Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah

Revisi sejak 12 Juni 2023 05.30 oleh AABot (bicara | kontrib) (fix)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah merupakan salah satu badan Muhammadiyah yang bertugas menangani sekolah milik Muhammadiyah. Pembentukannya bermula dari pembentukan Bagian Sekolahan pada tahun 1920. Pembentukan majelis ini merupakan bentuk dari penyempurnaan organisasi Muhammadiyah saat itu.[1] Saat ini Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah dikenal dengan nama Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah.

Sekolahan

sunting

Pada bulan Juni 1920 diadakan acara pelantikan pengurus empat bagian baru dalam Muhammadiyah. Terbentuklah empat bagian baru dalam Muhammadiyah, yaitu Bagian Tabligh yang diketuai oleh H.M. Fachrodin, Bagian Taman Pustaka yang diketuai oleh H.M. Mochtar, Bagian Penolong Kesengsaraan Umum yang diketuai oleh H.M. Syuja’, dan Bagian Sekolahan yang dipimpin oleh H. Hisyam.[2] Empat orang ketua bagian ini merupakan murid dari K.H. Ahmad Dahlan sekaligus pengurus dari pengajian Malam Jumat. Penunjukan H. Hisyam sebagai ketua bagian sekolahan ini merupakan pilihan yang tepat, mengingat sebelumnya dalam susunan pengurus pengajian Malam Jumat ia menjadi pengurus dalam bidang sekolah, baik dalam bidang agama maupun umum. Sebagai ketua bagian sekolahan, ia mendapat tugas untuk memajukan dan mengawasi sekolah Muhammadiyah. Namun, beratnya tugas ini tidak mengendurkan tekadnya. Hal ini terlihat dari kemantapannya saat menyatakan visinya ketika dilantik oleh K.H. Ahmad Dahlan:

“Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus Bahagian Sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung Universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan mahaguru Muhammadiyah pada khususnya guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya”.[3]

Setelah mendapat penunjukan sebagai Ketua Bagian Sekolahan, K.H. Hisyam berusaha dengan tekun untuk memperbaiki sekolah Muhammadiyah. Secara teratur, ia memperbaiki pengorganisasiannya, meningkatkan mutu pelajaran, dan mengawasi guru-guru yang ada di sekolah Muhammadiyah. Atas jasanya inilah di kemudian hari sekolah Muhammadiyah mencapai kemajuan. K.H. Hisyam berusaha keras untuk meningkatkan, bahkan melampaui kualitas sekolah yang dimiliki oleh Muhammadiyah agar mampu bersaing dengan sekolah milik pemerintah. Kebijakan modernisasi sekolah Muhammadiyah ini ditujukan agar orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya agar tidak memasukkan anaknya ke sekolah pemerintah, tetapi mendaftarkan ke sekolah milik Muhammadiyah. Karena selain mutu yang terjamin, juga dipelihara kualitas pendidikan agamanya. Dimulai dengan penataan pendidikan yang berjenjang dengan membuka sekolah desa (volkschool), sekolah lanjutannya, yaitu vervolkschool, kemudian standaardschool (sekolah sambungan 6 tahun) sebagaimana yang baru dibuka oleh pemerintah.[4] Pada masa awal kepemimpinannya, sekolah-sekolah Muhammadiyah sedang mengalami pertumbuhan dan peletakan dasar pendidikan. Dalam kenyataan di lapangan, kuantitas sekolah Muhammadiyah terus menunjukkan pertambahan, namun di sisi lain kualitas pengajaran dan sistem pendidikannya belum tertata dengan baik.

Departement van Onderwijs

sunting

Setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah dipimpin oleh K.H. Ibrahim sejak tahun 1923.[4] Salah satu kebijakan yang dibuat pada masa K.H. Ibrahim adalah membentuk sebuah departemen khusus yang bertugas untuk mengurusi permasalahan sekolah Muhammadiyah pada tanggal 15 Juli 1923. Departemen ini dinamakan Departent van Onderwijs Moehammadijah. Pembentukan departemen ini untuk menangani pengajaran dan pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Pembenahan metode mengajar dan penggunaan buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah Muhammadiyah merupakan bagian kerja dari departemen ini. Kedepannya, Muhammadiyah berharap agar departemen ini dapat membuat standrisasi materi dan metode (kurikulum) yang digunakan di setiap jenjang sekolah Muhammadiyah. Mas Ngabehi (M.Ng) Djojosoegito ditunjuk untuk memimpin departemen ini. Ia adalah misan dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU), tetapi ia sejalan dengan gagasan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan.

Penunjukan Djojosoegito tersebut membuat K.H. Hisyam mengajukan permohonan kepada Hoofd Bestuur Muhammadiyah untuk mengundurkan diri sebagai ketua Bagian Sekolahan. Belum diketahui alasan pasti permohonan pengunduran diri tersebut. Permohonan ini tidak dikabulkan dalam persidangan Hoofd Bestuur Muhammadiyah pada tanggal 15 September 1923.[5] Keputusan ini didasarkan pada kontribusi K.H. Hisyam sebelumnya dalam memimpin Bagian Sekolahan yang begitu besar. Karena itu, posisi K.H. Hisyam diubah menjadi anggota dalam Departement van Onderwijs Moehammadijah.

Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah

sunting

Dua bulan berselang, tepatnya pada tanggal 15 September 1923, K.H. Ibrahim mengeluarkan maklumat yang berisi pendirian Madjelis Pimpinan dan Pengadjaran Moehammadijah atau MPM. Tugas MPM sebenarnya tidak jauh berbeda dari Departement van Onderwijs Moehammadijah yaitu mengawasi, mengatur, dan memperbaiki pengajaran di sekolah-sekolah Muhammadiyah.[5] Pimpinan MPM saat itu diserahkan pada tiga orang, yaitu M.Ng. Djojosoegito, R.Sosrosoegondo dan K.H. Hisyam. Walaupun hanya tiga orang, namun MPM menunjukkan perkembangan pesat. Gagasan K.H. Hisyam dalam memajukan sekolah Muhammadiyah yang ditopang perbaikan dan ketertiban administrasi disalurkan melalui MPM. Djojosoegito dan R. Sosrosoegondo yang memiliki latarbelakang pengelola sekolah pemerintah juga memberikan dukungan yang tidak kalah penting bagi perkembangan sekolah Muhammadiyah.

Hanya dalam waktu kurang dari setahun, ketiganya berhasil menyusun kebijakan strategis bagi perbaikan sekolah Muhammadiyah. Pada tahun 1924, MPM mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan yaitu “Ketentoean oentoek Moehammadijah Bahagian Sekolahan tentang Sekolah-sekolah Moehammadijah”.[6] Ketentuan ini memuat tentang pendirian dan pengajaran sekolah, hari libur, ketentuan guru, murid, dan hukuman terhadapnya, biaya sekolah, guru, kepala sekolah, dan administrasi sekolah. Pada tahun yang sama, MPM juga menyusun Rangrang Pengadjaran (Leerplan) pada sekolah Klas II Moehammadijah. Kebijakan-kebijakan ini berdampak penting terhadap perkembangan sekolah Muhammadiyah pada tahun-tahun selanjutnya.

Konflik Internal

sunting

Di tengah pesatnya upaya MPM dalam menata dan memperbaiki sekolah Muhammadiyah, terdapat ganjalan yang cukup serius. Ganjalan ini disebabkan masuknya paham Ahmadiyah di kalangan pengurus. M.Ng. Djojoseogito yang merupakan pengurus inti MPM terpengaruh gagasan Ahmadiyah saat ia berinteraksi dengan Maulana Achmad dan Mirza Wali Achmad Beig. Keduanya ditugaskan untuk melakukan lawatan ke China, Jepang, dan Jawa. Setelah tiba di Jawa, keduanya menaiki kereta menuju Yogyakarta dan disambut oleh H. Fachroddin untuk langsung diajak ke kantor Muhammadiyah.[5] Keduanya kemudian menyampaikan gagasan-gagasan Ahmadiyah tentang agama Islam. Awalnya mereka disambut sebagai tamu yang harus dihormati, namun kenyataannya bertolak belakang dengan keadaan ini. Keduanya justru mendapat peluang untuk menyampaiakn ajaran Islam menurut Ahmadiyah di forum-forum Muhammadiyah. Tidak disangka, ternyata M.Ng. Djojosoegito terpengaruh oleh gagasan Ahmadiyah. Untuk mengantisipasi penyebaran gagasan ini lebih jauh, sebagian tokoh Muhammadiyah seperti H. Fachrodin dan Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) melakukan usaha antisipatif dan preventif yang ditujukan kepada M.Ng Djojosoegito. Usaha yang dilakukan adalah menggeser posisi M. Ng. Djojosoegio yang semula pimpinan elit Muhammadiyah dan Ketua MPM diturunkan menjadi anggota biasa.

Perlakuan yang diberikan kepada M.Ng. Djojosoegito membuatnya terkucil dari lingakaran elit Muhammadiyah kemudian memutuskan pergi dari Muhammadiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) dengan Mirza Wali Achmad Beig sebagai penasihatnya.[7] Djojosoegito tidak sendiri meninggalkan Muhammadiyah. Beberapa anggota Muhammadiyah mengikuti jejaknya dan menjadi anggota GAI. Tidak hanya itu, Muhammadiyah Cabang Purworejo yang pernah dipimpin Djojosoegito menyampaikan protes karena menilai tindakan yang dilakukan Hoofd Beestur Muhammadiyah terlalu berlebihan. Jasa yang diberikan Djojosoegito bagi Muhammadiyah Purworejo, dan Hoofd Bestuur maupun MPM sangat besar.

Kebijakan Majelis Pendidikan Muhammadiyah

sunting

Di tengah kemelut yang terjadi, struktur baru MPM yang dipimpin oleh H.M. Moechtar sebagai ketua dan M.J. Anies sebagai sekretaris menyadari betapa penting kedudukan MPM bagi keberadaan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pengurus baru tersebut segera mencari dukungan dan modal untuk menunjang jalannya organisasi, salah satunya adalah dari cabang-cabang Muhammadiyah yang merupakan elemen penting dalam Muhammadiyah. Karena itulah mereka berusaha keras agar cabang mau mendukung program-program yang akan dilaksanakan. Usaha ini rupanya ditanggapi positif oleh cabang-cabang yang tidak terganggu dengan persoalan yang menimpa MPM. Mereka mendukung sekuat tenaga MPM dengan harapan agar perbaikan kualitas sekolah tercapai. Langkah pertama yang ditempuh adalah melanjutkan dan mengawal program MPM periode sebelumnya, seperti mengesahkan buku-buku pelajaran, mengadakan alat belajar, mengawasi implementasi kurikulum, dan menjalankan regulasi tentang guru beserta gajinya.[8] Selain itu, pengurus baru ini juga berupaya menggenapi kekurangan yang terdapat pada periode Djojosoegito dengan program unggulan. Salah satu program unggulan pada periode ini adalah penanaman nilai-nilai keislaman pada murid-murid, sehingga mereka memiliki perasaan dan perbuatan yang dilandasi nilai-nilai keagamaan.

Para pengurus baru MPM beserta Hoofd Bestuur Muhammadiyah secara berkala menyosialisasikan program unggulan tersebut ke semua sekolah dan cabang Muhammadiyah. Usaha ini dilakukan dari atas ke bawah sehingga tercipta kondisi dimana pelaksanaan dan pengawasan teratur dan tersistem. Para pengurus MPM seperti K.H. Hisyam dan R. Sosrosoegondo melakukan lawatan ke lebih dari 40 tempat di Jawa. Gagasan School Opziener yang dilontarkan oleh K.H. Hisyam pada saat memimpin bagian sekolahan baru bisa direalisasikan pada masa ini. Para school opziener bersama pengurus MPM turun ke sekolah Muhammadiyah untuk memantau perkembangan dan jalannya pendidikan. Terlihat dengan jelas peran K.H. Hisyam dalam mengembangkan pendidikan Muhammadiyah. Hal inilah yang mengantarkan beliau menjadi Wakil Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah mendampingi K.H. Ibrahim.[5] Posisi ini rupanya tidak dipegang dalam waktu yang lama oleh K.H. Hisyam. Tiga bulan pasca memperoleh jabatan wakil ketua Hoofd Bestuur, ia diserahi jabatan untuk memegang kembali MPM sebagai ketua. K.H. Hisyam melanjutkan program yang telah terlaksana sebelumnya sekaligus menekankan peran dan fungsi MPM bagi kemajuan sekolah Muhammadiyah. MPM berupaya keras untuk melakukan meningkatkan kualitas sekolah Muhammadiyah.

Diantara peran penting MPM di bawah K.H. Hisyam saat itu antara lain melakukan pemerataan kualitas sekolah dengan melakukan mutasi guru. Hingga tahun 1933 tercatat lebih dari 164 guru telah dimutasi oleh MPM. Sedangkan pembinaan calon guru dilakukan dengan mengirimkan lulusan Kweekschool Muhammadiyah ke tempat-tempat yang telah ditentukan. Mereka diberi kesempatan selama beberapa waktu agar menjadi guru yang mampu menerapkan ilmu agama dan kelak menjadi guru agama yang handal. Setelah usai, mereka ditarik kembali ke Kweekschool Muhammadiyah dan diberi sambutan dengan perayaan khusus. Majelis Pimpinan dan Pengajaran Muhammadiyah juga memperbaiki kualitas administrasi dan tata kelola sekolah Muhammadiyah, seperti penggunaan buku pelajaran.[8] Buku pelajaran, khususnya yang memuat tentang agama Islam selalu dipantau agar sekolah mengajarkan agama berdasarkan paham Muhammadiyah. Tiap sekolah Muhammadiyah wajib melaporkan buku-buku agama yang diajarkan. Jika ditemukan buku agama yang tidak sesuai dengan paham Muhammadiyah, maka MPM meminta kepala sekolah untuk menggantinya dengan buku yang diterbitkan oleh persyarikatan.

Referensi

sunting
  1. ^ Ali, Mohamad, 1973-. Paradigma pendidikan berkemajuan : teori dan praksis pendidikan progresif religius K.H. Ahmad Dahlan (edisi ke-Cetakan I). Yogyakarta. ISBN 978-602-9417-74-6. OCLC 1077577248. 
  2. ^ 1 abad Muhammadiyah : gagasan pembaruan sosial keagamaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010. ISBN 978-979-709-498-0. OCLC 653499438. 
  3. ^ Sudja', Muhammad, 1882-1962,. Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan : catatan Haji Muhammad Sudja'. Suara Muhammadiyah (Publisher), (edisi ke-Cetakan I). Yogyakarta. ISBN 978-602-6268-49-5. OCLC 1077577991. 
  4. ^ a b Hadikusuma, Djarnawi. (2010). Matahari-matahari Muhammadiyah (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-82-9. OCLC 694081098. 
  5. ^ a b c d Setiawan, Farid,. Genealogi dan modernisasi sistem pendidikan Muhammadiyah, 1911-1942 (edisi ke-Cetakan pertama). Sleman, Yogyakarta. ISBN 978-602-72517-6-2. OCLC 1078955728. 
  6. ^ Soeara Moehammadijah, No. 4, Th. ke-5, 12 Maret 1924.
  7. ^ M. Masyhur Amin, Dinamika Islam (Sejarah Transformasi dan Kebangkitan), (Yogyakarta: LKPSM, 1995), hlm. 120.
  8. ^ a b Meneguhkan identitas budaya : sejarah pendidikan di Yogyakarta. Nurhajarini, Dwi Ratna,, Yogyakarta (Indonesia : Daerah Istimewa). Dinas Kebudayaan,. [Yogyakarta, Indonesia]. ISBN 978-602-50863-7-3. OCLC 1103587055.