Pengguna:Akunnoname/Bak pasir
Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Muttalib bin Hasyim[1] lahir di Makkah[2] sekitar tahun 570,[3] dan hari ulang tahunnya diyakini jatuh pada bulan Rabi'ul Awal.[4] Dia berasal dari klan Bani Hasyim dari suku Quraisy, yang merupakan salah satu keluarga terpandang di kota itu, kendati klan ini tampaknya mengalami kesulitan ekonomi pada masa-masa awal kehidupannya.[5][a] Nama Muhammad berarti "terpuji" dalam bahasa Arab dan muncul empat kali dalam Al-Quran.[6] Dia juga dikenal sebagai al-Amin (terj. har. 'setia') ketika masih muda. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai apakah nama ini diberikan oleh orang-orang sebagai cerminan dari sifatnya,[7] atau hanya nama yang diberikan oleh orangtuanya, yaitu bentuk maskulin dari nama ibunya, "Aminah."[8] Muhammad mengambil kunya Abu al-Qasim di kemudian hari setelah kelahiran putranya, Qasim, yang meninggal dua tahun kemudian.[9]
Rieayat Islam menyatakan bahwa tahun kelahiran Muhammad bertepatan dengan upaya gagal Raja Yaman, Abrahah, untuk menaklukkan Makkah.[10] Namun, penelitian mutakhir menentang pendapat ini, sebab bukti-bukti menunjukkan bahwa ekspedisi tersebut, jika memang terjadi, pasti berlangsung jauh sebelum kelahiran Muhammad.[3][11][12][13][14][8] Para cendekiawan Muslim pada beberapa periode setelah kematian Muhammad diduga mengaitkan nama Abrahah yang tersohor pada saat itu kepada narasi kelahiran Muhammad untuk menjelaskan ayat-ayat yang rancu mengenai "orang-orang yang menunggang gajah" di dalam Al-Quran Surat 105:1-5.[11] Buku Oxford Handbook of Late Antiquity menganggap kisah ekspedisi gajah perang yang dilakukan Abraha sebagai sebuah mitos.[12]
Ayah Muhammad, Abdullah, meninggal hampir enam bulan sebelum ia lahir.[16] Menurut riwayat Islam, segera setelah lahir, ia dikirim untuk tinggal bersama sebuah keluarga Badui di padang pasir, karena kehidupan padang pasir dianggap lebih sehat untuk bayi.[17] Muhammad tinggal bersama ibu angkatnya, Halimah binti Abi Dhuayb, dan suaminya hingga ia berusia dua tahun. Pada usia enam tahun, Muhammad kehilangan ibu kandungnya, Aminah, karena sakit dan menjadi yatim piatu.[17][18] Selama dua tahun berikutnya, hingga ia berusia delapan tahun, Muhammad berada di bawah asuhan kakeknya dari pihak ayah, Abd al-Muttalib, dari klan Bani Hasyim hingga kematiannya. Dia kemudian diasuh oleh pamannya Abu Thalib, pemimpin baru Bani Hasyim.[19]
Pada masa remajanya, Muhammad menemani pamannya dalam perjalanan dagang ke Suriah untuk mendapatkan pengalaman dalam perdagangan komersial.[20] Riwayat Islam menyatakan bahwa ketika Muhammad berusia sembilan atau dua belas tahun ketika menemani kafilah Mekah ke Suriah, dia bertemu dengan seorang biarawan atau pertapa Kristen bernama Bahira yang konon telah meramalkan karir Muhammad sebagai seorang nabi Allah.[21]
Tidak banyak yang diketahui tentang Muhammad di masa mudanya karena informasi yang tersedia terfragmentasi, sehingga sulit untuk memisahkan sejarah dari legenda.[20] Dia dilaporkan menjadi seorang pedagang dan "terlibat dalam perdagangan antara Samudera Hindia dan Laut Mediterania."[22] Reputasinya menarik lamaran pada tahun 595 dari Khadijah, seorang pengusaha wanita yang sukses. Muhammad menyetujui pernikahan tersebut, yang menurut semua laporan adalah pernikahan yang bahagia.[22]
Pada tahun 605, orang-orang Quraisy mulai membangun atap Ka'bah, yang sebelumnya hanya terdiri dari empat dinding. Upaya ini membutuhkan rekonstruksi menyeluruh dari seluruh bangunan untuk memastikan integritas strukturalnya di bawah beban tambahan. Muncul kekhawatiran bahwa langkah ini akan membuat para dewa-dewi mereka murka. Akhirnya, seorang pria melangkah maju, memegang belencong, dan berseru, "Wahai dewi! Jangan takut! Niat kami hanya untuk yang terbaik," sambil mulai merobohkannya. Penduduk Mekkah tetap waspada pada malam itu, merenungkan apakah azab ilahi akan menimpa dia yang berani merusak tempat suci mereka. Ketika mereka melihatnya kembali bekerja keesokan paginya, dengan membawa belencong, penduduk Mekah menafsirkan hal ini sebagai tanda setujunya dewa-dewi mereka, menantikan akomodasi yang lebih baik. Menurut sebuah riwayat yang dikumpulkan oleh Ibnu Ishaq, ketika rekonstruksi mencapai titik pemasangan kembali Hajar Aswad, muncul perselisihan mengenai klan mana yang akan menempatkannya. Oleh karena itu, diputuskan bahwa orang pertama yang memasuki pelataran Ka'bah akan menjadi penengah. Muhammad kemudian tiba, meletakkan sebuah jubah di atas tanah dan meletakkan batu itu di atasnya. Dia menginstruksikan seorang perwakilan dari setiap suku untuk memegang ujung jubah dan secara kolektif mengangkat batu tersebut ke ketinggian yang dibutuhkan. Dia kemudian meletakkannya di dinding dengan tangannya sendiri.[23][24]
Beginnings of the Quran
Muhammad mulai menyendiri di sebuah gua bernama Hira di Gunung Jabal al-Nour, dekat Makkah, selama beberapa minggu setiap tahun.[25][26] Pada tahun 610 Masehi, saat berusia 40 tahun, Muhammad mengaku kalau malaikat Jibril menampakkan diri di hadapannya saat berkunjung ke gua tersebut. Malaikat tersebut menunjukkan kepadanya sebuah kain yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran dan memerintahkannya untuk membacanya. Ketika Muhammad mengaku buta huruf, Jibril mencekiknya dengan paksa, hampir membuatnya mati lemas, dan mengulangi perintah tersebut. Ketika Muhammad kembali menegaskan ketidakmampuannya untuk membaca, Jibril mencekiknya lagi dengan pola yang sama. Kejadian ini berlangsung sekali lagi sebelum Jibril akhirnya membacakan ayat-ayat tersebut, sehingga Muhammad dapat menghafalnya.[27][28][29] Ayat-ayat ini kemudian menjadi Al-Quran 96:1-5.[30]
Pengalaman itu membuat Muhammad ketakutan, tetapi dia segera diyakinkan oleh istrinya, Khadijah, dan sepupunya yang beragama Kristen, Waraqah bin Nawfal.[31] Khadijah menginstruksikan Muhammad untuk memberitahukannya jika Jibril kembali. Ketika Jibril muncul selama waktu pribadi mereka, Khadijah melakukan tes dengan meminta Muhammad duduk di paha kirinya, paha kanan, lalu pangkuannya, bertanya setiap saat kepada Muhammad apakah makhluk itu masih di sana. Setelah Khadijah melepaskan pakaiannya dengan Muhammad di pangkuannya, Muhammad melaporkan bahwa Jibril pergi pada saat itu juga. Khadijah kemudian memberitahu Muhammad untuk bergembira karena ia menyimpulkan bahwa itu bukanlah setan, melainkan malaikat yang mengunjunginya.[32][33][31]
Kondisi Muhammad pada saat-saat menerima wahyu dari Allah sering kali memunculkan dugaan dari orang-orang sezamannya bahwa ia berada di bawah pengaruh jin, peramal, atau penyihir, yang menandakan bahwa kondisi-kondisi yang dialaminya tersebut memiliki kemiripan dengan karakteristik orang-orang yang dikira kerasukan jin, peramal, atau juga penyihir pada masa itu. Meski demikian, kondisi kejang-kejang yang dialami Muhammad tersebut kemungkinan pula telah menjadi bukti meyakinian bagi para pengikutnya kalau wahyu yang diterimanya memang berasal dari Tuhan. Beberapa sejarawan menyatakan bahwa deskripsi grafis tentang kondisi Muhammad dalam kejadian-kejadian tersebut kemungkinan besar adalah asli, karena tidak mungkin dibuat-buat oleh umat Islam di kemudian hari.[34][35]
Tak lama setelah kematian Waraqah, wahyu tidak kunjung datang kepada Muhammad selama beberapa waktu, menyebabkan Muhammad stres berat dan berpikir untuk bunuh diri.[29][b] Pada suatu kesempatan, ia dilaporkan mendaki sebuah gunung dan berniat untuk terjun. Namun, saat mencapai puncak, Jibril menampakkan diri kepadanya, memastikan bahwa ia adalah benar-benar utusan Allah. Pertemuan ini menenangkan Muhammad, dan ia pun kembali ke rumah. Beberapa waktu kemudian, ketika terjadi lagi jeda yang cukup lama di antara wahyu-wahyu yang turun, Muhammad kembali mengulangi aksi tersebut, namun Jibril lagi-lagi mengintervensi dengan cara yang sama, menenangkan Muhammad dan menyuruhnya kembali ke rumah.[36][37]
Muhammad was confident that he could distinguish his own thoughts from these messages.[38] The early Quranic revelations utilized approaches of cautioning non-believers with divine punishment, while promising rewards to believers. They conveyed potential consequences like famine and killing for those who rejected Muhammad's God and alluded to past and future calamities. The text also stressed the imminent final judgment and the threat of hellfire for skeptics.[39] According to Muslim tradition, Muhammad's wife Khadija was the first to believe he was a prophet.[40] She was followed by Muhammad's ten-year-old cousin Ali ibn Abi Talib, close friend Abu Bakr, and adopted son Zaid.[40]
- ^ Muhammad Diarsipkan 9 February 2017 di Wayback Machine. Encyclopedia Britannica. Retrieved 15 February 2017.
- ^ Rodinson, Maxime (2002). Muhammad: Prophet of Islam. Tauris Parke Paperbacks. hlm. 38. ISBN 978-1-86064-827-4. Diakses tanggal 12 May 2019.
- ^ a b Conrad 1987.
- ^ Esposito 2003.
- ^ Buhl & Welch 1993.
- ^ Jean-Louis Déclais, Names of the Prophet, Encyclopedia of the Quran.
- ^ Esposito 1998, hlm. 6.
- ^ a b Buhl & Welch 1993, hlm. 361.
- ^ Rodinson 2021, hlm. 51.
- ^ Marr J.S., Hubbard E., Cathey J.T. (2014): The Year of the Elephant. DOI:10.6084/m9.figshare.1186833 Retrieved 21 October 2014 (GMT).
- ^ a b Reynolds 2023, hlm. 16.
- ^ a b Johnson 2015, hlm. 286.
- ^ Peters 2010, hlm. 61.
- ^ Muesse 2018, hlm. 213.
- ^ Ali, Wijdan (August 1999). "From the Literal to the Spiritual: The Development of the Prophet Muhammad's Portrayal from 13th Century Ilkhanid Miniatures to 17th Century Ottoman Art" (PDF). Proceedings of the 11th International Congress of Turkish Art (7): 3. ISSN 0928-6802. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 3 December 2004.
- ^ Meri, Josef W. (2004). Medieval Islamic civilization. 1. Routledge. hlm. 525. ISBN 978-0-415-96690-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 November 2012. Diakses tanggal 3 January 2013.
- ^ a b Watt 1971.
- ^ Watt 1960.
- ^ Watt 1974, hlm. 7.
- ^ a b Watt 1974, hlm. 8.
- ^ Abel 1960.
- ^ a b Berkshire Encyclopedia of World History (2005), v. 3, p. 1025.
- ^ Glubb 2001, hlm. 79-81.
- ^ Wensinck & Jomier 1990, hlm. 319.
- ^ Emory C. Bogle (1998), p. 6.
- ^ John Henry Haaren, Addison B. Poland (1904), p. 83.
- ^ Peterson 2007, hlm. 51.
- ^ Klein 1906, hlm. 7.
- ^ a b Wensinck & Rippen 2002.
- ^ Rosenwein 2018, hlm. 148.
- ^ a b Brown 2003, hlm. 73.
- ^ Phipps 2016, hlm. 37.
- ^ Rosenwein 2018, hlm. 146.
- ^ Buhl & Welch 1993, hlm. 363.
- ^ Peterson 2007, hlm. 53–4.
- ^ Murray 2011, hlm. 552.
- ^ Rāshid 2015, hlm. 11.
- ^ Watt, The Cambridge History of Islam (1977), p. 31.
- ^ Brockopp 2010, hlm. 40–2.
- ^ a b Watt 1953, hlm. 86.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan