Usaba Sumbu

Revisi sejak 12 Juni 2023 07.00 oleh AABot (bicara | kontrib) (fix)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Usaba Sumbu adalah ritual adat agama di Kabupaten Karangasem yang masih dapat dijumpai di beberapa Desa Pakraman, seperti di Desa Timbrah, Desa Pertima, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Bali. Ritual Usaba Sumbu memiliki keunikan berupa adanya tradisi Guling Siyu yang menjadi sebuah tradisi turun temurun yang diwariskan dari waktu ke waktu.[1]

Sejarah

sunting

Usaba Sumbu telah ada sejak abad ke-16. Dalam Babad Dalem, Desa Adat Bungaya tergolong sebagai desa tua yang merupakan bagian pemerintahan Dalem Waturenggong. Dalam perkembangannya, I Gusti Alit Ngurah Bungaya, keturunan Pangeran Asak mengukuhkan Raja Gelgel Dalem Dimade sebagai Pemacek Desa Bungaya abad ke-18. Upacara Usaba Sumbu merupakan simbolisasi rasa syukur atas kemakmuran dan ketangguhan Kerajaan Gelgel, yang ditandai dengan Sumbu berbentuk seperti penjor dengan aneka hasil pertanian, jaja, daging babi, dan daun kelapa serta berbagai macam bunga[2]

Upacara

sunting

Secara etimologis, Usaba Sumbu dengan tradisi Guling Siyu memiliki tiga arti, yaitu usaba yang didefinisikan sebagai upacara, guling yang merupakan babi yang dipotong secara utuh yang kemudian perutnya diisi dengan bumbu bumbu tradisional dan kemudian dijarit kembali lalu dibakar diatas bara api dengan cara diputar putar, dan siyu yang berarti seribu. Tradisi Guling Siyu dapat dikatakan sebagai persembahan suci kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam bentuk sesajen dan guling dalam jumlah ribuan oleh masyarakat Desa Timbrah.[1]

Usaba Sumbu yang dilaksanakan dengan tradisi Guling Siyu memiliki kegunaan kompleks dalam lingkup masyarakat yang memiliki nilai budaya, nilai persaudaraan dan nilai ekonomi. Tradisi ini masih tetap bertahan sebagai sebuah jati diri budaya dari masyarakat Desa Pakraman Timbrah yang menggambarkan kehidupan sehari hari mereka.

Nilai persaudaraan terlihat dari saling berbagi kepada sesama yang belum bisa memberikan guling sebagai persembahan karena satu dan lain alasan maupun dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak memadai. Nilai ekonomi yang dapat dipetik dari tradisi ini adalah meningkatnya ekonomi masyarakat yang dikarenakan adanya permintaan pemasokan babi maupun ayam dan ternak lainnya sehingga masyarakat membuk usaha ternak ataupun beternak untuk persiapan dipergunakan sendiri. Hal tersebut secara tidak langsung meningkatkan perekonomian warga setempat.[3]

Rujukan

sunting
  1. ^ a b Katalog warisan budaya takbenda indonesia. jakarta: direktorat warisan dan diplomasi budaya. 2018. hlm. 63–64. 
  2. ^ JawaPos.com (2018-06-14). "Usaba Sumbu, Simbol Ketangguhan dan Kemakmuran di Bungaya". JawaPos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-21. Diakses tanggal 2020-07-11. 
  3. ^ JawaPos.com (2018-06-14). "Usaba Sumbu, Simbol Ketangguhan dan Kemakmuran di Bungaya". JawaPos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-21. Diakses tanggal 2019-09-21.