Pramodawardhani (juga dikenal sebagai Çrī Kahulunnan atau Çrī Sanjiwana) adalah putri mahkota Wangsa Sailendra yang menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah sekitar tahun 840-an.[1]

Pramodawardhani
Sri Kahulunnan
Ratu Kerajaan Mataram Kuno
Berkuasa? – 856
(bersama Rakai Pikatan)
Kematian856
PasanganSri Maharaja Rakai Pikatan
KeturunanSri Maharaja Rakai Kayuwangi
WangsaSyailendra
AyahSri Maharaja Samaratungga
AgamaBuddhism

Peresmian Borobudur

Nama Pramodawardhani ditemukan dalam prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti itu, ia meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan ini umumnya ditafsirkan sebagai Candi Borobudur.

Sementara itu, prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). Sejarawan Dr. De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan “permaisuri”, yaitu Pramodawardhani, karena pada saat itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.

Pendapat lain dikemukakan oleh Drs. Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukan Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.

Perkawinan dengan Rakai Pikatan

Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah raja keenam Kerajaan Medang menurut prasasti Mantyasih. Dari prasasti Wantil diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri tersebut adalah Pramodawardhani.

Prasasti Kayumwungan tahun 824 hanya menyebut nama Pramodawardhani dan Samaratungga tanpa menyebut nama Mpu Manuku. Dapat diperkirakan bahwa pada tahun itu Pramodawardhani dan Mpu Manuku belum menikah.

Sementara itu pada Prasasti Munduan tahun 807 Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan, padahal pada tahun 824 Pramodawardhani masih menjadi gadis. Ini berarti di antara keduanya terdapat perbedaan usia yang cukup jauh. Mungkin usia Rakai Pikatan Mpu Manuku sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratungga.

Dari perkawinan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani diperkirakan lahir Rakai Gurunwangi Dyah Saladu (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (prasasti Wantil). Berkat jasanya dalam menumpas musuh negara bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, Rakai Kayuwangi pun bisa menjadi raja sesudah Rakai Pikatan.

Pengangkatan Rakai Kayuwangi, seorang putra bungsu, menjadi raja tersebut kelak menimbulkan kecemburuan di hati Rakai Gurunwangi, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan tahun 887.

Hubungan dengan Balaputradewa

Balaputradewa adalah raja Kerajaan Sriwijaya putra Samaragrawira. Prof. N.J. Krom menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga, sehingga Balaputradewa secara otomatis dianggap sebagai saudara Pramodawardhani.

Dr. De Casparis kemudian menyusun teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga, antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Akhirnya Balaputradewa dikalahkan Rakai Pikatan suami Pramodawardhani. Ia kemudian menyingkir ke Pulau Sumatra dan menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.

Teori De Casparis tersebut berpedoman pada prasasti Wantil tahun 856 yang menyebutkan adanya peperangan antara Rakai Pikatan melawan seorang musuh yang bersembunyi dalam benteng timbunan batu. Pada prasasti Wantil ditemukan istilah Walaputra yang ditafsirkan sebagai nama lain Balaputradewa.

Sementara itu Prof. Slamet Muljana berpendapat bahwa Balaputradewa bukan saudara Pramodawardhani. Pendapat ini berpedoman pada prasasti Kayumwungan yang menyebut Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan (yaitu Pramodawardhani). Menurut Slamet Muljana, Balaputradewa lebih tepat sebagai adik Samaratungga, dan keduanya merupakan putra dari Samaragrawira. Dengan kata lain, Pramodawardhani merupakan keponakan Balaputradewa.

Benteng timbunan batu yang menjadi markas Balaputradewa identik dengan Situs Ratu Boko. Drs. Boechari menemukan beberapa prasasti di sekitar situs tersebut, namun bukan atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (yaitu Sanjaya).

Boechari berpendapat bahwa, musuh Rakai Pikatan bukan Balaputradewa, melainkan Rakai Walaing. Istilah Walaputra dalam prasasti Wantil menurutnya bukan bermakna Balaputradewa, melainkan bermakna “anak bungsu”, yaitu julukan untuk Rakai Kayuwangi selaku pahlawan penumpas Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.

Bukti lain menunjukkan adanya kerusakan pada sebagian prasasti yang mencatat urutan silsilah Rakai Walaing. Kerusakan ini seolah sengaja dilakukan oleh Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya yang bersaing memperebutkan takhta Medang.

Apabila pendapat Slamet Muljana dan Boechari dipadukan maka dapat diajukan sebuah teori bahwa perang antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa mungkin tidak pernah terjadi. Menurut prasasti Po Ngar pada tahun 802 negeri Kamboja berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jawa. Mungkin hal ini menjadi alasan Samaragrawira pada akhir pemerintahannya membagi kekuasaan Wangsa Sailendra untuk kedua putranya. Samaratungga berkuasa di Jawa, sedangkan Balaputradewa berkuasa di Sumatra.

Teori kedua ini menjadi alternatif selain teori pertama yang menyebut Balaputradewa menyingkir ke Sumatra akibat kalah perang melawan Pramodawardhani yang dibantu Rakai Pikatan.

Rujukan

  1. ^ Hudiono, Esthi Susanti; Bodjawati, Seruni (2019). Perempuan-Perempuan Menggugat (Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonésia). Yogyakarta: Media Pressindo bekerjasama dengan Komunitas Inklusi Sosial dan Perdamaian Indonésia. hlm. 1–3. ISBN 978-623-7254-10-2. 

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS