I Gusti Ngurah Made Agung

raja kerajaan Badung ke-VI dan pahlawan nasional Indonesia

I Gusti Ngurah Made Agung atau yang setelah gugur bergelar Ida Tjokorda Mantuk Ring Rana (5 April 1876 – 20 September 1906) adalah Raja Badung atau Raja Denpasar ke-VI dan seorang pejuang yang menentang pemerintahan Hindia Belanda di Bali yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 5 November 2015. [2]

I Gusti Ngurah Made Agung
Sebelum
Pendahulu
I Gusti Alit Ngurah Pemecutan [1]
Pengganti
I Gusti Alit Ngurah (Tjokorda Alit Ngurah)
Informasi pribadi
Lahir(1876-04-05)5 April 1876
Belanda Puri Agung Denpasar, Badung, Bali
Meninggal20 September 1906(1906-09-20) (umur 30)
Belanda Badung, Bali
Tempat tinggalPuri Agung Denpasar, Denpasar, Bali
PekerjaanRaja Kerajaan Badung
Sastrawan
JulukanI Gusti Gede Ngurah Denpasar

Tjokorda Made Agung

Ida Tjokorda Mantuk Ring Rana
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Penobatan

Pada tahun 1902, I Gusti Ngurah Made Agung dilantik sebagai Raja menggantikan Raja sebelumnya, yakni I Gusti Alit Ngurah Pemecutan.

Sebenarnya, yang berhak menggantikan mendiang I Gusti Alit Ngurah Pemecutan adalah I Gusti Alit Ngurah (Tjokorda Alit Ngurah) yang merupakan putra mahkota dari Raja Denpasar V, akan tetapi karena umurnya pada saat itu baru berusia 6 tahun dan belum cukup umur untuk dinobatkan sebagai Raja, maka untuk sementara jabatan Raja dipegang oleh I Gusti Ngurah Made Agung yang merupakan saudara tiri Raja Denpasar V. [1]

Meletusnya Puputan Badung

I Gusti Ngurah Made Agung menentang penjajahan Hindia Belanda ketika terjadi peristiwa kandasnya sebuah kapal dagang berbendera Hindia Belanda milik seorang pedagang Tionghoa bernama Kwee Tek Tjiang yang berlayar dari Banjarmasin di pantai Sanur pada tahun 1904. Kapal tersebut bernama Sri Komala. Peristiwa kandasnya kapal dagang tersebut membuat prahaya besar di Kerajaan Badung karena Raja Badung tidak mau mengikuti kehendak pemilik kapal yang didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pada peristiwa tersebut, rakyat Sanur dituduh mencuri isi kapal hingga menyebabkan kerugian di pihak pemilik kapal. Pemilik kapal melaporkan kejadian tersebut ke Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda menuntut Raja Badung untuk bertanggung Jawab terhadap pencurian tersebut mengingat peristiwa tersebut berada di wilayah Kerajaan Badung. Raja Badung dituntut untuk membayar ganti rugi atas kejadian tersebut sebesar 3.000 dolar perak. Raja Badung menolak klaim sepihak Pemerintah Hindia Belanda karena berdasarkan pengakuan Rakyat Sanur, klaim tersebut tidak benar dan rakyat sanur merasa difitnah oleh Pemerintah Hindia Belanda. [3]

 
Jenazah I Gusti Ngurah Made Agung yang gugur saat perang Puputan Badung berkecamuk.

Pada September 1906, Pemerintah Hindia Belanda membentuk pasukan besar di bawah pimpinan Jenderal Mayor M. B. Rost van Tonningen karena blokade ekonomi tidak berhasil menghancurkan Kerajaan Badung. Pembentukan pasukan ini tidak membuat I Gusti Ngurah Made Agung menyerah. Sebaliknya, ia memilih untuk berperang melawan pasukan Belanda tersebut hingga gugur di medan pertempuran pada 20 September 1906. Pertempuran ini lebih dikenal dengan nama Puputan Badung. [2]

Penghargaan

Atas jasanya tersebut, I Gusti Ngurah Made Agung ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 5 November 2015 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2015 yang ditandatangani pada Rabu, 4 November 2015 oleh Presiden Joko Widodo. [2]

Pemkot Denpasar mengabadikan nama I Gusti Ngurah Made Agung melalui nama lapangan yang dulunya bernama "Lapangan Puputan Badung" kini bernama "Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung", dimana ditempat tersebut terjadi perang Puputan Badung tahun 1906. [4]

Sosok I Gusti Ngurah Made Agung juga diabadikan dalam monumen patung yang berada di perempatan jalan Veteran-jalan Patimura. [4]

Karya Sastra

Selain sebagai Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung dikenal pula sebagai seorang sastrawan besar pada masanya. Adapun karya-karya sastra beliau diantaranya Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Niti Raja Sasana, Geguritan Nengah Jimbaran, Kidung Loda, Kakawin Atlas, dan Geguritan Hredaya Sastra. [3]

Referensi