Kinco atau Kincu adalah sebuah panggilan khusus bagi orang - orang "Kondua" dan "Bonggak" yang berada di Alam Minangkabau[1] Sumatera Barat.[2] Panggilan Kinco, tidak dibatasi usia, orang tua, pemuda, remaja, bahkan anak - anak pun bisa dipanggil dengan sebutan ini. Kata Kinco merebak tenar di Lima Puluh Kota lebih tepat nya Lurah Basandiang, Jorong Peladang. Oleh karena itu, orang yang Kinco sering dipanggil dengan "Urang Peladang" walaupun diluar Pueladang sekalipun.[2]

Hewan Kinco

Sejarah

Asal Usul

Menurut tuturan orang - orang terdahulu, sebagian mengatakan istilah Kinco berasal dari Sawahlunau, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa kata Kinco datang dari Peladang itu sendiri. [2][1]

Menurut cerita masyarakat Peladang, pada zaman dahulu ada seorang lelaki dari Sawahlunau ingin belajar di Jorong Peladang. Ia biasa dipanggil dengan gelar "Mualin" (sebagian mengatakan "Jelamli") Ia menyusuri setiap rumah rumah di sana. Ia sangat kesulitan mencari guru yang bisa mengajarinya ilmu. Lalu ada seorang berkata, "pergi lah ke desa dibawah sana, Lurah Basandiang... " Kata orang asing itu. Lalu Mualin pun pergi ke dusun kecil dilembah yang bernama Lurah Basandiang. Bertahun - tahun ia belajar di Surau disana.[1]

 
Orang Minangkabau Jaman Dulu

Pada suatu hari, ia melihat ada gadis bernama "Ides" sebagian mengatakan "Desi". Mualin pun terpesona dengannya dan sampai lah waktu ia menikah dengan Ides. Setelah mempunyai anak dan sudah remaja, Mualin menjadi kejam dan Pandia kepada bininya. Naas, talak pun telah terjadi, Mualin bercerai dengan bininya. Tetapi, Mualin tidak rela meninggalkan rumah yang telah ia bangun semenjak dahulu. Lalu ia tetap tinggal di belakang rumah istri nya. [3]

Warga Basandiang pun miris melihat kelakuan Mualin yang tetap tinggal di Peuladang walaupun sudah bercerai. Hingga terbesit dipikiran masyarakat untuk memanggil Mualin sebagai Kinco. Oleh karena itu, kata" Kinco terkenal hingga ke pelosok Minangkabau sampai saat ini.[3]

Tokoh

_


Referensi

  1. ^ a b c Zal, Moh. (1997). Bisikan Lima Puluh Kota - 1997. Jakarta: Moh. Zal. hlm. 58. 
  2. ^ a b c Sejarah Keterbatasan Akal Orang Piladang - 2010
  3. ^ a b Jawi, Kapalo (2018). Lurah Sandiang. Jakarta: Angku Jawi. hlm. 168.