengeluarkan asap dan uap dalam jumlah banyak, terbentuk beberapa hari setelahnya, sehingga vegetasi di sekitar Gunung Krakatau mulai rusak dan hancur.[37] Pada tanggal 25–26 Agustus, erupsi semakin intens dan dahsyat, hingga menimbulkan tsunami kecil. Akhirnya, empat letusan sangat dahsyat yang menandakan puncak erupsi gunung berapi ini terjadi pada tanggal 27 Agustus. Letusan ketiga, yang menjadi letusan terkuat di antara keempatnya, menghasilkan suara dengan intensitas hingga 180 dB[38] Sedemikian lantangnya suara tersebut sehingga gendang telinga sebagian besar awak kapal RMS Norham Castle milik Britania Raya, yang kebetulan sedang berlayar di perairan Sumatra dekat Kepulauan Krakatau, pecah karena gelombang suara yang hebat, dan bahkan suara mirip tembakan meriam masih dapat terdengar dari Perth di Australia dan Pulau Rodrigues dekat Mauritius.[39] Tiap letusan menghasilkan tsunami yang mencapai tinggi hingga 30 m, yang menyebar hingga sampai ke Benua Afrika dalam bentuk gelombang yang relatif besar dan Selat Inggris dalam bentuk gelombang kecil.[37][40] Seluruh vegetasi di sekitar Selat Sunda rata dengan tanah akibat awan panas dan gelombang tsunami,[41] sementara korban manusia yang berjatuhan akibat letusan gunung dan tsunami berjumlah sekitar 36 ribu jiwa.[42] Setelah letusan dahsyat keempat tersebut, dua pertiga bagian utara Pulau Rakata runtuh ke dasar laut, serta menyisakan sepertiga bagian selatan pulau dan tebing curam yang merupakan sisa kaki Puncak Rakata yang tidak runtuh.[37] Setelah letusan dahsyat tersebut, erupsi berkurang secara drastis hingga dinyatakan selesai pada bulan Oktober 1883, meskipun aktivitas seismik masih terasa di sekitar daerah tersebut hingga bulan Februari 1884. Letusan ini diperkirakan berkontribusi pada musim dingin vulkanis yang terjadi selama empat tahun setelah letusan terjadi dan pemandangan-pemandangan langit spektakuler yang diakibatkan oleh abu vulkanik.[43]

 
Potret foto Teuku Umar, salah satu pahlawan nasional Indonesia.

Belanda tetap memperluas wilayah tundukan mereka di wilayah Aceh sedikit demi sedikit, termasuk di antaranya adalah daerah Meulaboh pada tahun 1883. Teuku Umar, sebagai penguasa lokal di Meulaboh, tunduk dan berdamai dengan pihak Belanda, sehingga ia dipercaya sebagai pemimpin pasukan yang membantu KNIL dalam perang melawan pasukan Aceh. Namun, penyerahan diri tersebut ternyata merupakan siasat Umar untuk mengelabui Belanda. Ketika Belanda kembali menyatakan perang terbuka dengan para pejuang gerilya Aceh pada tahun 1884, Umar dan pengikutnya merampok kapal dan senjata yang dipercayakan Belanda kepadanya dan membagikannya kepada para pejuang Aceh, sementara seluruh tentara dan awak kapal Belanda mereka habisi. Sejak saat itu, Teuku Umar ikut berperang bersama pejuang kesultanan melawan pasukan KNIL. Belanda menjadikan Umar sebagai buron dengan uang imbalan yang besar.[44] Setelah berperang melawan Belanda selama kurang lebih satu dekade, pada bulan September 1893, Umar yang melihat bahwa perang yang berkepanjangan tersebut membuat rakyat kesulitan akhirnya berusaha sekali lagi mengelabui Belanda dengan menyerahkan dirinya dan beberapa anak buahnya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan bahkan bersandiwara seakan-akan ia sangat setia kepada Belanda. Hal ini bahkan mengelabui istri sekaligus teman seperjuangannya, Cut Nyak Dhien. Umar bergabung ke dalam dinas militer Belanda, dan dalam kurun waktu tiga tahun Umar mempelajari taktik dan siasat perang Belanda, mengumpulkan pasukan dan persenjataan, berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya secara diam-diam, serta mengirimkan uang dan gaji yang diterimanya kepada pasukan Aceh. Pada tanggal 30 Maret 1896, Umar menyatakan diri keluar dari dinas militer dan berbalik mendukung pejuang Aceh, setelah ia membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang dalam jumlah besar.[45] Hal ini membuat pemerintah kolonial pusat sangat marah, sehingga Belanda melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar, tetapi para pejuang Aceh yang kini telah dilengkapi persenjataan yang didapat dari Belanda sendiri membuat pasukan KNIL kewalahan menangani mereka. Teuku Umar muncul sebagai kepala armada yang menyatukan pasukan-pasukan Aceh yang terpecah-pecah dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Joannes Benedictus van Heutsz, komandan pasukan KNIL yang melawan Aceh saat itu, akhirnya menggunakan mata-mata untuk melacak lokasi dan stategi perang Umar. Setelah mendapat kabar bahwa Umar akan menuju ke Meulaboh, Heutsz menyusun strategi serangan tiba-tiba untuk menangkap pasukan Umar. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda berhasil menangkap pasukan Umar, sementara Teuku Umar sendiri gugur dalam penyerangan tersebut. Cut Nyak Dhien kemudian melanjutkan kepemimpinan Umar dalam melawan pasukan Belanda.[44]

Sementara berperang melawan pasukan Aceh dan Batak, Belanda tetap melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya demi perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1970-an, Belanda berhasil menguasai Jawa, hampir seluruh Pulau Sumatra, Kupang, pesisir selatan Pulau Kalimantan, Makassar dan sekitarnya, Manado dan sekitarnya, serta sebagian besar Kepulauan Maluku. Penaklukan tersebut tentu saja menimbulkan gejolak perlawanan dan pemberontakan. Pada tahun 1885, penduduk Jambi melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan membunuh beberapa pejabat dan tentara Belanda, serta menyerang kapal-kapal Belanda yang berlabuh di pesisir Jambi. Pemberontakan dapat diredam setelah pemerintah kolonial mengirimkan beberapa armada kapal untuk menundukkan para pemberontak.[46] Kemudian pada tahun 1888, para petani Banten, khususnya petani yang mendiami Cilegon dan sekitarnya yang mengalami kesengsaraan akibat bencana dan wabah penyakit, melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan melakukan kerusuhan di kediaman para pejabat Belanda, tetapi pemberontakan tersebut dengan cepat diredam oleh pasukan KNIL dalam waktu beberapa hari.[47]

 
Lukisan pertempuran pasukan Belanda melawan oang Bali-Mataram, oleh J. Hoynk van Papendrecht (1910).

Pada tahun 1891, rakyat suku Sasak yang mayoritas beragama Islam melakukan pemberontakan terhadap kelompok Bali-Mataram (orang-orang suku Bali yang mendiami Pulau Lombok) beragama Hindu Bali yang telah menguasai seluruh Pulau Lombok sejak tahun 1839.[48] Pemberontakan tersebut dapat diredam oleh pasukan Bali-Mataram yang memiliki persenjataan yang lebih modern. Melihat bahwa pemberontakan yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, pada bulan Februari 1894, pihak Sasak mengirimkan utusan untuk meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda yang melihat konflik ini sebagai kesempatan untuk memperluas pengaruh di Bali dan Lombok akhirnya membantu pihak Sasak dengan melakukan blokade perdagangan dan memberi perintah agar orang-orang Bali-Mataram menyerah.[49] Namun, kelompok tersebut tidak mengindahkan ancaman tersebut, sehingga Belanda akhirnya turun tangan dengan mengirimkan pasukan ke Pulau Lombok pada bulan Juli 1894. Pada bulan Agustus, pasukan Bali-Mataram menentang kehadiran Belanda dengan menyerang pasukan KNIL secara tiba-tiba, hingga akhirnya pasukan tersebut harus menarik diri karena kehilangan banyak prajurit.[50] Pada bulan November, Belanda kembali mengirimkan pasukan KNIL dengan jumlah yang lebih besar ke Lombok. Pasukan tersebut dengan cepat berhasil menundukkan seluruh perlawanan dari orang-orang Bali-Mataram, sebagian terbunuh dalam pertempuran, sebagian memilih melakukan ritual puputan, dan sebagian menyerahkan diri.[48] Akhirnya, Karangasem dan Pulau Lombok menjadi wilayah kolonial Hindia Belanda, dan seluruh kekayaan kerajaan direbut oleh Belanda.[49] Belanda kembali melanjutkan usaha penaklukannya di Bali, sehingga tidak lama kemudian, negara Bangli and Gianyar menyerah kepada Belanda, sementara negara-negara di Bali selatan masih tetap bertahan.[51]

 
Potret Joannes Benedictus van Heutsz, tokoh penting dalam operasi militer Belanda di tanah Aceh.

Antara tahun 1891–1892, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang peneliti Dunia Barat melakukan penelitian atas budaya dan penduduk di tanah Aceh. Hurgronje menyimpulkan bahwa Belanda sebaiknya mengurangi operasi militer melawan orang Aceh dan membuang fokus mereka terhadap sultan, serta sebaliknya harus menaruh perhatian mereka untuk membentuk praktik spionase yang terorganisasi dan juga menarik hati para ulèëbalang, yaitu pemegang kekuasaan lokal di Aceh. Namun, ia juga memperingatkan bahwa beberapa kaum ulama tidak dapat diajak kerja sama dan hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan.[52] Joannes Benedictus van Heutsz, gubernur militer atas pasukan KNIL yang menyerang Aceh, mulai mengimplementasikan saran Hurgronje tersebut dalam kebijakan-kebijakannya, yaitu dengan menawarkan suatu kemudahan perdagangan dan jaminan jabatan tetap sebagai penguasa wilayah kepada para ulèëbalang yang tunduk kepada Belanda. Kebijakan tersebut terbukti berhasil dengan mulusnya kegiatan ekspedisi pasukan Belanda ke Pedir (sekarang Pidie) pada tahun 1897–1898,[53] serta ekspedisi Belanda ke daerah Idi pada bulan Juli 1898.[54] Beberapa ulèëbalang yang menyerahkan diri kemudian menjadi mata-mata bagi Belanda untuk melacak para pejuang Aceh.[55] Kegiatan spionase mereka memberi andil terhadap keberhasilan pasukan KNIL dalam mengepung dan menggugurkan Teuku Umar pada tahun 1899, serta menangkap tokoh-tokoh Aceh yang penting, seperti Muhammad Daud Syah, Panglima Polem, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud pada tahun 1903. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh penting tersebut, Belanda menyatakan bahwa Perang Aceh telah selesai.[56] Pada tahun 1904, Belanda melakukan operasi militer besar-besaran ke tanah Gayo, Alas, dan Batak, serta ke daerah-daerah lainnya yang masih melakukan perlawanan. Sekitar tiga ribu jiwa penduduk Aceh tewas dalam operasi ini.[57] Berkat keberhasilannya dalam "membawa kedamaian" di tanah Aceh, Heutsz dianggap sebagai pahlawan di negeri Belanda dengan gelar "Pembawa Perdamaian Aceh", serta diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda pada tahun yang sama, yaitu tahun 1904.[55] Sementara itu, Cut Nyak Dhien, yang juga melakukan perlawanan terpisah, ditangkap oleh Belanda pada tanggal 4 November 1905.[58] Meskipun Belanda telah menyatakan bahwa perang telah usai, beberapa tokoh ulama Aceh masih tetap melakukan perlawanan, dengan tanah Gayo sebagai pusat perlawanan, hingga mereda sekitar tahun 1913–1914.[59]

Keberhasilan Belanda dalam menyelesaikan Perang Aceh yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade tersebut juga mendorong semangat pemerintah kolonial Belanda untuk menundukkan negara-negara merdeka lainnya yang masih tersisa di Nusantara.[55] Belanda berhasil melakukan ekspedisi untuk menguasai wilayah di daerah Kerinci (September 1903) serta menduduki wilayah Sulawesi bagian selatan dan membubarkan negara Gowa dan Bone (1905).[60] Pada tanggal 15 Juni 1908, pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Kamang melawan Pemerintah Hindia Belanda pecah dan menyebar ke daerah-daerah lain di Keresidenan Pesisir Barat Sumatra, seperti Manggopoh dan Lintau Buo. Pemberontakan tersebut terjadi akibat penerapan pajak (belasting) yang memberatkan masyarakat, sehingga pemberontakan ini disebut juga Perang Belasting. Pemerintah meresponsnya dengan mengirimkan korps marsose KNIL yang mampu menundukkan semua gelombang pemberontakan tersebut dalam waktu sehari.[61]

 
Pasukan Belanda yang mendarat di Pantai Sanur (1906).

Belanda yang telah berhasil menaklukkan Bali bagian utara mulai melakukan penyerangan ke negara-negara selatan yang masih bertahan melawan pengaruh Belanda. Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal sekunar asing bernama Sri Kumala terdampar di perairan Sanur dan dijarah oleh orang-orang Bali menurut adat tawan karang Bali. Belanda menggunakan alasan ini untuk mengultimatum Badung, Tabanan, dan Klungkung agar menyerah.[62] Akhirnya pada bulan September 1908, Belanda mengirimkan armada dan pasukan KNIL untuk menyerang kerajaan-kerajaan tersebut, Ketika pasukan tiba di negara Badung, Rakyat Badung yang tidak gentar melihat musuk kemudian menyerang pasukan mereka bersama I Gusti Ngurah Made Agung, raja mereka saat itu. Beberapa penduduk lokal juga melakukan ritual puputan atau melempari pasukan dengan perhiasan dan koin untuk mengolok-olok mereka. Kisah heroik raja dan rakyat Badung tersebut saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Badung.[62] Setelah negara Badung berhasil ditundukkan, pasukan KNIL melanjutkan penyerangannya ke Tabanan, tetapi raja dan pengikutnya pun melakukan ritual puputan di dalam kurungan.[63] Setelah itu, pasukan Belanda pergi ke Klungkung dan mempertimbangkan untuk menyerang Dewa Agung Jambe II, penguasa Klungkung dan penguasa nominal seluruh Bali saat itu, tetapi mengurungkan niat mereka setelah Dewa Agung menyerah dan setuju untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda.[62] Belanda akhirnya mampu menguasai seluruh Pulau Bali. Namun, monopoli yang dilakukan oleh Belanda di tanah Bali akhirnya menimbulkan pemberontakan dari Dewa Agung, sebagai penguasa nominal Bali, dan pengikut-pengikutya pada bulan April 1908. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan pihak Belanda, sementara Dewa Agung terbunuh dan pengikut-pengikutnya melakukan puputan, yang saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Klungkung.[64]

Indonesia juga merupakan negara yang dijajah oleh banyak negara Eropa datn juga Asia, karena sejak zaman dahulu Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alamnya yang berlimpah, hingga membuat negara-negara Eropa tergiur untuk menjajah dan bermaksud menguasai sumber daya alam untuk pemasukan bagi negaranya, Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia antara lain:

  1. Portugis pada tahun 1509, hanya Maluku, lalu berhasil diusir pada pada tahun 1595.[butuh rujukan]
  2. Spanyol pada tahun 1521, hanya Sulawesi Utara, tetapi berhasil diusir pada tahun 1692.[butuh rujukan]
  3. Belanda pada tahun 1602, sebagian besar wilayah Indonesia.[butuh rujukan]
  4. Prancis (1795–1811). Prancis menaklukkan Republik Belanda pada 1795 dalam Perang Revolusi Prancis, dan Prancis mendirikan Republik Batavia (1795–1806) dan Kerajaan Hollandia (1806–1810) yang berstatus sebagai negara bawahan Prancis. Dengan demikian, secara tidak langsung Prancis adalah penguasa tertinggi Hindia Belanda. Pada 1810 Kerajaan Hollandia dileburkan dalam Kekaisaran Pertama Prancis, sehingga wilayah Hindia Belanda menjadi jajahan Prancis secara langsung. Meskipun demikian pemerintahan dan pertahanan tetap dipegang oleh warga Belanda (termasuk Herman Willem Daendels yang berkuasa 1908–1811 dan dikenal pro-Prancis) Kekuasaan Prancis berakhir pada tahun 1811 ketika Britania mengalahkan kekuatan Belanda-Prancis di pulau Jawa.[butuh rujukan]
  5. Britania Raya pada tahun 1811, sejak ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang yang salah satunya berisi penyerahan Pulau Jawa dari Belanda kepada Britania, Pada tahun 1814 dilakukanlah Konvensi London yang isinya pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah jajahan Britania di Indonesia. Lalu baru pada tahun 1816, pemerintahan Britania di Indonesia secara resmi berakhir.[butuh rujukan]
  6. Jepang pada tahun 1942 dan berakhir pada tahun 1945, oleh karena kekalahan Jepang kepada pasukan Sekutu.[butuh rujukan]
 
Lukisan Imperium Belanda yang menggambarkan Hindia Belanda sebagai "permata Belanda yang paling berharga". (1916)

Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tetapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku.

Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda, di bawah nama Hindia Belanda, sejak awal abad ke-19.

Di bawah aturan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pada abad ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem tersebut dihapuskan. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Politik Etis, yang mencakup reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia Belanda.[65]

Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda sedang diduduki oleh Jerman Nazi, Kekaisaran Jepang berhasil menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.[butuh rujukan]

Kemerdekaan Indonesia

 
Soekarno, presiden pertama Indonesia.
 
Foto Presiden Soekarno dan ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang disaksikan oleh hadirin.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah Perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.

Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (politionele actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[66] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[67] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.

 
Potret resmi Soeharto, Presiden Indonesia ke-2, pada tahun 1993.

Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.

Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekonomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[68] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.

Masa Peralihan Orde Reformasi atau Era Reformasi berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001, ketika terdapat tiga masa presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004, diselenggarakan Pemilihan Umum satu hari terbesar di dunia[69] yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden terpilih secara langsung oleh rakyat, yang menjabat selama dua periode. Pada tahun 2014, Joko Widodo, yang lebih akrab disapa Jokowi, terpilih sebagai presiden ke-7.

Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk melepaskan diri dari naungan NKRI, terutama Papua.[butuh rujukan] Timor Timur secara resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.

Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.

  1. ^ "Staatsblad 2016 No. 258" (PDF). Overheid.nl. 2 Juni 2016. Diakses tanggal 2020-12-05. 
  2. ^ a b c H.R.C. Wright, "The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824." Economic History Review 3.2 (1950): 229-239 online.
  3. ^ "Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2023-05-05. 
  4. ^ a b c d Ricklefs, M C (1991). A History of Modern Indonesian since c.1300 (edisi ke-Second). Houndmills, Baingstoke, Hampshire and London: The Macmillan Press Limited. hlm. 271, 297. ISBN 0-333-57690-X. 
  5. ^ Media, Kompas Cyber (2022-07-20). "Sejarah Perang Pattimura: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-06. 
  6. ^ Media, Kompas Cyber (2022-06-12). "Perang Menteng: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-06. 
  7. ^ a b Sjafnir Aboe Nain, 2004, Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  8. ^ Kepper G. 1900. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
  9. ^ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c.1300 to the Present (Macmillan, 1981), p. 129.
  10. ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-29). "Perang Bone: Latar Belakang dan Kronologi Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-08. 
  11. ^ a b Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
  12. ^ Tim. "Sejarah Perang Diponegoro, Pertempuran Besar di Tanah Jawa". edukasi. Diakses tanggal 2023-05-04. 
  13. ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
  14. ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
  15. ^ H.R.C. Wright, "The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824." Economic History Review 3.2 (1950): 229-239 online.
  16. ^ Ningsih, Widya Lestari (2022-07-27). "Johannes van den Bosch, Penggagas Sistem Tanam Paksa". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-01-15. 
  17. ^ Schendel, Willem van (17 June 2016). Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s, edited by Willem van Schendel, from google (cultivation system java famine) result 10. ISBN 9781317144977. 
  18. ^ Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
  19. ^ Warriner, Francis (1835). Cruise of the United States frigate Potomac round the world: during the years 1831-34. New York: Leavitt, Lord & Co. 
  20. ^ Zulqaiyyim, (1997), Peristiwa Batipuh tahun 1841: suatu studi kasus tentang gerakan sosial di Sumatra Barat: laporan penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas Andalas
  21. ^ Yuandha, Ade (2021-11-09). "Sejarah Cagar Budaya Tapak Rumah Gadang Tuan Gadang Batipuh di Kabupaten Tanah Datar". Halonusa.com. Diakses tanggal 2023-05-07. 
  22. ^ a b c A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm by Robert Pringle[1]
  23. ^ International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania by Trudy Ring p.69 [2]
  24. ^ A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm Robert Pringle p.98ff [3]
  25. ^ International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania by Trudy Ring p.69 [4]
  26. ^ a b c d Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in Oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
  27. ^ Hanna, Willard A. (2004). Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History. Singapore: Periplus. 
  28. ^ Kielstra, Egbert Broer (1917). "Het sultanaat van Bandjermasin" [The Sultanate of Bandjermasin]. Onze Eeuw [Our Century] (dalam bahasa Belanda). 17. Haarlem: Erven F. Bohn. hlm. 12–30. 
  29. ^ 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn
  30. ^ a b c Adhin, J. H. (1961). "De immigratie van Hindostanen en de afstand van de Goudkust". Nieuwe West-Indische Gids. 41 (1): 4–13. doi:10.1163/22134360-90002334 . 
  31. ^ Foreign and Commonwealth Office - Convention between Great Britain and the Netherlands relative to the treatment of British Subjects in the Kingdom of Siak Sree Indrapoora, in the Island of Sumatra Diarsipkan 27 September 2012 di Wayback Machine.
  32. ^ Foreign and Commonwealth Office - Convention between Great Britain and the Netherlands, for the Settlement of their Mutual Relations in the Island of Sumatra Diarsipkan 28 September 2012 di Wayback Machine.
  33. ^ 1874. Bijlage: Een slechte verdediging. Nog iets over Atjeh door generaal De Stuers in de Gids 1875, nr. 4. C.A. Jeekel. Het Vaderland Jumat 23 april 1875.
  34. ^ Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
  35. ^ Media, Kompas Cyber (2020-10-26). "Perang Batak (1878-1907) Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-12. 
  36. ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-02). "Sisingamangaraja XII: Kehidupan, Perjuangan, dan Perlawanan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-12. 
  37. ^ a b c Thornton, Ian W. B. (1997). Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. hlm. 9–11. ISBN 978-0-674-50572-8. 
  38. ^ Oliveira, Justin M.; Vedo, Sabrina; Campbell, Michael D.; Atkinson, Joseph P. (2010). "KSC VAB Aeroacoustic Hazard Assessment" (PDF). KSC Engineering, NASA: 43. Diakses tanggal 15 November 2016. 
  39. ^ Monique R. Morgan (January 2013). "The Eruption of Krakatoa (also known as Krakatau) in 1883". BRANCH: Britain, Representation and Nineteenth-Century History. Diakses tanggal 5 February 2019. 
  40. ^ Pararas-Carayannis, George (2003). "Near and far-field effects of tsunamis generated by the paroxysmal eruptions, explosions, caldera collapses and massive slope failures of the Krakatau volcano in Indonesia on August 26–27, 1883" (PDF). Science of Tsunami Hazards. 21 (4). The Tsunami Society. hlm. 191–201. ISSN 8755-6839. Diakses tanggal 29 December 2007. 
  41. ^ Winchester, Simon (2003). Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883. Penguin/Viking. ISBN 978-0-670-91430-2. 
  42. ^ Bradley, Raymond S. (June 1988). "The explosive volcanic eruption signal in northern hemisphere continental temperature records" (PDF). Climatic Change (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 221–243. Bibcode:1988ClCh...12..221B. doi:10.1007/bf00139431. ISSN 0165-0009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 3 November 2020. Diakses tanggal 29 November 2019 – via Springer. 
  43. ^ University of Minnesota. "With a Bang: Not a Whimper" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 June 2010. 
  44. ^ a b "T. Umar.pdf" (PDF). Pemerintah Provinsi Aceh. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-10-08. Diakses tanggal 2011-11-30. 
  45. ^ Kusuma, Putri Tiah Hadi. "Mengenal Teuku Umar, Pahlawan Nasional dari Aceh". detikedu. Diakses tanggal 2023-05-14. 
  46. ^ Coenen, F. (1886). Iets over Djambi in 1885 (dalam bahasa Dutch). Eigen Haard. hlm. 306–311. 
  47. ^ "Mengenang Kembali "Pemberontakan Petani Banten 1888"". KOMPAS.tv. Diakses tanggal 2023-05-14. 
  48. ^ a b Ooi, Keat Gin, ed. (2004). Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (3 vols). Santa Barbara: ABC-CLIO. hlm. 790 ff. ISBN 978-1576077702. OCLC 646857823. 
  49. ^ a b Keurs, Pieter ter (2007). Colonial Collections Revisited. CNWS publications. 152. Amsterdam University Press. hlm. 190 ff. ISBN 9789057891526. 
  50. ^ Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.300
  51. ^ Priests and programmers by John Stephen Lansing p.20
  52. ^ Van Koningsveld, P.S. Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar: enige historisch-kritische kanttekeningen, (Leiden, 1982)
  53. ^ 1898. Bintang Djaoeh. Pedir en de aanstaande expeditie (met een overzichtskaart van Atjeh). Eigen Haard. Bladzijde 362-365.
  54. ^ 1891. De Edi-expeditie van 1890[pranala nonaktif permanen]. Indisch Militair Tijdschrift II. Bladzijde 285-403.
  55. ^ a b c Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. hlm. 10–13. ISBN 0-521-54262-6. 
  56. ^ Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
  57. ^ H.L. Zwitzer (1989). "DAALEN, Gotfried Coenraad Ernst van (1863–1930)". Huygens Institute for the History of the Netherlands (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 26 January 2022. 
  58. ^ "Kisah Cut Nyak Dhien Ditangkap Belanda: Cabut Rencong Hendak Tikam Panglima (9)". kumparan. Diakses tanggal 2023-05-22. 
  59. ^ Reid, Anthony (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press. ISBN 9971-69-298-8. 
  60. ^ Michielsen, A. W. A. De expeditie naar Zuid-Celebes in 1905–1906. Indisch militair tijdschrift, vols. 35, 36, 37. Batavia [Jakarta]: Kolff, 1915–16.
  61. ^ Amran, R., (1988), Pemberontakan pajak 1908, Sumatra Barat. Bag. ke. 1: Perang Kamang, Gita Karya
  62. ^ a b c Willard A. Hanna (2004). Bali Chronicles. Periplus, Singapore. ISBN 0-7946-0272-X. 
  63. ^ Andy Barski, Albert Beaucort and Bruce Carpenter, Barski (2007). Bali and Lombok. Dorling Kindersley, London. ISBN 978-0-7566-2878-9. 
  64. ^ Insight Guide: Bali 2002 Brian Bell, Apa Publications GmbH&Co ISBN 1-58573-288-5.
  65. ^ Ricklefs 2001.
  66. ^ ZWEERS, L. (1995). Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie. Den Haag: SDU uitgevers. 
  67. ^ van der Bijl, Nick. Confrontation, The War with Indonesia 1962–1966, (London, 2007) ISBN 978-1-84415-595-8
  68. ^ Wibowo, Sigit, Sjarifuddin. Ekonomi Indonesia Gagal karena Mafia Berkeley Diarsipkan 2008-06-16 di Wayback Machine., Harian Umum Sore Sinar Harapan. Copyright © Sinar Harapan 2003. Diakses: Selasa, 6 Agustus 2008.
  69. ^ "The Carter Center 2004 Indonesia Election Report" (PDF) (Siaran pers). Laporan dari Carter Center. 2004. hlm. 30. Diakses tanggal 29 Juli 2008.