Grup Poso-Tojo
Grup Poso-Tojo[1] (ejaan Van Ophuijsen: Poso-Todjo Groupen) adalah suatu istilah penamaan wilayah yang melekat di wilayah pantai timur provinsi Sulawesi Tengah, dan dihuni oleh Suku Bare'e[2] (Bare'e-Stammen).
Pada tahun 1800an, tokoh Hindia Belanda, Adriani dan Kruyt dalam buku mereka yang berjudul De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes mengistilahkan istilah Toradja(Toraja) untuk sebagian kecil orang yang hidup seperti yang sekarang ini disebut "gelandangan".[3]
Di wilayah Sulawesi bagian Poso dan Tojo, dahulunya ada istilah "Toraja" diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Bare'e-Stammen ; Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), dan semua Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang masih beragama Lamoa harus mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) dan bukan lagi Bare'e, tetapi walaupun begitu masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut dengan istilah Toraja (Toradja).
Alfouren yang bergaya hidup seperti Gelandangan yang diistilahkan Belanda dengan istilah Toradja tersebut harus meninggalkan kebiasaan dari suku lama mereka yaitu Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), karena Suku Bare'e telah banyak yang beragama Islam sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan "Van Heiden Tot Christen"[4] untuk penduduk asli suatu wilayah yang wilayahnya dinamakan Belanda dengan nama Grup Poso-Tojo yang memiliki nama lain Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare'e) dengan Suku Bare'e sebagai suku asli pemilik wilayah tersebut, dan istilah "Van Heiden Tot Christen" sudah sangat dikenal di wilayah Grup Poso-Tojo, dan orang Toradja (istilah bagi orang Bare'e yang bukan beragama Islam) ini kemudian diberi makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan pengajaran Agama Kristen.
Penolakan Toraja
Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[5], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.
Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[6] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[7]
Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[8]
Keagamaan
Dijaman penjajah, Belanda melarang semua bentuk kepercayaan Lamoa yang bertuhan kepada Puempalaburu, dan membebaskan budaya dan adat yang tidak berhubungan dengan kepercayaan lamoa seperti Tari Moraego, Tari Mokayori (Kerajaan Tojo), dll.[9]
Dan Dengan Adanya para "Gelandangan" dari wilayah Grup Poso-Tojo yang kemudian diistilahkan Belanda dengan istilah "Van Heiden Tot Christen"[10] yang kemudian disekolahkan di sekolah-sekolah Belanda yang ada di wilayah Grup Poso-Tojo untuk mempelajari tujuh "batu pemisahan" (Watu Mpogaa) yang masih dapat ditemukan saat ini di Tentena.[11]
Setelah mempelajari Watu Mpogaa[12], maka para gelandangan yang telah menjadi Umat Kristen tersebut mengetahui asal usul mereka sebelum berada di wilayah Grup Poso-Tojo yaitu berasal dari wilayah Wotu.[13]
Pemekaran
Pada tahun 2003, Ketika wilayah Grup Poso-Tojo dinamakan dengan nama Kabupaten Poso oleh Pemerintah Indonesia, ada suatu wilayah di Kabupaten Poso yang kemudian akan dinamakan Kabupaten Tojo Una-Una, dan Kabupaten Tojo Una-Una yang sebelumnya merupakan bagian Kabupaten Poso kemudian dimekarkan berdasarkan Undang‐Undang No. 32 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 dan peresmiannya dilaksanakan di Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia.
Pada 7 Januari 2004, secara resmi Kabupaten Tojo Una-Una dimekarkan dari Kabupaten Poso[14], sehingga wilayah Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang sebelumnya dinamakan oleh Belanda pada tahun 1800an dengan nama Grup Poso-Tojo, Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Bare'e Toradja), secara resmi terpisah menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Tojo Una-Una.
Referensi
- ^ POSO-TODJO GROUPEN (Poso - Tojo), De bare'e-sprekende toradja's van midden-celebes, SERIES [1] Diarsipkan 2023-06-21 di Wayback Machine.", Diakses 5 Maret 2023.
- ^ SUKU BARE'E, De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 119, [2] Diarsipkan 2023-05-28 di Wayback Machine..
- ^ De bare'e-sprekende toradja's van midden-celebes, SERIES [3] Diarsipkan 2023-06-21 di Wayback Machine.", Diakses 5 Maret 2023.
- ^ Van Heiden tot Christen, dari agama suku masuk agama kristen [4] Diarsipkan 2023-03-05 di Wayback Machine.", Diakses 31 Mei 2023.
- ^ KEDATUAN LUWU WILAYAHNYA HANYA SAMPAI MOROWALI, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH. [5].
- ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [6], Diakses 30 Juni 2023.
- ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [7].
- ^ Aragon 2000, hlm. 2.
- ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: BELANDA MELARANG SEMUA BUDAYA BARE'E, dan Kerajaan Tojo melestarikan budaya suku bare'e (selalu membawa Lobo) , [8] Diarsipkan 2023-06-29 di Wayback Machine., Diakses 3 Juli 2023.
- ^ Van Heiden tot Christen, dari agama suku masuk agama kristen [9] Diarsipkan 2023-03-05 di Wayback Machine.", Diakses 14 Mei 2023.
- ^ Gobée 2007, hlm. 3.
- ^ DATA CAGAR BUDAYA DI SULAWESI TENGAH (per Des 2014) [10] Diarsipkan 2023-05-14 di Wayback Machine.", Diakses 14 Mei 2023.
- ^ Idwar Anwar (2005). Ensiklopedi Sejarah Luwu. Collaboration of Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, and Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9.
- ^ Sejarah Pemekaran Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2004, [11] Diarsipkan 2023-03-05 di Wayback Machine.", Diakses 5 Maret 2023.