Periode kolonial

Gerakan nasionalis bangsa Indonesia

 
Lukisan Belanda yang menggambarkan Hindia Belanda sebagai "permata Belanda yang paling berharga". (1916)

Dipelopori oleh Conrad Theodore van Deventer, seorang ahli hukum Belanda yang menuliskan esai pada tahun 1899 mengenai utang budi Belanda kepada penduduk pribumi Hindia Belanda, dan Pieter Brooshooft, seorang jurnalis yang menuliskan tentang ketidakadilan yang terjadi di tanah Hindia Belanda, maka pada tanggal 17 September 1901, Wilhelmina, Ratu Belanda pada saat itu, mengumumkan kebijakan politik yang sangat kontras dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Belanda sebelumnya, yaitu Politik Etis.[1] Kebijakan ini pada dasarnya membayar utang budi kepada para pribumi di Hindia Belanda dengan menjalankan program Trias van Deventer, yang sejalan dengan ide-ide yang dikemukakan oleh Deventer, yaitu perbaikan dan pengembangan sistem irigasi, pelaksanaan program transmigrasi dari Pulau Jawa yang semakin padat, serta pembukaan sekolah-sekolah demi meningkatkan taraf pendidikan para pribumi.[2] Sementara program transmigrasi dan irigasi akhirnya terbukti tidak berjalan secara optimal, meskipun program edukasi (pendidikan) tersebut hanya menguntungkan kaum priayi (elite pribumi),[1] kebijakan tersebut telah memberikan sumbangsih terhadap kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di tanah Hindia Belanda.

Pada tahun 1907, Wahidin Soedirohoesodo, seorang alumnus dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia, mengunjungi almamaternya itu dan menggagaskan kepada para pelajar di sana suatu organisasi yang mampu mendukung biaya pendidikan kedokteran bagi orang-orang pribumi yang berprestasi tetapi tidak mampu secara finansial. Usul ini menarik perhatian beberapa pelajar di sana, sehingga Soetomo dan Soeradji Tirtonegoro mengumpulkan Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Mohammad Saleh, Raden Mas Goembrek, dan Soewarno untuk mewujudkan organisasi usulan Wahidin tersebut. Organisasi yang mereka namakan Budi Utomo ini terbentuk pada tanggal 20 Mei 1908, yang saat ini dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Dalam waktu 5 bulan, organisasi ini berhasil menerima 1.200 anggota, dan mereka berfokus pada masalah sosial, pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan seputar masyarakat Pulau Jawa, Madura, dan Bali.[3] Dalam perjalanan waktu, organisasi ini mengalami berbagai kesulitan karena pencapaian organisasi yang dinilai lamban dan jangkauan organisasi yang tidak terlalu luas. Organisasi ini juga berusaha untuk tidak menyentuh ranah politik, meskipun dalam perkembangannya, organisasi ini diikuti oleh cukup banyak tokoh-tokoh politik.[4]

Sarekat Dagang Islam berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Samanhudi,[5] atau menurut versi lain oleh Tirto Adhi Soerjo pada tanggal 27 Maret 1909.[6] Meskipun tanggal pendirian sarekat ini tidak begitu jelas, organisasi tersebut diketahui telah beroperasi secara penuh sejak kantor cabang Batavia (sekarang Jakarta) dan Buitenzorg (sekarang Bogor) mulai terbentuk sejak tanggal 5 April 1909.[6] Awalnya, serikat ini didirikan sebagai wadah bagi pedagang-pedagang Muslim agar dapat bersaing dengan para pedagang Tionghoa, yang pada saat itu memiliki status sosial dan privilese yang lebih tinggi.[7] Oemar Said Tjokroaminoto, seorang nasionalis yang bergabung dengan serikat ini dan kemudian ditunjuk menjadi ketua, mengubah nama serikat ini menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912, dengan tujuan agar organisasi ini tidak hanya berkecimpung di ranah perdagangan tetapi juga di ranah-ranah lain, seperti keagamaan.[8] Meskipun awalnya Tjokroaminoto menyatakan bahwa serikat ini tidak berkecimpung dalam ranah politik, Sarekat Islam akhirnya tetap melebarkan sayapnya hingga masuk ke ranah politik. Di saat yang sama, paham-paham komunisme mulai masuk melalui tokoh-tokoh muda seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin. Organisasi ini kemudian terpecah menjadi dua kubu, yaitu "SI Merah" yang berhaluan komunisme (sayap kiri) dan "SI Putih" yang menentang paham tersebut (sayap kanan).[9] Pada bulan Oktober 1921, para petinggi Sarekat Islam menyatakan bahwa anggota SI tidak boleh memiliki keanggotaan rangkap dengan organisasi lain, sehingga Semaoen dan Darsono dari Partai Komunis Indonesia (terbentuk pada tahun 1920), bersama anggota-anggota dari Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan organisasi-organisasi lainnya dikeluarkan dari Sarekat Islam karena menolak melepaskan keanggotaan rangkap tersebut.[10] Pada tahun 1923, nama organisasi ini diubah menjadi Partai Sarekat Islam, mengukuhkan posisi organisasi ini sebagai partai politik. Pada tahun 1929, namanya diubah kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia untuk memperjelas tujuan memperjuangkan kemerdekaan nasional sebagai tujuan partai.[11]

Ernest Douwes Dekker, seorang Indo yang vokal dalam mengkritik pemerintah kolonial, mencanangkan pembentukan suatu organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak kaum Indo dan pribumi melalui jalur politik. Ia kemudian mengajak tokoh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, yang tertarik dengan visi dan pandangan Dekker, untuk bersama-sama mewujudkan idenya tersebut. Dalam rapat-rapat umum (vergadering) yang dimulai sejak tanggal 15 September 1912 sebagai persiapan pembentukan partai, pidato Dekker untuk menarik massa tersebut berhasil menarik perhatian ribuan orang dari berbagai kalangan dan daerah. Sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang yang tidak memenuhi syarat keanggotaan serta tidak cocok dengan visi dan misi dari organisasi lain seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam.[12] Akhirnya pada tanggal 25 Desember 1912, partai tersebut didirikan oleh Dekker, Tjipto, dan Soewardi, yang saat ini dikenal sebagai Tiga Serangkai, beserta tokoh-tokoh pribumi dan Indo lainnya, dengan nama Indische Partij (Partai Hindia). Belum sempat partai ini berkembang, keabsahan dan status badan hukum atas partai ini ditolak sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda, meskipun para pengurus partai telah beberapa kali mengajukan peninjauan ulang atas penolakan tersebut kepada pemerintah. Oleh karena itu, partai ini secara otomatis menjadi organisasi ilegal, sehingga pimpinan partai dengan berat hati membubarkan partai ini pada tanggal 31 Maret 1913.[13] Meskipun demikian, Tiga Serangkai masih terus menyuarakan kritik terhadap pemerintah secara vokal melalui media cetak seperti De Expres. Pada tanggal 12 Juli 1913, De Expres memuat rancangan pembentukan Komite Bumi Putera yang menyuarakan pencabutan Regeringsreglement 1854 Pasal 111 tentang pembatasan hak berorganisasi bagi pribumi, yang menjadi penyebab organisasi Indische Partij ditolak.[14] Keesokan harinya, koran yang sama memuat sebuah tulisan Ki Hadjar Dewantara yang berjudul Als Ik een Nederlander was ("Seandainya aku seorang Belanda"). Tulisan ini tentu saja menggemparkan para pejabat Belanda yang mulai khawatir akan gerak-gerik Tiga Serangkai yang dinilai mampu menciptakan pemberontakan. Tidak cukup sampai situ, Tjipto kemudian menulis artikel berjudul Kracht en Vrees ("Kekuatan dan Ketakutan") yang diterbitkan pada tanggal 27 Juli, sementara Soewardi menuliskan artikel baru yang kali ini berjudul Een voor allen en allen voor een ("Satu untuk semua dan semua untuk satu") dan diterbitkan dua hari setelah artikel Tjipto tersebut. Kedua artikel tersebut pada intinya mengkritik dan mengolok-olok pemerintah kolonial yang menyengsarakan penduduk setempat. Akibat tulisan tersebut, Tjipto dan Soewardi ditangkap dengan dakwaan mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Hindia Belanda.[15] Penangkapan tersebut membuat Dekker yang

Budi Utomo bergabung dengan Perserikatan Bangsa Indonesia untuk membentuk Partai Indonesia Raya.[16]

Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda sedang diduduki oleh Jerman Nazi, Kekaisaran Jepang berhasil menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.[butuh rujukan]

Kemerdekaan Indonesia

 
Soekarno, presiden pertama Indonesia.
 
Foto Presiden Soekarno dan ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang disaksikan oleh hadirin.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah Perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.

Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (politionele actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[17] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[18] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.

 
Potret resmi Soeharto, Presiden Indonesia ke-2, pada tahun 1993.

Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.

Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekonomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[19] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.

Masa Peralihan Orde Reformasi atau Era Reformasi berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001, ketika terdapat tiga masa presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004, diselenggarakan Pemilihan Umum satu hari terbesar di dunia[20] yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden terpilih secara langsung oleh rakyat, yang menjabat selama dua periode. Pada tahun 2014, Joko Widodo, yang lebih akrab disapa Jokowi, terpilih sebagai presiden ke-7.

Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk melepaskan diri dari naungan NKRI, terutama Papua.[butuh rujukan] Timor Timur secara resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.

Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.

  1. ^ a b Media, Kompas Cyber (2022-07-24). "Politik Etis: Tokoh, Pengertian, Latar Belakang, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-26. 
  2. ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-04). "Trias van Deventer, Politik Balas Budi Belanda Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-26. 
  3. ^ Media, Kompas Cyber (2022-09-13). "Latar Belakang Berdirinya Budi Utomo beserta Tujuannya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-26. 
  4. ^ Sudiyo, Peter; Santano, Dalimun; Nugroho, Agus; Suwardi, Edy (1997). Sejarah pergerakan nasional Indonesia dari Budi Utomo sampai dengan pengakuan kedaulatan (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  5. ^ Matanasi, Petrik (13 Oktober 2020). "Kiprah Haji Samanhudi, Pedagang Batik dan Perintis Sarekat Islam". tirto.id. Diakses tanggal 26 November 2021. 
  6. ^ a b Ahsan, Ivan Aulia (8 Desember 2018). "Peran Besar Tirto Adhi Soerjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional". tirto.id. Diakses tanggal 26 November 2021. 
  7. ^ "Mengenal Tujuan Sarekat Islam, Lengkap beserta Sejarahnya". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2021-10-13. Diakses tanggal 2023-05-29. 
  8. ^ Media, Kompas Cyber (2022-01-31). "Sarekat Islam: Tujuan, Pendiri, hingga Perpecahan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-30. 
  9. ^ Media, Kompas Cyber (2021-04-06). "Sarekat Islam: Latar Belakang, Perkembangan, dan Perpecahan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-31. 
  10. ^ Jarvis, Helen (1991). Notes and appendices for Tan Malaka, From Jail to Jail. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies.
  11. ^ Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
  12. ^ Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1977-01-01. 
  13. ^ "PERJUANGAN ERNEST FRANCOIS EUGENE DOUWES DEKKER DARI POLITIK MENUJU PENDIDIKAN 1913-1941" (Pdf). AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Diakses tanggal 3 Maret 2022. [pranala nonaktif permanen]
  14. ^ Slamet Muljana (2007) Sejarah. Sumatera Barat: Yudhistira Ghalia Indonesia. Hal 37-38. ISBN 9790191391
  15. ^ Tsuchiya, Kenji (1992). Demokrasi dan kepemimpinan : kebangkitan gerakan Taman Siswa. H. B. Yassin (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-419-5. OCLC 221655803. 
  16. ^ Parinduri, Alhidayath (23 Februari 2021). "Sejarah Boedi Oetomo: Didirikan Oleh Siapa Saja dan Latar Belakang". Tirto.id. Diakses tanggal 24 November 2021. 
  17. ^ ZWEERS, L. (1995). Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie. Den Haag: SDU uitgevers. 
  18. ^ van der Bijl, Nick. Confrontation, The War with Indonesia 1962–1966, (London, 2007) ISBN 978-1-84415-595-8
  19. ^ Wibowo, Sigit, Sjarifuddin. Ekonomi Indonesia Gagal karena Mafia Berkeley Diarsipkan 2008-06-16 di Wayback Machine., Harian Umum Sore Sinar Harapan. Copyright © Sinar Harapan 2003. Diakses: Selasa, 6 Agustus 2008.
  20. ^ "The Carter Center 2004 Indonesia Election Report" (PDF) (Siaran pers). Laporan dari Carter Center. 2004. hlm. 30. Diakses tanggal 29 Juli 2008.