Suku Mentawai
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya. Kebudayaan tato Mentawai, yang dikenal dengan nama titi disebutkan hampir punah. Titi masih dilestarikan di Pulau Siberut meski di beberapa pulau yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sudah jarang dijumpai. [1]
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Kepulauan Mentawai | |
Bahasa | |
Bahasa Mentawai | |
Agama | |
Kristen (Mayoritas), Islam, Arat Sabulungan | |
Kelompok etnik terkait | |
Sakuddei, Nias |
Sejarah
Mentawai (juga dikenal sebagai Mentawei dan Mentawi) adalah penduduk asli Kepulauan Mentawai, sekitar 100 mil dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Mereka menjalani gaya hidup pemburu-pengumpul semi-nomaden di lingkungan pesisir dan hutan hujan di pulau-pulau tersebut.
Demografi
Populasi Mentawai diperkirakan sekitar 64.000. Suku Mentawai didokumentasikan telah bermigrasi dari Nias - pulau dari utara - ke kepulauan Mentawai, hidup dalam kehidupan yang terisolasi selama berabad-abad hingga ditemukan pada 1621 oleh Belanda. Bahasa Mentawai termasuk keluarga bahasa Austronesia.
Agama
Sebelum mengenal agama Kristen, suku Mentawai mengikuti kepercayaan mereka sendiri yang disebut Arat Sabulungan. Ini adalah kepercayaan animisme di mana segala sesuatu memiliki roh dan jiwa. Ketika arwah tidak diperlakukan dengan baik atau dilupakan, mereka mungkin membawa nasib buruk seperti penyakit dan menghantui mereka yang melupakannya.[2] Mentawai juga memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap benda-benda yang mereka anggap suci.[3]
Orang-orang Mentawai dicirikan oleh spiritualitas mereka yang kuat, seni tubuh, dan kecenderungan mereka untuk mengasah gigi mereka, sebuah praktik yang mereka rasa membuat seseorang menjadi cantik. Mentawai cenderung hidup serentak dan damai dengan alam di sekitar mereka karena mereka percaya bahwa semua benda di alam memiliki semacam esensi spiritual.[4]
Namun kini hampir semua orang Mentawai sudah memeluk agama, khususnya agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, serta sebagian Islam dan beberapa diantaranya masih menganut kepercayaan lama, Arat Sabulungan. Salah satu gereja lokal untuk suku Mentawai adalah Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM), yang didirikan pada 6 Juli 1916, dan memiliki jemaat sekitar 35.000 orang.[5]
Adat dan budaya
Orang Mentawai pada umumnya hidup secara berkelompok menurut suku masing-masing. Setiap suku biasanya mendiami dan memiliki satu desa (langgai) tertentu. Dalam perkembangannya kemudian, dalam suatu kampung biasanya terdapat dua penggolongan, yaitu kelompok suku pembuka kampung (si bakat langgai) dan kelompok suku pendatang (si toi). Perkampungan mereka biasanya didirikan di sepanjang aliran sungai. Kelompok pembuka kampung memiliki hak-hak tertentu, terutama dalam penguasaan tanah dan lokasi sumber-sumber bahan makanan di lingkungan tempat tinggalnya. Anggota keturunan pendatang yang hendak membuka ladang atau membangun rumah harus meminta izin kepada pemimpin klen keturunan pembuka kampung.[6]
Bahasa
Artikel utama : Bahasa Mentawai
Bahasa Mentawai dituturkan di Desa Monganpoula, Kecamatan Siberut Utara; Desa Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan; dan Desa Sioban, Kecamatan Sipora, dan Desa Makalo, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat.
Bahasa Mentawai terdiri atas tiga dialek, yaitu (1) dialek Siberut Utara, (2) dialek Siberut Selatan,dan (3) dialek Sipora Pagai. Dialek Siberut Utara dituturkan di Desa Monganpoula, Kecamatan Siberut Utara. Dialek Siberut Selatan dituturkan di Desa Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan. Dialek Sipora Pagai dituturkan di Desa Sioban, Kecamatan Sipora, dan Desa Makalo, Kecamatan Pagai Selatan. Dialek Sipora-Pagai merupakan dialek standar karena sebaran geografisnya paling luas dan paling banyak jumlah penuturnya serta berada di pusat pemerintahan kabupaten.
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, persentase perbedaan ketiga dialek tersebut berkisar 51%—69%. Isolek Mentawai merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar 81%—100% jika dibandingkan dengan bahasa Batak dan Minangkabau.
Kesenian
Perkembangan kesenian orang Mentawai pada umumnya berkaitan dengan berbagai upacara adat dan kehidupan sehari-hari. Bentuk kesenian mereka sebagian besar didasarkan alas penghayatan terhadap alam sekitar, misalnya bentukbentuk tiruan dari gerak-gerik atau suara hewan buruan, dsb. Seni suara dan seni tari dikembangkan sesuai dengan kebutuhan upacara, misalnya untuk upacara perkawinan dan kematian. Seni tari dan seni suara juga merupakan bagian dalam proses pengobatan oleh seorang dukun ( sikerei). Kini bentuk kesenian asli sudah semakin berkurang, karena perkembangannya semakin terbatas hanya di kalangan orang-orang Lua.[6]
Sistem kekerabatan
Sebuah uma dapat dihuni oleh sekitar 5- 10 keluarga inti , bahkan ada yang sampai 20 keluarga. Keluarga-keluarga ini menempati sebuah uma berdasarkan garis keturunan dari ayah (patrilineal). Dengan demikian sebuah uma merupakan kesatuan keluarga luas patrilineal. Kelompok kekerabatan yang para anggotanya merasa berasal dari satu keturunan patrilineal disebut muntogat. Satu kesatu muntogat memiliki sebuah uma tertentu yang dijadikan pusat aktivitas para anggotanya.[6]
Mata pencaharian hidup
Makan pokok orang Mentawai adalah sagu dan ikan. Sagu mereka peroleh dari hutan rawa-rawa yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Kini mereka juga sudah mengenal beras sebagai makanan sehari-hari. Salah satu makanan khas orang Mentawai yang selalu ada, terutama dalam upacara atau pesta adat, adalah daging babi. Mereka juga berladang dengan cara membuka hutan dengan cara membuka hutan dengan cara membuka hutan dengan menggunakan peralatan yang masih sederhana. Tanaman yang ditanam umumnya juga dijadikan makanan sehari-hari, seperti keladi dan ubi jalar. Mereka juga biasa memakan buah-buah yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka, misalnya durian, pisang, pepaya, dsb. Pekerjaan lainnya adalah berburu binatang di hutan dan menangkap ikan di sungai, rawa-rawa, atau laut. Daerah ini juga menghasilkan hasil hutan yang diperdagangkan sampai ke luar daerah Mentawai, misalnya kayu, damar, dan rotan. Hasil perdagangan lainnya adalah cengkeh dan kopra. Kebutuhan sehari-hari lainnya biasanya mereka dapatkan melalui hubungan perdagangan dengan orang luar, terutama dari kota Padang.[6]
Referensi
- ^ "Tato Mentawai Hampir Punah - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2023-04-17.
- ^ Singh, Manvir; Kaptchuk, Ted J.; Henrich, Joseph (2021-01-01). "Small gods, rituals, and cooperation: The Mentawai water spirit Sikameinan". Evolution and Human Behavior (dalam bahasa Inggris). 42 (1): 61–72. doi:10.1016/j.evolhumbehav.2020.07.008. ISSN 1090-5138.
- ^ brilio.net. "5 Things You Need To Know About Mentawai Tribe". brilio.net (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-02. Diakses tanggal 2019-04-02.
- ^ "The Mentawai People". Authentic Sumatra (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-02.
- ^ "Perayaan Jubileum 100 Tahun Gereja Kristen Protestan di Mentawai". www.pgi.or.id. 11 Juli 2016. Diakses tanggal 24 September 2021.
- ^ a b c d Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 548.