Wadi adalah makanan fermentasi ikan yang berasal dari Kalimantan, tepatnya Kalimantan Tengah dari budaya kuliner Suku Dayak dan Banjar. Ikan ini berfungsi sebagai cadangan bahan makanan dan untuk menjaga kondisinya, disimpan di dalam balanai, semacam guci. Wadi sebenarnya bisa dibuat dari banyak jenis ikan, namun yang disukai adalah yang ikan yang punya banyak kandungan lemak dan daging, seperti ikan patin, jelawat, papuyu, gabus, baung, puyau, atau gurami.[1]

Sebagai alternatif, daging babi hutan juga bisa diolah menjadi wadi.[2]

Budaya kuliner wadi sebenarnya mirip dengan funazushi di Jepang. Hanya saja waktu pembuatan wadi lebih pendek, hanya dalam hitungan minggu, jika dibandingkan dengan funazushi yang mencapai tahunan. Selama fermentasi, daun nangka digunakan untuk mengurangi kemungkian hasil akhir fermentasi ikan atau babi hutan menjadi busuk dan berulat.[2]

Cara membuat

Wadi dibuat dengan cara mencuci bersih ikan atau babi hutan yang akan difermentasi. Setelah dipotong-potong seukuran telapak tangan, daging ini kemudian ditaburi garam dan didiamkan dalam sehari semalam. Dengan adanya pengaruh garam, maka aktivitas bakteri dalam fermentasi menjadi terbatas sehingga tidak berujung pembusukan. Setelah didiamkan semalam, ikan dicuci bersih dan hari berikutnya direndam dengan larutan gula aren. Lalu ikan ditiriskan dan ditaburkan potongan bawang putih untuk memberikan bau harum.[3]

Setelah itu, ikan dimasukkan dalam wadah yang kedap air dan udara dan ditaburi beras yang sebelumnya sudah diolah menjadi berwarna kekuningan. Beras ini mengalami proses pencucian, penirisan, pendiaman semalam, dan disangrai sehingga tidak lagi berwarna putih.[3]

Jika proses fermentasi berjalan dengan benar, maka wadi akan menjadi ikan yang terfermentasi dengan bau tajam, namun tidak membusuk atau dirubungi ulat.[3]

Penyajian

Wadi sebenarnya bisa saja disajikan begitu saja tanpa dimasak atau dalam keadaan mentah. Penggunaan wadi sebagai makanan dalam keadaan mentah dianut oleh warga di daerah Tewang Pajangan. Bisa pula wadi mentah dinikmati dengan kucuran jeruk nipis. Namun pada masa kini, biasanya wadi sudah disantap dalam keadaan dimasak, terutama dengan cara digoreng.[4]

Wadi juga bisa dimasak dengan mencampurkan ikan dengan bumbu yang dihaluskan, seperti lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih, garam, dan merica. Terakhir kemudian serai yang sudah digeprek dimasukkan untuk menambah aroma wangi.[5]

Nutrisi

Seperti juga ikan mentah biasa, hasil fermentasi ikan menjadi wadi tetap memberikan nutrisi utama protein, yaitu 17,8 persen jika tanpa ditambah samu. Setelah digoreng, kandungan proteinnya ada di angka 28,7 persen.[6]

Nilai ekonomis

Pengolahan fermentasi dari ikan air tawar biasa menjadi wadi memberikan peningkatan nilai tambah kepada hasil perikanan di Kalimantan. Jika ikan patin mentah biasa berharga Rp 70.000 per kilogram, maka hasil olahan menjadi wadi patin meningkatkan nilainya menjadi Rp 90.000 per kilogram.

Pariwisata

Karena tahan disimpan lama, hingga satu tahun lamanya, maka wadi, terutama wadi patin, kini menjadi salah satu oleh-oleh khas Kalimantan Tengah. Oleh-oleh ini meningkatkan pendapatan dari pariwisata karena menjadi salah satu kuliner ekstrim yang membangkitkan rasa penasaran orang-orang di luar Kalimantan Tengah. Wadi patin bisa dengan mudah ditemukan di berbagai sentral buah tangan, atau toko oleh-oleh khas Sampit Kalimantan Tengah.[7]

Budaya

Wadi menjadi bagian dari budaya Suku Dayak dan Banjar sedari dulu. Wadi bahkan dianggap sebagai bagian dari ketahanan pangan. Saat berladang dan tak sempat berburu ikan atau saat paceklik, wadi dimanfaatkan sebagai simpanan sumber protein yang dimakan bersama nasi panas mengepul.[3]

Pembuatan wadi oleh masyarakat Dayak pun terdokumentasikan dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur) (Penerbit Pusakalima : 2003).[3]

Referensi