Prasasti Kebon Kopi II

Revisi sejak 11 September 2023 05.22 oleh Miminsastra (bicara | kontrib)

Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara atau Prasasti Rakryan Juru Pangambat adalah prasasti tertua yang menyebutkan toponimi Sunda yang ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor,[2]:381 tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama.

Prasasti Rarkyan Juru Pangambat di Bogor.[1]

Pakar F.D.K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan menyatakan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya" dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 536 Masehi.[3] Namun prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an.

Prasasti menuliskan berangka tahun 854 Saka yang harus dibaca terbalik (Angkanom Vamato Gatih) dalam aturan masa itu, sehingga memiliki makna sebenarnya tahun 458 Saka atau 536 Masehi,

Lokasi

Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 kilometer dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).

Teks prasasti

Teks:

Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda


Terjemahan:

Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.

Penafsiran

Prasasti ini menyebutkan chandrasengkala 854 Saka, akan tetapi sejarawan menafsirkan bahwa chandrasengkala ini dituliskan terbalik Angkanom Vamato Gatih, yakni seharusnya bermakna 458 Saka (536 M) atas dasar pemikiran bahwa Kerajaan Sunda pernah ada sebelum tahun 458 Saka (536 M).

Purnawarman, raja termasyhur Tarumanagara (358-669 Masehi) memindahkan ibukota Tarumanagara ke Sundapura ini. Lokasinya berada di Jakarta dan Bekasi.

Prasasti ini ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Bosch melihat penggunaan bahasa Melayu sebagai tanda kesahihan kekerabatan antara Sriwijaya di Sumatera dengan Kerajaan Sunda di kawasan Jawa Barat.

Dapunta Sri Jayanasa, pendiri Sriwijaya sama dengan Tarusbawa pendiri Kerajaan Sunda adalah menantu dari Raja Tarumanagara. Sebagaimana tertulis dalam naskah-naskah Wangsakerta dari Cirebon.

Sejarawan Prancis Claude Guillot dari lembaga penelitian École française d'Extrême-Orient memperkirakan prasasti Kebonkopi II ini mengacu ke pendirian kerajaan Sunda. Sejarawan Australia M. C. Ricklefs mengikuti perkiraan ini dalam bukunya A History of Modern Indonesia since c. 1200.

Nama Sunda pertama kali disebut dalam sebuah prasasti ini. Namun, isi prasasti di antaranya berbunyi “berpulihkan hajiri Sunda”, dapat ditafsirkan bahwa sebelumnya telah ada raja Sunda hingga akhirnya dipulihkan kekuasaanya, dimana kedaulatan kerajaan Sunda dipulihkan kembali, lepas dari pengaruh Sriwijaya.[2]:381 Sedangkan nama "Pangambat" berarti "pemburu", dapat ditafsirkan bahwa Sang Raja adalah seorang pemburu yang ulung.

Prasasti lain yang menyebutkan toponimi Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak I dan II (952 Saka atau 1030 M), dan Prasasti Horren (Kediri Selatan) yang berasal dari zaman Airlangga di Jawa Timur.[2]:381

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Bosch, F. D. K. (1941). "Een Maleische Inscriptie in het Buitenzorgsche". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde. doi:10.1163/22134379-90001267. 
  2. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (2008). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman kuno (dalam bahasa Indonesian). Balai Pustaka. ISBN 979407408X. Diakses tanggal 3 June 2018. 
  3. ^ Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, (1995), La principauté de Banten Girang, Archipel, Vol. 50, pp 13-24

Sumber

  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang", Archipel Volume 50, 1995, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8