Menhir Watu Mpogaa[1] (ejaan Van Ophuijsen: Watoe Mpoga'a) adalah monumen batu menhir yang berasal dari batu penyebaran penduduk dari Desa Pamona ke wilayah Wotu, dan batu menhir Watu Mpogaa ini terletak di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Posisi salah satu batu menhir watu mpogaa ketika didapat di tentena, poso

Di wilayah Sulawesi bagian tengah (midden celebes) yaitu Wilayah Grup Poso-Tojo, istilah Toraja dinamakan Belanda untuk mengidentifikasikan Suku Bare'e (Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), dan semua Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang masih beragama Lamoa harus mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) dan bukan lagi Bare'e, tetapi walaupun begitu masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning. Tetapi perkembangannya Suku Bare'e yang beragama Lamoa lebih banyak yang ikut dengan Suku Bare'e yang beragama islam karena belum terbiasa dengan kebiasaan hidup Orang-orang Belanda yang berkulit putih dan bermata biru.

Dan dengan adanya para "Toradja" dari wilayah Grup Poso-Tojo, yang kemudian diistilahkan Belanda dengan istilah "Van Heiden Tot Christen"[2], yang kemudian disekolahkan di sekolah-sekolah Belanda yang ada di wilayah Grup Poso-Tojo untuk mempelajari tujuh "batu penyebaran" atau disebut Watu Mpoga'a (Vatu Mpogaa) yang batu menhirnya masih dapat ditemukan sampai saat ini di Tentena.[3] Setelah mempelajari Watu Mpoga'a[4], maka para Toraja yang telah menjadi Umat Kristen tersebut mengetahui asal usul mereka sebelum berada di wilayah Grup Poso-Tojo yaitu berasal dari wilayah Wotu[5].

Sejarah

Wilayah dataran tinggi di sekeliling Danau Poso merupakan rumah bagi tujuh sub.suku dengan hubungan kekerabatan dekat, yang menurut legenda adalah keturunan dari enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Legenda tersebut menjelaskan bahwa setelah mereka menggulingkan penindas mereka, ketujuh saudara tersebut memutuskan untuk berpisah dan akan membentuk komunitasnya sendiri, karena sewaktu mereka tinggal di Desa Pamona mereka belum menamakan diri mereka dengan nama suatu nama identitas suatu suku, atau dengan kata lain " Belum memiliki nama suku ".

Jadi untuk mengenang kejadian ini, mereka membuat tujuh "batu penyebaran" yang masing-masing batu tersebut mewakili asal usul daerahnya, dan batu tersebut masih dapat ditemukan sampai saat ini di Tentena[3] yang sekarang ini dikenal dengan nama Watu Mpoga'a[6], dan penyebaran penduduk dari Bekas Desa Pamona yang bahasa asli sukunya lebih dekat ke Bahasa Taa ini berimigrasi ke wilayah Wotu, dan kemudian menetap disana. Sesampainya mereka di Wotu, penduduk dari bekas Desa pamona ini barulah menamakan suku mereka dengan nama suatu suku yang amat sangat jauh berbeda budaya dan bahasa[7]nya dengan suku bare'e.

Penelitian

Batu Menhir Watu Mpoga'a merupakan batu tegak atau menhir yang berjenis batuan monolit yang biasa dipakai oleh umat kristen di Poso dan juga wilayah Lore, Menhir Watu Mpoga'a yang pernah diteliti oleh Reinder Fennema seorang ahli pertambangan dan geologi, insinyur kepala untuk pertambangan Hindia Belanda, dan juga Walter Kaudern seorang etnografer Swedia, melalui catatan perjalanannya yang berjudul Migration of Toradja in Central Celebes [8] (yang diterbitkan tahun 1925).

Walter Kaudern menyebutkan bahwa asal usul penduduk Desa Pamona adalah berasal dari 7 wilayah yang diteliti oleh A.C.Kruyt melalui Batu Menhir Watu Mpogaa[9], dan kemudian disimpulkan oleh Walter Kaudern yang tidak menemukan Batu Menhir yang lain di wilayah Grup Poso-Tojo selain di bekas Desa Pamona yaitu Menhir Watu Mpogaa, dan Menhir Watu Mpogaa juga termasuk juga wilayah Koro Toradja (Landschap Lore & ToWotoe) yaitu 3 batu, dan Paloe Toradja 2 batu, sementara Poso Toradja adalah 2 batu, sehingga sebagai perbandingan penelitian oleh A.C.Kruyt dari Belanda dan W. Kaudern dari Swedia yang keduanya berbeda negara berkesimpulan bahwa bekas desa pamona diakui kebenarannya, sedangkan penduduk To Lamusa di Lamusa sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Poso- Todjo tidak diakui kebenarannya.

Migration of Toradja in Central Celebes (1925), Halaman 97 : " Kami berasumsi bahwa Desa Pamona diserang dan dihancurkan oleh ToWotoe yang tinggal di lembah Kalaena yang lebih rendah atau di pantai Teluk Bone, suku ini hampir tidak memiliki cara lain untuk diambil ketika pergi ke Desa Pamona selain mengikuti Lembah Kalaena, melintasi pegunungan Takolekadjoe dan mencapai dataran keluar dari Danau Poso[10] "

Walter Kaudern, etnografer Swedia.


Penolakan istilah Toraja di Sulawesi

Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[11], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[12] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[13]

Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[14]

Letak Menhir

Letak menhir Watu Mpoga'a[15] di dalam halaman depan pintu masuk Gereja Bethel Pamona, jalan Watu Mpoga’a, No. 1, Kecamatan Pamona dengan koordinat LS 1° 45› 24,84» – BT 120° 38› 26,34» serta berada pada ketinggian 563 Mdpl.

Sekitar lingkungan Menhir Watu Mpogaa ini berbatasan langsung dengan :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Gereja Bethel Pamona.

- Sebelah Timur berbatasan dengan permukiman penduduk dan tanah perkebunan penduduk.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Permukiman penduduk.

- Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Watu Mpoga’a.

Nampak pada permukaan tanah atau tempat menhir tersebut ditanam, telah dilakukan pengecoran lantai sekaligus menjadi bagian taman untuk bangunan Gereja Bethel Pamona.

Referensi

  1. ^ Watu Mpogaa, De Bare'e-Sprekende de Toradja Van midden celebes jilid 1 halaman 119, [1],
  2. ^ Van Heiden tot Christen, dari agama suku masuk agama kristen [2]",
  3. ^ a b Gobée 2007, hlm. 3.
  4. ^ DATA CAGAR BUDAYA DI SULAWESI TENGAH (per Des 2014) [3]", Diakses 14 Mei 2023.
  5. ^ Idwar Anwar (2005). Ensiklopedi Sejarah Luwu. Collaboration of Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, and Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9. 
  6. ^ WATOE MPOGAA, De Bare'e-Sprekende de Toradja Van midden celebes jilid 1 halaman 5, [4],
  7. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), ingatlah Lazarus dengan bangsawan berbaju mewah(inodo)nya , [5]
  8. ^ Migration of Toradja in Central Celebes (1925), download di => [6]
  9. ^ VEIRSPRIDING DE TORADJA VAN DE POSO-TODJO GROUPEN, De Bare'e-Sprekende de Toradja Van midden celebes jilid 1 halaman 5, [7],
  10. ^ W.Kaudern, Migration of Toradja in Central Celebes (1925), page 97, [8]
  11. ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA HANYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [9].
  12. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [10], Diakses 30 Juni 2023.
  13. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [11].
  14. ^ Aragon 2000, hlm. 2.
  15. ^ Letak Gereja Bethel Pamona,[12]