Afdeling Midden Celebes

Afdeling Midden Celebes (bahasa Indonesia: Afdeling Sulawesi Tengah), adalah salah satu wilayah administrasi afdeling di bawah Gubernemen Groote Oost. Afdeling ini dibentuk pada tanggal 28 Agustus 1903 dan ibu kotanya terletak di Donggala, sehingga Donggala menjadi tempat kedudukan Asisten Residen. Asisten Residen pertama adalah A.J.N. Engelenburg, dan pada tahun 1922 digantikan oleh Hiersman.[1]

Pada tanggal 1 Januari 1926, Afdeling Midden Celebes dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Karesidenan Manado, bersama dengan Afdeling Manado dan Afdeling Gorontalo. Afdeling Midden Celebes terdiri dari lima onderafdeling, yaitu Onderafdeling Donggala, Palu, Poso, Tolitoli, dan Parigi.[2][3]

Sejarah

Wilayah sepanjang pesisir barat Sulawesi Tengah, dari Kaili hingga Tolitoli, ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa sekitar pertengahan abad ke-16 di bawah kepemimpinan Raja Tunipalangga.[4] Wilayah di sekitar Teluk Palu merupakan pusat dan rute perdagangan yang penting, produsen minyak kelapa, dan "pintu masuk" ke pedalaman Sulawesi Tengah.[5] Di sisi lain, daerah Teluk Tomini sebagian besar berada di bawah kekuasaan Kerajaan Parigi. Pada tahun 1824, perwakilan Kerajaan Banawa dan Kerajaan Palu menandatangani Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) dengan pemerintah kolonial.[6] Kapal-kapal Belanda mulai sering berlayar di bagian selatan Teluk Tomini setelah tahun 1830.[7]

Pada tahun 1800an, tokoh Hindia Belanda, Adriani dan Kruyt dalam buku mereka yang berjudul De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes mengistilahkan istilah Toradja(Toraja) untuk sebagian kecil orang yang hidup seperti yang sekarang ini disebut "gelandangan".[8]

Di wilayah Sulawesi bagian Poso dan Tojo, dahulunya ada istilah Toraja diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Bare'e-Stammen ; Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), tetapi masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut dengan istilah Toraja (Toradja).

Alfouren yang bergaya hidup seperti Gelandangan yang diistilahkan Belanda dengan istilah Toradja tersebut harus meninggalkan kebiasaan dari suku lama mereka yaitu Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), karena Suku Bare'e telah banyak yang beragama Islam sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan "Van Heiden Tot Christen"[9] untuk penduduk asli suatu wilayah yang wilayahnya dinamakan Belanda dengan nama Grup Poso-Tojo yang memiliki nama lain Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare'e) dengan Suku Bare'e sebagai suku asli pemilik wilayah tersebut, dan istilah "Van Heiden Tot Christen" sudah sangat dikenal di wilayah Grup Poso-Tojo, dan orang Toradja (istilah bagi orang Bare'e yang bukan beragama Islam) ini kemudian diberi makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan pengajaran Agama Kristen.

Pada periode tersebut, Sulawesi Tengah berada di bawah yurisdiksi Afdeling Gorontalo, yang berpusat di Gorontalo. G. W. W. C. Baron van Höevell, Asisten Residen Gorontalo, khawatir pengaruh Islam yang begitu kuat di Gorontalo akan meluas ke wilayah Sulawesi Tengah—yang saat itu masih belum dimasuki agama samawi, dan penduduknya sebagian besar masih pagan, penganut animisme, dan memeluk agama suku[10].

Penolakan istilah Toraja di Sulawesi

Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[11], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[12] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[13]

Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[14]

Referensi

  1. ^ "Sejarah Donggala". Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 3 Desember 2016. 
  2. ^ Tirtosudarmo, Riwanto (Oktober 2008). "State formation, decentralisation and East Sulawesi province: Conflict and the politics of transcending boundaries in Eastern Indonesia" (PDF). CRISE. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 3 Desember 2016. 
  3. ^ Mahid, Syakir; Sadi, Haliadi; Darsono, Wilman (2012). Sejarah Kerajaan Bungku. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 297–298. ISBN 978-602-7544-09-3. 
  4. ^ Druce 2009, hlm. 232–235; Druce 2009, hlm. 244.
  5. ^ Henley 2005, hlm. 72.
  6. ^ Henley 2005, hlm. 232.
  7. ^ Henley 2005, hlm. 222.
  8. ^ De bare'e-sprekende toradja's van midden-celebes, SERIES [1]", Diakses 5 Maret 2023.
  9. ^ Van Heiden tot Christen, dari agama suku masuk agama kristen [2]", Diakses 31 Mei 2023.
  10. ^ Noort 2006, hlm. 28.
  11. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA HANYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [3].
  12. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [4], Diakses 30 Juni 2023.
  13. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [5].
  14. ^ Aragon 2000, hlm. 2.