Cincin pernikahan
Cincin pernikahan adalah salah satu simbol di dalam pernikahan menurut tradisi Kristen Barat.[1] Pertukaran cincin pernikahan di dalam prosesi pernikahan dilakukan pada saat pengucapan komitmen kedua mempelai untuk menjalani kehidupan bersama.[1] Meskipun demikian, cincin pernikahan bukanlah simbol utama sebab yang terpenting adalah pengucapan komitmen antara kedua mempelai tersebut.[1] Pertukaran cincin pernikahan tersebut adalah simbol sekunder yang boleh ditiadakan.[1]
Latar belakang sejarah
Abad ke-1 hingga abad ke-9
Pemberian cincin semula berasal dari upacara pertunangan Romawi sejak abad pertama Masehi.[2] Upacara pertunangan tersebut berisi pernyataan tentang janji untuk menikah pada masa depan.[2] Pada masa itu, keterlibatan tradisi setempat masih kuat di dalam kekristenan yang tengah berkembang sehingga banyak unsur-unsur tradisi setempat yang masuk ke dalam ritus pernikahan Kristen.[2] Salah satu unsur tradisi Romawi yang masuk ke dalam ritus pernikahan Kristen adalah prosesi pertukaran cincin pernikahan.[2] Di dalam suatu garis besar tata pernikahan yang dibuat gereja pada abad ke-9, prosesi pemasangan cincin dalam pernikahan telah tercantum di dalamnya.[3]
Abad ke-10 hingga abad ke-11
Di dalam abad ke-10 dan ke-11 terdapat penambahan di dalam prosesi pemasangan cincin, yaitu pemasangan cincin disertai dengan pemberian berkat pada cincin.[4] Mempelai pria memasangkan cincin kepada mempelai wanita seraya berkata,"Dia (menyebutkan nama mempelai perempuan) yang mengenakan cincin ini boleh berada di dalam damai, kehidupan, bertumbuh di dalam kasih, dan dikaruniakan umur panjang."[4] Dengan demikian seolah-olah cincin memiliki makna dalam pernikahan sebagaimana konsekrasi roti dan anggur dalam Ekaristi.[4]
Gereja-gereja Ortodoks Timur mempertahankan prosesi pertukaran cincin, seperti pertukaran janji dan cincin di ruang depan.[2] Dengan demikian, jikalau pada abad ke-10 dan ke-11 cincin menjadi simbol berkat, maka pada gereja-gereja Ortodoks Timur, cincin menjadi simbol ikatan kedua mempelai melalui janji pernikahan.[2]
Abad ke-16 hingga kini
Pada masa Reformasi Gereja, muncul rumusan lain yang berasal dari Martin Luther, yaitu "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia".[2] Ibadah pernikahan di gereja-gereja Protestan Indonesia hingga kini sebagian besar memakai rumusan ini atau yang serupa dengan ini.[2]
Walaupun cincin banyak digunakan dalam liturgi pernikahan, tetapi bukan berarti semua gereja menyetujui penggunaan cincin dalam liturgi pernikahan.[2] Kaum Puritan pada abad ke-17 menolak penggunaan cincin pernikahan.[2] Mereka keberatan terhadap prosesi pertukaran cincin, dan juga unsur-unsur lain di dalam ibadah, sehingga menghilangkan prosesi tersebut dari ibadah pernikahan.[2] Akan tetapi, sebagian besar unsur-unsur tersebut dipulihkan kembali pada tahun-tahun berikutnya.[2] Keberatan tersebut wajar mengingat tujuan mereka adalah "memurnikan" Gereja Inggris pada saat itu dengan cara menyingkirkan segala hal yang berbau Romawi.[2] Pada abad ke-18, John Wesley juga menghapus ritus penyerahan mempelai dan pemberian cincin.[2] Akan tetapi, para penerus John Wesley memulihkan kedua ritus tersebut.[2]
Fungsi simbolik cincin pernikahan
Simbol berfungsi menghadirkan masa lalu pada masa kini.[5] Dengan demikian, melalui cincin pernikahan pasangan suami-istri dapat mengingat cinta yang terjalin dan makna pernikahan yang telah mereka jalani.[5] Cincin pernikahan tidak menjamin cinta dan kesetiaan suami-istri, tetapi cincin pernikahan menjadi simbol yang senantiasa mengingatkan dan membahasakan kerinduan mereka untuk selalu memperdalam cinta kepada pasangannya.[5] Secara populer ada makna-makna lain yang diberikan kepada cincin pernikahan, misalnya sebagai penanda akan status pemakainya selaku suami-istri, atau perlambang ikatan pernikahan yang tiada akhirnya seperti bentuk cincin yang bulat dan tak berujung.
Praktik Budaya
Adat Upacara Pernikahan
Dalam beberapa tradisi, pengiring pengantin pria atau pengiring pengantin wanita bertugas untuk mengawasi cincin pernikahan pasangan dan menyajikannya pada saat simbolis pertukaran cincin selama upacara pernikahan tradisional. Dalam pernikahan yang lebih meriah, seorang pembawa cincin (yang seringkali merupakan bagian dari keluarga pengantin pria atau pengantin wanita) dapat membantu dalam prosesi cincin ke dalam upacara, terkadang dengan meletakkannya di atas bantal khusus.
Dalam Kekristenan Barat, cincin pertunangan dipertukarkan selama ritual pertunangan, sementara cincin pernikahan diberikan selama perayaan perkawinan sakral itu sendiri.[6] Di antara Ortodoks Timur, Lutheran Timur, dan Katolik Timur, pertukaran cincin sebenarnya bukan bagian dari ibadah pernikahan, tetapi dipertukarkan selama pertunangan. Selalu ada satu set cincin dua cincin yang diberikan padanya oleh imam atau oleh pengiring pengantin pria.[7] Berbeda dengan gereja-gereja Ortodoks lainnya, Gereja Ortodoks Yunani Timur baru-baru ini berhenti melakukan berkat pertunangan secara terpisah, dan sekarang upacara pertunangan adalah bagian awal dari ibadah pernikahan. Di Yunani, upacara pertunangan dapat dilakukan segera sebelum pernikahan (atau "penguncian" seperti yang lebih tepatnya disebut), dan tindakan simbolis pernikahan sebenarnya bukanlah pertukaran cincin, tetapi penguncian.
Secara historis, cincin pernikahan terkait dengan pertukaran barang berharga pada saat pernikahan daripada menjadi simbol cinta dan kesetiaan abadi, tanda "uang muka". Menurut edisi 1549 dari Buku Doa Harian: setelah kata-kata 'dengan cincin ini aku mengawini engkau' mengikuti kata-kata 'Emas dan perak ini aku berikan padamu', pada saat itu pengantin pria seharusnya memberikan dompet kulit yang berisi koin emas dan perak kepada pengantin wanita.[8] Ini adalah sisa-sisa zaman ketika pernikahan adalah kontrak antara keluarga, bukan antara kekasih individual. Kedua keluarga tersebut kemudian bersemangat untuk memastikan keamanan ekonomi pasangan muda. Terkadang, ini bahkan berlanjut sebagai pertukaran bersyarat seperti yang ditunjukkan oleh rumus Jerman lama ini (dan saat ini sudah ketinggalan zaman): 'Aku memberikan padamu cincin ini sebagai tanda pernikahan yang telah dijanjikan antara kita, asalkan ayahmu memberikan mahar pernikahan sebanyak 1000 Reichsthalers' (sekitar 20 kg perak).[8]
Referensi
- ^ a b c d (Inggris)George R. Szews. 1983. We Will Celebrate a Church Wedding. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o (Indonesia)James F. White. 2002. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 282-286.
- ^ Rasid Rachman. 1999. Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang: Bintang Fajar. Hal. 82.
- ^ a b c (Inggris)Kenneth Stevenson. 1982. Nuptial Blessing: A Study of Christian Mariage Rites. London: Alcuin SPCK, p. 66-67.
- ^ a b c Warsito Djoko Sudibya. 1995. Aneka Simbol. Jakarta: Obor. Hal. 4.
- ^ "Ritual yang Berkaitan dengan Pernikahan: Pernyataan dan Sumber Daya dari Konsultasi Liturgi Anglikan Internasional" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Konsultasi Liturgi Anglikan Internasional. 2011. hlm. 4, 14–15. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 20 September 2021. Diakses tanggal 19 September 2021.
- ^ "Cincin". Encyclopædia Britannica.
Orang Romawi juga dipercaya sebagai orang yang memulai kebiasaan cincin pertunangan, atau cincin pertunangan, yang melambangkan janji pernikahan dengan anggota lawan jenis.
- ^ a b Kunz, George Frederick (1917). Cincin untuk Jari. J.B. Lippincott Co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 September 2014. Diakses tanggal 8 Juli 2007.