Jainisme

agama dari anak benua India

Jainisme (Sanskerta: जैनधर्म - Jainadharma, bahasa Tamil: சமணம் - Samaṇam) adalah sebuah agama dharma. Jaina bermakna agama penaklukan. Dimaksudkan penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi. Agama Jaina itu dibuat oleh Nataputta Vardhamana, hidup pada 559–527 SM yang beroleh panggilan Mahawira yang berarti pahlawan besar.

Bendera kaum Jain

Agama Jaina lahir lebih dahulu daripada agama Buddha. Agama Buddha punya pengikut lebih luas di luar India, tetapi agama Jaina terbatas hanya di India saja. Kedua agama tersebut merupakan reaksi terhadap perikeadaan di dalam agama Hindu mengenai perkembangan ajarannya pada masa lampau.

Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.

Asal-usul

Istilah Jaina yang paling dekat dengan “kitab suci” adalah agama, “kedatangan” seperangkat doktrin melalui transmisi oleh paraguru otoritatif dan bersilsilah jelas, yaitu orang-orang “tercerahkan” yang telah menemukan kebenaran ahimsa. Agama disimpulkan dalam sebuah pernyataan yang sering dikutip: “Sang Manusia yang Layak menurutkan makna, kemudian para murid menyusun sutta (teks suci), dan kemudian teks suci berlanjut demi kebaikan doktrin”. Inilah yang membuat makna sebuah teks terpisah dari kata-katanya. Terlebih lagi, sutta bermakna “indikasi” – sesuatu yang hanya mengisyaratkan atau menunjukkan kepada makna yang secara utuh hanya diterangkan oleh seorang guru yang mumpuni.

Melalui hal itulah, dapat disaksikan bahwa proses tiga lapis ini terjadi pula dalam kisah Mahavira. Setelah pencerahanya, diriwayatkan bahwa ia berkhotbah di kuil roh pohon di hadapan raja dan ratu Champa, serta sekerumunan besar asketik, dewa, orang awam, dan binatang. Para murid Mahavira yang menyimak khotbah tersebut kemudian menyampaikan pesannya secara lisan, sehingga menjadi sebuah sutta. Namun, ini hanya merupakan “indikasi” kata-kata Mahavira. Ia menuturkan kebenaran yang abadi dan tetap, yang seperti alam semesta itu sendiri, tak berawal dan telah disampaikan pula oleh para “manusia tercerahkan” pada era-era sebelumnya. Sutta tidak merekam kata-kata Mahavira sendiri, tetapi sebuah komentar semata terhadap pesannya.

Ini barangkali dapat menjelaskan keyakinan kuat umat Jaina bahwa kitab-kitab suci meraka tidak lengkap dan bahwa kebenaran-kebenaran penting telah hilang–sebuah tema yang kita jumpai pula dalam tradisi-tradisi lain. Ada pernyataan bahwa setiap dari 24 tithankara mengajarkan doktrin ahimsa kepada lingkaran muridnya, dan pada setiap masa para murid merekam ajaran-ajaran sang guru dalam empat belas kitab suci. Namun, tragisnya setelah kematian setiap tithankara, para murid yang bertanggung jawab menyampaikan ajarannya tewas dalam bencana kelaparan, sehingga sehingga ajaran-ajaran yang penting pun hilang. Oleh karenanya, setiap kali seorang tithankara wafat, umat Jaina selalu hanya mendapat kanon kitab suci yang tidak lengkap. Kitab-kitab suci yang tersisa sedikit itu hanya mengabadikan doktrin-doktrin yang kurang penting dan diperentukkan bagi perempuan dan anak-anak, karena hanya lelaki yang mampu memahami ajaran-ajaran yang lebih tinggi. Umat Jaina mencoba memperbaiki kelemahan metode pewarisan kitab suci mereka melalui serangkaian siding (vacana). Sidang pertama digelar pada pertengahan abad ke-3 SM di Pataliputra, dan sidang kedua serta ketiga digelar pada abad ke-4 dan ke-5 M. Terjemahan yang lebih akurat dari vacana adalah “wacana” atau “pembacaan”. Tidak ada debat intelektual dalam sidang-sidang ini; peserta menyimak para biarawan membacakan kitab-kitab suci yang mereka hafalkan.

Konsep pemahaman

Menurut Karen Armstrong, Jainisme memang sering dianggap ateistik. Ajaran ini tidak memiliki konsep seperti Tuhan versi Barat modern yang menganut kosmos; bagi Mahavira, deva adalah suatu makhluk yang mencapai keilahian dengan jalan menghormati esensi suci setiap makhluk lebih jauh, Mahavira percaya bahwa siapa pun yang mengikuti tuntunannya secara otomatis akan menyucikan kemanusiaannya dan menjadi “pahlawan agung”.

Belakangan, pengikut Jaina mengembangkan sebuah kosmologi pelik yang memandang karma sebagai materi halus, semacam debu, yang membebani roh. Mereka kemudian memandang bahwa Mahavira sebagai sekadar seorang tokoh dalam sederetan panjang tirthankara (penyelamat atau guru spiritual) yang telah berhasil menyebeerangi sungai dukkha dan mengajarkan ahimsa. Namun, teks-teks Jain paling awal tidak menunjukkan adanya doktrin-doktrin ini, meskipun memandang ada penyebutan mengenai “orang-orang pandai” yang menyerukan ahimsa pada masa lampau. Tampaknya bagi Mahavira, jalan menuju pencerahan adalah ahimsa tout court (semata).

Umat Jaina percaya bahwa mansia ditentukan bukan oleh kelas sosial berdasarkan Weda, melainkan oleh perbuatan mereka. Mereka tidak tertarik sedikit pun kepada Weda dan tidak menganggap kitab-kitab itu diilhami wahyu ilahi. Mereka mengecam ritualisme teks-teks Brahmana sebagai “ilmu kekejaman” – teks-teks dan mantra-mantra itu tidak bisa menetralisasi kekejaman pengorbanan ternak tak berdaya.

Mereka mengembangkan ritual tersendiri, yang jauh lebih penting daripada kitab suci. Hal ini dikarenakan ritual-ritual itu memungkinkan mereka mendapatkan kesadaran bahwa segala sesuatu di sekeliling mereka – bahkan benda-benda yang tampaknya tidak hidup memiliki jiva yang dapat merasakan penderitaan. Oleh karenanya, umat Jaina selalu berjalan dengan sangat hati-hati supaya tidak dengan ceroboh menginjak seekor serangga; mereka melatakkan barang dengan lembut dan tidak pernah bergerak dalam gelap untuk mencegah diri mereka secara tidak sengaja melindas sesama makhluk.

Seperti halnya semua penolak dunia, umat Jaina melaksanakan empat sumpah yang melarang pembunuhan, dusta, mencuri, dan hubungan kelamin. Namun, menambahkan unsur-unsur yang menumbuhkan kebiasaan empati. Seorang Jaina bukan hanya harus menahan diri dari berdusta, penganut laki-laki atau perempuan (Jaina mengizinkan perempuan menjadi anggota sangha mereka) harus tidak pernah berbicara kasar atau gusar. Tidak cukup hanya menahan diri tidak mencuri, seorang Jain juga dilarang memiliki apa pun karena setiap benda atau makhluk memiliki jiva yang berdaulat dan merdeka.

Lebih lanjut, umat Jaina lebih memilih mengembangkan bentuk meditasi mereka sendiri daripada menghabiskan waktu berlatih yoga, yaitu berdiri tidak bergerak dalam postur tithankara, tangan tergantung lurus di sisi badan mereka yang secara sistematis menekan semua pikiran dan dorongan jahat. Pada saat yang sama, mereka melakukan upaya sadar untuk mengisi pikiran dengan kasih dan kebaikan kepada semua makhluk.

Umat Jaina yang telah berpengalaman akan berupaya mencapai kondisi yang mereka sebut sebagai samakiya (ketenangan), yang di dalamnya mereka tahu bahwa semua benda, binatang, dan manusia berstatus setara pada semua level keberadaan mereka. Mereka juga menyadari tanggung jawab mereka kepada sembarang makhluk, serendah atau semenjijikkan apa pun itu.

Ritual Jaina begitu berat, sehingga hanya ada sedikit waktu untuk mengkaji kitab suci. Umat Jaina tidak mengalami yang ilahi dalam teks-teks suci mereka, tetapi dengan menumbuhkan kesadaran tentang kesucian segala sesuatu. Selama berabad-abad kemudian, mereka mengembangkan sikap ambivalen terhadap kitab suci. Mereka sepakat bahwa kitab suci mungkin dapat membantu orang yang belum tercerahkan, dengan cara membuat mereka menyadari pentingnya ahimsa. Namun, ketika seseorang berkomitmen menempuh jalan Jaina, kitab suci tidak lagi berperan penting.

Kebanyakan penganut Jaina tidak terlalu berminat membaca kitab suci mereka, bahkan kitab suci bisa berbahaya bagi orang yang belum menjalani inisiasi. Sampai sekarang, sejumlah sekte Jaina tidak memperbolehkan orang awam membaca kitab-kitab suci mereka, bahkan para biarawati Jaina hanya boleh membaca kumpulan kutipan yang diseleksi secara ketat. Ada kekhawatiran mereka bahwa tiap orang akan merasa telah menguasai pesan Jaina hanya dengan memahaminya secara intelektual.

Pengakuan terus terang umat Jaina tentang terjadinya disintegrasi corpus kitab suci mereka bermakna bahwa mereka tidak punya konsep kanon yang baku. Pada dasarnya, teks apa pun yang cukup kuno bisa memiliki derajat otoritas tertentu dan meski nyaris mustahil melacak masa penyusunan teks itu, sangat sedikit teks yang mengklaim berasal dari masa Mahavira. Para peneliti Barat kerap menganggap teks-teks yang muncul belakangan ini sebagai tidak autentik dan berasumsi bahwa Kalpa Sutra adalah kitab suci penting Jaina karena teks tersebut dilestarikan dalam begitu banyak manuskrip yang disertai ilustrasi yang kaya. Memang teks itu penting bagi umat Jaina, tetapi bukan karena merekam kata-kata Mahavira, atau dihormati karena isi pesannya, sebab sangat sedikit umat Jaina yang mempu memahami dialek kuno Prakrit. Derajatnya tergantung sepenuhnya pada perannya dalam perayaan Paryushan (arti harfiahnya “menetap”), hari terpenting dalam setahun bagi umat awam Jaina. Festival itu merayakan kedatangan muson, momen ketika para asketik berhenti berkelana dan menetap Bersama umat awam, yang merayakan kedatangan mereka. Kalpa Sutra dibacakan sebagai tindak solidaritas untuk menyatukan komunitas. Di Gujarat masa sekarang, selama tujuh hari pertama perayaan yang dihadiri sedikit orang, ringkasan Sutra dibacakan dalam bentuk terjemahan bahasa sehari-hari. Namun, pada hari kedelapan yang dihadiri banyak orang, para biarawan membacakan seluruh Sutra dalam bahasa asli Prakrit dengan kecepatan luar biasa sehingga tak seorang pun–bahkan seorang pakar bahasa Prakrit–bakal mampu memahaminya. Sementara itu, selama pembacaan, manuskrip-manuskrip Sutra yang berilustrasi diarak di jalan-jalan sebagai objek pemujaan. Kitab suci ini penting bagi umat Jaina bukan karena isi ajarannya, melainkan karena perannya dalam ritual.

Aliran penolak dunia kedua yang kelak menjadi sebuah tradisi keaagamaan besar didirikan oleh Siddatta Gautama, rekan sezaman Mahavira tetapi lebih muda, yang kemudian dikenal sebagai Buddha, atau “Yang Tercerahkan”. Menurut perkiraan para pakar modern, dia wafat pada sekitar 400 SM. Mahavira dan Gautama memiliki banyak kesamaan. Keduanya berasal dari kasta Ksatria (Gautama berasal dari sebuah keluarga aristocrat di republic Sakka); keduanya memercayai doktrin karma dan kelahiran kembali’ dan keduanya mencapai pencerahan tanpa bimbingan guru, hanya mengandalkan upaya pribadi mereka tanpa bantuan siapa pun. Mereka berdua tidak percaya Weda berasal dari wahyu ilahi dan keduanya mengaku mengajarkan kebenaran kuno yang disadari “para orang pandai” masa lalu: telah ada banyak Buddha sebelum Gautama, dan dia maupun Mahavira menekankan bahwa siapa pun bisa mencapai tingkatan tinggi ini jika menjalankan latihan-latihan yang benar. Untuk itu, keduanya membentuk komunitas para murid, yang mereka sebut gana (“pasukan”) atau sangha (“sidang”); ini adalah istilah-istilah kaum Ksatria untuk persaudaraan-prajurit kaum muda dalam kehidupan tradisional Arya, tetapi keduanya menolak kekerasan dan menekankan pentingnya welas asih kepada semua makhluk.

Kitab-kitab suci Buddhis tidak memberi kita narasi berkesinambungan tentang kehidupan Buddha, dan tidak terlalu banyak pula mengisahkan tentang misi pengajarannya selama 45 Tahun. Namun, umat Buddhis masa awal merenungu dalam-dalam berbagai peristiwa terpilih dalam perjalanan hidup Buddha, yang dikisahkan secara detail dalam kitab-kitab suci Pali–keputusannya meninggalkan kehidupan berkeluarga, perjuangan panjangnya mencapai nirwana, pengalamannya mencapai pencerahan, masa-masa dia mengajar, dan wafatnya–karena episode-episode ini memberitahu mereka apa yang harus diperbuat untuk mencapai pencerahan. Imbauan untuk menjalani laku penuh dedikasi ini mentransformasikan sejarah hidup Buddha menjadi sebuah mitos yang tak bermaksud menawarkan biografi akurat Gautama, tetapi lebih merupakan upaya mengungkapkan sebuah kebenaran abadi. Nirwana bukan tujuan mustahil; hal itu ada dalam fitrah manusia dan bisa dipakai oleh siapa pun yang mengikuti teladan Buddha. Seperti mitos mana pun, maknanya tetap samar jika tidak diterapkan setiap saat, setiap hari.

Jika umat Jaina hanya menaruh sedikit minat pada teknik-teknik meditative yang rumit, Buddha mencapai nirwana melalui sebuah yoga khusus. Kitab-kitab suci memberi tahu kita bahwa setelah meninggalkan rumah, dia menjalani latihan di bawah bimbingan sejumlah yogi (pelaku yoga) yang paling mumpuni saat itu. Pada masa itu, yoga telah menjadi ilmu yang disusun secara cermat, yang memungkinkan yogi menggembleng dirinya sendiri untuk memasuki kondisi transenden, dengan melakukan hal-hal yang berkebalikan dari perilaku alamiah manusia. Ketika berlatih asana, yogi mencegah dirinya bergerak: sementara tubuh kita secara alamiah selalu bergerak–bahkan dalam tidur pun tubuh kita tidak pernah sepenuhnya diam–sehingga Ketika yogi duduk tanpa gerak dalam posisi yang benar selama berjam-jam, dia tampak lebih mirip tumbuhan atau patung ketimbang manusia. Ketika berlatih pranayama, dia mencegah fungsi-fungsi badan kita yang paling naluriah dengan cara mengatur nafasnya secara radikal. Yogi kemudian menemukan bahwa disiplin jasmani ini mmebangkitkan perasaan kebesaran, keluasan, dan ketenangan yang agung. Dia pun siap melakukan ekagrata, konsentrasi “pada satu titik”. Pikiran kita selalu berubah-ubah, sarat dengan berbagai gagasan serta emosi yang bergejolak tanpa henti memenuhi kesadaran kita. Oleh karena itu, yogi berlatih untuk memusatkan perhatian pada satu objek dengan inteleknya semata, indra-indranya berhenti beraktivitas, dengan gigih dia mencegah timbulnya emosi atau asosiasi apa pun. Sampai pada akhirnya dia memasuki kondisi trance (jhana), yang di dalamnya dia akan menemukan bahwa dirinya tak terpengaruh oleh hasrat, kenikmatan, atau kepedihan. Pada tahap-tahap berikutnya, dia akan mengalami rasa ketakberbatasan dan persepsi kekosongan yang secara pardoks secara penuh. Para yogi yang amat berbakat dapat memasuki serangkaian “keadaan meditatif” (ayatana) yang demikian intens sehingga mereka merasa memasuki tanah dewata, karena keadaan ini tak serupa denga napa pun dalam kehidupan sehari-hari, mereka sesungguhnya mengalami kesadaran murni yang hanya menyadari dirinya sendiri.

Kitab suci

Kitab suci di dalam agama Jaina adalah Siddhanta. Kitab ini terdiri atas beberapa himpunan. Himpunan pertama terdiri atas dua belas buah Angas atau bab, tetapi Angas keduabelas telah lenyap, tidak dijumpai sampai sekarang.

Referensi

  • Hume, Robert, "World's Living Religions", 1930.
  • Gaer, Joseph "How the Great Religions Began", 1960.